Eyes, Nose, Lips #2-End

eyesnoselips

Author : Zhie

creditnya => Sweetierose by http://cafeposterart.wordpress.com)

You ain’t even really gotta lie
I just need you to say good bye
Then I’ll really let you go and you’ll never see me
So just… stop wasting my time

-Eyes, Nose, Lips : Lydia Paek-

.

.

.

“Maaf saya terlambat.”

“Tidak biasanya kau datang terlambat, Dara-ssi?” tanya Song Haeyeon- Ibu Mino saat menyambutnya.

“Ah. Itu karena-“

“Aku pulang.” potong seseorang di belakangnya.

“Mwo? Buat apa ia mengikutiku hingga ke sini? Bukankah ia mengatakan hanya ingin mengantarku?” tanya Dara dalam hati, ia tak mengerti… namja yang tiba-tiba memeluknya dan memaksa untuk mengantarnya, kini ikut masuk ke dalam rumah anak didiknya. “Bukankah ini berlebihan? Mengapa ia mengekoriku, hah?” batin Dara terus menerus bertanya bingung.

“Omo. Kau pulang?” Dara semakin mengerutkan keningnya, saat ibu Mino terlihat mengenalnya. Namja  itu pun melewati Dara, dan terlihat acuh tak mengabaikan wanita paruh baya yang tengah menatapnya.

“Eh… eh… apa ini? Tidak sopan.” pikir Dara mengamati.

“Ne. Anda tidak suka aku pulang?”

“Ah. Anio… bukan begitu. Masuklah- ada apa denganmu, kau basah kuyup? Aku akan segera membuatkanmu sup hangat.”

“Ani. Tidak perlu melakukannya. Aku hanya mampir sebentar. Oh iya… dia- terlambat karena aku, jadi tak usah lagi menanyakannya.” Dara tersadar, saat namja itu menunjuk ke arahnya. Terlihat ibu Mino kini tengah menatapnya, Dara hanya bisa mengangguk membenarkan tanpa bisa lagi berkata-kata.

Beberapa saat kemudian…

“Jadi Noona, jadi apa hubunganmu dengan Jiyong Hyung?” tanya Mino di sela-sela mengerjakan soalnya.

“Jiyong Hyung?”

“Iya. Dia kakakku, Eomma mengatakan kau datang bersamanya. Yah, walaupun sebenarnya kami bukan saudara kandung tapi ia tetap kakakku, kan? Jadi apa hubunganmu dengannya?”

“Anio. Tidak ada… tidak ada apa pun.”

“Jinjja?

“Ne.”

“Ah… kupikir-“

“Mwo?” tanya Dara saat Mino tak kunjung melanjutkan ucapannya.

“Anio. Tapi gomawo Noona, kau telah membawanya kembali ke rumah. Walau hanya sesaat, senang rasanya ia mampir dan berbicara pada Eomma.”

“Ah… itu hanya kebetulan.”

“Ne. Tetap saja, aku berterima kasih Noona. Suatu saat mungkin ia juga bisa menerima dan berbicara denganku.”

“Wae? Suatu saat? Memang kau selama ini tak pernah bicara dengannya?” tanya Dara menatap tak mengerti. Mino tersenyum kecut.

“Anio. Hyung- ia tak suka… ah, ani maksudku ia belum menerimaku dan Eomma masuk ke dalam kehidupannya dan aku sangat memaklumi itu.”

“Omo. Bukankah ia seharusnya bertindak lebih dewasa? Mengapa ia seperti itu hah?” gumam Dara tak bisa memahaminya.

“Mungkin karena ia masih menganggap kami adalah benalu atau tanaman yang mengganggu dipekarangannya…”

“Mwo?”

“Eommaku dan Appa Jiyong Hyung telah menikah 2 tahun lalu… aku senang saat itu, karena yang kutahu Appa Jiyong Hyung orang yang sangat baik dan hangat, berbeda dengan appaku yang sebelumnya selalu memukulku dan eomma bila sedikit saja ada yang salah di matanya. Appa Jiyong Hyung juga mengatakan dengan jujur bahwa dia saat itu masih dalam proses perceraian dengan istrinya yang hanya sibuk dengan karirnya tanpa memperdulikan perkembangan putra mereka, terlepas dari itu semua tanpa tahu bagaimana perasaan Jiyong Hyung- aku menyambutnya dengan sangat terbuka dan gembira… hingga aku sadar saat kami dipertemukan pertama kali, dia memiliki tatapan yang sangat tak bersahabat padaku. Aku sempat berpikir, apa aku dan eomma telah melakukan kesalahan? Seandainya Eomma dan aku tak masuk kekehidupan Appa Jiyong Hyung, mungkin saja kini Appa dan Eomma Jiyong Hyung masih bersatu? Aku terus memikirkan tentang hal itu… karena itu- semua menjadi wajar bila Jiyong Hyung masih tak bisa menerima kami dengan tulus.”

“Ah. Aku sedikit mengerti sekarang, tapi tetap saja… tidak bisa terus seperti ini. Mino-yah… tenang saja Noona ini akan membantumu.” 

Dan hari demi hari, bulan demi bulan pun berlalu.

Dara hadir di kehidupan mereka membawa sebuah keajaiban- dengan keceriaan, kehangatan dan senyum tulusnya ia mampu merubah semuanya… bahkan Jiyong akhirnya menyerah dan membuka hatinya yang sebelumnya terasa beku dan mati kini mencair seiring berjalannya waktu. Yah, Dara telah membuatnya menerima semuanya… menerima uluran kasih sayang tulus orang-orang yang kini berada di sekelilingnya. Sandara. Park Sandara- telah merubah hidupnya.  

.

.

.

“Hei! Kau sudah lebih sehat sekarang? Kau akan pergi?” tanya Donghae saat melihat Dara baru saja keluar dari rumahnya dengan pakaian dan rambut yang tertata rapi.

Ne. Aku mendapat panggilan interview di Seungha High School hari ini. Lagipula tidak baik untukku jika terus mengurung diri di rumah.” jawab Dara yang Donghae tahu ia tengah berusaha keras untuk dapat bangkit dari keterpurukannya.

“Ah. Itu benar,” gumam Donghae akhirnya, “Kalau begitu kajja, aku akan mengantarmu.” lanjut Donghae dengan semangat meraih lengan Dara dan mensejajarkan diri di sampingnya.

Mwo? Kau tidak perlu melakukannya.” sungut Dara merasa aneh dengan perlakuan Donghae yang tiba-tiba menempel padanya.

“Ya! Waeyo? Bukankah wajar seorang sahabat mendukung sahabat kecilnya? Dan kau perlu tahu Dara, aku ini pembawa keberuntungan. Jadi kau akan sangat beruntung bila bersamaku… dan kupastikan kau akan segera diterima sebagai guru tetap di sana.”

“Cih. Kau terlalu percaya diri.” cuap Dara akhirnya, membuat Donghae hanya mencibir.

“Ais. Terserahlah jika kau masih meragukan dewi fortuna yang selalu mengikutiku itu.   So, kajja… atau kau akan terlambat nanti.” jawab Donghae membuat Dara berpikir sejenak dan akhirnya…

“Baiklah. Kajja… pembawa keberuntunganku, kau harus pastikan aku benar-benar beruntung kali ini.” ucap Dara lantang disusul teriakan bersemangat dari Donghae.

“Ok. Let’s go!”

Dara pun kembali tersenyum dengan segala tingkah Donghae di sampingnya, ia harusnya bersyukur di saat seperti itu- ia memiliki Donghae untuk menghiburnya dan tak seharusnya ia mendorongnya menjauh karena yang ia butuhkan memanglah sebuah penghiburan.

Melewati hati yang terluka seorang diri- itu sungguh tak akan menyembuhkan apapun… tapi dengan seseorang yang tulus menemanimu, luka itu pasti akan pulih dengan cepat. Benarkan?

~~~

Bukan awan putih, langit biru dan sinar matahari yang menghiasi Kota Seoul hari ini, tapi langit mendung yang mungkin akan menjatuhkan butiran-butiran airnya sesaat lagi. Jiyong masih berada di kantornya dan ia melupakan waktu makan siangnya. Ia belum mengubah posisinya- ia masih menatap jauh keluar jendela dengan pikiran yang entah kemana.

“Jiyong.” Sebuah suara menyadarkannya.

“Ah. Seunghyun Hyung, Wae?”

“Kau tidak makan?”

“Ah. Aku belum lapar.”

“Memikirkannya lagi?”

Mwo?

“Aku tidak tahu pasti, Kiko atau Dara yang berada dipikiranmu sekarang. Kau menyukai keduanya, menginginkan keduanya dan kau menjadi seorang egois yang brengsek, Ji.”… “Jangan marah, bila aku katakan itu.” ucap Seunghyun akhirnya, yang hanya di respon anggukan pasrah oleh Jiyong. Ia tidak marah bukan karena Seunghyun lebih tua darinya atau karena Seunghyun adalah sahabatnya tapi itu karena apa yang dikatakannya kali ini benar. “Ayolah, man. Tetapkan hatimu, Kiko telah lama memutuskanmu walaupun aku kadang masih tak mengerti mengapa ia selalu menghubungimu- dan Dara… aku sangat prihatin padanya kali ini, tapi bukan berarti aku berpihak padanya, aku berada di posisi yang netral… kau tahu itu? Hanya saja temuilah dia, paling tidak minta maaf padanya jika memang pada akhirnya kalian tidak mungkin lagi bersama… aku yakin itu dapat sedikit membantumu melupakan rasa bersalahmu padanya dan Dara pun dapat lebih mudah melepasmu dan melangkah maju lebih baik ke depan.”

Jiyong menghela nafas panjang, “Aku harusnya melakukan itu, tapi entahlah- mungkin tidak kembali muncul di hadapannya itu adalah yang terbaik. Aku hanya berusaha untuk membantunya lebih cepat melupakanku. Aku telah menyakitinya begitu banyak, ia terlalu lama bertahan tapi pada akhirnya aku tak bisa membuatnya untuk tetap tinggal.”

“Itu karena kau tidak pernah memintanya, Ji- dan saat ia pergi, kau bahkan hanya melihatnya tanpa berkeinginan untuk mencegah.”

Sindir Seunghyun tahu pasti bagaimana gilanya Jiyong saat mendapat kabar dari Mino bahwa Dara akan pergi meninggalkan Seoul. Seunghyun yang saat itu berada satu mobil dengannya setelah melakukan pertemuan bisnis pun harus benar-benar rela nyawanya tertinggal dimana-mana karena Jiyong mengendarainya mobilnya seperti orang yang tak waras, tapi well… apa yang terjadi selanjutnya, saat tiba di sana… Jiyong hanya melihatnya dari kejauhan tanpa sedikitpun berniat keluar dari mobil untuk menahannya, Jiyong hanya meremas kemudinya saat melihat Dara masuk ke dalam taksi yang akan membawanya sementara Mino yang telah berusaha menahannya tidak dapat berbuat banyak.

“Yah begitulah, Hyung.  Aku hanya berharap, ia dapat segera menemukan orang yang dapat menyembuhkan luka yang ku buat.”

Ne. Dan kau akan menyesal?”

Sigh.

“Yah. Aku akan-” guman Jiyong akhirnya. Lagi-lagi membenarkan.

.

.

.

Siang yang cukup terik di musim panas kali ini, beberapa tempat makan telah mulai terisi penuh saat jam makan siang. Dara dan Jiyong berada di salah satunya- mereka duduk saling berhadapan menikmati makanan yang telah tersaji di hadapan mereka.

“Waahhh… ini sangat lezat, Ji.” ucap Dara pada kekasihnya Jiyong di sela-sela makan siang mereka.

“Omo. Makanlah dengan pelan, Dara.” Jiyong kembali mengingatkan, menjulurkan tangannya- membersihkan makanan yang masih tertinggal di sudut bibir Dara.

“Aku sengaja. Agar kau membersihkannya.” canda Dara membuat Jiyong tertawa.

“Benarkah? Jika begitu lakukanlah lagi, lalu aku akan membersihkannya dengan bibirku kali ini.”

“Uhuk… uhuk… uhuk. Ya!” Dara tersedak.

“Hahaha… minumlah dulu.” 

Hari-hari Jiyong telah berlalu dengan baik semenjak Dara berada di sampingnya, ia sangat menikmati kebersamaan mereka saat itu… berpikir memang itulah yang terbaik- sampai akhirnya wanita yang berusaha untuk ia lupakan kembali menghubunginya dan menyita kembali perhatiannya dan semenjak itu… ia tak dapat menolak. 

“Jiyong-ah. Kau sangat sibuk akhir-akhir ini. Jadi bisakah kau sedikit luangkan waktu untuk peringatan hari jadi kedua kita pekan depan?” tanya Dara penuh harap saat menghubungi Jiyong melalui ponselnya, “Ah. Jinjja? Kau akan datang? Yuhuuuuu… kalau begitu aku akan siapkan semua makanan yang kau suka.” lanjut Dara begitu bersemangat.

Hingga akhirnya malam yang ditunggu Dara pun tiba.

Segala makanan yang Jiyong suka telah ia sajikan di atas meja dan gaun paling cantik yang ia punya telah ia gunakan dengan make up natural yang melengkapi wajah cantiknya. Ia berharap Jiyong akan benar-benar menyukainya, dan akan lebih terkesan dengannya.

Dan tak lama ponselnya pun berbunyi. 

“Yeoboseyo. Jiyong-ah. Kau di mana? Mwo? Kau tidak bisa datang? Wae? Ah. Kau ada rapat mendadak? Aku bisa menunggumu. Ah. Tak perlu? Ne. Araesso. Gwaenchana. Ah… baiklah, Ji. Ne.’

Dan akhirnya sambungan pun terputus, Dara hanya bisa menghela nafas panjang melihat makanan yang ia yakin ia tak akan mampu menghabiskannya dan melihat kembali pantulan dirinya di cermin- ia hanya bisa mengasihani diri, “Gwaenchana, Dara-yah. Ia benar-benar sibuk sekarang.” batinnya menguatkan.

Sementara itu di tempat lain…

“Siapa yang kau telepon, Ji? Apa ada janji yang penting?” tanya yeoja yang kini menghampirinya- memeluknya dari belakang.

“Anio. Bukan apa-apa.”

“Ah. Baguslah… karena malam ini, aku ingin kau menemaniku. Terlalu banyak masalah menghampiriku, bahkan tunangan yang dipilihkan orang tuaku pun tak lagi memperdulikanku. Jadi maukah kau menemaniku? Aku bisa selalu mengandalkanmu, kan?”

“Ne. Kau bisa mengandalkanku.”

Beberapa minggu kemudian…

“Kita memliki tanggal ulang tahun yang sama, jadi dimana sebaiknya kita merayakannya?” tanya Dara melalui saluran teleponnya saat itu. “Ah. Baiklah… tapi bukankah restoran itu sangat mahal? Ah. Araesso… araesso, kau punya cukup banyak uang untuk membayarnya. Ne. Kita akan bertemu di sana.” Dara pun mengakhiri sambungan dengan hati berbunga-bunga- ia akan makan malam di hari yang sangat sangat spesial bersama orang yang juga spesial- Jiyong.

Saat ini Dara tengah menunggu Jiyong di salah satu restoran yang cukup terkenal di Seoul. Sesekali ia memeriksa penampilannya agar itu tetap sempurna dan kini pandangannya menuju ke arah pintu masuk, berharap Jiyong akan segera muncul paling tidak dengan sebuket bunga tulip kesukaannya. Tapi telah lama ia menunggu- Jiyong tak juga menampakkan batang hidungnya, sampai akhirnya ia memutuskan untuk menghubunginya.

‘Jiyong-ah. Aku menunggumu. Mwo? Kau bersama rekan bisnismu? Tapikan- Araesso. Kau masih lama dengannya? Baiklah… kau benar, masih ada hari esok. Araesso. Aku tak kan menunggumu… aku akan pulang sekarang. Ah. Tunggu… selamat ulang tahun, Jiyong.’

Dan sambungan pun kembali berakhir, “Ah. Hanya terima kasih? Seharusnya kau juga mengatakan selamat ulang tahun padaku.” gumam Dara mencoba sekali lagi untuk memaklumi semuanya.

Sebulan… tiga bulan… lima bulan berlalu. 

Waktu berjalan seperti biasa- tak ada yang berubah- setidaknya itu yang diharapkan Dara di saat ia mulai berpikir ada sesuatu yang salah, tapi ia tak bisa sedikitpun menebaknya.

Hingga suatu hari, ia merasakan kepalanya sangat berat- keringat dingin keluar dari tubuhnya dan saat itu ia mencoba menghubungi seseorang.

“Jiyong-ah… aku sedang sakit sekarang. Bisakah kau datang? Ah. Aku tidak perlu apapun. Hanya membuatkanku ramen seperti biasa… itu yang kusuka. Ne. Aku akan menunggumu.’

Satu jam… dua jam… berlalu. Dara masih menunggunya, berharap untuk kali ini saja Jiyong datang untuk menemaninya tapi pada kenyataannya? Sigh. 

“Kyaaaaa!!! Aku lulus dengan sidang pertamaku, kau dimana sekarang? Bisakah kita merayakannya? Aku ada di- mwo? Kau tidak bisa? Wae? Ah. Kau ada meeting? Baiklah. Ne. Araesso. Aku akan menunggu di apartemenmu.” Dara berusaha keras untuk mengabaikan segala prasangka buruknya pada Jiyong, ia selalu berpikir positif… itu yang ia tanamkan untuk dapat selalu menjaga hubungan. Walaupun lagi-lagi itu kembali membuatnya menghela nafas panjang.

“Ah. Baiklah… aku akan belanja dan membuat makanan yang enak sebelum ia pulang. Ia pasti telah sangat lelah bekerja seharian ini.”

Ponselnya kembali berbunyi.

“Ne. Yeoboseyo Mino-yah, wae? Ah. Haeyeon Ahjumma ingin aku datang? Baiklah aku akan-“

Deg

Dara tak lagi dapat melanjutkan ucapannya kali ini, karena tepat di hadapannya- tak jauh darinya- ia melihat seseorang yang baru saja dihubunginya kini tengah berjalan hangat berdampingan dengan wanita yang bergelayut mesra di sampingnya. Walaupun wanita itu telah menutupi wajahnya dengan masker yang ia gunakan, Dara dapat menebak dengan baik siapa dia.

.

.

.

Dara melihat pantulan dirinya di cermin hari ini, memastikan bahwa make up-nya telah terpoles sempurna. Ini hari yang ditunggu setelah ia berhasil lolos dalam interview dan beberapa bulan masa training sebelum menjadi guru tetap di salah satu sekolah yang cukup terkenal di Busan.

“Ah. Akhirnya… aku benar-benar akan menjadi seorang guru yang profesional!” seru Dara saat kini ia telah berjalan dengan Donghae di sampingnya menuju halte.

“Selamat, Dara… mimpimu telah tercapai, sekarang kau percaya dengan dewi fortuna yang selalu mengikutiku, bukan?”

Aigo. Kau begitu besar kepala sekaranng. Ini juga hasil dari kerja kerasku, kau tahu?”

Araesso… araesso. Kalau begitu kau harus lebih bersemangat, Dara. Aku akan selalu mendukungmu. Fighting… fighting… fighting!” Donghae mengepalkan kedua tangannya dengan ekpresi lucu di hadapan Dara- membuat Dara tak mampu untuk menyembunyikan tawa renyahnya.

“Ouch. Berhenti melakukan itu, Donghae-yah… kau membuatku sakit perut.” ucap Dara di sela-sela tawanya.

Omo. Benarkah? Aku meniru para idol di TV saat melakukannya, Eomma bilang itu cute… tapi sepertinya itu tak berlaku untukku.” jawab Donghae dengan wajah kecewanya yang ia buat-buat.

Dara kembali tertawa.

Donghae pun sesaat mengamatinya. Sungguh ia sangat tak suka bila ada lagi yang menghilangkan tawa indah itu dari seorang Park Sandara, ia hanya berpikir… bukankah laki-laki yang dicintainya harusnya beruntung? Dara adalah sosok yang selalu ceria dengan segala kehangatan dari kepribadiannya. Kwon Jiyong. Apa kabarnya sekarang?

Wae?” tanya Dara kemudian.

Ani. Hanya saja- senang rasanya melihatmu kembali tertawa seperti itu, Dara.”

“­Eoh?

“Tetaplah seperti ini, seperti Dara yang kukenal sebelum ia mengenal cinta.”

Deg

Dara merasa itu seperti tamparan keras baginya. Donghae benar. Sakit hati yang di alaminya beberapa waktu lalu membuatnya benar-benar lupa seperti apa dia.  Tapi- lihatlah sekarang. Ia memang butuh waktu dan- ia bisa.

Ne. Kau benar. Inilah harusnya aku.” gumam Dara kemudian, “Gomawo, Donghae-yah. Gomawo, ne.” lanjut Dara menatap Donghae tulus, Donghae pun tersenyum membalasnya tapi sedetik kemudian… “YA!” pekik Dara saat Donghae tiba-tiba mengacak-acak rambutnya yang telah rapi, “Apa yang kau lakukan, hah?” seru Dara tak terima mengejar pria yang kini telah berlari menjauh darinya.

Yah, cinta terkadang dapat membuatmu- merubahmu- menyempurnakanmu- menjadi seseorang yang paling bahagia di dunia, tapi tidak bisa dipungkiri… cinta dapat menjatuhkanmu- menyakitimu- bahkan mematahkan hatimu- menjadi sesuatu yang tak akan pernah kau pikirkan.

Itulah sisi lain cinta. Ia bagai dua sisi koin- bagai hitam dan putih- bagai yin dan yang–  di mana itu akan selalu berhubungan dan berlawanan, lalu pada akhirnya… hanya keberuntungan yang membuatmu bertaruh dengan hidupmu di dalamnya.

~~~

Sementara itu, disisi lain… terlihat seorang namja tengah menatap kebersamaan Dara dan Donghae dengan penuh arti. Ia tak bisa memungkiri segala perasaan tengah berkecamuk di dadanya… dan saat melihat bagaimana kini Dara dapat kembali tertawa dan tersenyum- jujur, ia merasa lega. Lega- karena Sandara Park telah mulai kembali kepada kekehidupannya yang tenang sebelum ia menorehkan luka. Kwon Jiyong. Tak ada lagi yang ia ingin lakukan sekarang- bahkan niat untuk meminta maaf pun telah dikuburkannya dalam-dalam. Jiyong tak ingin lagi mengusiknya. Ia tahu ia begitu merindukan sosok yang kini tengah tersenyum ceria tak jauh darinya- ia merindukan segala yang ada pada dirinya- tatapannya- hembusan nafasnya- bahkan manis bibirnya… ia merindukannya semuanya. Tapi kini ia harus rela melepaskan semuanya. Sandara- Park Sandara… inilah akhirnya.

Dengan helaan nafas yang berat, Jiyong pun berbalik- pergi- menjauh- menahan segala keinginan untuk menariknya kembali ke sisinya, dan kini ia hanya berharap jika suatu saat mereka dipertemukan kembali, tidak ada luka yang terlihat dan itu baik-baik saja.

~~~

Apa itu penyesalan?
Ketika semuanya terasa begitu terlambat…
Apa itu kehilangan?
Ketika tidak  bisa lagi mendapatkannya…
Dan apa itu keputusasaan?
Ketika tidak ada lagi jalan untuk memperbaikinya…

=END=

<<back

Omo. Kyaaaaaaaaaa…. ngumpet di kolong. Mianhe… mianhe… salahkan imajinasiku yang membuatnya seperti ini.  (Jujur pingin banget Jiyong ngerasain hal ini kalo dia sampai nyakiti mpok daraku >>> Wkakak.)

So. Haruskah benar-benar berakhir seperti ini? Jika tidak, monggo kembali tinggalkan jejak tentang uneg2 chingudeul sekalian… siapa tahu aku dapat mengubah akhir dari kisah mereka >>> karena bagaimana pun sebuah cerita tergantung penulisnya, kan??? kekeke 😛 . Peace. ^.^v

Hengsho ^.^/

41 thoughts on “Eyes, Nose, Lips #2-End

  1. Huaaaaaaaaaaaaaaaaa, ubah jadi happy ending thor 😢😢😢😢😢😢😢😢😢😢😢😢😢😢😢😢😢😢😢😢😢😢😢😢😢😢😢😢😢😢😢😢😢😢😢😢😢😢😢😢😢😢😢😢😢😢😢😢😢😢😢😢😢😢

Leave a comment