기용취 – Giyongchi: Deuxième

giyongchi

~ Deuxième: Leur Durée de Vie ~

**

“Kau terlihat cantik,” kata suara seorang menyambut Dara di ruang tamu. “Seperti biasa,” lanjutnya, kemudian berdiri dan mengancingkan tuxedo yang dikenakannya.

Sekali lagi Dara melirik pantulan dirinya di cermin yang ada di ruang tengah. Gaun putih tanpa lengan dengan hiasan korsase sederhana yang panjangnya hanya sampai lutut. Rambut panjangnya dia biarkan terurai dan diberi kesan bergelombang. Wajahnya hanya berhiarkan make-up sederhana. Dan dia hanya mengenakan sebuah kalung sebagai aksesoris. Semuanya masih sama seperti semenit sebelumnya.

“Kau pun tidak buruk, terlihat tampan seperti biasa.” Balas Dara, menyunggingkan sebuah senyum simpul.

“Kau sudah siap?” tanya pria itu lagi, matanya mengalihkan pandangan dari Dara.

“Tentu saja.” jawab Dara, tanpa menunggu dia langsung mengaitkan lengannya di lengan pasangannya malam ini.

Tanpa banyak berbasa-basi lagi, keduanya berjalan keluar dari condominium yang ditinggali Dara, menuju ke lift. Mereka hanya memasang senyum tipis di wajah masing-masing dan menatap lurus ke depan. Tidak ada obrolan yang tercipta dan mereka sama-sama tidak mau repot untuk memecah kebisuan yang selalu tercipta jika mereka bersama.

Dara menganggukkan kepalanya singkat dan tersenyum kepada penjaga pintu di lobi utama gedung tempat tinggalnya. Sudah ada mobil yang menanti mereka di depan pintu masuk, sang supir langsung membukakan pintu melihat kedatangan mereka. Dara lebih dulu masuk ke dalam mobil disusul oleh pasangannya.

Keduanya diam sepanjang perjalanan hingga akhirnya mereka sampai di sebuah hotel berbintang. Keduanya sama-sama mendesah begitu sopir menginjak pedal rem dan mobil yang mereka tumpangi berhenti di depan lobi.

“Let’s the show begin.” Kata Dara setelah memejamkan matanya.

“I count on you, as always.” Balas pria di sampingnya.

“Oh, you don’t underestimate me, do you?” lirik Dara dengan senyuman di bibir.

“I would never dare to,” Dara terganggu dengan nada bicara yang digunakan, namun dia memilih untuk mengesampingkannya.

Pria itu keluar setelah sopir membukakan pintu untuknya, lalu berjalan memutar untuk membukakan pintu untuk Dara. Itu adalah aturan tak tertulis yang sudah mereka perankan sejak dulu.

Dara mendesah saat mengaitkan lengannya kepada pria itu, kemudian melirik sekilas. “Aku merasa dimanfaatkan, Tuan Lee.” Lirih namun tidak mendapat komentar apapun. Lagipula, dia tidak memang tidak mengharapkan balasan apa pun.

Segera kedua menegakkan badan dan memasang senyuman yang sudah sama-sama mereka kuasai jika berhadapan dengan kamera yang menyambut kedatangan mereka.

**

Dara menyesap isi sampanye dari gelas di tangannya. Senyum di bibirnya tidak luntur – dia sudah terlatih dalam hal ini. She wasn’t the best actress for nothing.

“Aku sudah melihat film terbarumu, Sandara-ssi. Dan harus kuakui kau sama sekali tidak kehilangan sentuhanmu.” Eunsang Kim, istri seorang anggota parlemen yang wajahnya sering muncul di televisi dan seorang sosialita. Dulu Eunsang adalah seorang model, namun menghentikan aktivitas modelingnya begitu menikahi sang senator yang sepuluh tahun lebih tua darinya.

Dara mengucapkan terima kasih dan mengatupkan bibirnya rapat, rahangnya mengeras – efek yang selalu terjadi setiap kali mendengar orang menyebutnya sebagai Sandara. Bukannya dia tidak menyukai namanya, namun bisa dibilang tiga suku kata itu mengingatkannya akan suatu kenangan.

“Jadi, kudengar Tuan Lee akan maju menjadi senator dalam pemilihan tahun depan?”

Pertanyaan Eunsang sedikit mengagetkan Dara. Namun dengan cepat wanita itu mengendalikan ekspresi wajahnya dan memamerkan sebuah senyuman.

“Itu masih belum sepenuhnya diputuskan,” jawab Dara diplomatis. Dalam hati dia mengutuk karena tidak diberitahu lebih awal mengenai hal ini. “Lagipula aku sendiri kurang begitu tertarik dengan politik, jadi lihat saja nanti. Lalu, apakah Senator Kim akan kembali maju di pemilihan mendatang?” dengan lincah dia mengalihkan subyek.

Beberapa saat kedua wanita itu larut dalam pembicaraan mengenai pemilihan umum tahun depan – err, lima bulan lagi lebih tepatnya. Sampai akhirnya Eunsang tiba-tiba memutar topik percakapan mereka jauh-jauh dari urusan politik.

“Aku sangat yakin, aku bisa menyebutkan semua gaun yang dikenakan oleh setiap wanita di sini – tapi aku sama sekali tidak ingat pernah melihat rancangan gaun yang kau kenakan, maaf…” kata Eunsang menatap lekat Dara dari atas sampai bawah. “Potongannya sederhana, tapi justru terlihat spesial. Seperti… ini sengaja dirancang untukmu, dan sekali lihat saja gaunmu ini bukan gaun sembarangan.” Jelasnya, kemudian buru-buru menambahkan. “Sekali lagi maafkan aku, aku tidak bisa menahan rasa penasaran.” Akunya.

Dara hanya mengangguk singkat dan tersenyum maklum. Reaksi Eunsang barusan bukan yang pertama kalinya dia terima. “Tidak masalah, seorang menghadiahkannya untukku.” Jawabnya singkat.

“Aku mengerti.” Balas Eunsang. Kemudian tiba-tiba matanya menyipit. “Astaga, Demi Tuhan!” dia berseru saat matanya menangkap sesuatu, pandangannya tertuju pada korsase yang tersemat di dada Dara. “Jangan katakan ini adalah rancangan Giyongchi!”

Dara tidak bisa menutupi ekspresi kekagetan di wajahnya mendengar Eunsang berseru demikian. Reaksi Eunsang yang terakhir ini termasuk yang jarang dia terima.

“Eunsang-ssi…” bisik Dara, merasa malu saat menyadari mereka mulai menjadi pusat perhatian di sana.

“Mianhe, mianhe… tapi aku adalah penggemar Giyongchi. Ya Tuhan, apakah ini salah satu rancangan spesialnya seperti rumor yang beredar itu? Bagaimana kau bisa mendapatkannya? Apakah kalian berdua adalah kenalan akrab? Harusnya aku menyadari logo Giyongchi itu dari awal… Demi Tuhan, itu bukan motif biasa untuk sebuah renda! Dan pria itu benar-benar cerdas untuk menggunakan renda bermotif logonya dan menjadikannya sebuah korsase…”

Dara hanya bisa mengusap keningnya pasrah dengan antusiasme Eunsang yang sepertinya tidak berujung. Dia baru bisa mendesah lega saat pembawa acara mengumumkan agar mereka segera menempati meja masing-masing.

“Selalu menjadi pusat perhatian, aku mengerti.”

Dara melirik tajam pada pria di sebelahnya yang langsung memberikan komentar begitu dia duduk.

“Kau tidak perlu membawaku jika kau tidak bersedia aku menjadi pusat perhatian, Tuan Lee. Ah, dan aku ingat… kau sama sekali tidak memberitahuku soal pencalonan dan terima kasih untukmu, karena aku terlihat seperti orang bodoh.” Balas Dara sengit dalam desisan.

“Dara-ah,

“Kau yang meminta hal ini, dan setidaknya aku sudah mencoba memainkan peranku sebagai seorang istri di mata publik sebaik mungkin. Semuanya tinggal tergantung padamu, Donghae…”

**

“Ji… Ji…”

Jiyong merasa mendengar namanya dipanggil dari kejauhan. Akan tetapi kelopak matanya terasa terlalu berat.

“Jiyong…”

Kembali terdengar sebuah suara memanggilnya. Namun dia masih sangat mengantuk. Dia perlu tidur. Seorang Kwon Jiyong tidak butuh matanya berubah seperti mata panda!

“Kwon Jiyong!”

Jiyong langsung melompat dari posisinya, kaget mendengar teriakan yang langsung di telinganya. Pikirannya berusaha mencerna keberadaannya sekarang, dan saat matanya menangkap kursi-kursi yang telah kosong dan beberapa pasang mata menatapnya dengan tatapan geli sekaligus meminta maaf, dia ingat. Pandangannya beralih pada manusia yang bertanggung jawab atas rasa malu yang dirasakannya sekarang. Siapa lagi kalau bukan Choi Seunghyun?

“Hyung!” desis Jiyong kesal, melemparkan tatapan tajam pada Seunghyun. Bibirnya mengerucut.

“Apa kau sudah selesai dengan bermain-main di alam mimpimu? Karena kalau sudah kita harus segera turun, pesawat kita sudah mendarat.” Balas Seunghyun tak kalah kesal. Sudah sepuluh menit sejak pesawat yang mereka tumpangi mendarat, dan kini tinggal merekalah penumpang yang tersisa serta beberapa pramugari.

Mendengar kata-kata mendarat, wajah Jiyong yang semula kesal dengan bibir mengerucut maju langsung berubah sumringah. Senyuman lebar tersungging di bibirnya, mengancam akan merobek mukanya secara horisontal.

“Kita sudah mendarat? Chincha?” matanya berkedip-kedip cepat. Rasa kantuk dan lelah yang melandanya mendadak sirna. “Kalau begitu, ayo kita turun. Kaja!” tanpa menunggu jawaban dari temannya, Jiyong langsung beranjak ke arah pintu keluar pesawat.

Seunghyun hanya bisa mendesah kesal melihat kelakuan bipolar Jiyong. Seperti sekarang, dirinya ditinggal begitu saja padahal tadi dia sudah berbaik hati untuk membangunkan Jiyong. “Tadinya kutinggal saja kau di pesawat!”

“Aku mendengarnya, Hyung!” seru Jiyong yang sudah lima meter berada di depannya.

Para pramugari yang masih berada dalam pesawat dan melihat mereka terkikik geli. Siapa sangka ini adalah hari keberuntungan mereka untuk bertemu dengan desainer kenamaan dan sekaligus seorang model tampan terkenal. Beberapa dari mereka bahkan tanpa malu-malu langsung meminta tanda tangan saat pesawat baru saja terbang dari Bandara Charles de Gaulle. Lupakan tentang etiket kerja jika bertemu dengan idola!

Jiyong dan Seunghyun tengah mengantri di bagian imigrasi saat seorang petugas keamanan datang menghampiri mereka.

“Maaf sebelumnya, Tuan Kwon, Tuan Choi, sebaiknya Anda berdua bersiap-siap karena banyak wartawan yang menunggu kedatangan Anda,” ucap sang petugas.

“Mwo? Wartawan?!” tanya Jiyong dan Seunghyun bersamaan.

“Neh.” Jawab petugas keamanan itu. “Maaf kami tidak bisa menahan mereka karena jumlah mereka yang terlalu banyak. Kami sendiri tidak tahu dari mana mereka mendapat kabar mengenai kedatangan Anda berdua.” Lapornya.

“Shit!”

“Sial!”

Baik Jiyong maupun Seunghyun sebenarnya mengharapkan kedatangan mereka tenang, tanpa ada pemburu berita. Namun jika dipikir lagi, kabar mengenai kepulangan Kwon Jiyong – sang desainer kebanggaan – ke tanah kelahiran sendiri saja telah membuat heboh. Maka penyambutan di bandara oleh wartawan bukanlah hal yang mustahil.

“Aisht, tahu begini kita tunggu saja sampai maintenance jet selesai.” Keluh Jiyong. Dia yang memutuskan untuk menggunakan penerbangan komersial karena pesawat pribadi miliknya harus menjalani perawatan rutin selama sebulan. “Ah, tapi itu terlalu lama!” tambahnya, seolah lebih berbicara kepada dirinya sendiri. Yah, Jiyong memang sudah tidak sabar untuk bisa segera kembali ke Korea.

Mendengarnya Seunghyun hanya menggeleng-gelengkan kepala dan menatap si petugas keamanan meminta maaf dengan matanya.

“Oh my God! Bagaimana ini!” Jiyong panik, membuat Seunghyun, petugas keamanan, dan beberapa petugas imigrasi menatapnya penuh tanya.

Jiyong tidak menyadari tatapan beberapa pasang mata yang tertuju padanya dan sibuk mencari sesuatu, namun kemudian dia sadar, dia tidak membawa apa pun selain paspor dan ponsel – semua barangnya masih berada di bagian pemeriksaan dengan sinar X. Akhirnya dia memanfaatkan ponselnya untuk memeriksa pantulan dirinya. Dan saat melihat sepasang mata kuyu berkantung balas menatapnya dari layar ponsel, kadar paniknya meningkat.

“Aduh! Aduh! Aku memiliki kantung mata! Dan bibirku terlihat kering! Aigoo, Hyung… di mana kacamata hitamku? Aku tidak mungkin keluar dalam keadaan begini. Kita harus ke toilet dulu! Aku tidak mungkin keluar dalam keadaan begini…” Jiyong semakin merutuk melihat pakaiannya yang sudah kusut, efek dari penerbangan mereka yang memakan waktu belasan jam.

Semua orang yang berada di sekitar Jiyong membelalakkan mata mendengar pernyataan dari sang desainer.

**

Sabtu pagi, Dara tengah sibuk di dapur menyiapkan sarapan. Suara-suara dari televisi mengisi latar. Belum selesai kegiatannya, terdengar bunyi interkom yang menandakan kedatangan seseorang. Dara yakin itu adalah Inna, manajernya.

“Dara-ah…” benar dugaannya, suara Inna terdengar dari interkom.

“Sebentar Unnie…” Dara kemudian menekan tombol untuk membukakan pintu. “Haru-ah, Inna Imo sudah datang!” serunya saat melewati ruang tengah untuk menyambut kedatangan manajernya.

“Neh…” jawab gadis kecil itu, tanpa mengalihkan perhatiannya dari layar televisi.

“Aigoo, anak ini…” Dara menggeleng-gelengkan kepalanya dan terus berjalan ke pintu depan. Inna sudah membuka pintu dan masuk saat Dara masih di pintu penghubung.

“Annyeong, Unnie…” sapa Dara, menyambut Inna yang membawa bungkusan besar di tangannya. “Aigoo, apa yang kau bawa, Unnie?”

Kedua wanita itu masuk beriringan dan langsung menuju ruang tengah, mencuri perhatian Haru dengan bungkusan besar yang dibawa Inna. Namun gadis kecil itu tidak berkata apa pun dan hanya memperhatikan Ibu dan Imo-nya melalui sudut matanya.

“Tadi penjaga gedungmu menitipkannya padaku karena tahu aku akan kemari. Kurasa aku tahu siapa pengirimnya.” Katanya melirik sekilas dari mana bingkisan itu dikirimkan. Paris. Dia kemudian meletakkan bingkisan itu di lantai.

Dara duduk di salah satu sofa. Bibirnya tersenyum.

Perhatian Haru teralihkan sepenuhnya, melihat Ibunya tersenyum, rasa penasaran bocah itu melejit. “Omma, itu untuk siapa?”

“Kemari, Sayang. Omma yakin kau pasti akan suka,”

Tanpa perlu diminta dua kali, Haru segera melompat turun dari sofa yang didudukinya dan menghampiri ibunya. Mata beningnya langsung melebar melihat bentuk yang sudah sangat dia hafal, bibirnya segera membentuk senyuman. Haru menatap Dara seolah mengkonfirmasi yang dijawab dengan anggukan.

“Kyaaa… Omma, cepat buka… cepat buka!” serunya girang.

Dara hanya menggeleng-gelengkan kepala melihat antusiasme putrinya dan membuka bingkisan perlahan-lahan, takut merusak bungkusnya.

“Kyaaaa…!” Haru kembali berteriak melihat apa yang ada di dalam kotak. Beberapa potong pakaian yang mereka bertiga tahu siapa pengirimnya. “Papa Jiji!” serunya riang memilih pakaian-pakaian yang diperuntukkan baginya.

Bingkisan paket itu berasal dari Paris, dikirimkan langsung oleh Giyongchi dengan ekspedisi kiriman paket khusus. Terbukti dari tidak terdapatnya kerutan tak perlu di bungkus luarnya.

“Omma, Papa Jiji membuat baju untukku!” seru Haru riang, mulai menjajal pakaian-pakaiannya satu per satu. “Lihat Omma, Papa Jiji ingat aku menyukai warna biru dan hijau.”

Dara tersenyum melihat kegirangan putrinya. Haru punya satu tempat khusus untuk ‘Papa Jiji’-nya. Satu tempat yang tidak mungkin bisa digantikan oleh orang lain. Siapa pun itu, bahkan oleh Donghae Lee.

“Wow, pria itu tidak pernah berhenti memanjakan kalian.” Komentar Inna.

Dara menoleh pada manajernya, masih tersenyum. “Iya,” katanya, senyumnya berubah getir. “Padahal kuharap dia bisa melanjutkan hidupnya dan bahagia.”

Inna memilih diam dan tidak berkomentar, kemudian duduk di sofa yang terletak di sisi kanan yang diduduki Dara. Sementara itu Haru masih sibuk menginspeksi isi kardus, mencoba menemukan pakaian untuknya yang lain.

“Aku membawa foto-foto hasil pemotretan minggu lalu. Demi Tuhan, aku tidak menyangka kau bisa tampak menggoda!” seru Inna, teringat pada tujuan utamanya datang ke mari. Dara selalu memastikan agar dirinya menerima cetakan pertama hasil pemotretannya – dia selalu ikut memiliki andil dalam memilih foto mana yang akan digunakan.

“Arasso, tapi sebaiknya kita sarapan dulu. Sebentar aku hanya tinggal menyiapkan meja.”

“Biar kubantu.”

Keduanya bangkit dan menuju ke ruang makan yang menjadi satu dengan dapur – hanya dipisahkan oleh meja counter.

Hubungan Dara dan Inna melebihi hubungan antara artis dan manajer yang umumnya terjadi. Inna sudah bersama Dara sejak wanita itu memulai karirnya di dunia entertainment. Inna menjadi saksi atas peristiwa-peristiwa terpenting yang menjadi titik balik kehidupan Dara. Keduanya bahkan sudah saling menganggap satu sama lain sebagai saudara.

“Haru-ah, Omma rasa kau lupa, kau tidak seharusnya menonton acara itu?” Dara mengingatkan putrinya. Telinganya menangkap pembawa acara berita infotainment.  Dia memberi kebebasan kepada Haru untuk menonton televisi pada hari libur, namun khusus untuk saluran anak-anak.

“Omma, ada Papa Jiji di tivi!” seru Haru, mengabaikan perkataan ibunya. Wajahnya bersinar melihat sosok yang dikenalnya – meski mengenakan topi dan kacamata hitam – dikerubungi oleh puluhan wartawan. Dia menoleh pada ibunya dan tangannya menunjuk ke arah televisi. “Papa Jiji kelihatan marah.” Lanjutnya berkomentar.

“…melihat kedatangan Jiyong Kwon yang tidak disangka-sangka ini, dugaan akan kabar bahwa Giyongchi…”

Dara menghentikan pekerjaannya dan matanya tertuju pada layar lebar yang terpasang di dinding. “Oh, Papa Jiji tidak marah, Sayang. Dia hanya kesal.” Balasnya sambil menggeleng-gelengkan kepala, merasa takjub karena sepertinya dia tahu apa yang menyebabkan Jiyong memasang wajah seperti itu.

**

**

~ To be Continue ~

sj logo giyongchi

<< Back  Next >>

33 thoughts on “기용취 – Giyongchi: Deuxième

  1. dara nikah sma donghae ,terus haru anak nya ji ,apa donghae ancam dara supaya nikah sma dara,atau ada kecelakaan sehingga dia memiliki haru?

  2. Haru anaknya Jiyong dan Dara? Terus Dara pura2 nika sama Donghae? Apa gimna? Apa wktu dara hamil jiyong pergi, atau gimana sih…wwk bikin penasaran seriuuuusss… lanjut baca dulu yaaa thor ….wkwkwkw menarik bangeeeet seriusan deh 😄😃😄😃😄😃

Leave a comment