Princess’s Mask… [Chapter 4]

PM

Author : Astrella
Adaptation by chichan

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

“Kita telah tiba, Paduka!”

“Akhirnya kita tiba juga. Aku sudah tidak sabar ingin beristirahat dan makan sesuatu. Tak kusangka upacara pernikahan dan penobatan ditambah perjalanan selama tiga jam membuatku menjadi lapar.”

 Dara diam seribu bahasa. Sejak tadi ia hanya melihat keluar jendela dan mengingat lingkungan yang baru pertama kali dilihatnya.

Jiyong turun dari kereta kemudian membantu Dara.

“Kami telah menantikan kedatangan Anda, Paduka,” sambut seorang pelayan. Kemudian ia membawa mereka memasuki Istana Camperbelt.

Di dalam telah berdiri seluruh pelayan yang ada di Istana Camperbelt. Mereka berbaris rapi membentuk dua barisan. Satu di kanan dan satu di kiri. Mereka membungkuk hormat ketika melihat Jiyong dan Dara.

Pelayan itu berkata lagi, “Ijinkanlah aku atas nama seluruh pelayan mengucapkan selamat atas pernikahan Anda.”

“Terima kasih, Kim.”

 Dara hanya mengangguk perlahan tapi sikapnya telah menunjukkan rasa terima kasihnya yang tulus.

“Kami yakin Paduka merasa lelah setelah menempuh perjalanan jauh. Kami telah menyiapkan kamar untuk Paduka.”

“Kurasa saat ini aku hanya ingin makan.”

“Kami akan segera menyiapkan makan siang untuk Paduka.”

“Sementara itu suruh pelayan membantu Dara mengganti gaun pengantinnya,” perintahnya. Kemudian pada Dara, Jiyong berkata lembut, “Kurasa sebaiknya engkau bersalin. Gaun pengantin itu pasti telah menganggu gerakmu.”

Dengan gerakan tangannya, pelayan itu memanggil beberapa pelayan wanita.

Tanpa banyak berbicara, Dara mengikuti para pelayan yang mengantarkannya ke kamar yang telah dipersiapkan untuknya.

Ketika Dara sudah jauh, Jiyong kembali berkata, “Daesung sudah datang?”

“Sudah, Paduka,” jawab Kim.

“Anda mencari aku, Paduka?” Komandan Angkatan Laut Kerajaan Goguryeo itu muncul dari belakang barisan para pelayan.

“Pantas aku tak melihatmu,” gumam Jiyong. “Bagaimana, Daesung? Semua sudah siap?”

“Sudah, Paduka,” lapor Daesung, “Sesuai perintah Anda. Kami sudah siap berangkat sore ini.”

“Bagus,” kata Jiyong puas. “Lanjutkan tugasmu. Kurasa tak sampai sore, kami akan segera berangkat.”

“Baik, Paduka.”

Jiyong meninggalkan para pelayan itu. Seperti ketika Dara berjalan di antara mereka, para pelayan itu membungkuk hormat.

Jiyong menuju kamarnya. Ia ingin beristirahat selama beberapa saat sebelum makan siang. Ia tidak merasa terlalu lelah tetapi kejutan yang dibuat istrinya membuatnya lelah.

Hingga kini Jiyong tak mengerti mengapa gadis secantik itu disembunyikan Raja Hyun-suk dari masyarakat. Raja Hyun-suk juga diam saja ketika semua orang mengatakan putrinya gemuk dan jelek. Mengapa Raja Hyun-suk melakukan itu semua tidak dapat dijawab Jiyong. Hanya Raja Hyun-suk yang tahu mengapa ia melakukan itu mungkin Dara juga tahu. Tapi tak mungkin ia menanyakan hal itu pada Dara sendiri. Dara pasti sudah tahu apa kata orang tentang dirinya dan ia pasti dapat menduga bagaimana penolakan rakyat Kerajaan Goguryeo ketika rajanya ingin menikahi dirinya yang tak jelas seperti apa.

“Dara,” gumam Jiyong. Matanya menatap langit-langit kamar tapi yang muncul bukan lukisan indah di sepanjang langit-langit bukan juga patung-patung kecil di langit-langit. Jiyong melihat wajah Dara.

Gadis yang cantik dan tampak lembut. Seorang gadis yang sangat lembut. Dara memiliki kecantikan wanita Timur yang luar biasa. Matanya yang hitam mengandung misteri Timur. Rambut hitamnya membingkai wajahnya yang cantik.

Dara sangat elok. Tak pernah dalam hidupnya Jiyong melihat seorang gadis yang secantik Dara. Jiyong terus memandang bayangan wajah Dara yang tampak di langit-langit kamar.

Suara dentang lonceng tanda makan siang telah siap, mengejutkannya. Jiyong ingat ia sedang menanti makan siang yang disiapkan pelayan. Cepat-cepat Jiyong mengganti pakaiannya.

Tak lama setelah Jiyong merapikan dirinya, Kim mengetuk pintu.

“Makan siang sudah siap, Paduka,” lapornya.

Jiyong berjalan lambat ke Kamar Makan. Ketika melewati kamar Dara, ia melihat pintu itu masih tertutup rapat. Jiyong berpikir Dara masih sibuk berdandan dan ia semakin memperlambat langkahnya.

Penjaga membukakan pintu Ruang Makan untuk Jiyong.

Jiyong melangkah masuk dan tertegun.

Seorang gadis duduk di bingkai jendela dan memandang jauh ke depan. Tubuhnya yang terbungkus gaun hijau cerah tampak elok. Perlahan gadis itu memalingkan kepala. Tanpa berbicara apa-apa, ia bangkit dan mendekati meja makan.

Jiyong cepat-cepat menarik kursi untuk Dara.

“Terima kasih,” kata Dara singkat.

Jiyong duduk di kepala meja samping gadis itu. “Maafkan aku. Aku pasti telah membuatmu lama menunggu.”

“Aku baru tiba.”

Pelayan yang telah bersiap-siap di ruangan itu segera melayani mereka. Bergantian mereka masuk sambil membawa baki perak berisi makanan yang lezat-lezat.

Mereka makan tanpa banyak bicara. Sampai pelayan membawa makanan penutup, Dara diam seribu bahasa.

Setelah pelayan membawa masuk makanan penutup, Jiyong berkata, “Mari kita ke Ruang Duduk. Ada yang ingin kukatakan padamu.”

 Dara tetap tidak berkata-kata saat mengikuti Jiyong.

Jiyong membuka pintu dan mempersilahkan Dara masuk. Setelah itu ia menutup pintu rapat-rapat.

“Ada yang perlu kauketahui.”

 Dara diam memandang pria yang duduk di depannya.

“Ini mengenai perjalanan kita ke Kerajaan Goguryeo,” kata Jiyong, “Engkau pasti menduga kita akan melewati jalan darat. Tapi aku telah merencanakan kita akan melewati jalan laut. Saat ini laut sedang cerah-cerahnya kupikir engkau pasti senang kalau kita lewat sana. Aku tahu engkau ingin melihat dunia luar yang selama ini tak pernah kaulihat. Aku juga ingin engkau melihatnya.”

“Kita akan berangkat hari ini juga. Kurencanakan kita berangkat nanti sore, tetapi aku merasa kita bisa berangkat lebih pagi dari yang kurencanakan semula. Sekarang engkau beristirahatlah dulu. Nanti bila hampir tiba saatnya untuk berangkat, aku akan menyuruh pelayan memanggilmu.”

 Dara beranjak bangkit.

Jiyong juga bangkit. Ia memegang lengan Dara sebelum gadis itu pergi. “Aku berharap engkau tidur yang nyenyak. Perjalanan dari Kerajaan Silla ke Istana Camperbelt pasti telah melelahkanmu. Dari rumah musim panasku ini, kita akan ke pelabuhan. Perjalanannya kurang lebih setengah lama perjalanan tadi.”

 Dara hanya melihat Jiyong dengan tenang.

Jiyong termenung melihat Dara berlalu dari hadapannya dengan anggunnya tanpa menoleh lagi.

 Dara tahu ia tidak merasa lelah. Ia tidak akan dapat tidur seperti keinginan Jiyong.

 Dara terus melewati tempat tidur dan berdiri di serambi. Seperti kebiasaannya, ia memandang langit di kejauhan dan berpikir.

Jiyong mengerti apa yang dirasakannya. Itu yang membuatnya heran. Ia tidak pernah mengatakan apa yang diinginkannya tapi pria itu tahu ia ingin melihat seluruh wajah dunia yang tidak pernah dilihatnya.

Jiyong telah menunjukkan padanya rumah-rumah penduduk yang berjajar di tepi jalan. Hijaunya hutan rimbunnya pepohonan di dekatnya. Sekarang Jiyong akan menunjukkan padanya indahnya laut di saat menjelang musim gugur.

 Dara termenung.

—–0—–

Jiyong mengetuk perlahan kamar Dara.

Semula Jiyong ingin menyuruh pelayan membangunkan Dara, tetapi setelah dipikir-pikirkannya, ia merasa lebih baik ia sendiri yang membangunkan Dara. Sekarang, di sinilah ia – menanti jawaban Dara.

Tidak ada jawaban dari dalam.

Jiyong mengira Dara masih tidur. Jiyong ragu membangunkan Dara. Ia yakin gadis itu kelelahan setelah perjalanan jauh pertamanya. Tapi saat ini kereta telah siap mengantar mereka.

Perlahan-lahan Jiyong membuka pintu itu. Perlahan-lahan pula ia menutup pintu. Jiyong masih ragu membangunkan Dara.

Jiyong melihat ke depan dan terkejut.

 Dara duduk di pagar serambi. Seperti tadi, matanya memandang jauh ke depan.

“Dara.

Gadis itu masih tenggelam dalam dunianya.

“Dara!” Jiyong meninggikan suaranya.

Dara memalingkan kepalanya. Saat itulah Jiyong menyadari Dara tidak tampak telah tidur. Gadis itu masih tetap segar seperti ketika dua jam lalu ia duduk bersamanya di Ruang Duduk.

“Engkau tidak tidur?” tanya Jiyong heran, “Mengapa engkau tidak beristirahat?”

“Aku tidak mengantuk.”

Jiyong memincingkan matanya dengan heran. “Engkau yakin engkau tidak lelah?”

 Dara mengangguk.

“Kurasa sebaiknya aku mengundur keberangkatan kita. Aku tidak ingin engkau terlalu lelah akhirnya jatuh sakit.”

 Dara melihat ke bawah pada kereta yang telah siap di depan Istana Camperbelt.

Jiyong ikut melihat Pengawal Kerajaan yang tengah menanti mereka kemudian berpaling pada Dara. “Mereka pasti mengerti keputusanku ini. Seperti aku, mereka juga tidak ingin engkau sakit.”

“Raja yang baik tidak pernah mengecewakan rakyatnya,” kata Dara sambil berlalu dari sisi Jiyong.

Jiyong segera mengikuti Dara. “Ratu yang baik tidak pernah membuat rakyatnya cemas,” balas Jiyong.

 Dara tidak membantah juga tidak mengatakan apa-apa. Ia mengambil topinya di atas tempat tidur dan membuka pintu.

“Baiklah,” kata Jiyong menyerah, “Aku mengerti engkau ingin segera melihat laut.”

Lagi-lagi Jiyong membuat Dara heran. Ia tidak mengatakan keinginannya tapi Jiyong tahu ia ingin segera melihat laut biru yang membentang luas yang bertemu dengan langit biru.

Dengan sigap, Jiyong mengangkat Dara ke dalam kereta dan menutup pintu setelah memberikan perintahnya pada prajurit yang mengawal mereka.

“Kali ini,” kata Jiyong tegas ketika kereta mulai berjalan, “Aku ingin engkau tidur.”

 Dara tetap memandang keluar jendela. Melihat matahari yang tengah memancarkan sinarnya yang menyilaukan.

Seperti tadi, Jiyong membujuk Dara. “Tidurlah. Aku tidak akan menyentuhmu.”

 Dara tetap membandel.

Jiyong mengerti Dara ingin melihat tempat-tempat yang mereka lalui. Tapi ia juga mengerti Dara lelah. Walaupun gadis itu tak mengakuinya, Jiyong tahu.

“Aku tidak akan menyentuhmu,” Jiyong meyakinkan Dara, “Aku juga akan tidur. Sejak tadi aku tidak beristirahat sedikitpun.”

“Lakukanlah,” kata Dara tanpa berpaling.

Tak sampai setengah jam kemudian, Dara merasa matanya lelah. Sejak siang tadi ia memaksakan matanya melihat hal-hal yang baru. Ia senang melihatnya dan tidak ingin melewatkan tiap tempat, tapi tubuhnya menolak. Tubuhnya yang tidak pernah dibawa pergi jauh merintih lelah dan membuat matanya lelah juga.

Dara tidak dapat menahan rasa lelahnya dan akhirnya ia memilih menyandarkan punggung sebentar. Dara melihat Jiyong tidur dengan tangan terlipat di belakang kepalanya. Sesaat Dara ragu-ragu. Kemudian Dara duduk menjauh di pojok kereta dan beristirahat. Ia akan mengistirahatkan matanya sebelum memperhatikan pemandangan yang baru baginya itu.

Entah berapa lama ia memejamkan mata, Dara sudah tidak tahu lagi tetapi ia dapat merasakan sesuatu menyentuhnya. Dara tidak tahu apakah itu, ia merasa ia tidak mempunyai cukup tenaga untuk membuka matanya.

Sesaat kemudan Dara merasa hangat. Seluruh tubuhnya terasa diselimuti oleh perasaan hangat dan aman. Angin yang beberapa saat lalu masih terasa menerpa tubuhnya tidak terasa lagi. Kehangatan itu membuatnya merasa nyaman. Tanpa sadar, Dara semakin merapatkan diri ke asal perasaan hangat itu dan kembali terlelap.

Tiba-tiba Dara merasakan angin dingin yang keras menerpa tubuhnya. Ia menggigil tapi kehangatan itu segera menyelimuti tubuhnya. Dara semakin membenamkan tubuhnya dalam kehangatan itu.

Belum lama ia merasakan kehangatan itu ketika Dara merasa tubuhnya seperti dibuai. Gerakan-gerakan yang lembut membuatnya merasa seperti bayi yang sedang dibuai dalam gendongan. Tiba-tiba Dara merasa dingin. Tetapi kali ini tidak ada kehangatan yang menyelimuti tubuhnya.

Dara mengerjapkan mata berulang-ulang ketika melihat dinding putih di depannya. Dara kembali teringat pada perasaan hangat yang terus menyelimutinya. Pada sepasang tangan kekar yang memeluknya dengan lembut. Tangan yang memeluknya erat-erat sehingga ia bisa tidur dengan nyenyak sepanjang perjalanan.

 Dara melihat sekeliling ruangan. Dalam kegelapan, ia hampir tidak dapat melihat apapun. Ruangan itu gelap hanya seberkas cahaya dari lubang jendela yang menyinari tempat itu.

Didekatinya jendela bulat itu dan ia tertegun.

Laut yang biru tampak hitam sehitam langit malam. Sinar-sinar bintang membuat laut tampak berkilau-kilau keemasan. Ombak-ombak kecil berlarian di permukaan laut. Di kejauhan tak tampak apapun selain warna hitam dan cahaya yang kemilauan. Langit juga tidak tampak. Laut dan langit bersatu dalam kegelapan malam.

Keindahan laut di malam hari membuat Dara terpesona.

Jiyong tertegun. Entah untuk keberapa kalinya Dara membuat dirinya terpesona.

Beberapa saat lalu saat ia membaringkan Dara, ia melihat gadis itu tertidur sangat nyenyak. Demikian pula ketika ia berada dalam pelukannya. Dara yang telah tertidur di dalam kereta itu sama sekali tidak bergerak ketika ia meraih gadis itu dalam pelukannya dan membiarkan kepalanya terkulai lemah di dadanya selama perjalanan.

“Engkau sudah bangun?”

 Dara berpaling.

“Kukira engkau masih tidur. Tidurmu sangat nyenyak seolah engkau tidak akan bangun sebelum pagi.”

Dara diam saja.

Jiyong tersenyum. “Sebaiknya aku memanggil minzy.”

Dara menatap Jiyong lekat-lekat.

“Kupikir ia akan sangat membantumu dalam perjalanan ini. Ia juga dapat menjadi temanmu,” kata Jiyong sambil tersenyum.

Jiyong meletakkan lilin di meja tengah ruangan dan meninggalkan Dara. Sesaat kemudian seorang wanita muncul dengan tersenyum.

“Selamat malam, Paduka. Nama aku minzy. Aku di sini bertugas melayani Anda. Kalau ada yang harus aku lakukan, jangan ragu untuk mengatakannya juga jangan ragu untuk memarahi aku bila aku berbuat salah,” wanita itu memperkenalkan dirinya dengan sopan.

“Paduka Raja memintaku membantu Anda membersihkan diri,” kata minzy pula.

Dara tidak mengatakan apa-apa ketika wanita itu membantunya melepaskan gaunnya.

Dara merasa segar kembali setelah mandi. Rasa lelah dan rasa kantuknya hilang bersama air mandinya. Ia merasakan kedinginan yang menyegarkan.

Setelah menyikat rambut hitamnya, minzy mengundurkan diri.

Dara mengawasi wanita itu hingga ia menghilang di balik pintu. Kemudian Dara duduk dan menatap keluar jendela.

“Apa yang engkau pikirkan?”

 Dara melihat Jiyong mendekatinya.

“Maukah engkau ikut denganku melihat laut musim gugur?”

Jiyong tak menanti jawaban Dara. Dengan lembut ia menarik berdiri Dara dan menggandengnya keluar kamar.

Angin dingin laut membuat Dara menggigil kedinginan. Tapi itu hanya sesaat, Jiyong memeluknya dan membawanya ke geladak kapal.

“Indah bukan?” tanya Jiyong.

 Dara mengangguk.

“Engkau masih kedinginan?”

Pertanyaan itu hanya dijawab Dara dengan gelengan kepalanya.

“Seharian ini,” kata Jiyong, “Aku hampir tidak mendengar suaramu. Apakah engkau marah padaku?”

“Tidak,” jawab Dara singkat.

“Baiklah, aku mengerti. Engkau mungkin marah padaku tetapi engkau tidak mau mengatakannya,” Jiyong mengalah.

 Dara memperhatikan laut yang tampak hitam sehitam langit malam. Laut dan langit tampak seakan-akan bersatu dalam kegelapan. Sinar bintang di langit memantul di laut yang berombak dan membuat laut bersinar kemilauan. Angin laut yang dingin terus bertiup mengembangkan layar kapal. Kapal yang berjalan perlahan dibuai oleh ombak kecil.

Dara senang merasakan buaian laut itu. Ia merasa seperti anak kecil yang dibuai oleh ibunya.

Jiyong melihat gadis di sampingnya itu dengan heran. Perasaannya mengatakan gadis itu merasa senang tapi wajahnya tetap tenang. Jiyong ragu apakah gadis itu menyukai perjalanan laut ini.

Diakuinya ia sama sekali tidak mengenal sifat istrinya yang ternyata berbeda jauh dari apa yang dibayangkannya juga dibayangkan semua orang.

Jiyong kembali memandang laut.

Perjalanan laut masih akan berlangsung seminggu lagi. Itu berarti masih seminggu lagi rakyat Kerajaan Goguryeo akan tahu rupa Putri yang dinikahinya. Tetapi sebelum itu, pasti sudah ada berita tentang Putri Dara di koran.

Jiyong yakin seperti dirinya, semua rakyatnya akan terkejut melihat rupa Putri Kerajaan Silla.

“Permisi, Paduka,” kata mizyy ragu-ragu.

“Ada apa, minzy?” tanya Jiyong.

“Makan malam sudah disiapkan di kamar Paduka Ratu, seperti perintah Anda,” minzy melaporkan.

“Terima kasih. Kami akan segera ke sana.” Kemudian pada Dara, Jiyong berkata lembut, “Mari, Dara.”

 Dara tidak berkata apa-apa ketika Jiyong menuntunnya kembali ke kamarnya.

Meja di tengah kamar Dara telah diatur dengan rapi. Sepasang lilin putih dinyalakan di tengah meja yang juga dihiasi oleh mawar merah itu. Suasana di dalam kamar itu telah diubah sedemikian rupa menjadi romantis.

Jiyong menarik kursi untuk Dara. Seperti tadi siang, Dara hanya diam saja. Jiyong terus memandang Dara yang berdiam diri sepanjang makan malam itu.

Pelayan berlalu lalang membawakan makanan dan melayani mereka.

Suasana di kamar Dara selama makan malam itu sunyi. Tidak seorangpun di antara mereka yang berbicara.

Dara, si gadis tenang, sepanjang hari memang selalu berdiam diri. Tetapi Jiyong sengaja berdiam diri. Ia tidak tahu apakah ia bisa membuat Dara berbicara. Sepanjang hari ini ini telah bertanya banyak dan mencoba membuat Dara berbicara tetapi Dara lebih banyak berdiam diri.

Pelayan membawa pergi piring mereka.

Jiyong diam memandang wajah Dara.

“Ada masalah penting yang harus kukatakan padamu.”

 Dara diam mendengarkan.

“Ini masalah pernikahan kita. Engkau harus tahu pernikahan ini adalah pernikahan politik belaka. Hubungan baik antara Kerajaan Silla dan Kerajaan Goguryeo telah terjalin selama berabad-abad. Aku berpikir alangkah baiknya bila hubungan ini dipererat. Karena itu aku melamarmu. Ayahmu telah mengerti keinginanku ini dan ia juga menganggap ini adalah ide baik. Dengan pernikahan ini aku juga ayahmu mengharapkan rakyat dari kedua kerajaan ini semakin akrab.”

“Dan karena kita belum saling mengenal, aku ingin kita berhubungan sebagai teman. Engkau mengerti apa yang kukatakan ini bukan?”

Sejak awal Dara juga mengerti ini adalah pernikahan politik biasa.

“Aku senang engkau mengerti.” Jiyong terdiam beberapa saat kemudian berkata, “Malam semakin larut. Kupikir sebaiknya engkau beristirahat.”

Setelah Jiyong menghilang di balik pintu, Dara menuju jendela dan mengawasi langit.

“Sejak dulu langit dan bumi tidak pernah bersatu. Kini langit dan bumi terlihat bersatu tetapi dalam kegelapan yang pekat,” kata Dara termenung.

Dara menuju geladak. Dipandanginya langit tanpa sedikitpun berkedip. Rambut hitamnya yang basah dibiarkannya dipermainkan angin laut. Sampai rambut itu kering, Dara masih berdiri memandang laut. Gaun lengan panjang Dara membuat gadis itu tidak terlalu merasa kedinginan. Dara senang memandang laut dan langit yang bersatu itu seperti ia senang melihat hal-hal yang baru baginya.

Jiyong telah menunjukkan banyak hal pada Dara. Entah apa yang akan ia tunjukkan pada Dara esok hari.

to be continued….

<<back  next>>

48 thoughts on “Princess’s Mask… [Chapter 4]

  1. Dara begitu misterius,dingin,dan tak tersentuh
    Padahal jiyong udah melakukan berbagai cara agar membuat dara berbicara tapi dara tetap aja bungkam dan bicara seadanya

Leave a comment