[Oneshoot] Songfic : With You

with you

 

Aku sudah memilih hitam, namun kau malah menambahkan putih dan menjadikannya abu-abu.. dillatiffa

~~~~~

Maukah kalian mendengarkan sebuah kisah?

Kisah seorang gadis bodoh yang dengan malu harus kuakui adalah diriku.

Ah, sebelumnya, perkenalkan namaku Park Sandara. Gadis biasa yang memiliki hobi membaca. Kalian boleh membawaku kemana pun selama aku diijinkan untuk membawa sesuatu untuk kubaca. Tahun ini usiaku memasuki 30 tahun. Tidak, tidak. Aku tidak berbohong pada kalian karena memang aku ini masih seorang gadis. Aku tidak pernah memiliki kedekatan secara serius dengan pria manapun.

Meski begitu, bukan berarti aku tidak pernah merasakan suka pada seorang pria. Tentu saja aku pernah mengalaminya. Mungkin sebagian dari kalian mengenalnya, mungkin juga tidak.. ah, baiklah… baiklah… akan kuberitahu kepada kalian siapa dia. Namanya adalah Kwon Jiyong. Nama yang indah, benar bukan? Dan senada dengan namanya, harus kuakui, secara fisik dia sanggup membuat semua pria iri dan semua wanita bertekuk lutut – aku termasuk didalamnya.

Perkenalanku dengannya dimulai sejak masa orientasi di bangku kuliah. Aku menasbihkan diriku menyukainya pada pandangan pertama – dan aku tidak salah sebut. AKU MENYUKAINYA. Rasaku padanya baru sampai dalam tahapan suka, belum sampai jatuh cinta.

Saat itu aku – yang sejak lahir mendapatkan anugrah berupa sifat ceroboh dan tidak sabaran yang sudah sangat akut, tanpa sengaja menabrak tiang yang jelas-jelas sudah berada disana jauh lebih dulu dibanding aku. Sebenarnya bukan tanpa sengaja, tapi lebih karena aku tidak memperhatikan jalan. Aku ini seorang yang cukup pemalu dan selalu berjalan dengan menundukkan kepala – yah, yah, kalian pasti sudah tahu kelanjutannya bagaimana. Aku menabrak tiang dan kemudian terpental sehingga membuat tubuhku kembali menabrak sesuatu – kali ini adalah orang.

Masih dengan kepala tertunduk, aku membungkukkan badan meminta maaf.

“Lain kali lebih berhati-hati,” katanya dengan suara yang memabukkan. Saat aku mendongak, kulihat punggungnya sudah menjauh. Aku tidak memiliki kesempatan untuk melihat wajahnya saat itu.

Namun ternyata takdir berkehendak lain. Pada saat aku akan masuk ke aula untuk mengikuti acara pembukaan orientasi, seseorang membantuku menahan pintu agar tetap terbuka sehingga aku bisa masuk. Dan aku rasa aku mengenali kemeja yang namja itu kenakan! Aku mendongak menatap wajahnya untuk berterima kasih, tapi dia lebih dulu bersuara..

“Setidaknya aku membantumu mencegah agar kau tidak kembali menabrak sesuatu.” Dia tersenyum geli.

Dugun. Dugun. Dugun.

Aku tersipu sambil membungkukkan badan mengucapkan terima kasih. Dia hanya tersenyum dan berjalan mendahuluiku. Aku terdiam ditempatku berdiri selama beberapa saat, masih merasa sangat tersentuh dengan kebaikan hatinya. Dan sejak saat itu, aku menaruh suka padanya.

Esok hari, aku mengetahui namanya adalah Kwon Jiyong. Dia adalah juga mahasiswa baru, sama sepertiku. Mengambil kelas musik seperti yang dikatakannya saat dia diminta maju untuk perkenalan. Dalam hati aku mencatat namanya baik-baik dan kupastikan tidak akan pernah kulupakan.

Kwon Jiyong menjadi pusat semestaku semasa kuliah. Setidaknya dalam sehari minimal aku harus melihat sekelebat sosoknya, atau aku tidak akan bisa berfungsi dengan baik. Aku akan selalu datang 10 menit sebelum kelas dimulai, agar aku bisa memilih tempat duduk paling belakang. Tujuanku jelas, agar aku bisa dengan puas memandangnya yang seringkali datang terlambat dan terpaksa menempati tempat duduk di barisan depan.

Tidak banyak interaksiku dengan Jiyong. Hanya menatap dari kejauhan dan saling melempar senyum, paling maksimal hanya bertegur sapa. Sesekali jika sedang beruntung, kami akan dipasangkan dalam satu kelompok tugas mata kuliah. Meski selanjutnya, kerugian tersendiri bagiku karena tidak bisa 100% berfungsi dengan baik.

Mungkin jika diingat-ingat lagi, dulu aku bisa disebut sebagai seorang penguntit. Sengaja berada disuatu tempat yang sudah kutahu dengan pasti akan didatangi Jiyong. Tapi, tak jarang juga tanpa sengaja kami bertemu dan berpapasan, kemudian dengan senyumnya yang khas itu dia menyapaku. Akan butuh waktu bagiku setidaknya setengah jam, sebelum aku bisa kembali berpikiran normal dikarenakan aku harus menormalkan debaran jantung dan rasa senang yang terlalu membuncah.

Sejak kecil, aku memiliki satu ketertarikan tersendiri pada topi. Dan karena Jiyong, obsesiku pada benda yang kini menjadi bagian dari dunia fashion itu semakin besar.

Suatu hari, kami duduk-duduk di taman samping bersama dengan beberapa teman yang lain, mendiskusikan tentang tugas kelas ansamble. Aku tidak punya dendam apapun pada taman, tapi sinar matahari langsung yang kuterima sangat menyengat – aku duduk menghadap sinar matahari; ditambah lagi angin yang terus-terusan berhembus membuat rambut yang kugerai menari-nari bebas – mengganggu. Dan kesalahan yang kuperbuat, aku melupakan karet rambut diatas meja belajar. Jadilah aku yang paling sibuk karena satu tanganku kugunakan untuk memegangi rambut dan tangan yang satunya menutupi mataku dari silau sinar matahari. Sudah kucoba untuk menggelung rambut dan menahannya dengan batang pensil, namun tetap saja sia-sia.

Sampai tak lama kemudian, kurasakan sesuatu menutupi kepalaku.

Aku mendongak dan melihat Jiyong tersenyum, tangannya sibuk merapikan letak topi di kepalaku. Seketika itu juga tubuhku kehilangan fungsi motorik dan panas semakin menjalar kebagian atas tubuhku. Aku sangat yakin wajahku semerah apel sekarang.

“Sebaiknya kita pindah ke ruang musik atau perpustakaan.” Kata salah seorang teman. Jiyong masih sibuk memasangkan topi di kepalaku dan aku masih tidak bisa bergerak menatapnya tanpa berkedip.

“Ya benar. Sebaiknya kita pindah, lihat muka Dara sudah sangat merah karena kepanasan.”

Pipiku semakin panas mendengar komentar Jiyong itu. Penyebab mukaku merah bukannya panas, tapi karena dirinya berada dalam jarak sangat dekat denganku. Dan kusadari, itu sangat tidak baik untuk kesehatan jantungku.

Kami akhirnya memutuskan untuk berpindah tempat, namun Jiyong tetap membiarkan topinya berada di kepalaku. Dan omong-omong, sampai sekarang topi itu masih ada padaku, aku selalu lupa untuk mengembalikannya dan dia juga lupa mengingatkanku.

**

Lamunanku terhenti oleh suara dering ponsel. Ponselku.

Kulihat identitas penelepon. Omma.

“Yoboseyo?” sapaku setelah menekan tombol jawab.

“Yoboseyo, Dara-ah,” suara omma terdengar olehku. “Kau jadi pulang kerumah?”

“Neh, tentu saja omma. Sekarang aku sedang bersiap-siap. Mungkin sore nanti aku sudah sampai rumah.” Jelasku sedikit berbohong. Sebenarnya aku sudah selesai bersiap, tapi kakiku malas beranjak dan justru terperangkap pada kenangan tentang masa kuliah.

“Baiklah, omma mengerti. Kau hati-hati di jalan, tidak perlu terburu-buru.” Kata omma mengingatkan sebelum akhirnya kami saling memutus sambungan.

Ah, Busan~! Aku merindukan kota itu. Harum angin laut yang menyapa tiap pagi… suara ombak yang menjadi teman dikala malam… hidangan laut yang tidak pernah habis…

Kapan terakhir kali aku pulang ke Busan? Tiga… ani, hampir empat tahun lamanya. Padahal jarak Seoul dan Busan bukannya tidak bisa ditempuh dalam sehari. Hanya saja aku malas pulang, karena pasti omma akan mencecarku tentang calon suami.

Ya, sejak aku menyelesaikan pendidikan profesionalku, omma tak hentinya menyebut-nyebut tentang aku sudah seharusnya memperkenalkan seorang namja sebagai calon suami. Kenyataan teman-teman sepermainan masa kecilku yang sudah banyak berumah tangga bahkan memiliki keturunan semakin membuat semangat omma menggebu untuk menuntutku. Bahkan kepulanganku kali juga karena berhubungan dengan pernikahan.

Ah~ I’m doomed! >.<

Aku tidak mungkin bisa mangkir, karena ini adalah pernikahan sahabatku sejak kecil yang sudah seperti saudara kembarku sendiri. Dan tentu saja, kesempatan lain bagi omma untuk semakin memburuku.

**

Perjalanan ke Busan kulakukan dengan menggunakan KTX, karena aku terlalu malas untuk menyetir jauh sampai kesana. Biar nanti Durami atau Sanghyun – keduanya adalah adikku, yang menjemput. Toh jauh lebih menghemat waktu.

Sepanjang perjalanan, aku tak hentinya menebar senyum. Mungkin orang yang melihat akan berpikir bahwa aku ini tidak waras, tapi biarlah. Ini karena aku sangat bahagia.

Mengesampingkan tentang omma yang sudah pasti tidak akan melepaskan kesempatan ini untuk semakin menuntutku mengenalkan seorang pria, aku sangat bahagia. Bahagia untuk Hyesunie – sahabatku yang akan menikah itu.

Usiaku dan Hyesun hanya terpaut bulan, dan kenyataan bahwa kami bertetangga membuat kami praktis tumbut besar bersama. Pra-sekolah sampai SMA kami selalu satu sekolah dan bahkan selalu satu kelas. Lebih dari separuh hidupku kuhabiskan bersamanya. Kami baru berpisah saat masuk kuliah, kami memang sama-sama bermigrasi ke Seoul, tapi kampus kami berbeda. Dan dengan kesibukan di masa kuliah, membuat intensitas pertemuan kami berkurang. Tapi meskipun begitu, komunikasi kami masih terjalin dengan baik.

Kenangan demi kenangan masa lalu dengan Hyesun kembali berputar dalam kepalaku. Sejauh yang bisa kuingat, Hyesun dan aku sudah bersama. Kami pernah menangis bersama dan sampai malam masih berada di taman saat anjing kecil Hyesun yang baru satu minggu dia terima dari pamannya hilang – melupakan bahwa aku ini takut pada anjing. Tidak jarang juga aku menginap di tempatnya, atau dia yang menginap di tempatku saat kami rasa kami harus mendiskusikan sesuatu secara serius – yang akhirnya malah berujung pada menggosip tentang beberapa teman sekelas.

Tanpa terasa, tiga jam perjalanku hampir berakhir, dan kini kereta sudah mulai melambat. Tak lama kereta berhenti dan aku pun keluar. Begitu tiba di pintu keluar, aku mengenali sosok Sanghyun diantara keramaian. Ah, maknae kami memang bisa diandalkan!

“Kenapa bawaanmu sedikit sekali noona, kau tidak membawakan oleh-oleh apapun untuk kami?” protesnya setelah kami berada di mobil dalam perjalanan dari stasiun menuju ke rumah.

Aku melirik padanya, bibirnya mengerucut kekanakan. Rupanya masih ada sisi manja dalam diri Sanghyun. Sejak ditinggal appa, jarang sekali dia menampakkan sisi manjanya – bahkan pada kami, nalarnya beranggapan bahwa dialah yang harus menjaga kami – omma, aku, dan Durami – karena dia adalah namja. Aku merindukan Sanghyun yang manja seperti sekarang.

“Hahaha, jangan khawatir, Hyunie. Mana mungkin noona melupakan kalian? Dan kau bilang dua buah koper itu sedikit?”

“Nah, aku dan Durami noona berpikir, setidaknya kau akan membawa lima koper!” dia terkekeh setelahnya, menyisakanku hanya bisa berkedip melongo menatapnya.

**

Aku memandang Hyesun yang tak hentinya menebar senyum. Cantik sekali dia dalam gaun pengantinnya yang berwarna putih. Upacara pernikahan telah selesai, dan kini sedang berlangsung resepsi di tempat yang sama.

Tak hentinya omma berbisik padaku betapa cantiknya Hyesun dan agar aku segera menyusul langkah sahabatku itu, dan menyodorkan beberapa nama yang sama sekali asing bagiku. Sejak aku tiba di rumah seminggu yang lalu, tak bosan-bosan omma menyebut-nyebut tentang mereka yang katanya tertarik padaku.

“Haejin bilang sendiri pada omma, dia ingin berkenalan setelah melihat fotomu,” Haejin ini adalah pemilik restoran yang setahun belakangan memasok ikan dari kedai omma. Oh, aku lupa bercerita bahwa omma adalah seorang pemilik kedai ikan; tidak terlalu besar, tapi setidaknya cukup untuk menyekolahkan kami bertiga sampai bangku kuliah.

“..dan kau ingat dengan Kim Minseok,” aku sama sekali tidak bisa mengingat bagaimana rupa orang bernama Kim Minseok ini, tapi urung kuucapkan pada omma karena tahu konsekuensinya. “..dia adalah teman SMA-mu. Beberapa kali dia datang membeli ikan ke kedai omma dan menanyakan kabarmu.” Menanyakan kabar bukan berarti tertarik padaku, keluhku dalam hati.

Mungkin aku ini terlalu pemilih. Aku selalu membandingkan semua pria yang mencoba mendekatiku dengan Jiyong – baik fisik, penampilan, maupun sikap. Dan pada akhirnya, aku akan meminta maaf dan mundur teratur. Katakan aku pengecut, tapi aku tidak siap menelan kekecewaan jika mereka tidak sesuai dengan ekspektasiku, dan tidak satu pun dari mereka bisa membuatku memandang mereka apa adanya.

Tiba-tiba kurasakan omma kembali mencolek sikuku. Saat ini kami sedang menikmati hidangan yang terus mengalir tanpa henti sembari menyaksikan mempelai pengantin berdansa. Aku sudah bersiap-siap mendengar celoteh lain omma, namun yang kudengar justru membuatku geleng-geleng kepala.

“Kadonya ketinggalan di mobil, kamu ambilkan, ya?” jangan salahkan aku jika aku ini ceroboh, itu sudah mendarah daging dalam keluarga kami.

Jelas aku akan memilih untuk kembali ke parkiran mobil dengan senang hati dibanding mendengarkan omelan omma yang lain. Tapi langkahku terhenti.

Sepuluh detik aku membeku di tempat. Sistemku mati mendadak.

Aku pasti salah lihat, begitu pikirku, dan berhasil memaksa tubuhku kembali bergerak.

**

Aku duduk sendirian di bangku taman hotel, mengasingkan diri dari keramaian di hall tempat resepsi pernikahan berlangsung. masih mencoba menenangkan diri. Seolah baru saja melihat hantu. Tapi bukan, bukan hantu yang kulihat. Melainkan Jiyong.

Tapi bagaimana mungkin? Aku mengenal sebagian besar tamu yang datang, dan aku tidak pernah tahu Hyesun atau suaminya mengenal Jiyong. Kami memiliki lingkungan pertemanan yang sama, dan tidak sekali pun mereka menyebut-nyebut mengenal seorang Kwon Jiyong manapun.

Pasti aku salah lihat.

Ya, itu jawabannya. Aku salah lihat.

Pasti karena aku terlalu merindukannya dan akhir-akhir ini sering memikirkan Jiyong, aku jadi salah melihat orang lain sebagai dirinya. Tapi bayangan pria berambut hitam yang mengenakan kaca mata dalam balutan kemeja putih dan jas hitam yang tadi kukira sebagai Jiyong masih tergambar jelas dalam anganku. Pernahkah kuberitahu bahwa aku selalu melihat pria berkaca mata itu seksi?

Dan harus kuakui, hanya memikirkan bahwa itu adalah Jiyong, dadaku bergemuruh hebat.

Aku berdiri diam, membeku di tempat. Sepuluh detik terlama dalam hidupku. Dan yang semakin otakku sulit bekerja, pria itu pun turut berhenti dan memandang lurus kearahku. Kami saling bertatapan satu sama lain, dengan hampir jarak tiga meter membentang.

Hingga akhirnya aku berhasil memaksa mataku mengalihkan pandangan serta kakiku melangkah. Jantungku berdebar keras saat tanpa sengaja harum parfum pria itu terhirup olehku ketika aku melewatinya.

Hubunganku dengan Jiyong dapat digolongkan kedalam jenis hubungan simbiosis komensalisme. Dimana aku membutuhkannya demi ketenangan batinku, sementara bagi Jiyong aku ini bukanlah apa-apa. Hal itu berlangsung selama bertahun-tahun, seperti sebuah lingkaran, tidak memiliki ujung.

Aku bisa tersenyum hanya karena dengan melihat sosoknya. Bahagia hanya karena berhasil menangkap suaranya. Tersipu malu hanya karena sebuah interaksi kecil yang kulakukan dengannya…

Sampai akhirnya aku sampai pada batasku.

Saat seseorang bernama Mizuhara Kiko muncul. Cantik, berani, tak mengenal kata ragu. Sangat berlawanan denganku yang lebih banyak ragu dan pemalu.

Dan seperti kisah klise dalam drama, gadis itu berhasil menarik perhatian Jiyong. Berbeda dengan gadis-gadis yang pernah dekat dengannya sebelumnya, Kiko ini berbeda. Aku tidak bisa menjelaskan dimana letak perbedannya, tapi sebagai seorang yang terus mengamati Jiyong, aku tahu dengan pasti.

Maka sejak kemunculan Kiko, aku menarik diri dalam keremangan. Aku masih disana, rasa sukaku pada Jiyong masih ada, tapi aku membatasi interaksiku dengan Jiyong. Hanya menatapnya dari jauh, Cuma itu satu-satunya yang sanggup dan boleh kulakukan. Hanya menatapnya dari jauh. Lagipula, bukan Jiyong yang harus bertanggung jawab pada patah hati yang kurasakan. Sejak awal, aku bukan siapa-siapa baginya, meski dia pusat semestaku saat itu.

Selama sisa masa perkuliahan, Jiyong masih tetap menjadi matahari bagiku mengorbit. Aku tidak punya daya untuk menentang takdir untuk keluar dari jalur lintasanku. Aku tidak siap untuk terbakar. Tidak akan pernah siap.

**

“Sandara?” sebuah suara membangunkanku dari kemelut batin yang kualami. Aku menoleh kearah sumber suara dan terperangah.

Jiyong… ani, pria berambut hitam yang mengenakan kaca mata dalam balutan kemeja putih dan jas hitam yang tadi kukira sebagai Jiyong…

Tunggu…

Apakah baru saja dia memanggilku Sandara?

Jadi…

“Jadi benar kau, kukira aku salah tadi.” Katanya sembari menempati tempat kosong di bangku dan duduk disebelahku.

“Ji-ji-yong-ssi?” aku tergagap. Aisht, memalukan! Kenapa aku harus sampai tergagap begini!

“Hei, ada apa dengan formalitas yang kau gunakan?” tanyanya ringan.

“Ah, mianhe..” aku akhirnya berhasil menguasai diri, masih menatapnya. Dari jarak dekat, dia terlihat jauh lebih tampan. Sangat-sangat jauh lebih tampan.

“Mianhe,” ulangku. “Aku kira tadi aku salah lihat.” Aku mengalihkan pandangan setelah merasakan panas di kedua pipiku – hal yang selalu terjadi setiap kali tatapan mataku bertemu dengan pria ini.

Old habit dies hard, uh?!

“Kupikir aku juga salah lihat, aku baru mau menyapamu tapi kau langsung pergi begitu saja tanpa menyapaku, jadi kupikir aku salah mengenalimu.” Katanya. “Jadi bagaimana kabarmu? Aku tidak pernah bertemu lagi denganmu setelah kita lulus.”

Butuh usaha yang sangat keras untuk menutup diri dari teman-teman kuliahku. Satu-satunya tindakan prefentif yang bisa kulakukan untuk menjaga hatiku.

“Baik, masih berusaha untuk membuktikan diri, tapi kurasa aku bisa bertahan. Bagaimana denganmu?”

“Baik, sangat baik.”

“Oh,” hanya itu tanggapan dariku.

Selanjutnya, diam diantara kami.

“Kulihat kau datang sendiri?” pertanyaannya tiba-tiba memecah kebisuan.

Aku terkesiap mendengar pertanyaannya, ada sedikit rasa janggal mendengarnya menanyakan hal itu, tapi aku berusaha mengenyahkannya.

“Ani,” jawabku, menoleh padanya. Keningku berkerut melihat ekspresi wajahnya terlihat….. kaget?

“Kukira kau datang sendirian karena sejak tadi—“

“Ani, ani…” aku memotong ucapannya. Bibirku tidak bisa menahan senyum geli mendengar nada bicaranya yang terkesan…. Kecewa?

“Aku datang dengan omma dan kedua adikku. Hyesun sudah seperti saudara kembarku.” Jawabku, senyumanku kian lebar.

Lagi-lagi aku melihat perubahan ekspresi wajahnya, kini wajahnya terlihat…. Lega? Ah, entahlah. Aku tidak pandai menilai bahasa tubuh orang.

“Ah, aku tidak tahu kau kenal dengan Hyesun dan Dongwoon, maksudku kami bertiga berada dalam lingkungan perteman yang sama jadi aku sedikit banyak tahu tentang orang-orang yang datang ke pernikahan mereka sekarang.” Aku buru-buru menjelaskan, takut membuat Jiyong salah paham.

“Hahaha, bukan masalah. Aku memang baru mengenal mereka, bulan lalu aku baru saja menandatangani kontrak kerjasama dengan Dongwoon. Jika itu bisa menjawab pertanyaanmu.”

Aku mengangguk mengerti.

Obrolan kami terus berlanjut, sampai aku berhasil melupakan kecanggunganku, meski belum berani jika  menyinggung tentang kenapa Jiyong datang sendiri. Ketika kami berpapasan tadi, Jiyong baru mau masuk kedalam hall resepsi, jadi praktis aku melihatnya datang tanpa didampingi siapapun.

“.. Dara?” percakapan kami terhenti oleh suara seseorang memanggil namaku.

Aku hanya bisa mendesah berat mengetahui suara siapa itu. Aku melirik Jiyong dengan pandangan tidak enak, dia hanya mengerutkan alisnya tidak mengerti.

“Dara.. omo!” omma sudah berada dihadapan kami. Aku bangkit dari dudukku, dan kembali mendesah. Bisa menebak apa yang tengah berputar dalam pikiran omma sekarang.

Omma menatap bergantian dari aku ke Jiyong, lalu kembali kepadaku lagi.

“Omma, kenalkan ini Jiyong, temanku semasa kuliah.” Aku memperkenalkan Jiyong, dalam hati berdoa agar omma tidak bersikap konyol. Aku menatap Jiyong dengan tatapan meminta maaf.

“Dara, omma tidak tahu jika kau punya teman lelaki setampan ini.” bisik omma padaku, sedikit terlalu keras. Dari ekspresi wajahnya aku yakin 100% Jiyong mendengar apa yang omma katakan.

Rupanya doaku belum terkabul.

“Annyeong haseyo, eommoni, perkenalkan saya Kwon Jiyong, teman semasa kuliah Sandara.” Jiyong membungkkan badan didepan omma.

Mataku membulat lebar mendengar panggilan yang Jiyong berikan untuk omma.

“Omo, kau tidak hanya tampan tapi juga sangat sopan.” Kenapa aku merasa omma berubah menjadi seorang fangirl didepan Jiyong?!

“Aniyo, eommoni…” sangkal Jiyong.

“Yah, Dara!” omma memukul lenganku, membuatku mengaduh kesakitan.

“Aw, omma!” keluhku, mengelus bagian lengan yang dipukul oleh omma.

“Kenapa kau tidak pernah cerita pada omma kau punya teman setampan ini?!” mukaku memanas mendengar pertanyaan omma, dan semakin panas melihat Jiyong terkikik tanpa suara.

Bunuh saja aku sekarang!!!

Omma tidak menunggu jawabanku, dan kini sudah kembali beralih pada Jiyong, yang sudah kembali memasang senyuman polosnya untuk omma. Dewa Bumi, kumohon adakan gempa sekarang sampai tanah tempatku berpijak ini terbuka lebar, dan aku akan dengan senang hati masuk kedalamnya…

“Jiyong-ah,” aku yakin tingkat kemerahan wajahku sudah mencapai tingkatan maksimal mendengar panggilan akrab yang omma gunakan, “Apa setelah ini kau ada acara, apa kau mau mampir dulu ke rumah?”

“O-o-mma, a-a-ani…” aku gelagapan, mencoba memikirkan alasan untuk mengubah pikiran omma.

“Oh, bolehkah? Dengan senang hati, eommoni.” Jawab Jiyong mengejutkanku.

“Bagus kalau begitu!” seru omma riang.

Kedua orang itu lalu beranjak meninggalkanku – lebih tepatnya, omma yang menarik Jiyong, kembali ke hall resepsi, meninggalkanku yang masih belum bisa menghilangkan rasa terkejutku. Aku hanya bisa menatap keduanya, masih dengan mata melebar, berusaha mencerna apa yang barusaja terjadi.

Setelah beberapa langkah, Jiyong berbalik padaku. Aku bersumpah, senyumnya itu akan menghantui tidurku lebih dari sebulan kedepan. Dan hatiku semakin terancam bahaya saat kulihat dia mengedipkan sebelah matanya. Apa maksudnya itu???!!!

Tuhan, tolong aku!!!

**

~End~

How is this? saya nggak yakin ini bergenre apa… tapi yaah, nikmati saja ya.. XD

Ehem, mau dikit ngeluarin unek2 niih.. kami (author) nulis kan pada dasarnya karena seneng ya~ ada passion khusus yang bikin kami seneng aja ngrangkai alur, jadi sebuah cerita. Terus jadi makin seneng setelah ada yang baca, dan mau ngasih masukan buat kami bisa lebih baik lagi kedepannya… semangat kami jadi tambah gede dan passion kami jadi lebih kuat…
Jadi saya pribadi minta tolong banget, sedikit hargai apa yang udah kami lakukan.. oke, kami emang sering minta komen di cerita2 yang kami posting, tapi bukan berarti kami terima gitu aja direndahin.. mungkin niatnya nggak merendahkan, tapi dengan pemilihan bahasa yang salah, kami bisa nangkepnya itu merendahkan usaha kami looh~ >.<
“Ambilin bukuku diatas meja!” sama “Tolong, ambilin bukuku diatas meja!” lebih halus yang mana? Yang pake kata tolong kan?! nah gitu… sama maksud tapi beda pengucapan beda juga nangkepnya..
Maka dari itu, saya mohon dengan sangat.. tolong diliat-liat lagi sebelum ngasih komentar, seenggaknya, coba bayangin kalo komentar2 itu ditujukan ke diri masing2 ngerasa sakit hati nggak~
Maaf atas omelan nggak jelas ini, dan makasih udah mau ngeluangin waktu buat baca curcol saya.. XD

Ciao~ semoga bisa cepet ngelarin next chapter buat Phases.. ;______;

67 thoughts on “[Oneshoot] Songfic : With You

  1. Dara eon : bunuh aku sekarang juga…
    Nae : tenang eon ntar nae bwain pisau -_- #dibunuhDaraling =_=

    ending’a seru tpi syang’a gantung….

    thor tlg dong buatin sequel’a…

  2. Nih yah, pokoknya kalau gak ada sequel, berarti udah fix tulisan ini dari pengalaman authornya, dilla unnie!! 😀
    Ahaha, suka sama ceritanya, jatuhnya manis, banyak narasi cuman gak bosen. Saya juga suka posternya, tapi kenapa rambut Jiyong gak item?

    • kaga nemu rambut item yang kece dengan pose begitu~~
      dan ASDFGHJKL apa maksudnya sama pengalaman pribadi…………………… VA~~ >X|

      • Yap. Pengalaman pribadi yg blm terselesaikan~~tenang unni, akan ditunggu sampai kisahnya berakhir bahagia (intinya butuh sequel) ehehe.
        Unni, buatin saya manip dong, ehehe.

Leave a comment