MY GLOOMY WORLD [Chap. 3]

mgw

Author : Aitsil96

Main Cast : Kwon Ji Yong and Park Sandara

.

“Ini adalah akhir baginya… maupun gadis itu”

.

.

.

“Meskipun aku juga tak menyukainya, setidaknya hargailah ayahku yang telah bersusah payah untuk menyiapkan semua ini.”

Emosiku langsung menguap seketika saat gadis mungil ini tertunduk dan mendesiskan kalimat barusan. Astaga! Kau sudah keterlaluan, Ji Yong! Bagaimana bisa kau mencaci maki Sandara seperti itu? Aish, aku selalu saja tak bisa mengontrol emosi ketika teringat dengan masalah terbesarku. Penghalang terbesar atas rasaku pada gadis ini yang membuat hubungan di antara kami tak pernah terjalin.

Hatiku selalu hancur setiap mengingat bagaimana bisa kebetulan sialan menghampiri takdirku dan gadis ini. Kebetulan saat kami dipertemukan di kafe, hingga kebetulan orang tua kami yang memiliki ketertarikan layaknya rasaku dan juga Sandara. Aku memang ingin agar eomma dapat memiliki pasangan kembali setelah kecelakaan tragis appa saat aku masih kecil. Namun mengapa harus ayah Sandara? Mengapa Tuhan seakan mempermainkan takdir kami dengan segala kebetulan yang mungkin ada di muka bumi ini?

Aku menggeram kesal. Bukan karena Sandara tentunya. Aku tengah menyesali takdir pedih ini. Oh Tuhan, mengapa kau biarkan rasaku yang terlalu besar untuk gadis ini jika aku memang tak bisa memilikinya? Dengan lemahnya kini aku terduduk kembali di sofa, mencoba menenangkan emosi seraya mengacak-acak rambut frustasi.

Di tengah itu semua, perhatianku tersita pada Sandara yang kini tengah terduduk di lantai dengan bahu yang terguncang. Gadis itu menangis. Tak bersuara namun aku yakin tangisnya itu sangat dahsyat dengan air mata yang mulai mengaliri pipi mulusnya. Sadar mungkin aku yang telah memperburuk suasana hatinya, aku segera terperanjat. Mencoba menghampiri seraya berharap dapat meredakan tangisnya.

Mianhae, eoh?”

Sandara masih terdiam dengan cairan kristal bening yang semakin menganak sungai di pipi.

“Ra-ya, mianhae. Jeongmal mianhae.” tanganku meraih wajahnya yang tertunduk, “Aku yang bersalah. Jangan menangis lagi. Maafkan perkataan bodoh yang terlontar dari mulut kotorku. Ulljima, Ra-ya.”

*****

Sandara menatap Ji Yong dengan pandangan yang hampir kabur karena air bening menggenang di pelupuk matanya. Gadis itu berkedip lalu mengusap asal air matanya dan meraih tangan Ji Yong yang berada di wajahnya untuk kemudian ia genggam. Pria di hadapannya masih memperhatikannya dengan pandangan tulus yang sendu.

“Kau sama sekali tak bersalah, Ji Yong-ah. Aku justru menangis karena mengerti apa yang selama ini kau rasakan. Perasaanmu hancur ketika mengetahui kenyataan ini terjadi, begitu juga denganku. Sungguh, aku menyayangimu, Ji Yong-ah. Namun apalah dayaku yang tak bisa menghalangi jalan orang tua kita untuk bersama? Meskipun aku tahu adanya kemungkinan antara kau dan aku untuk bersama, namun ini sama sekali tidak benar. Ini tabu. Perasaan kita salah. Aku hanya berusaha memendam rasa ini, namun nyatanya itu terlalu menyakitkan.”

Sandara mengakui semuanya secara gamblang. Bagaimana perasaan ia terhadap Ji Yong, juga betapa menderitanya ia setelah mengetahui kenyataan pahit ini terjadi. Mereka saling mencintai, mengasihi satu sama lain dengan perasaan yang luar biasa besar. Namun kini Ji Yong dan Sandara hanya bisa memendam perasaan masing-masing dengan rasa sakit yang luar biasa menyedihkan. Seperti apa yang diucapkan Sandara. Tabu. Satu kata yang membuat mereka harus berpikir ratusan kali terhadap takdir sialan ini.

Ini terlalu pedih, mereka bahkan harus berpura-pura baru mengenal satu sama lain dengan gaya canggung ketika dikenalkan oleh Jun Hyung dan Hye Mi. Sandara harus menyebut Ji Yong sebagai temannya ketika mereka akan pergi berdua seperti saat malam sebelum natal. Mereka harus menyembunyikan segala fakta bahwa mereka memang saling mengenali, bahkan mencintai. Ironis, namun itulah yang terbaik untuk mereka.

“Kau akan membawaku kemana?”

Sandara hampir berteriak ketika Ji Yong mulai berdiri untuk menyeretnya lagi ke arah pintu kamarnya.

Ji Yong berhenti untuk menatap Sandara dengan sungguh-sungguh dengan tangan yang masih menggenggam satu sama lain, “Ayo kita mengaku pada eomma dan ayahmu.”

Dengan sekali hentak Sandara melepaskan tangannya dari Ji Yong. Manik hazelnya membesar seraya menggelengkan kepalanya tegas.

Wae?” Ji Yong mengernyitkan dahinya bingung, “Hanya dengan cara ini mereka bisa mengetahui tentang perasaan kita, Ra-ya. Ayo kita mengaku, bahkan jika harus aku berlutut di hadapan mereka maka akan aku lakukan itu semua. Kita harus mencegah hubungan mereka sebelum terlalu jauh.”

Sandara menggeleng, “Tidak, Ji Yong-ah. Itu tidak boleh terjadi. Bagaimana perasaan mereka nantinya jika mengetahui bahwa kita…”

“Persetan dengan itu semua!” Ji Yong meninggikan suaranya sehingga membuat gadis di hadapannya tersentak, “Setidaknya kita harus mencoba, Ra-ya. Kita tak bisa menyembunyikan semua ini hingga berlarut-larut.”

Pandangan mereka bertemu dengan pancaran mata Ji Yong yang meyakinkan Sandara. Kejadian itu berlangsung dengan waktu yang cukup lama hingga gadis itu mengangguk dengan lugunya. Secara hampir tak sadar Sandara terhanyut dengan pandangan itu. Pandangan kelam namun mematikan yang dimiliki Ji Yong membuainya hingga terlarut di dalamnya. Ji Yong tersenyum lalu menggenggam tangan mungil gadis itu dengan yakin.

*****

Jun Hyung dan Hye Mi langsung berpandangan ketika melihat dua orang di hadapannya datang dengan tangan yang saling menggenggam. Seingat mereka ini adalah kali pertama Sandara dan Ji Yong saling bertemu satu sama lain. Mereka bahkan baru berkenalan beberapa jam yang lalu sesaat setelah Ji Yong tiba di pintu depan.

Lengkungan ramah nampak di bibir pria paruh baya itu, “Kalian telah mengakrabkan diri satu sama lain sepertinya. Ayo duduklah dengan santai.”

Mereka berempat berkumpul lagi di ruang makan dengan Jun Hyung dan Hye Mi yang sedang menikmati cokelat hangat. Minuman manis yang sangat cocok untuk musim dingin. Makan malam telah usai dan semua hidangan telah dirapikan oleh Seo ahjumma ke dapur, pembantu rumah Jun Hyung.

“Kalian juga ingin cokelat hangat? Biar ku buatkan kalau begitu.”

Aniyo, eomma,” Ji Yong menginterupsi gerak Hye Mi yang hampir berdiri, “Kami ingin memberitahukan sesuatu.”

“Kebetulan sekali. Kami juga ingin memberitahukan kalian sesuatu. Kabar bahagia lebih tepatnya. Bukan begitu, Jun Hyung-ah?”

Ucapan Hye Mi hanya direspon dengan anggukan dan sebuah senyuman oleh Jun Hyung. Tak sadar, Sandara dan Ji Yong membeku di tempatnya. Seperti telah menebak akan kemana arah pembicaraan ini.

“Kabar… apa itu?” Sandara bersuara dengan pelan dan agak tersendat karena ketegangan yang ia rasakan.

“Ra-ya…”

Ji Yong menatap tajam Sandara dari samping. Apa-apaan gadis ini? Bukankah mereka kemari dengan tujuan untuk pengakuan diri? Mengapa ia malah memberikan celah bagi Jun Hyung untuk berbicara terlebih dahulu? Bagaimana jika memang benar bahwa mereka akan…

“Kami akan menikah. Dua bulan lagi rasanya waktu yang cukup untuk mempersiapkan semuanya secara matang.”

Abonim, kami…”

Chukhahaeyo, appa.”

Ini kali kedua ucapan Ji Yong disela oleh Sandara. Ia lagi-lagi menatap gadis itu, menatap lebih tajam bahkan dengan bola mata yang hampir keluar saking terkejutnya. Ia bahkan hampir berteriak frustasi mendengar Sandara yang dengan lugu menyelamati ayahnya dengan suara gemetaran dan air mata yang menggenang di pelupuk mata. Apa gadis ini telah gila? Apakah ia idiot? Ini sama sekali bukan rencana mereka. Seharusnya mereka mencegah hubungan orang tuanya untuk semakin jauh.

Baru saja Ji Yong membuka mulutnya untuk nekat berbicara yang sesungguhnya, tangannya yang berada di bawah meja tiba-tiba diremas dengan kencang oleh gadis itu. Sandara kini tengah menatapnya dengan pandangan yang berkaca-kaca. Gadis itu sepertinya mengetahui apa yang akan Ji Yong lakukan sehingga ia berusaha untuk mencegahnya. Gadis itu hanya menggeleng lemah seraya tersenyum miris pada Ji Yong seakan mengisyaratkan Ji Yong untuk berhenti berbuat sesuatu yang terlalu jauh.

Walaupun mereka masih di meja yang sama, namun Jun Hyung dan Hye Mi sama sekali tak memperhatikan reaksi kedua anaknya tersebut. Pengakuan yang hampir saja terlontar dari mulut Ji Yong bak angin lalu akibat kebahagiaan mereka yang terlalu membuncah. Mereka lebih memilih untuk saling menggenggam erat tangan masing-masing dengan senyum bahagia terkembang di wajahnya. Sangat kontras sekali dengan Ji Yong dan Sandara yang meskipun saling menggenggam tangan namun mereka dalam keadaan yang amat menyedihkan. Bahkan pria itu kini memilih untuk menunduk demi menyembunyikan kepedihannya.

Harapan mereka hancur. Ji Yong menyadari ini semua bukan salah Sandara meskipun gadis itu yang mengacaukan rencananya. Sebutlah ini cinta terlarang antar dirinya dan Sandara yang mungkin sebentar lagi akan segera menyandang status sebagai saudara tiri. Astaga, bahkan hanya untuk sekadar membayangkannya pun Ji Yong tak sudi. Ia mencintainya, mencintai gadis ini dengan segenap perasaan yang teramat besar. Oh Tuhan, mungkinkah ini pertanda bahwa mereka memang takkan pernah ditakdirkan untuk bisa bersama?

*****

“Kau yakin dengan keputusanmu?”

Gadis di hadapannya hanya berdiam diri seolah patung yang sedang menunduk lesu. Mulutnya bungkam. Sedari tadi tak ada jawaban yang Ji Yong dapatkan meski telah bosan mengucapkan pertanyaan yang sama semenjak satu jam yang lalu. Emosinya hampir meledak hingga menaikkan nada suara demi kesudian Sandara untuk menjawabnya. Sungguh, ini adalah kesempatan terakhir mereka sebelum upacara pernikahan yang akan dilangsungkan beberapa menit lagi.

Sandara hari ini sangatlah cantik dengan rambut yang mengikal di ujung dan dress putih selutut yang amat anggun dan sederhana. Tak lupa sepatu cantik dengan hak rendah yang membungkus pas kakinya dengan ornamen silver di sekelilingnya. Ji Yong juga tak kalah tampan, ia berdiri menjulang dengan tuxedo hitam mewah serta sepatu pentofel berwarna senada. Jika disandingkan, bukankah mereka menjadi pasangan yang amat cocok? Namun sayangnya hari ini adalah hari yang sangat tak diharapkan hadir di hidup mereka. Hari pernikahan Jun Hyung dan Hye Mi.

Mereka kini tengah berdiri berhadapan di belakang gereja, mencoba mencuri waktu untuk menanyakan lagi kepastian tentang keputusan yang sudah mereka pilih. Membiarkan pernikahan orang tuanya terjadi tanpa mengetahui bagaimana remuknya perasaan mereka di tengah kebahagiaan sialan itu.

Ji Yong mengguncang bahu Sandara dengan kuat, “Jawab aku, Ra-ya. Aku tahu kau tak tuli maupun bisu untuk sekadar mendengar serta menjawab pertanyaanku,” nada suaranya terdengar frustasi.

“Mau bagaimana lagi, Ji Yong-ah? Ku rasa ini memang yang terbaik untuk kita,” masih dengan pandangan tertunduk akhirnya kalimat itu terlontar dari bibir cherinya.

“Terbaik apa maksudmu, huh? Membiarkan mereka menikah dengan menyembunyikan fakta bahwa kita saling mencintai? Kau rela jika kita menjadi saudara tiri pada akhirnya sementara rasa sialan ini tak dapat dienyahkan? Oh Tuhan, bahkan aku tak sanggup untuk sekadar membayangkan itu semua,” Ji Yong menghela napas, “Setidaknya biarkan mereka mengetahui perasaan kita. Kumohon, Ra-ya. Ini adalah kesempatan terakhir kita sebelum semuanya terlambat.”

Uluran tangan Ji Yong berpindah pada tangan Sandara. Telapak tangan itu dingin, tak ada bedanya dengan Sandara. Apakah karena sisa-sisa musim dingin masih belum sepenuhnya usai? Atau karena ketegangan dan keresahan yang mereka miliki? Yang jelas kini Sandara menghentikan gerak tubuhnya saat langkah Ji Yong yang akan menyeretnya berjalan untuk memasuki gereja.

“Jangan memaksakan kehendak di atas semua takdir ini, Ji Yong-ah. Jika memang kita ditakdirkan untuk menjadi sepasang saudara dan bukan kekasih, kita hanya perlu mengikutinya. Kita mungkin akan merasakan sakit pada awalnya, namun bukankah jika kita telah sering melewati kesakitan itu lama-lama kita juga akan terbiasa?” senyum miris terukir di bibirnya, “Biarkan rasa ini menguap dengan sendirinya. Jika kita tidak ditakdirkan untuk bersama, bukankah seharusnya Tuhan juga akan menghilangkan segala rasa yang tumbuh di hati kita?”

Seiring dengan berakhirnya kalimat yang diucapkan Sandara, ponsel Ji Yong bergetar. Menandakan sebuah pesan yang masuk. Pesan dari ibunya yang mengatakan bahwa upacara pernikahan akan segera dimulai dan memintanya untuk segera datang dengan membawa Sandara bersamanya. Pria itu kini menunduk. Ia memejamkan mata dengan menghela napas berat. Kini Ji Yong menyadari sesuatu. Menyadari bahwa ini adalah akhir baginya… maupun Sandara.

–TBC–

14 thoughts on “MY GLOOMY WORLD [Chap. 3]

Leave a comment