Imperfect : Part #1

imperfect copy

multishot | daragon | angst

Apakah saya perlu memperingatkan untuk tidak begitu memperhatikan tokoh yang bakal bermunculan disini selain Daragon kita tersayang?
Warning : bakal muncul banyak figuran di chapter ini demi kepenteringan alur cerita! 
Jadi kalo saran saya sih, jangan gitu dipikirin nama2nya yang berbanyak itu (termasuk di bagian prolog kemaren, karena bisa saya pastikan nama2 reporter itu tidak akan kembali keluar.. ngarang kalimat berita ternyata lebih sulit dari pada analisis kebijakan rencana tata ruang! >.<)

~ Imperfect – Flip Over ~

Putih. Semuanya putih berlatar suara beep konstan.

Dimana? Dimana dirinya sekarang.

Bukan. Ini bukan kamarnya. Kamarnya berwarna pink dan bukan putih. Dan lagi, alarmnya berbunyi kokok ayam, bukan bunyi beep konstan yang membosankan.

Dan ada apa di hidungnya, kenapa dingin?

Kelopak matanya kembali berkedip. Memperjelas pandangan matanya. Sebuah wajah, wajah yang belum pernah dilihatnya. Bukan wajah omma maupun appa-nya.

Tunggu. Omma? Appa? Dimana mereka. Biasanya mereka selalu membangunkannya pagi-pagi – jika dirinya belum bangun sendiri. Dia punya kegiatan rutin membantu persiapan restoran keluarga mereka buka di pagi hari sebelum berangkat mengajar.

Tunggu. Mengajar? Ya Tuhan! Hari apa sekarang? Kenapa dia masih berada di tempat tidur? Dia punya janji untuk mengajari anak-anak didiknya membuat bangau kertas. Anak-anak kecil itu pasti akan kecewa jika dia mengingkari janjinya.

Matanya masih terus berkedip cepat, seiring dengan otaknya yang mencoba memproses apa saja yang seharusnya dia lakukan hari ini.

Wajah dihadapannya semakin jelas – tampak ekspresi kaget pada wajah itu saat menatapnya.

“Anda sudah sadar!” serunya.

Kembali dia hanya bisa berkedip. Sadar? Sadar dari apa?

Belum sempat dia bertanya, orang itu sudah berseru panik. “Perawat Park! Perawat Park!” tangannya meraih sesuatu dibagian kepala ranjangnya. “Panggil semua dokter kemari! Pasien kita sudah sadar!”

“Tunggu…” suaranya terhalang sesuatu. Ada sesuatu yang menutupi mulutnya. Tangan kirinya bergerak, berusaha melepas benda yang menghambatnya berbicara. Dan tenggorokannya, tenggorokannya terasa sangat kering. Dirinya seperti tidak minum selama berhari-hari. Kapan terakhir kali dia minum?

Tangannya berhasil melepas benda yang menutupi mulut dan hidungnya. Sebuah masker oksigen. Apakah mungkin dia salah lihat? Tapi tidak, dia tentu tahu bentuk masker oksigen, dia pernah menjadi anggota palang merah saat masih kuliah. Kenapa dia memakai masker oksigen?

“Omo, Anda jangan banyak bergerak dulu,” kata orang asing itu. Keningnya berkerut saat membaca tanda pengenal yang terpasang di bagian dada orang asing itu. Lee Sora, perawat. Kenapa ada perawat bersamanya?

Belum terjawab soal masker oksigen dan perawat Lee Sora, matanya menangkap selang infus yang terhubung ke tangan kirinya. Tapi otaknya sudah tidak mau berpikir, kepalanya berputar karena tenggorokannya serasa tercekik. Dia butuh air sekarang juga.

Seolah tahu rasa haus yang menyerangnya perawat Lee Sora memberinya minum melalui sedotan. “Pelan-pelan saja.” tuturnya.

“Omo! Pasiennya sudah sadar! Saya akan segera memanggil para dokter!” sebuah suara lain tertangkap telinganya. Seorang wanita yang juga memakai pakaian yang sama dengan perawat Lee Sora, berarti kemungkinannya orang yang barusan juga adalah seorang perawat.

Sebentar. Apakah perawat barusan berkata akan memanggil dokter? Tapi untuk apa. Dan kenapa dia bersama dengan perawat sekarang. Dan kenapa tangannya diinfus dan dia dipakaikan masker oksigen?

Masker oksigen? Infus? Perawat? Dokter?

Semua itu hanya ada di rumah sakit!

Sebuah pertanyaan kembali muncul dalam kepalanya. Untuk apa dirinya berada di rumah sakit?

Berusaha untuk duduk agar kepalanya bisa berpikir lebih baik, dia merasakan nyeri dan sakit yang teramat sangat pada bagian selangkangannya. Dan sakit yang dia rasakan langsung menyadarkannya.

Dia baru pulang dari TK tempatnya mengajar setelah petang, setelah sebelumnya sibuk mempersiapkan pentas seni yang akan diselenggarakan esok lusa. Para guru baru bisa benar-benar mulai bekerja setalah semua murid-murid dijemput oleh orang tua mereka, termasuk dirinya. Dia tidak menyangka persiapannya akan memakan waktu cukup lama, sehingga setelah hari berganti gelap, dia baru bisa pulang ke rumah.

Berniat ingin mempersingkat waktu, dia memutuskan menggunakan jalan pintas. Namun bukannya cepat sampai rumah, dia justru dihadang oleh sekelompok pria. Bau alkohol samar tercium dari nafas pria-pria itu. Dan semuanya kembali berputar dalam kepalanya, seolah kembali terjadi.

“ANDWEEEEE!!!!!”

“TOLOOOOOONG!!!! BIARKAN AKU PULAAANG!!! ANDWEEEE!!!! OMMA!!!! APPA!!!! ANDWEEEE!!!”

“Agashi, agashi! Tenanglah!” suara sang perawat tidak terdengar olehnya seiring kepalanya kembali mengingat kejadian yang menyebabkannya terbaring disini.

“ANDWEEEE!!!!”

Telinganya menangkap suara derap langkah berdatangan mendekat, namun air matanya mengaburkan pandangan. Dia tidak bisa menangkap jelas sosok yang kini telah mengelilinginya. Namun otaknya mengatakan mereka berbahaya, mereka akan kembali menyakitinya.

“ANDWEEE!!!! BIARKAN AKU PULAAANG!!! ANDWEEEE!!!!!” jeritnya.

“Agashi, agashi!!” yang tertangkap dalam telinganya adalah nada mengejek diiringi suara tawa mengerikan yang membuat bulu kuduknya meremang.

Sebuah tangan memegangi lengannya. Tidak lagi, mereka tidak boleh menyakitinya lagi.

“ANDWEEEEE!!!!”

Sesuatu menembus kulitnya. Lalu matanya berat. Hal terakhir yang dilihatnya adalah wajah-wajah asing – bukan, mereka tidak berwajah menyeramkan seperti yang ada dalam ingatannya. Kemudian, sebelum kelopak matanya benar-benar tertutup, wajah omma dan appa nya muncul.

“Omma… appa… tolong aku…”

**

Mata Jiyong terpaku menatap sosok dihadapannya yang kini telah terbaring, tenang. Wajahnya, Jiyong tidak tega menatap wajah itu. Wajahnya terlalu polos untuk menanggung penderitaan berat yang akan terus dibawanya seumur hidup. Jiyong membayangkan, seperti apa kehidupan gadis ini sebelum kejadian memilukan itu terjadi, dan seperti apa hidupnya setelah keluar dari tempat ini.

“Periksa tekanan darahnya tiga puluh menit lagi, apa kita bisa berpegangan pada dosis sedative[1] yang saat ini kita berikan.” Kata Jiyong kepada perawat Lee Soora yang sejak tadi masih mendampingi para dokter itu. Dia adalah salah satu perawat yang bertugas di ruang ICU.

“Neh, saya mengerti dokter Kwon.”

Jiyong beralih menatap rekannya. “Dokter Choi…” panggil Jiyong seolah bertanya apakah keputusannya tepat. Dokter Choi Dongwook, dokter spesialis paru yang juga merupakan bagian dari tim yang menangani pasien korban pemerkosaan. Walaupun pengalamannya sebagai seorang spesialis jantung menganggap bahwa pemberian sedative kepada pasien masih dalam dosis aman, namun Jiyong perlu memastikan kepada ahlinya bahwa itu tidak akan memperburuk keadaan paru-paru pasien. Kondisi korban saat dibawa ke rumah sakit cukup mengenaskan, karena setelah diperkosa korban ditinggalkan begitu saja di sebuah gang kecil. Sekujur tubuhnya penuh luka dan lebam dan terserang pneumonia[2] setelah dibiarkan berada diluar ruangan semalaman. Korban baru ditemukan keesokan harinya dan langsung dilarikan ke SNUH.

“Tidak masalah, dokter Kwon. Dosis ini masih aman. Pastikan saja setelah kembali sadar masker oksigen pasien tidak dibuka.” Jawab Dongwook, membuat perawat Lee Sora mengangguk mengerti.

“Melihat kondisinya seperti ini, kurasa kita memerlukan dokter Lee,” sahut dokter Kim Hyesun, dokter spesialis DV[3], merujuk kepada Lee Hyungjo, psikiatris kenamaan kebanggaan fakultas kedokteran SNU. “Melihat reaksinya tadi, aku sangat yakin kita benar-benar membutuhkan dokter Lee.” Lanjutnya. “Dokter Oh..” dokter Kim Hyesun menoleh pada wanita yang berdiri disampingnya. “Kapan kita akan melakukan pemeriksaan dan visum lanjutan? Aku diberitahu Gyeongchalcheong sudah menanyakan tentang laporan itu untuk proses penyelidikan.”

“Sepertinya kita harus menunggu pasien sedikit lebih tenang, dan bebas dari pengaruh sedative.” Jawab dokter Oh Hani, dokter spesialis Obgi[4]. “Kita memerlukan pasien sadar sepenuhnya karena yang akan kita lakukan bukan hanya sekedar pemeriksaan fisik luar.”

Jiyong diam mendengarkan percakapan rekan-rekannya sambil memperhatikan wajah polos itu tidur tenang. Lalu ingatannya berputar kembali saat akhirnya pasien mereka ini tersadar. “Kurasa sebaiknya dokter Oh dan dokter Kim meminta bantuan dokter Nam Gyuri dalam proses visum itu.” ujar Jiyong hati-hati, perlahan mengalihkan pendangannya dari pasien kepada rekan dokternya.

Kening kedua dokter wanita itu berkerut. Visum awal telah dilakukan oleh dokter Kang Daesung, yang juga dokter forensik sama seperti dokter Nam Gyuri yang tadi Jiyong sebutkan. Kenapa kini mereka diminta untuk mengganti dokter Kang?

“Kurasa dokter Kwon benar, melihat reaksi pasien saat kita semua masuk tadi, kurasa akan lebih aman jika kita mengganti dokter Kang Daesung dengan dokter Nam Gyuri.” Timpal dokter Choi Dongwook. “Pasien pasti akan lebih merasa nyaman jika dokter yang akan memeriksanya secara mendetail sama-sama wanita, mengingat musibah yang menimpanya ini…” dia tidak melanjutkan kalimatnya. Namun semua yang ada dalam ruangan itu mengerti, termasuk perawat Lee Sora.

Perhatian mereka semua teralihkan mendengar suara tangis memilukan dari arah luar ruangan. Serentak mereka semua menoleh kearah jendela kaca yang terbuka. Ibu korban yang sudah seminggu ini hampir selalu mereka temui saat mengontrol kondisi pasien menangis dalam pelukan suaminya. Perawat Park berusaha menenangkan wanita itu dengan mengelus punggung wanita paruh baya itu.

Keempat dokter itu akhirnya memutuskan untuk keluar ruangan dan menemui orang tua pasien yang sampai saat ini rasanya masih merasa sulit menerima musibah yang menimpa putri kebanggaan mereka. Menurut kabar, pasien merupakan putri tunggal mereka.

“Dokter…” hanya itu yang bisa diucapkan oleh ayah pasien, masih memeluk istrinya yang tak hentinya menangis, tidak sampai hati melihat keadaan putri mereka.

“Tuan Park…” kata Jiyong, “Putri Anda sudah melewati masa kritis dan sudah sadar tadi,” desah kelegaan dihembuskan kedua pasangan itu. “Sayangnya kami perlu memberi obat penenang, tapi tenang saja, satu jam lagi perawat Lee dan perawat Park akan memindahkan putri Anda ke kamar rawat. Kami hanya perlu memastikan kondisinya cukup memungkinkan untuk dipindahkan. Tapi untuk sementara waktu kami akan tetap memasang tabung oksigen dan ECG[5] pada putri Anda.” Dia lalu menunjuk kedua perawat yang sekarang sudah berada didalam ruangan, perawat Park langsung masuk kedalam kamar ICU begitu para dokter itu keluar.

“Dara-ah… Dara-ah…” lirih sang ibu dalam tangis, membuat para dokter itu kian pilu mendengarnya.

**

Kata orang, hidup itu seperti perputaran roda, kadang berada diatas kadang berada dibawah. Namun bagi seorang Park Sandara, hidupnya seperti membalikkan meja makan yang diatasnya penuh dengan sajian. Hancur. Berantakan. Tadinya dia hanyalah seorang gadis biasa, bahagia dengan pekerjaannya mengajar anak-anak kecil mengagumkan yang tak pernah berhenti membuatnya tersenyum. Lalu sekarang…

“PERGIIII!!!” jerit Dara keras mendengar suara pintu kamar rawatnya dibuka. Sudah tiga hari sejak dia sadar, dan sudah tiga hari sejak dia dipindahkan ke ruangan ini.

Ibu Dara menutup mulutnya dengan tangannya. Matanya yang sembab tak juga berhenti mengeluarkan air mata melihat kondisi putri kesayangannya. Tidak pernah sekalipun Dara berkata keras atau bahkan membentak kepadanya. Tapi sekarang… sekarang… Dengan seluruh jiwa dan raga dia mengutuk para penjahat yang telah merenggut putri kecilnya darinya. Jika diberi kesempatan dia dengan senang hati akan menghukum mereka, walaupun nyawanya sendiri taruhannya.

“Dara-ah… ini omma, sayang…” dia berusaha menahan suaranya agar tidak bergetar, tapi tidak berhasil.

“Omma…” rintih Dara, kini menangis. Tubuhnya meringkuk di ranjang. Selimut dan bantalnya tidak berada dalam posisi yang semestinya. Rambut panjangnya berantakan, hal yang tidak mungkin dia biarkan jika kondisinya normal.

“Dara-ah…” Dara membenci nada yang dia dengan keluar dari bibir omma-nya. Sama seperti semua orang yang sudah melihat keadaannya sekarang.

Park Eunju mendekat kesamping putrinya. Merengkuh tubuh ringkih putri kecilnya kedalam pelukannya. Hatinya hancur melihat kondisi Dara sekarang, dan lebih hancur lagi saat gadis kecilnya memeluknya erat, mencengkeram pakaiannya, dengan tubuh bergetar dalam dekapannya.

“Omma… kenapa? Kenapa?” ratap Dara pilu. Itulah yang terus-menerus diucapkannya.

Kenapa? Kenapa harus dirinya? Kenapa dia para penjahat itu ada di jalan yang dilewatinya? Kenapa dia harus memutuskan lewat jalan itu? Kenapa dia harus pulang setelah matahari berpindah menerangi sisi bumi yang lain? Kenapa dia harus ikut membantu persiapan pentas seni di sekolah tempatnya mengajar? Kenapa sekolah tempatnya mengajar harus menyelenggarakan pentas seni? Kenapa dia menjadi seorang guru? Pertanyaan-pertanyaannya terus berdatangan hingga sampai kepada… kenapa dia harus dilahirkan ke dunia ini.

Ini tidak adil. Apa yang menimpanya sama sekali tidak adil! Apa kejahatan yang pernah dia lakukan hingga dia dihukum seperti ini? Dosa apa yang dilakukannya? Selama ini dia selalu bersikap baik kepada orang lain! Tuhan benar-benar tidak adil padanya!

Kenapa harus dirinya, padahal banyak wanita diluaran sana yang dengan senang hati menjajakan diri mereka untuk penjahat-penjahat seperti itu?!

“Dara-ah…” lagi-lagi nada itu! Dara benci mendengar nada itu! Dia sudah cukup mengasihani dirinya sendiri, dia tidak butuh rasa kasihan dari orang lain juga!

“Pergi…” Dara menarik tubuhnya lepas dari dekapan omma-nya. Satu-satunya tempat yang sejenak bisa memberinya kenyamanan.

“Dara-ah?” protes Eunju.

“Omma, pergi!” Dara kembali bergelung di tempat tidur, enggan menatap wajah ibunya. Karena disana, disana… di mata ibunya, dia akan menemukan rasa kasihan yang sama.

“Tapi sayang…”

“PEEERRRGGGGIIII!!!!” jeritnya.

Eunju mengalah. Sama seperti sebelum-sebelumnya. Dara yang tadinya menangis diam dalam pelukannya tiba-tiba mendorong tubuhnya menjauh. Eunju tidak bisa protes, tidak akan pernah bisa, walau hatinya sakit mendengar rintih putrinya, meringkuk sendirian, tidak mau bila ada seorang pun yang mendekat.

“Yeobo..” Eunju menghambur dalam pelukan suaminya yang menunggu didepan kamar rawat putri mereka. “Dara… Dara…” ratapnya pilu.

**

“LEPASKAN AKUUU!!!” Dara terus meronta saat para perawat memasung kaki dan tangannya.

Eunju hanya bisa menangis menyaksikan tangan dan kaki putrinya diikat ke tepi ranjang. Mereka tidak punya pilihan lain, karena Dara terus saja berusaha melukai dirinya. Jiyong tidak berani memberikan sedative lagi dalam beberapa jam kedepan, karena tubuh Dara mulai tergantung pada obat penenang, bisa berbahaya jika dipaksakan sekarang.

Tim dokter sudah melakukan visum ulang pada Dara seminggu setelah dia dipindahkan dari ICU, beruntung karena gadis itu bersedia dan mau. Namun akibatnya, Dara menjadi semakin ingat akan tindakan biadab yang dilakukan pada dirinya. Dia merasa jijik dengan tubuhnya sendiri dan berulang kali berusaha melukai tubuhnya.

Semua benda dijauhkan dari Dara, bahkan untuk makan, harus ada yang menyuapinya, atau jika terpaksa dokter dan perawat harus menyuntikkan vitamin melalui selang infuse karena gadis itu menolak makan. Gelas minumnya diganti dengan gelas plastik, karena dua hari setelah dilakukannya visum dia merebut gelas dari tangan ibunya, dan memecahkannya. Beruntung, perawat datang dan merebut pecahan gelas dari tangannya sebelum dia sempat menggores nadinya. Bahkan jarum infusnya harus dibebat dengan perban melingkari lengannya, karena usaha terakhirnya adalah mencabut jarum infus dan akan digunakan untuk megores lehernya – tidak terdengar bisa mematikan, tapi jika dilakukan berulang-ulang, semua orang bisa menebak apa yang akan terjadi. Eunju sampai pingsan  karena hal itu.

“Dara-ah… sayang, omma mohon, tenanglah…” pinta Eunju, menangis. Dia langsung menghambur kesisi putrinya begitu para perawat itu mundur.

“Maaf, Tuan… Nyonya… kami harus melakukannya, jika kita tidak menginginkan hal-hal yang tidak kita inginkan terjadi.” Ujar salah seorang perawat membungkukkan badan sebelum berpamitan.

“Aku mangerti perawat Seo, terima kasih.” Kata Park Hyunsuk, nanar menatap istrinya memeluk putri mereka yang terikat. Dalam hati pria paruh baya itu ikut menangis, memikirkan dosa apa yang pernah dia lakukan sehingga putrinya yang menerima hukuman seperti ini.

“Omma, lepas…”

Eunju menggelengkan kepalanya “Aniyo, Dara-ah. Lebih baik omma melihatmu diikat seperti ini dari pada kau terus berusaha melukai dirimu sendiri.” Tolak Eunju.

Tangisan Dara kian menjadi. Dia benar-benar ingin mengakhiri hidupnya. Dia telah membuat malu appa dan omma-nya. Dia tidak ingin memperpanjang penderitaan mereka dengan terus melihatnya seperti ini.

**

Jiyong mencatatkan angka tekanan darah dalam lembar rekam medis milik Dara. Dahinya berkerut melihat angka-angka yang tercatat disana. Ada yang tidak beres dengan tekanan darah dan kecepatan nafasnya. Sudah tiga minggu sejak Dara tersadar, dan semakin kemari tekanan darah dan kecepatan nafasnya semakin meningkat.

“Perawat Seo,” panggil Jiyong.

“Neh, dokter Kwon.” Perawat muda itu menghentikan kegiatannya merapikan rambut Dara dan beralih menatap Jiyong.

“Apa sebelum ini Nona Park sempat mengamuk?” tanya Jiyong pelan, berusaha agar percakapan mereka tidak didengar oleh Dara.

“Animnida, dokter Kwon. Justru sejak bangun tadi pagi, Nona Park hanya diam menatap keluar. Bahkan hari ini dia tidak perlu dipasung.” Jawabnya.

Otak Jiyong berputar cepat, matanya melebar ngeri. Sekilas dia menatap wajah tenang Dara yang tengah menatap keluar. Ada perasaan nyeri dalam hatinya saat membayangkan jika pikirannya ini benar. Wajah itu, wajah itu terlalu tidak berdosa untuk menanggung beban sampai sejauh itu. Jangan sampai pikirannya ini menjadi kenyataan.

“Hubungi dokter Oh, apa dia bisa mengecek keadaan Nona Park sekarang.” Kata Jiyong kembali menatap perawat Seo.

Kedua alis perawat Seo bertautan, tidak mengerti akan maksud dokter tampan itu. Namun kemudian, setelah Jiyong menyerahkan kembali rekam medis kepadanya, mata perawat muda itu terbelalak lebar, seakan bisa membaca apa yang ada dalam pikiran Jiyong.

“Dokter Kwon…” lirihnya, penuh nada tidak percaya.

Jiyong yang sadar bahwa perawat ini mengerti akan akan apa yang dipikirkannya hanya bisa mendesah. “Semoga saja aku salah. Cepat hubungi dokter Oh.”

“Ba-baik.” perawat Seo tergagap dan langsung menggunakan telepon yang tertempel di dinding.

Sementara perawat Seo mencoba untuk menghubungi dokter Oh, Jiyong kembali menghampiri pasiennya.

“Bagaimana kabarmu hari ini, Nona Park?” tanya Jiyong, memaksakan sebuah senyuman.

Dara sama sekali tidak berusaha barang sekejap pun melirik dokternya. “Sama buruknya dengan hari-hari kemarin.” Jawabnya. “Kenapa kalian tidak membiarkanku mati saja?”

Jiyong tersenyum pahit. Mati, mungkin jika dirinya berada dalam posisi Dara, dia pun akan memilih mati sebagai jalan keluar. Tidak heran gadis itu selalu berusaha mengakhiri hidupnya setiap kali ada kesempatan.

“Kami di rumah sakit ini bertugas untuk menyelamatkan nyawa, bukan mencabut nyawa.” Jawab Jiyong pada akhirnya.

Jiyong menanti Dara membalas kalimatnya, namun sebelum itu terjadi, perawat Seo sudah kembali kesampingnya dan berbisik, “Dokter Oh masih memiliki dua pasien yang akan melakukan sonografi[6], sekitar tiga puluh menit lagi beliau baru bisa memeriksa Nona Park.”

“Baiklah, aku mengerti. Lima belas menit lagi, aku ada janji dengan pasien, bisakah aku meminta tolong padamu untuk menjelaskan pada dokter Oh nanti, perawat Seo?” tanya Jiyong sambil melihat jam tangannya.

Perawat Seo mengangguk mengerti. “Neh, algessimnida dokter Kwon, nanti akan saya sampaikan pada dokter Oh.”

“Bagus kalau begitu, aku pergi dulu.” Katanya, kemudian berbalik kepada Dara. “Nona Park, aku harus pamit. Tapi sebentar lagi, dokter Oh akan memeriksamu.” Katanya lagi, dan tanpa menunggu jawaban dari Dara, Jiyong langsung berlalu dari ruangan itu. Tidak perlu menunggu, karena memang Dara sendiri tidak berkenan untuk menjawab.

**

Begitu urusannya dengan pasiennya selesai, secepat mungkin Jiyong bergegas kembali ke Kamar 112, kamar rawat Dara. Padahal bukan sepenuhnya menjadi tanggung jawabnya jika dugaannya tadi menjadi kenyataan. Tapi hati kecilnya akan lebih tenang jika dia segera mengetahui hasilnya langsung. Dalam hati dia terus berdoa agar apa yang dipikirkannya tidak menjadi kenyataan. Kilasan akan wajah polos Dara sejak berada di ruang ICU hingga percakapan mereka tadi terus terbayang dalam ingatannya.

“Tidak, tidak. Itu tidak boleh terjadi. Jangan hancurkan gadis itu lebih dari ini.” pintanya.

Beberapa langkah dari Kamar 112, kakinya terhenti. Jantungnya berdegup kencang melihat pemandangan didepannya. Pasangan suami-istri Park tengah berpelukan dalam tangis yang bisa diartikan bukan tangis bahagia, dihadapan mereka berdiri dokter Oh Hani yang juga berwajah jauh dari raut bahagia, disamping dokter Oh, perawat Seo – perawat muda itu, menghapus air matanya.

Oksigen seolah dipompa keluar dari paru-paru Jiyong. Dugaannya benar.

Kakinya kembali melangkah, namun kali ini dengan perlahan, seakan takut pada kanyataan yang sudah ada didepan matanya. Tidak ada yang menegurnya karena baik dokter Oh maupun perawat Seo sedang berusaha menenangkan pasangan suami-istri dihadapan mereka.

Dari kaca pintu Kamar 112, Jiyong melihatnya. Dia melihat bahu gadis itu bergetar, kedua kakinya dia peluk didepan dada, kepalanya terkulai lemas diatas lutut, rambut panjangnya bertebaran menutupi disekelilingnya. Gadis itu menangis, diam, terisak. Namun bagi Jiyong, tangisannya kali ini justru lebih menyayat hati dibandingkan jeritan pilunya.

**


[1] Sedative = obat penenang; berbeda dengan anastesi (obat bius) yang digunakan untuk membuat organ tubuh mati rasa untuk sesaat, penggunaan obat penenang adalah untuk menenangkan syaraf

[2] Pneumonia = radang paru-paru yang bisa disebabkan oleh kuman, jamur, maupun bakteri

[3] DV singkatan dari Dermatologi & Venereology = (dokter) spesialis kulit dan kelamin

[4] Obgy singkatan dari Obstetri Ginekology = (dokter) spesialis kandungan

[5] ECG singkatan dari Electrocardiography = alat pendeteksi denyut jantung

[6] Sonografi atau sonography diambil dari kata ultrasonography (USG)

P.S. penggunaan istilah kedokteran dan kronologi penanganan pasien diatas hanyalah gambaran awam yang ada dalam pikiran pengarang. Bisa jadi kemungkinan hal diatas memang sesuai prosedur, bisa juga sepenuhnya jauh dari kenyataan. Jadi jangan terlalu dijadikan pedoman, sekali lagi, hanya demi kepentingan cerita.

Oke, sebelumnya saya mau sembah sujud dulu… maaf~ bikin peran Dara disini setragis ini.. T__T
Yang udah tebak2 berhadiah, tapi hatinya belom terima kalo tebakannya bener, hehehehe… lebih percalah sama hati.. buat Cyscha ternyata kita sehati.. LOL ; xxxsidyani21 yang yakin sekali dengan tebakannya, ya~ begini inilah.. >.<
Adakah yang tanya kenapa? *ternyata nggak >.<*
Adakah yang inget berita geger dari India jaman tahun kapan saya lupa – tentang pemerkosaan massal yang sampe bikin korbannya dibawa k Singapore? Nah saya diingatkan lagi sama rentetan kasus pemerkosaan di angkot yang tahun kemaren bikin geger Jakarta.. Saya nggak pernah tahu kelanjutannya nasib si korban gimana, apa dia selamat ato nggak.. Terus pertanyaan saya yang muncul setelah jawaban ‘mungkin si mbak korban selamat’ adalah, gimana hidup si mbak korban selanjutnya yaa~ >.<
Kenapa akhirnya saya mutusin buat ngangkat tema ini? Entah juga.. >.< mungkin karena saya sedang pengen mencoba sesuatu yang baru.. >.< mungkin juga saya lagi pengen ngetes kemampuan saya nulis cerita ngenes.. >.<
Adakah yang bisa kembali membaca pikiran saya? Apa yang terjadi kepada Dara? Ato kalo nggak sampe ketemu di part selanjutnya ya.. saya mau cari tissu dulu.. T__T *ini pertama kalinya saya nulis cerita punya sendiri sampe nangis*

<< Prolog 2 >>

80 thoughts on “Imperfect : Part #1

  1. Ops…when I heard nurse park though was Dara,means she’s a patient hehe…blur.poor Dara,hope she’s fine n getting better.😭😭😭😭

Leave a comment