An Unexpected Love [Chapter 3]

An-Unexpected-Love

Author : Atyka Yoonique

Fb/twitter/blog : Atyka Ishmah Winahyu/@AtykaYoonique/atykayoonique.com

Genre : Romance, comedy.

Cast : Sandara Park, Kwon Jiyong, Park Bom, Choi Seunghyun, Sullu, Jung Il Woo, etc.

~~~~~~~~~~~~~~

 Dara P.O.V

“Kenapa kau meninggalkanku?” tanyanya tiba-tiba.

“Mwo?” aku terkejut mendengar pertanyaannya. Bagaimana ia bisa bertanya seperti itu setelah apa yang ia lakukan tadi.

“Aku bertanya, kenapa kau meninggalkanku?” ulangnya lagi kali ini nada bicaranya terdengar sangat menyebalkan.

“B..b..bagaimana bisa anda bertanya seperti itu setelah apa yang anda lakukan tadi??” ucapku mulai emosi.

“Tentu saja aku harus bertanya seperti itu. Kau telah membahayakan keselamatan pasienmu,” ucapnya dengan nada protes. “Dan……..” ia menghentikan perkataannya seakan sedang memikirkan sesuatu.

“Dan apa?” tanyaku penasaran.

“Dan kenapa kau bisa lancang sekali menggenggam tanganku seperti ini?” protesnya sambil melirik tanganku yang memang sedang menggenggam tangannya.

Mataku terbelalak. Aku cukup terkejut karena tanpa kusadari tanganku masih menggenggam tangannya sejak proses operasi selesai.

“M.. m.. mi.. mianhae. Jeongmal mianhae. Aku tidak sengaja,” ucapku terbata sembari melepaskan genggamanku pada tangannya. Aku merasa sangat malu sehingga kutundukkan wajahku dalam-dalam

“Aiiiisssssssshh! Kau bodoh Dara!!” aku mengutuk dalam hati. Ingin rasanya kupukul keras-keras kepalaku ini. “Aaaaaaaaaaaahh aku maluuu! Dara bodoh! Dara bodoh!” aku mengutuk diriku sendiri dalam hati.

“Hmm.. sepertinya aku harus mengajukan complain tentang pelayanan di rumah sakit ini,” ujarnya.

“Complain?” tanyaku sedikit terkejut. Pria satu ini memang benar-benar menyebalkan.

“Yap, complain tentang pelayanan yang kau dan perawat-perawat tadi berikan. Bagaimana bisa kalian meninggalkan seorang pasien yang sedang dalam keadaan darurat? Apakah pantas kalian melakukan hal seperti itu? Dan lagi, bagaimana bisa seorang dokter melakukan kontak fisik pada pasiennya. Ini tidak pantas bukan. Sampai sekarang belum pernah ada satupun wanita yang berani menggenggam tanganku seperti yang kau lakukan tadi,” ia bicara panjang lebar menerangkan tentang ketidakpuasannya pada apa yang aku dan rekan-rekan kerjaku lakukan padanya.

Aku tak habis pikir bagaimana seorang pasien yang baru saja selesai dioperasi bisa beeceloteh seperti ini. Dan percayalah, celotehannya terdengar sangat menyebalkan. Ingin rasanya kujahit bibirnya agar ia tidak berkicau seenaknya.

“Tuan,” aku mencoba menahan diriku untuk tidak meluapkan emosiku padanya saat ini meski sejujurnya aku sangat ingin mencincang tubuhnya.

“Tuan, begini. Biar tolong dengarkan penjelasanku,” aku menghela nafas sebelum melanjutkan penjelasannya. Kutatap ia tepat di manik mata.

“Tadi siang, setelah anda mengalami kecelakaan, anda dibawa kemari dalam keadaan yang cukup parah. Para medis berusaha memberikan pertolongan yang terbaik untuk anda namun anda berontak dan bahkan anda sampai melukai seorang para medis yang membawa anda kemari. Apa anda ingat bagaimana anda mengamuk tadi? Bukan hanya jiwa anda tapi anda juga bisa membahayakan jiwa orang lain. Anda menolak untuk kami tolong sedangkan keadaan anda amat butuh pertolongan. Beberapa bagian tubuh anda patah kepala anda mengeluarkan cukup banyak darah. Tapi anda tetap memberontak. Lalu apa yang harus kami lakukan pada anda? Tetap memaksa anda dan mengikat tangan dan kaki anda agar anda tidak bisa bergerak? Bukan begitu tuan. Kami tau cara yang memang harus kami tempuh. Tuan harus tau, aku dan para medis bersembunyi diluar menunggu reaksi tuan setelah kami pergi. Kami sudah melakukan hal ini sejak lama pada pasien-pasien yang menolak untuk kami tolong,” ucapku panjang lebar. Aku berusaha keras menahan emosiku karena aku mengerti jika aku menanggapinya dengan emosi, maka persoalan ini tidak akan berakhir.

Kulihat ia memutar bola matanya seakan mengejek ucapanku. Sepertinya lebih baik aku segera pergi dari tempat ini. Akan kubiarkan para suster yang mengurus pemindahannya ke kamar rawat inap. Perlahan kutekan tombol-tombol angka yang ada di handphoneku.

“Hallo, suster Hye Sun. Tuan Kwon sudah sadarkan diri. Bisakah kau segera kemari dan memindahkannya ke ruang rawat inap?” aku menelpon Hye Sun berharap agar ia segera datang. Aku sudah semakin kesal padanya. Rasanya kepalaku sebentar lagi akan meledak karena namja ini. Aku tidak percaya ada manusia sepertinya di dunia ini.

“Ne, aku kesana sekarang Dara,” jawab Hye Sun. Kemudian aku segera memutuskan hubungan telepon kami.

“Sebentar lagi suster akan datang kesini dan mengantarmu ke…..”

“Ya, aku tau. Aku tidak tuli,” jawabnya memotong pembicaraanku.

“Baguslah kalau kau tidak tuli. Aku pergi sekarang, ada banyak hal penting yang sedang menungguku. Ahh, dan… istrimu sudah menunggu di luar. Ia terlihat sangat cemas. Sebentar lagi kau sudah bisa bertemu dengannya,” ucapku sembari berdiri dari tempat dudukku.

“Istri??? Aku…..”

“Aku salut sekali pada istrimu karena kelihatannya ia sangat mencintai suaminya yang sangat menyebalkan. Ia pasti orang yang amat sabar sehingga bisa bertahan hidup denganmu. Jadi, jaga dia dengan baik,” ucapku memotong perkataannya. Ia terlihat kesal sekarang.

“Ya! Aku….”

“Nanti jika ada sesuatu yang kau butuhkan kau bisa menyampaikannya pada suster. Aku pamit. Annyeonghaseo,” ucapku memotong perkataannya lagi dan bergegas meninggalkannya.

“Jangan pergi!” ia berteriak sembari menarik tanganku.

“Mwo?” aku berbalik dan menatapnya kebingungan.

“Jangan Pergi!” ucapnya lagi namun kali ini dengan sedikit berbisik. Ia terlihat berusaha membuang pandangannya ke arah lain.

“Wae?” aku mendekati wajahnya berusaha membuatnya menatapku.

“A.. ani,” ucapnya terbata setelah pandangan kami bertemu. Ia kemudian menundukkan kepalanya.

Aku menegakkan tubuhku kembali mencoba mencerna apa yang sebenarnya namja ini inginkan. Tadi ia bersikap begitu menjengkelkan seakan tak ingin aku disini namun saat aku akan beranjak pergi ia malah menahanku.

Ketika aku sedang sibuk mencerna keadaan, tiba-tiba saja pintu terbuka memecah keheningan.

“Dara,” panggil Hye Sun dari luar. Ia sedang mendorong sebuah tempat tidur bersama beberapa perawat lain.

“Ne Hye Sun,” ucapku menjawab panggilannya.

“Bagaimana keadaannya? Apa dia baik-baik saja?” ucapnya sembari berjalan menuju kearah ku. Ia kemudian meletakkan tempat tidur itu tepat disebelah tempat tidur dimana namja itu sedang terbaring.

“Bukan hanya baik. Tapi amat sangat baik. Saking sangat baiknya ia bahkan sudah lancar berceloteh,” ucapku sambil melirik usil kearahnya. Mata kami bertemu. Ternyata ia juga melirikku namun lirikannya terlihat seperti menusuk mataku. Ia pasti amat kesal sekarang. Hye Sun dan perawat lain terkekeh mendengar perkataanku.

“Tuan, kami akan memindahkan anda ke kamar perawatan. Jadi persilahkan kami untuk membantu anda pindah ke ranjang ini,” ucap salah seorang perawat.

“……” Tuan Kwon hanya membuang muka mendengar ucapan perawat tadi.

“Sudah, pindahkan saja. Pendengarannya sedang terganggu. Jadi ia tidak akan menjawab ucapanmu,” ujarku pada perawat itu. Tuan Kwon menatapku sembari melebarkan matanya.

Beberapa menit kemudian

Keheningan menyelimuti kami selama beberapa menit. Tuan Kwon hanya diam tak bersuara selama ia dipindahkan ke ranjang dorong.

“Kami akan mengantarnya ke kamar, Dara” ucap Hye Sun memecah keheningan dan membuyarkan lamunanku.

“Ah, ne. Tuan Kwon, jika anda membutuhkan sesuatu anda bisa menyampaikannya pada perawat. Aku akan menemui keluargamu untuk membicarakan tentang keadaanmu,” ucapku sambil menatapnya. Namun ia hanya terdiam dan membuang muka.

“Kalian bisa pergi sekarang. Kamsahamnida,” ucapku sambil sedikit membungkukkan tubuhku memberi salam.

Aku berjalan keluar ruangan mengikuti mereka dari belakang. Ketika ranjang dorong telah keluar melewati pintu, tiba-tiba terdengar teriakan seorang Yeoja.

“Oppa!!” dan tak lama setelah mendengar teriakannya aku melihat seorang yeoja berlari kearah Tuan Kwon.

Ahh, yeoja itu, ucapku dalam hati. Ia adalah istri Tuan Kwon. Sejak pertama melihat tingkah lakunya aku sudah bisa menebak bahwa ia adalah istri dari pria itu. Aku merasa iba melihatnya. Sepertinya ia adalah yeoja yang baik. Ia terlihat sangat cemas dengan keadaan suaminya. Namun suaminya…. Ah sudahlah, aku tidak mau emosi karena mengingatnya lagi.

“Oppa, bagaimana keadaanmu? Apa kau baik-baik saja? Huh?” tanya yeoja itu cemas. Ia memandangi tubuh pria itu dengan seksama dari kepala hingga kaki.

“……” tak ada jawaban keluar dari mulut pria itu.

Aku hanya bisa terdiam mengintip mereka dari belakang. Aku cukup terkejut melihat sikapnya pada yeoja itu. Bagaimana ia bisa bersikap acuh pada semua orang tak terkecuali pada istrinya. Tentu saja ini sangat aneh bagiku. Seorang pria tak mungkin mengacuhkan wanita yang ia cintai.

Menyadari bahwa ia tidak akan mendapatkan jawaban dari Tuan Kwon, yeoja itu kemudian menatap kearahku dan menghampiriku yang sejak tadi berdiri dibelakang perawat.

“Dokter, bagaimana keadaannya? Apa ia baik-baik saja?”  tanyanya sembari berjalan menghampiriku. Aku merasa iba pada yeoja ini.

“Ne, keadaannya baik-baik saja. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Hanya saja ada beberapa hal yang harus kita bicarakan untuk proses pemulihan, Nyonya. Jadi bisakah saya minta waktunya sebentar?” ucapku pada yeooja itu.

“Ne, dokter.” Jawabnya singkat.

“Baiklah kalau begitu Nyonya bisa ikut saya ke ruangan saya. Biar perawat yang mengantar Tuan Kwon ke kamarnya,” terangku.

“Silahkan antar dia,” ucapku pada para perawat.

“Mari ikut saya,” ucapku pada yeoja itu. Kemudian kami berjalan menuju ke ruanganku. Sekilas kutatap wajah yeoja itu, pandangannya menyiratkan sepertinya ia sedang merasa gundah dan sedih. Aigoo, bagaimana tidak. Bagiku, memiliki suami seperti Tuan Kwon adalah petaka. Yeoja ini pasti sangat tegar hatinya.

“Sulli!”

Sebelum aku dan yeoja itu sampai di ruanganku, tiba-tiba ada suara seorang namja meneriakkan sebuah nama dan berlari kearah kami.

“Senghyun Oppa,” yeoja itu melihat kearah namja yang berlari itu.

Oh, jadi Nyonya Kwon ini bernama Sulli. Ucapku dalam hati.

“Dimana dia? Bagaimana keadaannya?” namja itu bicara dengan terengah-engah.

“Dia sudah diantar ke kamarnya Oppa. Dia baik-baik saja. Oh iya, ini dokter yang merawatnya,” ucap yeoja itu kemudian memperkenalkan kami berdua.

“Dokter, ini Seunghyun Oppa. Dia adalah sahabat karib Jiyong Oppa. Seunghyun Oppa, ini Dokter Sandara beliau adalah dokter yang menangani Jiyong Oppa hingga dia sembuh,” ucap yeoja itu memperkenalkan kami. Kami saling berjabat tangan. Aku tersenyum pada namja itu begitu pula sebaliknya. Dia adalah namja yang tampan dan gagah. Ia terlihat sangat dewasa, tidak seperti sahabatnya.

 

Seunghyun P.O.V

What the?! Wanita ini yang merawatnya? Demi Tuhan, si Bang*at itu beruntung sekali. Dia sungguh cantik dan… dan… Aigooo aku merasa iri padanya.

Aku terpana melihat wanita yang sedang berdiri di hadapanku. Ini membuatku tak berkedip sesaat. Kata “wow” terngiang dan berputar di kepalaku. Tapi, dia wanita yang terlalu baik. Tak mungkin aku menjadikan wanita ini sebagai ehemm kau tau yang ku maksud kan? Kalau wanita seperti dokter ini, lebih cocok dijadikan calon istri kekekeke.

“Oppa,” suara Sulli membuyarkan keterpanaanku pada dokter cantik itu.

“A..ah.. Ne. W..wae Sulli?” ucapku sedikit terbata karena terkejut.

“Apa kau baik-baik saja Oppa?” tanya Sulli sembari menatapku penuh selidik.

“Oh, ya tentu. Aku baik-baik saja,” jawabku cepat.

“Oppa, aku akan berbicara dengan Dokter di ruangannya. Kau bisa menemani Jiyong Oppa di kamarnya,” ucap Sulli datar.

“Apa ia bersama paman?” tanyaku padanya.

“Ani, dia sendiri,” lanjutnya datar.

“Mworagooooo??? Kau membiarkan Jiyong sendirian di kamarnya?” jantungku hampir copot setelah mendengar ucapan Sulli. Yeoja ini bodoh atau bagaimana? Apa dia lupa dengan phobia yang diidap Jiyong.

“Aigoo! Mianhae Oppa. Jeongmal mianhae! Aku lupa! Kalau begitu kau saja yang berbicara dengan dokter ne? Aku akan ke kamar Jiyong Oppa sekarang,” ucap Sulli terburu-buru.

Belum sempat ku jawab ucapan Sulli, tiba-tiba saja ia sudah menghilang begitu saja. Apa? Bicara dengan dokter? Dengan senang hati, Sulli. Aku terkekeh dalam hati.

“Wae? Apa ada sesuatu yang terjadi?” tanya dokter itu tiba-tiba, membuyarkan khayalanku.

“Ehm, sebenarnya ada sesuatu yang mungkin belum Dokter tau. Saya akan menceritakannya saat kita bicara,” terangku pada dokter itu.

“Ah ne, kalau begitu mari ikut saya ke ruangan,” ucapnya kemudian mulai beranjak dari tempat kami berdiri. Aku mengikutinya dari belakang.

Sepanjang perjalanan pendek menuju ruangan dokter cantik itu, aku dibuat terheran-heran dengan apa yang kusaksikan saat itu. Bayangkan saja, setiap dokter itu melangkah pasti ada saja orang yang menyapanya. Bukan hanya dokter tapi juga para pasien. Bahkan mereka tidak memanggilnya dengan sebutan dokter, tapi Dara. Hanya segelintir pasien yang memanggilnya dokter. Itu belum seberapa, yang lebih mengherankan lagi ada seorang pasien anak-anak yang terlihat sangat menyukai dokter ini. Ia memberikan seikat bunga mawar merah segar kepada wanita itu dan mengatakan “Saranghae noona”. Aku menganga dibuatnya. Dan tebak apa yang dokter itu katakan? “Nado saranghae Yujin-ah. Gomawo. Bunganya sangat cantik. Bagaimana keadaanmu hari ini?” begitu ucapnya. Dokter ini juga tak segan-segan memeluk pasien-pasien lansia yang menyapanya.

Aigooo, sungguh calon istri idaman lelaki. Cantik, pintar, sopan, ramah. Dan sudah bisa kutebak, beberapa dokter pria yang menyapanya pasti menaruh hati padanya. Aku tidak sok tau, aku mengerti karena aku juga pria sejati. Aku bisa melihat mereka menatap dokter ini tepat di manik mata, tanpa berkedip, tanpa berpindah dan aku bisa melihat senyum tanda terpesona merekah di bibir pria-pria itu.

Sesampainya di ruangan dokter itu, aku dipersilahkan duduk di hadapannya. Ia sibuk menuliskan resep obat untuk Jiyong sembari memberiku penjelasan tentang keadaannya.

“Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Keadaannya baik. Bahkan bisa kukatakan sangat baik untuk korban kecelakaan sepeda motor yang mengalami benturan begitu keras. Awalnya kukira ia akan mengalami gegar otak, tapi ternyata tidak. Ia hanya mendapat luka sobek yang cukup besar di atas pelipisnya jadi ada beberapa jahitan disana. Dan mungkin ia akan merasa sakit kepala beberapa hari ini akibat benturan, tapi itu juga tidak akan apa-apa,” terangnya panjang lebar dengan tangan yang sibuk menulis di atas secarik kertas. Terkadang ia mengangkat kepalanya untuk melihatku.

“Tangan kiri dan kaki kirinya patah. Juga jari telunjuk dan jari tengah di tangan sebelah kanannya. Tapi kami sudah mengoperasi semuanya. Di beberapa bagian tubuhnya yang lain juga terdapat beberapa luka sobek, seperti di lutut sebelah kanan, siku tangan, dan pinggul. Tapi ini juga baik-baik saja, yang penting pasien mendapat perawatan yang benar untuk pemulihan luka-lukanya,” lanjutnya sambil terus menulis. Aku hanya mengangguk sesekali tanda mengerti dengan ucapannya.

“Ini resepnya, hanya beberapa obat untuk mempercepat proses pengeringan luka, obat pengurang rasa sakit, dan obat untuk tulangnya. Ada yang kurang jelas?” ucapnya padaku sembari memberikan secarik kertas.

“Ani, sudah cukup jelas,” ucapku sembari menggelengkan kepala.

“Ah ya, tuan belum memberitahuku soal kejadian tadi,” ucapnya sembari menatapku dengan serius.

“Kejadian tadi? Kejadian yang…….” aku mencoba mengingat-ingat kejadian yang dimaksud dokter ini.

“Ooooh, kejadian tadi. Tentang sahabatku Jiyong?” ucapku setelah mengerti apa yang ia maksud.

“Ne,” jawabnya singkat.

“Baiklah akan ku ceritakan. Sebelumnya aku minta maaf atas perlakuan tidak sopan sahabatku,” ucapku meminta maaf padanya. Ia menatapku bingung.

“Bagaimana kau tau kalau ia telah bertingkah tidak sopan?” tanyanya dengan tatapan bingung.

“Sebenarnya ini bukan pertama kalinya ia masuk rumah sakit. Sebelumnya ia pernah masuk rumah sakit karena typus, demam berdarah, dan….” aku memotong ucapanku dan menghela nafas sejenak.

“Dan percobaan bunuh diri,” lanjutku.

“Mwo? Lalu?” tanya dokter itu tak sabar.

“Ia memang punya masalah pribadi. Tapi percobaan bunuh diri itu bukan akar masalah mengapa ia bersikap tidak sopan pada dokter dan juga perawat. Sebenarnya ia mengidap Nosocomephobia,” jelasku.

Dara P.O.V

“Nosocomephobia? Jadi ia bersikap seperti itu karena…..”

 

Flashback

“AAAAAAAHHHHHHHHHHHHHHHHH”

“TOLONG AKU!”

“TOLONG AKU, DARA! DARAAAAAAAAAA TOLONG AKU!”

“Kenapa kau meninggalkanku?”

Flashback End

 

“Ne, karena ia mengidap phopia terhadap rumah sakit. Karena itu setiap kali ia akan dirawat di rumah sakit ia selalu berontak. Dulu ia sempat melukai beberapa perawat dan dokter yang menanganinya ketika ia sakit. Bahkan ada perawat yang tidak terima dengan perlakuan tidak sopannya. Aku paham dengan perasaan mereka. Tapi aku juga tidak bisa menyalahkan Jiyong karena itu semua diluar kendalinya. Ia hanya merasa ketakutan. Ia tidak bermaksud seperti itu,” jelas Tuan Choi.

“Ah, ne. Aku mengerti sekarang. Jangan khawatir, aku akan menanganinya sebaik mungkin. Aku juga pernah menangani pasien yang mengidap Nosocomephobia. Memang tidak bisa disamakan dengan pasien lain. Kita harus membuantnya senyaman mungkin disini,” jelasku kemudian menundukkan kepalaku. Rasa bersalahku pada pria itu kembali muncul. Aku juga sudah bersikap kasar padanya.

“Jadi dokter, mungkin kami membutuhkan pertolonganmu sewaktu-waktu karena sepertinya kami tidak bisa selalu ada di rumah sakit untuk menemani Jiyong,” terang Tuan Choi lagi.

“Bukankah ada istrinya yang akan selalu menjaganya?” tanyaku bingung.

“Istrinya? Hahahaha. Sahabatku belum menikah. Dokter pasti mengira Sulli adalah istrinya?” ucapnya sedikit terbahak.

“Jadi, wanita itu bukan istrinya?” tanyaku lagi.

“Hahahaha, bukan. Sebenarnya dia adalah…..” Tuan Choi memotong ucapannya. Tawanya seketika hilang berubah menjadi keseriusan.

“Sebenarnya wanita itu adalah calon tunangan Jiyong, tapi Jiyong sama sekali tidak menyukainya. Ayahnya yang menjodohkan mereka dan memaksa Jiyong untuk bertunangan dengan wanita itu. Biasa lah, hubungan bisnis yang mengharuskannya melakukan ini. Percobaan bunuh diri yang dilakukannya beberapa waktu lalu, salah satu penyebabnya juga karena Jiyong tidak suka jika harus bersanding dengan wanita itu,” ucapnya sedikit berbisik. Wajahnya penuh keseriusan.

“Aaaah, begitu ya? Tapi sepertinya wanita itu adalah wanita yang baik. Kenapa Tuan Kwon tidak mencoba untuk membuka hatinya?” aku mulai ikut asik menyimak cerita hidup Tuan Kwon.

“Aku juga tidak tau. Tapi jika kuperhatikan, wanita itu bukan tipe idaman Jiyong,” terangnya lagi.           

“Hmm, ya bisa kumengerti. Cinta memang tidak bisa dipaksa,” ucapku pendek.

“DARA? Kau pulang jam berapa?” tiba-tiba terdengar teriakan seorang yeoja yang kukenal dari luar ruanganku. Aku juga mendengarnya membuka knop pintu.

“DARAAA,” teriaknya lagi.

“Bom? Aku.. aku tidak tau….” ucapku ketika melihat Bom telah berada di dalam ruanganku. Namun ucapanku terputus karena menyadarinya tidak sedang memperhatikanku saat ini.

 

Seunghyun P.O.V

Ketika aku sedang asik berbincang tentang Jiyong dengan Dokter Dara, tiba-tiba aku mendengar suara seorang yeoja berteriak memanggil Dokter Dara. Ia berteriak beberapa kali.

“DARAAA,” teriaknya lagi.

Dan saat teriakan terakhirnya, ia sudah berada di dalam ruangan tepatnya dibelakangku. Aku membalikan badan dan menatapnya.

“Kau?” aku terkejut ketika melihat wanita yang berada di depanku.

Wanita yang juga mengenakan jas putih seperti Dokter Dara itu berdiri mematung didepanku dengan mata sedikit terbelalak.

 

Mianhaeee. Jeongmal Mianhaee untuk para readers yang sudah lamaaaaa sekali menunggu kelanjutan FF ini. Memang ada beberapa faktor yang membuat author tidak bisa fokus untuk segera meng-update FF ini. #bowsedalam-dalamnya

Bagaimana menurut kalian tentang chapter 3 ini? Mian kalau kurang greget (?) Tapi author berusaha sebaik mungkin agar bisa membuat alurnya lebih menarik untuk dibaca. Author juga sudah menambah panjang cerita di chapter ini. Seperti biasa, author mohon sepatah dua kata dari para readers yang baik. Kritik dan saran sangat author hargai untuk kemajuan FF ini. Kamsahamnidaa sudah sudi meluangkan waktunya untuk membaca FF ini. Author akan berusaha agar bisa lebih baik lagi. Kecup sayang dari author :p :* Ini untuk yang lupa sama cerita sebelumnya :  Prolog|1|2

<<back   next>>

68 thoughts on “An Unexpected Love [Chapter 3]

  1. Dijodohin dgn org yg tdk kta sukai emg mnyakitkan, bahkan jiyong sdh prnh bunuh diri tp ntah knpa ayah jiyong msh kekeuh mnjdohkan anak.a, harta lbh pntg dr pda anak sndri

  2. Dimana2 dijodohin itu emang ngga enak rasanya, cuma beberapa2 org yg bisa terima dijodohin -____-
    Kasian jiyong kena phobia 😦 ada apa bom sama top?!

  3. Wow bom dan top kenapa apa mreka sdah sling knal?
    kyanya hanya segelintir org yg bsa mnerima knyataan klau dirinya di jdohin.
    Nosocomephobia?
    Next next next penasaran

  4. Omoo? Jangan jangan cewek yang di chap sebelumnya yg sama top oppa di bar itu bom unnie??!! Wahh, top oppa jangan jangan suka nih ke dara unnie.. andwaee, dara unnie cuma buat jiyong oppa😄

Leave a comment