[FESTIVAL_PARADE] THE ONE AND ONLY — 05

the-one-and-only-copy

THE ONE AND ONLY :: ANXIETY



Sandara cemas, meski belum ada keluh apa pun yang tersampaikan pada sahabatnya. Tak ingin membebani yang saat ini tengah merasakan senang.

Siang tadi, Dayoung mengajaknya berkunjung ke rumah bibi mereka dari pihak ibu, ada keperluan dengan Rohye, seorang keturunan Jepang teman Sanghyun, sepupu mereka. Rohye ini perlu bantuan Dayoung yang sudah tingkat akhir di jurusan arsitektur dan tengah bekerja magang di salah satu perusahaan konsultan untuk membuat perencanaan lansekap di rumahnya, sebagai kado untuk ulang tahun ibunya. Rencana pengerjaannya akan dimulai minggu depan setelah Dayoung menyelesaikan denah rancangan yang telah disetujui olehnya, juga kakaknya.

Bukan soal itu yang Sandara pusingkan, karena otaknya sama sekali tidak mengerti dengan apa yang mereka katakan. Yang ada di pikirannya saat ini adalah Jiyong.

Entah disebut sebagai permainan nasib, tapi Sandara melihat Jiyong mengantarkan Sora pulang. Ternyata rumah Sora tepat berada di ujung jalan dari rumah bibinya.

“Sora sakit dan aku dimintai tolong untuk mengantarkannya pulang sampai rumah karena takut terjadi apa-apa di jalan,” begitu alasan Jiyong tadi sewaktu Sandara menghampiri mereka. Tak tahu siapa yang meminta dan tak tahu kenapa harus Jiyong yang mengantarkannya, Sandara tidak mau bertanya.

Ada sedikit rasa cemburu yang menyisip dalam hatinya, rasanya sesak dan tidak nyaman.

“Bukannya itu tadi Jiyong?” tanya Dayoung setelah Jiyong pergi dan berjanji malam itu akan menelepon. Sandara masuk ke dalam rumah bibinya dengan perasaan campur aduk.

Sandara mengangguk membenarkan.

“Oh, kenapa dia bisa ada di sini?” pertanyaan Dayoung kali ini hanya dijawab Sandara dengan mengangkat bahu. Tak tahu jawaban apa yang harus diberikan.

Tak berselang lama, Sandara merengek minta pulang terlebih dahulu. Alasannya ada PR yang harus dikerjakan. Bibinya, Sanghyun, dan Rohye bingung. Tapi Dayoung mengerti dan menuruti permintaan Sandara tanpa banyak bertanya.

**

Malamnya, sesuai yang telah dijanjikan, Jiyong menelepon. Rupanya dia memiliki kemampuan untuk membaca pikiran Sandara meski dari jarak jauh. Walaupun Sandara berusaha menutupinya, karena dia tidak berani jujur bahwa dirinya takut untuk disandingkan dan dibandingkan dengan Sora.

“Tidak apa-apa, kenapa aku harus marah?” elaknya.

“Sandara…”

Sandara memotong apa pun yang akan diucapkan Jiyong, “Justru aku bangga, karena rasa empati Oppa sungguh besar,”

Jiyong ragu, namun memilih untuk percaya saja pada Sandara.

Selesainya menerima telepon dari Jiyong, ada satu pesan masuk dari nomor asing.

Jangan marah para Jiyong, ya? Dia hanya mengantarkanku pulang karena aku sakit dan kebetulan hanya dia yang rumahnya searah. Sora.

Pesan dari Sora. Sandara bingung. Otaknya percaya kepada mereka, tapi hatinya sudah terlanjur merasa resah. Apa yang harus dia lakukan sekarang?

Iya, Sunbae. Aku tidak marah, aku mengerti. Tenang saja. ^^

Besok paginya ada lingkaran hitam di sekeliling mata Sandara. Semalaman dia hanya bisa berguling ke kanan dan ke kiri tidak bisa tidur.

“Semalam aku begadang mengerjakan PR,” alasannya pada Jiyong yang datang menjemputnya di depan rumah. Dipaksakannya sebuat senyuman tersungging, dia hanya bisa berdoa agar senyumannya terlihat seperti biasanya.

**

Younha gerah melihat sepasang manusia yang disebutnya teman. Keduanya tidak terlahir kembar, tapi tingkah laku mereka melebihi anak kembar, Younha tahu hal ini karena dia memiliki sepupu kembar. Saat masuk kelas tadi, dia sudah mendapati Sandara dan Bom berwajah murung dan keduanya hanya menjawab semua pertanyaannya dengan desah. Younha kesal.

“Kalian ini kenapa?!” tanya Younha kesal, namun tidak mendapatkan jawaban yang diinginkan. Sandara dan Bom hanya menggelengkan kepala mereka tanpa semangat, sama sekali tidak ada niatan untuk menjawab pertanyaannya. Younha kian kesal.

Bom menghembuskan nafas panjang. Tangannya bergerak merogoh tasnya dan mengeluarkan sebuah novel yang baru dibelinya kemarin, masih rapi dalam bungkus plastik, sama sekali belum dibuka. Mata Younha berbinar cerah melihat novel yang disodorkan padanya. Mendadak dia melupakan dua orang manusia yang memilih untuk bermuram durja. Bukan urusannya.

“Sandara-ya…”

“Bommie…”

Keduanya memanggil bersamaan. Seolah dapat membaca apa yang akan selanjutnya masing-masing katakan, keduanya mengangguk bersamaan.

“Aku ke rumahmu ya?” pinta Bom.

Sandara mengangguk mengiyakan.

**

Hari ini, Sandara kembali pulang bersama Bom. Jiyong harus berlatih basket, wajib, begitu katanya. Karena Youngbae, sang ketua tim, sepakat dengan pelatih mereka dalam hal mempertahankan gelar juara. Sandara pasrah, jika kejadian hari kemarin berulang. Sora mendadak perlu diantar pulang dan Jiyong yang mengantarkannya. Biarlah.

“Seolah-olah yang pacarku itu adalah Wookie!” Bom berapi-api, menceritakan tentang acara double datenya weekend kemarin. Ternyata Daehee-lah kekasih Dongwook sekarang – Daehee sahabat Seunghyun, gadis yang tanpa sadar menjadi saingan Bom dalam memperebutkan perhatian Seunghyun. Betapa sempitnya dunia ini!

Hanya ada Sandara dan Bom di rumah Sandara. Kakak dan ayah Sandara belum pulang.

“Lalu, bagaimana Seunghyun? Memangnya dia tidak cemburu melihatnya?”

Bom mengangkat bahu, wajahnya kusut.

Sandara diam, tak tahu apa yang harus dikatakannya untuk menghibur sahabatnya, karena perasaannya sendiri sedang tidak tenang.

“Jadi, apa yang mau kau ceritakan padaku?” tagih Bom.

Sandara menarik nafas panjang. Mencoba menenangkan perasaannya yang campur aduk. Cerita mengalir begitu saja dari mulutnya, sama seperti Bom, wajahnya menyiratkan kegelisahan.

“Aku tak tahu harus bagaimana,” keluh Sandara mengakhiri ceritanya.

“Apa kau sudah mengatakannya pada Jiyong?”

“Entahlah, aku tidak tahu,”

Pintu terbuka dari luar, kepala Dayoung muncul dari balik pintu. Sandara dan Bom sama-sama tak ada yang menyadari bahwa mereka sudah tidak sendiri lagi.

“Dayoung Unnie, annyeong!” sapa Bom riang – dipaksakan.

“Annyeong, Bommie… apa yang sedang kalian bicarakan? Asyik sekali, sampai-sampai kalian berdua tidak ada yang menyadari kedatanganku,”

Sandara dan Bom kompak memamerkan senyuman, memasang wajah polos. Membuat Dayoung tertawa melihat mereka.

“Jangan bilang kalian membicarakan urusan cowok?” tebak Dayoung tepat sasaran. “Aisht, dasar… kalian ini masih kecil, lebih baik fokus belajar saja,” ucapnya, menjatuhkan tubuhnya di samping Sandara dan Bom di atas tempat tidur.

Kedua pasang sahabat hanya diam tak berkomentar, saling pandang. Obrolan bergeser ke masalah lain dengan kedatangan Dayoung.

“… bagaimana kalau kalian membantuku saja,”

Dayoung mengeluarkan gambar sketsa dari dalam tasnya. Sketsa kasar yang hanya digambar di lembaran kertas. Gambar sketsa rumah Rohye yang menjadi proyek terbaru Dayoung.

“Arsitek yang dulu merancang rumah ini sudah meninggal, makanya mereka mencari orang lain. Aku tidak tahu kenapa mereka tidak mencari arsitek yang sudah memiliki jam terbang, jadi jangan menanyakan tentang itu,” perkataan Dayoung memaksa Bom menutup mulut. “Tadi aku sudah berencana untuk berkonsultasi kepada profesorku, tapi beliau tidak masuk. Gayanya semi modern klasik…”

Pikiran Sandara dan Bom jadi tercurah dan keduanya berdebat. Antara air mancur atau kolam ikan. Menonjolkan gaya modern atau klasik. Natural atau modern art. Kayu atau batu. Tidak ada yang mau mengalah.

“Bikin jembatan di atas kolam,”

“Miniatur air terjun lengkap dengan kincir air,”

“Yah, yah! Kenapa kalian justru membuatku semakin bingung?!” protes Dayoung, langsung membungkam Sandara dan Bom. Mengurungkan usulan mereka yang sebenarnya masih segudang.

“Bagaimana kalau gabungkan semuanya saja,” akhirnya Sandara bersuara, meringis memamerkan giginya pada Dayoung setelah ketiganya diam cukup lama.



to be continue~



<< next next>>

13 thoughts on “[FESTIVAL_PARADE] THE ONE AND ONLY — 05

  1. Entah kenapa cepet banget obrolan yang awalnya tentang pacar masing masing beralih jadi bahas ttg bangunan gitu. Tapi emang merasa terhibur di bagian itu sih karena sempet sebel ama si sora.

Leave a comment