SNEEUWWITJE [Chap. 1]

swee

A storyline by. Cho Hana

Sandara Park || Kwon Jiyong

Park Soojin || Kim Jongin || Jung Soojung || Park Jiyeon || Park Hayeon

Kang Seulgi || Jung Taekwoon || Lee Seungri || Im Yoona

Romance || Drama || Marriage-Life

PG-15

.

She is a Snow White, not a Cinderella

.

Buat yang baru baca di chapter ini diharapkan baca prolog/chapter sebelumnya:

Introduction+Prolog

“Surat warisan tambahan?” Soojung mengerutkan keningnya kemudian langsung bangkit dari tempat duduknya dan menghampiri Dara yang sedang fokus dengan posisi yoganya. “Apa-apaan itu? Sepanjang sejarah tak pernah ada yang namanya surat warisan tambahan, bahkan di dalam keluarga kerajaan sekalipun. Woah, keluarga kalian benar-benar hebat ya, sampai-sampai ada surat warisan tambahan segala.”

Soojung menghela napas panjang. Tentu saja ia tidak benar-benar tengah memuji kehebatan keluarga dari sepupunya itu. Ia merasa ada sesuatu yang tak beres. Surat warisan tambahan adalah hal paling konyol yang pernah ia dengar seumur hidupnya.

“Eonnie, apa kau tidak curiga? Apa Eonnie merasa ini masuk akal? Bagaimana bisa Ahjussi menuliskan sebuah surat warisan tambahan setelah selesai menulis surat warisan lainnya? Kenapa dia tidak ganti saja sekalian surat warisannya? Ini benar-benar mencurigakan. Jangan-jangan—“

“Soo, ambilkan handukku.”

Soojung buru-buru menuruti perintah Dara, mengambil sebuah handuk yang tersampir di meja dan membawakannya untuk sang sepupu. Sesekali ia menghela napas kasar. Bagaimana bisa Dara terlihat tetap tenang sementara nasibnya kini tengah ada di ujung tanduk?

“Eonnie—“

“Apa kau lapar? Makanlah sebelum kau pulang. Aku akan menyuruh Seulgi menyiapkan makanan untuk kita,” Lagi-lagi Dara memotong ucapan Soojung.

Dara baru saja akan bangkit dari posisi duduknya, namun Soojung menahannya.

“Eonnie, berhentilah bersikap tenang. Aku tahu kau juga sedang khawatir sekarang.”

Ucapan Soojung itu membuat Dara membeku sejenak, “Apa aku terlihat ketakutan? Apa aku terlihat menyedihkan sekarang?” Sebuah seringai tercipta di wajah manis itu. “Berhenti mengurusiku, Soo. Aku tidak perlu dikasihani oleh siapapun.”

“Aku bukannya mengasihanimu, tapi aku khawatir.”

“Tak ada yang perlu kau khawatirkan. Aku bisa mengurus semuanya. Kau tahu’kan aku ini bukan Cinderella yang bisa mereka injak-injak,” Dara segera bangkit dari posisinya, berjalan pelan menuju kamar mandi. “Panggilkan Seulgi. Aku ingin segera mandi.” Lalu tubuh itu menghilang di balik pintu.

~~~

Malam telah hinggap di kota Seoul. Suasana kota semakin menjadi riuh. Jalanan menjadi semakin macet dan lampu kerlap-kerlip gedung pencakar langit menjadi pemandangan yang indah di sudut kota itu. Ny. Park dan Jiyeon masih menunggu di ruang kedatangan penerbangan internasional bandara Incheon.

Senyum mereka langsung merekah kala seorang gadis dengan mantel tebal yang membalut tubuhnya nampak keluar sambil menjinjing koper miliknya.

“Eomma,” Si gadis dengan surai kecoklatan itu langsung memeluk Ny. Park. Melepas sejenak rasa rindu yang membuncah setelah hampir 7 tahun mereka tak bersua. “Eomma, aku merindukanmu.”

“Ah, eomma juga merindukanmu, Sojin-ie,” Ny. Park melepas rangkulannya pada sang anak. Membuat Sojin beralih memeluk sang adik.

“Aigoo, lihatlah, Jiyeon kita sudah besar rupanya,” Sojin langsung mengelus surai panjang sang adik. “Hei, apa yang kau lakukan pada wajahmu? Apa kau operasi hidung lagi?”

“Ommo, apa itu nampak jelas? Eonnie, apa hidungku terlihat tidak alami?” Jiyeon langsung memegang hidung bangirnya.

Tak ayal ekspresi kagetnya itu membuat Sojin terkekeh, “Tidak. Tidak. Eonnie hanya bercanda. Beberapa bulan yang lalu eomma menceritakan masalah operasi hidungmu, makanya eonnie tahu. Kau tetap cantik kok.”

“Ah, eonnie, berhenti menggodaku!” Jiyeon langsung merengut kesal.

“Sudah-sudah. Sekarang lebih baik kita kembali ke mobil,” Ny. Park berusaha menengahi kedua putrinya. “Sojin-ie, kau pasti rindu masakan Korea ‘kan. Ayo, kita singgah di restoran langganan kita.”

Mereka pun berjalan beriringan menuju mobil. Sudah hampir 7 tahun Sojin meninggalkan kota kelahirannya itu. Sejak lulus SMA, Sojin memutuskan untuk meneruskan pendidikannya di Amerika. Ia mengambil kuliah jurusan desain. Setelah lulus, Sojin diterima bekerja di sebuah perusahaan fashion yang cukup ternama di sana. Belakangan Sojin telah memutuskan untuk resign dari pekerjaannya dan kembali Seoul. Rencananya akan membuka butik sendiri dan fokus pada masalah keluarganya.

“Eomma, apa semuanya berjalan lancar?” Suara Sojin memecah keheningan di dalam mobil.

Mereka sengaja tak membawa supir agar mereka bertiga bisa leluasa mengobrol.

“Sejauh ini semuanya berjalan dengan lancar,” Seulas senyum tercipta di wajah renta itu.

“Baguslah. Setidaknya aku tidak sia-sia membayar orang-orang itu untuk membobol brangkas perusahaan dan memalsukan tanda tangan ayah,” Sojin melemparkan tatapannya pada pemandangan malam kota Seoul yang menakjubkan.

“Woah, eonnie memang benar-benar hebat. Aku bahkan tidak menyangka jika skenarionya akan jadi sehebat ini,” Jiyeon yang duduk di balik setir ikut bicara.

Sojin semakin memperlebar senyumnya, “Tentu saja. Aku telah merencanakan ini semua dengan matang. Aku sudah mempersiapkannya dari jauh-jauh hari. Bagaimana pun juga kita harus menyingkirkan si buta kurang ajar itu lalu kita rebut kembali harga diri kita.”

~~~

Jiyong tiba di apartemennya tepat pada pukul dua dini hari. Ia langsung mengempaskan tubuhnya ke sofa, membiarkan badannya beristirahat sejenak dari segala aktivitas melelahkan yang baru saja ia lakukan.

“Ah, aku bahkan pulang lebih awal hari ini.”

Jiyong memijat-mijat pelipisnya pelan. Ia baru saja menuntaskan pekerjaannya malam ini. Seorang gadis muda yang mengaku sebagai pegawai bank behasil ia pikat. Ia sempat memberi pelayanan selama beberapa jam sebelum akhirnya pergi meninggalkan si gadis dalam keadaan terlelap. Tak apa, toh ia sudah meninggalkan memo berisi nomor rekeningnya. Gadis itu tinggal mentransfer bayarannya malam ini saja.

Jiyong memejamkan matanya cukup lama. Ah, ia benci dengan situasi seperti ini. Di saat ia sedang sendirian dan berada dalam ruangan yang sepi. Orang-orang bilang pada situasi seperti itu, manusia akan lebih mudah bernostalgia dan fakta itu terjadi dalam kasus Jiyong. Pelan-pelan laci memorinya terbuka. Jika biasanya yang akan terbuka adalah laci kenangannya bersama ibu atau ayahnya, maka kali ini giliran laci lain yang terbuka.

8 tahun yang lalu…

 

 

Untuk pertama kalinya dalam kehidupan seorang Kwon Jiyong, ia merasa tertarik akan sesuatu. Anggap saja jika Jiyong hanyalah seorang siswa tingkat tiga yang biasa-biasa saja. Kemampuan akademiknya standar dan  ia juga tak terlalu populer di sekolahnya. Satu-satunya hal yang bisa ia banggakan hanyalah kemampuan olahraganya yang mumpuni. Ia suka sekali bermain basket, namun sayangnya sekolah mereka tak membuka kegiatan ekstrakulikuler untuk olahraga yang satu itu.

 

 

“Jiyong, kau tidak ke aula?”

 

 

Saat itu adalah hari pertama masuk di semester akhir masa SMA-nya. Salah satu murid menghampiri Jiyong yang tengah tidur-tiduran di kursinya.

 

 

“Tidak. Aku malas.”

 

 

Jiyong menyahut seadanya, bahkan ia sama sekali tak mau mengangkat kepalanya.

 

 

“Hei, kau tidak mau daftar kegiatan ekstrakulikuler? Kudengar semester ini semua siswa wajib mengikuti setidaknya satu macam kegiatan ekstrakulikuler.”

 

 

Jiyong buru-buru mengangkat kepalanya, “Benarkah? Apa tahun ini ekstrakulikuler basket sudah dibuka?”

 

 

“Ummm-sepertinya tidak.”

 

 

Jiyong menghela napas panjang. Semangatnya kembali padam dan kepalanya kembali menelungkup di atas meja.

 

 

“Hei, Kwon Jiyong, apa kau hanya tertarik pada basket? Kenapa kau tidak mencoba kegiatan yang lain? Ikut saja dengan klub sepak bola atau klub voli.”

 

 

“Jangan bercanda. Apa kau ingin melihatku bermain sepak bola atau voli dengan cara men-dribble?” Jiyong menatap teman sebangkunya itu dengan tajam.

 

 

“Ah, baiklah. Terserah kau saja. Yang penting aku sudah menyarankan semuanya padamu. Aku mau pergi dulu.”

 

 

Pemuda dengan surai ikal itu sudah siap meninggalkan kelas, namun Jiyong menarik tangannya sebentar.

 

 

“Tunggu dulu. Omong-omong kau mau ikut kegiatan apa?” Jiyong melempar tatapan curiga pada temannya itu. Bukannya apa, tapi setahunya bocah itu sama sekali tak memiliki bakat dalam bidang apapun.

 

 

“Entahlah. Aku tak yakin, tapi sepertinya aku akan bergabung dalam klub lukis. Kudengar klub itu baru dibuka semester ini dan mungkin saja peminatnya sedikit. Terserah sajalah masuk klub mana, yang penting kolom nilaiku bisa terisi. Sudahlah, aku pergi dulu.”

 

 

Akhirnya bocah itu benar-benar meninggalkan Jiyong sendirian.

 

 

“Klub lukis? Ah, apa gunanya membuat klub semacam itu? Siapa juga orang yang mau bergabung dengan klub seperti itu? Buang-buang waktu saja.” Jiyong kembali membaringkan kepalanya di atas meja.

 

 

Namun nampaknya Jiyong harus menjilat ludahnya sendiri. Pasalnya, kini ia justru berdiri di depan meja pendaftaran klub lukis. Dengan senyum bodohnya, ia mengantri untuk bisa mendaftarkan diri dalam klub tersebut.

 

 

“Namaku Park Sojin. Aku siswa kelas sebelah. Kulihat kau tadi tertidur. Maaf mengganggu, aku hanya ingin memberikanmu ini.”

 

 

Si gadis dengan kunciran kuda itu memberikan Jiyong –yang masih kehilangan setengah nyawanya karena dibangunkan secara mendadak- sebuah brosur.

 

 

“Itu brosur promosi kegiatan ekstrakulikuler klub lukis. Jika kau berminat, silahkan bergabung. Kami akan merekrut banyak peserta tahun ini.”

 

 

Dan seulas senyum yang mengembang itu cukup untuk membuat detak jantung Jiyong berdetak abnormal. Jadi, kalian mengerti ‘kan kenapa tiba-tiba Jiyong bisa berdiri di antara barisan orang-orang yang ingin mendaftar masuk klub lukis. Alasannya hanya karena satu orang gadis. Park Sojin.

Jiyong merogoh saku celananya perlahan, mengeluarkan ponsel pintarnya. Diusapnya layar ponsel itu lalu muncullah sebuah potret seorang gadis dengan senyum yang begitu manis. Tanpa sadar Jiyong mengulum senyumnya sendiri.

“Sojin-ah, aku merindukanmu.”

~~~

Suasana pagi di kediaman keluarga Park berjalan normal seperti biasanya. Para pelayan sibuk melakukan tugas masing-masing. Ada yang membersihkan rumah, menyiapkan sarapan, ada juga yang sekedar mondar-mandir untuk bisa mengecek keadaan di sekeliling rumah mewah itu. Seorang pelayan muda –usianya mungkin masih dua puluhan- melangkahkan kakinya dengan kesal. Sesekali mulutnya berdecak, menggumamkan kata-kata kasar yang terdengar tak jelas saking ia menahan kesal.

“Jinsoo-ya, ada apa?” Salah satu pelayan lain –yang nampak masih muda juga- menghampiri gadis itu.

Pelayan muda itu langsung melirik rekan seperjuangannya itu dengan tajam, “Menurutmu si nona muda itu lahir dari rahim manusia atau beruang kutub?”

“Oh? Apa?” Si lawan bicara jadi tambah heran.

“Aku berbicara tentang Nona Dara. Ah, aku kesal sekali sekarang. Kupikir ia itu bukan lahir dari rahim manusia, tapi dari rahim beruang kutub. Dia dingin sekali. Ucapannya pedas dan ketus. Kau pikir apa ada manusia seperti dia di muka bumi ini? Tidak punya hati nurani dan selalu menganggap dirinya yang paling benar,” Gadis itu semakin membara kemarahannya.

“Hei, Sun Jinsoo, kecilkan suaramu! Bisa gawat ‘kan jika ada yang dengar. Kau mau dipecat?” Yang lain berusaha menenangkan.

“Biar saja. Dipecat pun tak apa karena kurasa ini memang sudah keterlaluan,” Disekanya anak rambutnya yang keluar dari sanggulnya. Mungkin saking kesalnya ia tak sadar jika sanggul rambutnya sudah tak rapi lagi. “Coba kau bayangkan, aku hanya pergi ke kamarnya untuk mengambil pakaian kotor lalu Nona Dara keluar dari kamar mandi dengan keadaan setengah basah. Tiba-tiba ia menyuruhku mengambilkan beberapa pakaian lalu setelah kuambilkan ia bertanya ‘hey, kau Kang Seulgi ‘kan?’. Kujawab saja jika aku bukan Kang Seulgi. Kau tahu apa yang dilakukannya kemudian? Ia marah-marah, memakiku dan menyuruhku agar tak lagi masuk ke kamarnya. Astaga, memangnya salah ya aku masuk kamarnya? Aku ‘kan hanya melakukan tugasku untuk mengambil pakaian kotor dan juga—hey, kenapa sih dia selalu menginginkan Kang Seulgi. Memang apa istimewanya si Seulgi itu? Apa dia anak emasnya Nona Dara?”

“Apa kalian sedang membicarakanku?”

Suara itu tiba-tiba muncul dari arah belakang mereka. Buru-buru kedua pelayan itu menoleh dan menemukan sesosok gadis dengan surai legam berdiri di belakang mereka.

“Tidak. Tidak. Kami tidak sedang membicarakanmu. Iya ‘kan, Jinsoo?”

“Kami memang sedang membicarakanmu, lalu kau mau apa?”

“Jinsoo-ya!”

Seulgi menyunggingkan seulas senyum, seperti biasa ia memang selalu terlihat ramah setiap harinya.

“Aku takkan marah jika kalian membicarakanku. Bahkan jika kalian memakiku sekalipun. Aku hanya ingin bilang, sebaiknya kalian tidak mengutuk Nona Dara seperti itu—“ Seulgi menatap kedua pelayan muda itu dengan tatapan lembut. “—karena kalian takkan pernah tahu betapa banyak hal berat yang ia lalui selama ini.”

Salah satu pelayan yang nampak tak takut dengan Seulgi tadi terkekeh pelan, “Lucu sekali. Hei, Kang Seulgi, apa kau pikir hebat? Memangnya siapa kau di sini? Apa kau juga majikan kami? Sadarlah, kau itu sama seperti kami. Sama-sama bekerja sebagai pelayan. Jangan besar kepala hanya karena kau bisa jadi pelayan pribadi Nona Dara. Menyebalkan!”

“Ah, Jinsoo-ya, lebih baik kita pergi. Kudengar pekerjaan di dapur masih banyak. Ayo.”

Lalu kedua pelayan itu langsung berlalu, meninggalkan Seulgi sendirian. Seulgi pun langsung menyeret langkahnya menuju kamar Dara. Ada sedikit perasaan sedih saat dirinya mendengar kedua pelayan tadi mempergunjingkan Dara, terlebih lagi mereka terdengar memaki-maki majikannya itu. Seulgi tahu betul bagaimana sosok Dara yang sebenarnya. Di mata orang lain, mungkin Dara adalah sosok gadis yang ketus dan dingin, namun bagi Seulgi, Dara adalah sosok yang mengagumkan. Dengan segala keterbatasannya, Dara mampu berjuang sendiri dan tidak ingin dikasihani oleh siapapun. Belum lagi Seulgi memang tahu jika keluarga tiri Dara memiliki rencana jahat untuk menyingkirkan gadis buta itu.

“Siapa itu?”

Suara ketus Dara menyambut kedatangan Seulgi di kamarnya. Seulgi hanya tersenyum. Tidak seperti pelayan lain, ketusnya nada bicara Dara itu tidak akan membuatnya tersinggung.

“Ini saya, Nona. Kang Seulgi,” Sahut Seulgi pelan.

“Ah, Seulgi-ya, cepat pilihkan pakaian untukku. Aku ingin ke luar hari ini,” Suruh Dara sambil kembali fokus mendandani wajahnya. Jika kalian bisa melihatnya, mungkin kalian akan takjub. Betapa gadis yang memiliki keterbatasan fisik seperti Dara bisa mendandani wajahnya sendiri menjadi cantik. Seulgi rasa, Dara telah hapal dengan setiap lekuk wajahnya.

“Maaf jika saya lancang, tapi bolehkah saya tahu Nona akan pergi kemana?”

Pertanyaan Seulgi itu membuat Dara berhenti memoles wajahnya dengan bedak. Jelas ia tak suka dengan pertanyaan semacam itu.

“Ummm—maksud saya bertanya bukan karena penasaran, tapi saya ingin mencocoknya dengan pakaian yang akan Nona pakai,” Seulgi berusaha meluruskan niatnya.

Dara mengembuskan napas panjang lalu menjawab, “Aku akan pergi jalan-jalan. Entah kemana. Yang jelas aku ingin refreshing.”

Kini Seulgi sudah berdiri di depan lemari besar yang menyimpan semua pakaian Dara, “Oh, jadi hanya jalan-jalan. Baiklah,” Tangan Seulgi mulai membuka lemari itu lalu ia memilih-milih beberapa pakaian yang mungkin cocok untuk Dara kenakan –meskipun faktanya semua pakaian akan selalu terlihat cocok di tubuh Dara- “Bagaimana dengan mini dress berwarna hijau tosca? Kudengar warna tosca sangat bagus dikenakan pada musim gugur seperti sekarang. Oh ya, lapisi dengan cardigan berwarna putih. Kudengar hari ini angin akan terus berembus. Cardigan ini bisa menghangatkan tubuh Nona.”

“Terserah kau saja,” Sahut Dara sekenanya.

Seulgi tersenyum puas. Ia tahu betul jika Dara tidak akan pernah menolak pilihannya karena gadis itu begitu mempercayainya.

“Apa riasanku terlalu tebal atau ada yang aneh?” Dara bertanya pada Seulgi setelah riasan wajahnya selesai.

Seulgi maju beberapa langkah, bergerak menuju meja rias Dara dan mengamati wajah cantik yang terpantul di cermin itu. Benar-benar menakjubkan. Meskipun buta, namun Dara bisa merias wajahnya dengan baik. Tidak ada kesan berlebihan atau kurang. Semuanya pas dan seperti biasa riasannya selalu nampak natural.

“Tidak, Nona. Riasan anda sudah sempurna.”

Seulgi lalu membantu Dara mengenakan pakaiannya. Biasanya setelah selesai bersiap-siap, Seulgi akan membawa Dara untuk sarapan di halaman belakang rumah mereka.

“Apa kau sudah dengar sesuatu?”

“Oh?” Seulgi menatap Dara dengan heran. Sungguh, ia tak paham dengan arti kata ‘sesuatu’ yang Dara maksud.

“Park Soojin… Dia sudah kembali ‘kan?” Dara berucap dengan sinis.

“Ah, iya, Nona. Saya dengar dia pulang tadi malam, tapi saya juga belum bertemu dengannya secara langsung.”

Seulas senyum tercipta di wajah Dara. Senyum yang nampak begitu dingin dan sinis.

“Kukira ia takkan berani untuk kembali lagi. Kurasa ia sudah dewasa sekarang. Seulgi-ya, kau sudah siapkan sarapan untukku ‘kan? Aku ingin segera sarapan sekarang.”

~~~

Park Sojin menikmati hari pertamanya kembali ke kediaman keluarga Park. Ada sedikit perasaan senang ketika ia tidur semalam. Bagaimana ia bisa merasakan kembali suasana rumah yang tak ia temukan selama ia berada di Amerika. Sojin melangkahkan kakinya pelan, menuruni anak tangga rumahnya menuju ruang makan. Di sana nampak sang Ibu dan adiknya sudah siap untuk menyantap sarapan mereka.

“Oh, eonnie,” Jiyeon menyambut kedatangan Sojin dengan riang.

“Kemarilah, Sojin-ah. Kita sarapan bersama,” Ajak Ny. Park.

Sojin mengedarkan pandangannya sejenak, mencari-cari sosok yang sebenarnya sudah sangat ingin ia temui sejak semalam.

“Sandara… dia tidak makan bersama kita?” Tanya Sojin pelan.

Jiyeon terkekeh pelan lalu meletakkan sendok makannya sebentar, “Sejak kapan dia pernah makan bersama di ruang makan? Eonnie, apa kau lupa? Dulu bahkan saat ayahnya masih hidup, ia tak mau makan bersama kita. Kau lupa?”

“Ah, sayang sekali. Padahal aku ingin segera menyapanya.”

“Kalau begitu temui dia di halaman belakang. Ia selalu makan di sana setiap hari,” Ny. Park menatap Sojin sekilas, seolah memberi isyarat agar putri sulungnya itu bisa memberi sedikit alarm peringatan bagi si anak tiri.

“Ide bagus. Aku akan ke sana,” Sojin mengulum senyumnya. Tentu ia paham betul akan isyarat sang ibu.

~~~

Seulgi masih sibuk menyiapkan hidangan untuk sarapan Dara. Dara tak biasa memakan makanan berat sarapan. Ia hanya akan memakan roti gandum dengan mentega dan segelas susu hangat. Seulgi hapal betul dengan kebiasaan Dara dank arena itu ia tak perlu repot-repot memasak untuk sarapan majikannya itu.

“Nona, sarapannya sudah siap. Silahkan dinikmati. Saya harus kembali ke dapur, setelah selesai Nona bisa menghubungi saya.”

Seulgi baru saja hendak undur diri, namun sepasang maniknya justru menangkap sosok lain yang baru saja keluar dari rumah. Park Sojin.

“Nona,” Seulgi memanggil Dara, membuat gadis yang baru saja akan memakan rotinya itu memasang wajah heran.

“Ada apa?”

“Nona Sojin… Dia datang kemari.”

Dara terdiam sejenak. Dilepaskannya roti yang semula ada digenggamannya. Ia berdehem pelan sebelum akhirnya menegakkan posisi duduknya.

“Apa perlu kutemani Nona di sini?” Tanya Seulgi. Tak dapat dipungkiri ia begitu mengkhawatir Dara saat ini.

“Tidak perlu. Kembalilah ke dapur. Jika ada sesuatu, aku akan segera memanggilmu.”

Seulgi menganggukkan kepalanya lalu segera berjalan meninggalkan pondokkan tempat Dara sarapan. Saat berpapasan dengan Sojin ia menundukkan badannya, memberi hormat kepada sang majikan yang baru saja kembali dari luar negeri itu. Sojin merajut langkahnya dengan mantap, menghampiri Dara yang sudah melemparkan tatapan sinis padanya.

“Dasar buta sialan!” Sojin mengumpat dalam hatinya.

“Halo, eonnieku tersayang~”

Suara Sojin terdengar begitu memuakkan, membuat Dara tersenyum tipis. Ingin rasanya Dara menyiram Sojin dengan susu hangat yang ada di mejanya saat ini.

“Apa kabarmu, eonnie? Kau sehat-sehat saja ‘kan selama aku pergi?”

Kini Sojin sudah mengempaskan tubuhnya di kursi yang berseberangan dengan kursi Dara. Seulas senyum sinis juga ia tunjukkan sekarang. Matanya menatap Dara bak seekor elang yang sedang mengincar mangsanya. Ia nampak begitu berani.

“Apa kehidupanmu menyenangkan? Setahuku kehidupan di Amerika sangat menyenangkan –yah meskipun aku sendiri belum pernah merasakan tinggal di sana selama bertahun-tahun,” Akhirnya Dara mengeluarkan suaranya.

Sojin terkekeh mendengar ucapan Dara. Jelas gadis itu tak pernah berubah sedikit pun –kendati mereka telah tak bersua selama bertahun-tahun. Dara masih tetap menjadi seorang gadis buta tangguh seperti yang Sojin kenal, “Kehidupan di sana tidak terlalu menyenangkan. Yah, bagaimana ya? Aku tinggal di sana sendirian. Setiap hari aku harus mengurus semuanya sendiri. Rasanya sangat membosankan dan aku juga kadang merasa kesepian. Aku sangat merindukan suasana rumah dan tentu saja aku juga sangat merindukanmu, EONNIE.”

Entah kenapa Dara bisa mendengar penekanan yang tak wajar saat Sojin memanggilnya dengan embel-embel ‘eonnie’. Jelas ada tersirat rasa benci di dalam ucapan Sojin barusan.

“Kita sudah tidak lama bertemu. Kupikir kau takkan kembali lagi kemari, tapi ternyata aku salah. Kurasa kau lebih percaya diri sekarang. Apa kau sudah berubah sekarang?”

“Ya, tentu saja. Kurasa semua orang akan berubah seiring berjalannya waktu. Bukankah kau juga berubah sekarang?”

“Tidak! Aku tidak berubah sedikit pun. Aku akan tetap terus seperti ini, melawan kalian dengan caraku sendiri,” Dara semakin memperlebar senyumnya –yang lebih terlihat seperti sebuah seringai- “Mulai sekarang, buatlah kepalamu lebih tegak, Park Sojin. Aku akan melawan kalian dengan cara yang lebih sadis dan akan kupastikan kau, juga adik dan ibumu untuk angkat kaki dari rumah ini.”

Sojin mengepalkan tangannya. Maniknya masih menatap wajah Dara penuh kebencian. Ya, Dara sukses membuat hati Sojin semakin terbakar ambisi. Nampaknya perang antara mereka akan terus berlanjut.

~~~

Soojung melangkahkan kakinya menelusuri lobi kantor yang panjang. Sesekali beberapa karyawan yang tak sengaja berpapasan dengannya memberi hormat dengan menundukkan badan mereka. Soojung memang punya posisi yang cukup tinggi di perusahaan itu –mengingat perintis perusahaan itu adalah sepupunya sendiri, maka dari itu semua karyawan begitu menyegani dirinya.

Soojung menghentikan langkahnya di depan pintu lift. Jemarinya menekan tombol di samping pintu lalu ia menunggu sebentar. Tak lama pintu lift terbuka dan ia segera masuk bersama beberapa karyawan lainnya. Tangannya baru saja akan menekan kembali tombol lift, namun suara seseorang menahannya.

“Tunggu dulu!”

Seorang pemuda dengan setelan jas rapi nampak menahan gerakan pintu lift dengan tangannya.

“Oh, Sekretaris Kim,” Beberapa karyawan wanita yang berada satu lift bersama Soojung memekik heboh.

“Ah, selamat pagi semuanya,” Pemuda itu –Jongin menyapa seluruh penghuni lift itu. Ia lalu masuk dan berdiri di samping Soojung. Melihat itu, Soojung langsung memundurkan dirinya. Ia lebih memilih berdiri di pojokkan daripada harus berdiri di samping pemuda itu.

Suasana di lift hening sejemang. Hanya terdengar suara bisik-bisik genit dari karyawan wanita yang berdiri di depan Soojung. Kalau ia tidak salah dengar, sepertinya mereka tengah membicarakan tentang Jongin. Apa Jongin itu artis atau idol? Apa mereka adalah fansnya? Ini semua tak dapat diterima oleh nalar Soojung.

“Sunbae-nim,” Seorang karyawan nampak maju dan berdiri di sebelah Jongin. Merasa namanya dipanggil, Jongin pun langsung menoleh lalu melemparkan senyuman yang begitu ramah pada gadis itu.

“Oh, ada apa?” Tanya Jongin pada gadis itu.

“Ah, aku hanya ingin menyapa Sunbae saja dan juga—“ Gadis itu nampak tersenyum malu-malu saat bicara dengan Jongin. “—Aku ingin mengajak sunbae makan siang. Apa sunbae tidak keberatan?”

“Makan siang?” Jongin mengerutkan keningnya sebentar.

“Ah, aku tidak memaksa jika memang sunbae sibuk atau tidak mau. Aku hanya—“

“Kedengarannya itu bagus,” Jongin langsung menyela ucapan gadis itu.

“Oh?”

“Berikan nomor ponselmu. Nanti siang akan kuhubungi. Tidak apa-apa ‘kan jika aku yang memilih tempatnya? Sebenarnya aku agak pemilih dalam hal makanan.” Jongin menyodorkan ponselnya pada gadis itu.

“Ah, tidak apa-apa, sunbae. Sungguh. Kau bersedia makan siang denganku saja, aku sudah senang,” Gadis itu buru-buru menyambar ponsel Jongin lalu menyimpan kontaknya di sana.

“Baiklah. Kalau begitu sampai bertemu nanti siang.”

Ting.

Tepat setelah itu pintu lift terbuka. Jongin segera keluar dari lift, begitu juga dengan Soojung. Saat keluar bahkan Soojung masih bisa mendengar teriakan heboh karyawan-karyawan genit yang tadi menggoda Jongin. Ah, bikin telinganya sakit saja.

“Kantor adalah tempat bekerja, bukan tempat kencan,” Gumam Soojung saat dirinya tak sengaja melintas meja kerja Jongin.

Jongin memutar kepalanya, mengedarkan pandangannya pada sekitar. Dilihatnya semua rekan kerjanya tengah sibuk dengan pekerjaan masing-masing.

“Apa kau sedang berbicara denganku, Manager Jung?” Jongin menatap Soojung dengan wajah (sok) polos.

Soojung mengembuskan napas dengan kasar lalu melemparkan tatapan super sinis padanya, “Kau pikir aku bicara dengan siapa? Dengan kursimu?” Soojung menunjuk pada kursi Jongin yang masih belum ia duduki.

Jongin tetap mempertahankan wajah (sok) polosnya lalu kembali menatap Soojung, “Kenapa kau bicara padaku?  Maksudku kenapa kau harus sebegitu pedulinya padaku?”

“Peduli padamu?” Soojung memicingkan matanya –tak senang dengan nada bicara Jongin yang kelewat percaya diri tadi. “Jangan bercanda, Sekretaris Kim. Aku hanya ingin menegurmu. Demi kredibilitas perusahaan, aku tak bisa membiarkan jika ada karyawan yang berani bermain-main di sini.”

“Ah, aku benar-benar tidak mengerti. Kenapa orang-orang zaman sekarang suka gengsi mengakui tindakan pedulinya pada orang lain?” Jongin mengempaskan tubuhnya dengan santai di kursi.

“Hei, sudah kubilang ‘kan kalau aku tidak—“ Soojung menghentikan kalimatnya kala ia sadar beberapa pasang mata karyawan lain sudah tertuju padanya. Mungkin mereka sedikit terganggu dengan obrolannya bersama Jongin. Soojung kembali mengembuskan napasnya. Bagaimana pun ia sedang berada di kantor sekarang. Ia harus bisa mengontrol emosinya. “Baiklah. Lupakan saja kata-kataku barusan. Silahkan kau bersenang-senang di kantor sesuka hatimu, tapi kau harus ingat satu hal. Jika pekerjaanmu tidak beres, akan kupastikan kau ditendang dari tempat ini.”

Soojung langsung menyeret langkahnya menuju ruangannya. Jongin hanya tersenyum tipis sambil menatap punggung gadis itu. Entah kenapa ia merasa lucu dengan kata-kata Soojung barusan.

“Jung Soojung, apa kau masih menyukaiku?”

~~~

Tepat pukul sembilan siang, Dara pergi meninggalkan rumah. Ia pergi bersama supir pribadinya. Dara tak pernah sama sekali menghabiskan waktu di rumah. Biasanya ia akan pergi ke kantor pada pagi hari lalu kembali pada malam hari, namun hari ini ia sama sekali tak berniat untuk pergi ke kantor. Toh, masih ada Soojung yang bisa meng-handle semua pekerjaannya untuk sementara.

Dara ingin mengistirahatkan tubuh serta pikirannya hari ini. Harus ia akui jika ia cukup lelah sekarang. Dengan segala macam prosesi pemakaman sang ayah, juga pembacaan surat warisan tambahan yang begitu mengejutkan. Sejujurnya ia tahu betul, jika surat warisan tambahan itu pasti adalah ulah dari keluarga tirinya. Ia bisa saja menggugat keabsahan surat itu, namun ia urungkan niatnya itu. Dara ingin menjadi seorang petarung yang sejati, yang menghadapi semua rintangan di depannya tanpa melewati jalan pintas. Jika keluarga tirinya ingin melawannya dengan cara itu, maka akan ia hadapi. Akan Dara buktikan jika dirinya tidak selemah yang mereka pikirkan.

“Nona, apa kita akan pergi ke kantor?”

Suara supir pribadi Dara membuyarkan lamunannya.

“Aku tidak akan pergi ke kantor hari ini.”

“Lalu kita akan kemana, Nona?”

Dara terdiam sejenak.

“Tolong bawa aku ke tempat biasa.”

Sang supir langsung menuruti perintah Dara. Ia sudah hapal betul tempat yang biasa Dara akan kunjungi jika ia memiliki waktu senggang. Sebuah toko burger yang ada di salah satu sudut kota. Toko itu bukan tempat yang biasa bagi Dara. Dara memiliki banyak kenangan bersama ibunya di sana.

“Nona, sudah sampai.” Sang supir menghentikan mobil mereka tepat di depan toko yang biasa Dara kunjungi.

Dara segera membuka pintu mobil. Supirnya langsung keluar dan membawakan tongkat untuk Dara.

“Kau tunggu di mobil saja. Aku akan masuk sendiri. Setelah memakan beberapa potong burger, aku akan kembali.”

Sang supir hanya menuruti semua permintaan Dara. Dibiarkannya Dara memasuki toko itu sendirian, sementara ia tetap mengawasi dari dalam mobil. Dara disambut oleh pegawai toko yang sudah hapal dengan kebiasannya. Setiap kali datang, Dara pasti akan memilih tempat duduk paling pojok dan memesan sepotong burger sosis.

“Ahjumma,” Dara memanggil pelayan yang baru saja menuntunnya ke kursi yang biasa ia tempati.

“Ya?” Ahjumma itu menatap Dara dengan heran.

“Bolehkah saya tahu dimana letak jendela? Saya ingin menikmati sinar matahari menerpa wajah saya langsung.”

“Ah, jendelanya ada disisi kiri, Nona. Biar saya bukakan jendelanya agar sinar mataharinya dapat masuk.”

Ahjumma itu langsung membukakan jendela yang ada di sisi kiri meja Dara. Sinar matahari langsung masuk dan menerpa wajah Dara. Dara memejamkan matanya, menikmati sinar matahari yang menerpa wajahnya. Ibunya pernah berkata bahwa sinar matahari pagi baik bagi pertumbuhan sel kulit wajah. Karena itu Dara begitu suka membuka jendela saat matahari pagi sedang bersinar.

“Eomma, aku sangat merindukanmu.”

Setetes likuid bening itu nyaris saja gugur dari mata Dara.

~~~

Sojin adalah dalang sebenarnya dari rencana surat warisan tambahan. Sosok gadis itulah yang memegang peranan penting dalam peta pertempuran di antara Dara dan keluarga tirinya. Di Amerika, Sojin memiliki banyak kenalan orang penting. Karena itu, ia dengan mudah dapat menemukan orang yang bisa membantunya dalam memanipulasi surat warisan dan membobol brankas perusahaan.

Soojin menikmati siang pertamanya di kota Seoul. Hari ini ia akan pergi menemui seseorang untuk melancarkan tahap selanjutnya dari rencana yang ia buta.

Ada yang bilang, jika hati seseorang yang telah lama membeku, takkan bisa dengan mudah dilelehkan. Seperti kebanyakan drama-drama yang kita tonton selama ini, yang paling berkuasa di dunia hanya ada dua, uang dan cinta. Dalam kasus Dara, Sojin yakin jika uang bukanlah hal yang dapat melelehkan hati dinginnya. Jadi, Sojin memilih cinta sebagai jalan untuk menjegal Dara. Ia telah mempersiapkan sebuah skenario hebat. Skenario yang takkan pernah bisa dibayangkan Dara seumur hidupnya.

Sojin langsung membelokkan setirnya saat ia sampai di tempat tujuannya. Sebuah hotel mewah bintang lima. Ia segera berjalan menuju resepsionis lalu menelpon seseorang.

“Seunghyun-ssi, ini aku. Park Sojin. Aku sudah sampai di Seoul dan sekarang berada di lobi hotel. Bisa aku mengetahui nomor kamarmu?”

“Ah ya. Tunggu saja aku di restoran hotel. Kebetulan aku akan segera turun untuk sarapan.”

Setelah itu, Sojin langsung mematikan ponselnya. Dilangkahkannya kakinya menuju lantai 4 –lantai dimana restoran hotel berada. Setelah agak lama menunggu, sosok yang Sojin tunggu datang. Pemuda dengan tubuh menjulang itu langsung mengempaskan tubuhnya di kursi yang berseberangan dengan Sojin.

“Kau mau makan?” Tanya lelaki itu sambil menelusuri buku menu yang ada di depannya.

“Tidak. Aku sudah sarapan di rumah,” Tolak Sojin.

“Kalau begitu akan kupesankan minuman saja.”

Setelah selesai memesan, Seunghyun langsung menatap Sojin dengan intens.

“Ada apa datang pagi-pagi kemari?” Tanya Seunghyun tanpa basa-basi.

Sojin berdehem, “Aku ingin membicarakan masalah tawaran pekerjaanku tempo hari. Kau bilang kau akan memikirkannya dulu. Apa kau sudah membuat keputusan?”

Seunghyun tersenyum tipis, “Ya, aku sudah membuat keputusan. Tawaran itu kuterima, tapi bukan aku yang akan mengerjakannya.”

“Apa?” Kedua alis Sojin langsung berjungkit.

“Aku tidak berani menerima pekerjaan yang terlalu beresiko seperti itu. Bukan aku yang akan mengerjakannya, tapi temanku,” Sahut Seunghyun membuat Sojin menatapnya tajam. “Tenang saja. Dia adalah teman baikku. Dia salah satu anak buahku.”

“Maksudmu dia gigolo? Apa kau sudah gila?”

“Memang orang seperti itulah yang harus kau pakai, Nona Sojin. Kau pikir manusia mana yang mau dibayar untuk melakukan kawin kontrak?”

Sojin mengembuskan napas kasar, “Kau gila.”

“Tenang saja. Aku mengenalnya dengan baik. Dia tipikal orang yang bisa dibeli dengan uang, namun cukup setia pada tuannya. Kujamin rencana kawin kontrakmu akan berhasil.”

“Terserah kau saja.” Sojin merotasi matanya.

Makanan pesanan Seunghyun datang. Sojin mengizinkan Seunghyun makan sebentar.

“Tapi ngomong-ngomong, aku penasaran. Apa alasanmu ingin melakukan kawin kontrak?” Tanya Seunghyun sambil mengunyah makanannya.

“Siapa? Aku?” Sojin terkekeh lalu meletakkan gelas minumnya ke meja. “Siapa bilang aku yang akan melakukan kawin kontrak itu?”

“Jika bukan dirimu, lalu siapa?”

Sojin semakin terkekeh dibuat Seunghyun, “Aku ingin menjebak kakak tiriku yang kurang ajar. Jadi, bukan aku yang menjalani kawin kontrak, tapi dia.”

Seunghyun terdiam sejenak. Ia bahkan sampai berhenti mengunyah daging yang ada di dalam mulutnya. Sial! Padahal semalam ia sudah mengirimkan foto Sojin pada Jiyong.

“Oh ya, Seunghyun-ssi, tolong aturkan pertemuanku dengan temanmu itu. Setidaknya aku harus melihatnya dulu. Kami harus membuat beberapa kesepakatan.”

~~~

Jiyong tak sadar jika semalaman dirinya terlelap di sofa. Berbaring di atas sofa sambil bernostalgia adalah hal terburuk yang sering ia lakukan. Biasanya jika sudah melakukan itu, ia pasti akan bangun kesiangan. Jiyong menatap jam digital yang bertengger di tembok rumahnya. Masih jam 8 pagi.

Jiyong merajut langkah gontai menuju dapur. Kerongkongannya terasa kering. Dibukanya pintu lemari es. Sial! Bahkan ia lupa mengisi persediaan air mineral di lemari esnya. Jiyong pun memutuskan untuk membersihkan diri sebelum pergi ke luar untuk membeli minum dan cemilan.

Jiyong menyodorkan semua barang belanjaannya ke depan kasir. Sambil menunggu si kasir menghitung, Jiyong memainkan ponselnya.

Kruyuk.

Tanpa sadar perut Jiyong berbunyi. Bahkan si penjaga kasir –yang adalah seorang wanita muda- langsung tertawa.

“Agassi, anda lapar ya?” Tanya si kasir itu pada Jiyong.

“Ah, iya. Sejak semalam aku belum makan,” Sahut Jiyong sambil menggaruk-garuk tengkuknya –sekedar untuk mengusir rasa malunya.

“Anda harus segera makan. Kebetulan banyak restoran yang ada di sekitar sini. Mungkin anda bisa mencobanya,” Ucap si kasir. “Semuanya 20.000 won. Terimakasih atas kedatangannya.”

Si penjaga kasir itu ada benarnya juga, pikir Jiyong. Karena itu setelah selesai berbelanja, Jiyong memutuskan untuk berkeliling sebentar, mencari-cari restoran mana yang kira-kira cocok untuk ia sambangi. Pilihannya jatuh pada salah satu toko burger yang ada di ujung jalan. Jiyong butuh makanan instan yang bisa mengganjal perutnya sementara. Toh, pulang nanti ia akan memasak sendiri.

Jiyong segera masuk ke dalam toko setelah selesai memarkir mobilnya. Beruntung memang, suasana toko itu tak terlalu ramai. Mungkin karena masih pagi jadi pengunjung yang datang baru satu orang saja. Jiyong menelusuri tempat itu sekilas sebelum akhirnya memilih tempat duduk paling pojok yang bersisian langsung dengan jendela.

“Selamat datang. Ingin pesan apa?” Ahjumma penjaga toko itu langsung menghampiri Jiyong. Disodorkannya buku menu pada pemuda itu.

“Umm—Fish burgernya satu porsi. Minumnya orange juice saja.”

Setelah selesai mencatat menu yang dipesan, ahjumma itu langsung pergi menuju dapurnya. Jiyong kembali mengedarkan pandangannya, mengamati seluruh dekorasi toko itu. Gaya bangunannya cukup kuno, mungkin karena toko ini sudah berdiri sejak lama. Saat sedang asyik melihat-lihat, tak sengaja manik Jiyong bersirobok dengan sepasang manik milik orang lain. Jiyong hampir saja melompat dari kursinya kala ia sadari jika sepasang manik itu tertuju padanya.

“Kenapa ia menatapku seperti itu? Apa ada yang aneh dengan wajahku?” Jiyong bertanya-tanya dalam hati. Dikeluarkannya ponselnya dari saku lalu ia membuka aplikasi mirror. Nihil. Tidak ada yang aneh dengan wajahnya. “Aku masih tampan kok. Jadi, kenapa ia menatapku seperti itu? jangan-jangan dia menyukaiku. Memang susah sih. Resiko orang ganteng.”

 

Tanpa sadar Jiyong cekikikan sendiri. Namun detik berikutnya senyumnya luntur begitu saja. Gadis cantik yang tadi menatapnya kini sudah sibuk menyantap burger pesanannya yang baru datang dan matanya menangkap sebuah objek yang membuatnya berdecak sebal. Sebuah tongkat besi.

“Ah, ternyata gadis ini buta. Jadi dia sedang tidak menatapku. Ah, Kwon Jiyong, kurasa kau harus sedikit mengurangi kadar PD-mu,” Jiyong meruntuki dirinya sendiri.

Tak lama pesanannya pun datang. Jiyong berniat untuk menyantap burgernya dengan cepat lalu segera meninggalkan toko itu, namun pandangannya kembali tertancap pada sosok gadis buta yang duduk di meja sebelah. Gadis itu nampak tengah mengoleskan saus ke burgernya. Yang membuat Jiyong sangsi adalah saus yang digunakan gadis itu adalah saus pedas –Jiyong tahu dari warna tutup botolnya. Gadis itu mengoleskan banyak sekali saus pedas itu ke burgernya. Mungkin karena ia buta, ia tak menyadari jika saus yang ia gunakan adalah saus pedas.

“Ah, dia bisa mati kepedasan kalau begitu,” Pikiran Jiyong kembali berkecamuk. Jiyong baru saja akan menghampiri gadis itu, namun ia urungkan niatnya saat tiba-tiba gadis itu menghempaskan dengan kasar botol saus yang ia gunakan ke meja.

Bruk

 Jiyong menelan ludahnya sendiri lalu kembali duduk di bangkunya. Nampaknya menghampiri gadis itu bukanlah solusi yang tepat untuk ia lakukan. Akhirnya ia hanya mengamati gadis itu dari kursinya. Gadis itu mulai memakan rotinya pelan-pelan.

“Dia pasti akan kepedasan.”

Jiyong mengamati gadis itu sambil menyantap burger pesanannya. Ia terhenyak saat tiba-tiba ia melihat mata gadis itu memerah. Gadis itu tidak terisak sama sekali namun bulir-bulir kecil air mulai menetes dari matanya.

 

 

“Apakah ia menangis karena kepedasan?”

Gadis itu nampak menyeka air mata yang membasahi pipinya, berharap tak ada satu pun orang yang sadar jika kini ia tengah menangis. Jiyong memegangi dadanya. Sesuatu yang aneh terjadi. Ia sama sekali tak mengenal gadis itu, namun melihat gadis itu menangis, ada sesuatu yang berdesir di dalam rongga dadanya.

“Ini gila. Kenapa aku jadi seperti ini?” Jiyong bergumam sendirian.

Lamunan Jiyong buyar seketika saat ponselnya tiba-tiba berdering. Gadis buta itu nampak kaget ketika menyadari ada seseorang yang berada di dekatnya. Jiyong buru-buru mengambil ponselnya, lalu berlari menuju pojok ruangan dan mengangkat teleponnya.

“Hyung, kau di mana?” Suara Seungri terdengar menggema di ujung sana.

“Aku sedang di luar. Ada apa menelepon pagi-pagi?” Tanya Jiyong sambil berdecak sebal.

“Aku sekarang ada di depan apartemenmu. Cepatlah kembali.”

Jiyong menghela napas panjang sambil memejamkan matanya. Masalah apa lagi ini? Kenapa juga Seungri mesti ke rumahnya pagi-pagi.

“Baiklah. Aku akan segera pulang. Tunggu aku sebentar.”

Jiyong buru-buru memutuskan sambungan telepon. Ia baru saja berniat kembali ke mejanya untuk mengambil kunci mobil, namun langkahnya terhenti saat ia sadar gadis buta tadi telah menghilang dari tempatnya.

“Kemana dia pergi?” Jiyong bertanya pada dirinya sendiri. “Ah, apa yang kulakukan sih? Untuk apa juga aku memikirkannya? Kenal juga tidak.” Jiyong buru-buru menyambar kunci mobilnya lalu bergegas menuju kasir untuk membayar makanannya.

=Chapter 1 : END=

 

 

Aloha reader-nim~

Hayoloh siapa yang di prolog ngira Mas Jiyong punya masa lalu sama Mbak Dara?

Sebenarnya tanganku udah gatel dari semalam pengen balasin satu-satu komen kalian, tapi sengaja di cancel soalnya biar pada kaget waktu baca chapter ini wuahahaahahaha /ketawa jahat /padahal readers juga gak kaget-kaget amat :”)

Jadi di chapter ini jelas ya kalo Mas Jiyong itu punya masa lalu bukan sama Mbak Dara tapi sama Mbak Sojin. Semacam first love di masa lampau gitu lah

But, gak menutup kemungkinan dong kalo dikemudian hari Mas Jiyong bakal berpaling hati ke Mbak Dara /kalo yang ini kayaknya wajib banget

Buat next chapter aku usahain posting secepatnya

Kalo gak lagi sibuk +  lagi rajin juga mungkin FF-nya bakal aku kirim sehari sekali. Biar hidupku tenang aja gitu, gak berasa punya hutang sama para readers-nim semua kekeekek~

Tetap tinggalkan jejak kalian guys, karena setiap komen yang kalian kirim itu adalah pemacu semangat buat aku nulis chapter selanjutnya

 

 

-salam cinta, Hana

 

49 thoughts on “SNEEUWWITJE [Chap. 1]

  1. pnsran gmna nanti reaksi ji oppa klo tau dia bkal kawon kontrak ma cewe buta yg udh d.temuin d.cafe ..
    asli aqu ketipu qrain ji oppa dpet foto dara unie ..eh mlah sojin ..

  2. Aku. Aku kira jiyong punya masa lalu sama dara… Eehh ternyata. Aku tertipu.
    Good job buat authornya…. Hehehe

    Woaahhhh…. Sojin bener2 licik abis .
    Dara jgn mau kalah.
    Kak author ayo dong bikin dara bisa melihat, ya. Puhlessss

  3. Bener bener ketipu deh😜 tapi bener juga sih kalo fotonya itu bukan dara. Tapi sayang deh kenapa harus sojin kan jiyong gk pantes sama yg jahat jahat wkwkwk😂😂 Alur ceritanya bikin aku penasaran. Fighting, author-nim!!

Leave a comment