Imperfect : Part #2

imperfect copy

multishot | daragon | angst

*ngumpet dari balik pintu*
Maaf banget bikin peran Dara ngenes gini.. >.< tapi namanya juga belajar bikin cerita angst.. *ngeles*
Jadi, niatnya.. saya bakal nyelesaiin keempat chapter cerita ini dulu, baru setelah itu balik lagi ke petualangan Dara di Indonesia.. so, please banget tahan sebentar ya.. saya nggak bisa mikir buat Phases kalo yang ini belum kelar.. >.<
Teruuus buat scene terakhir chap sebelumnya.. saya sendiri belum tega untuk bikin neng cantik kena STD (sexually transmitted disease alias penyakit kelamin) ato kena virus HIV.. jadi please~ lagi, harap bertahan dengan alur yang mungkin akan klise.. >.<

~ Imperfect – Unwind ~

Dara menatap kosong keluar jendela didepannya, menatap salju turun perlahan. Sekarang sudah memasuki musim dingin, tidak terasa sudah satu setengah bulan dia berada di rumah sakit ini. Satu setengah bulan rumah sakit berubah menjadi rumahnya. Satu setengah bulan yang benar-benar merubah hidupnya, merubahnya. Merubah diri seorang Park Sandara.

Orang tuanya memutuskan agar Dara tetap tinggal di rumah sakit, demi kepentingan terapinya. Akibat kejadian yang menimpanya, Dara memang memerlukan terapi, baik secara mental maupun fisik. Baru saja dia menyelesaikan satu sesi dengan dokter Lee Hyungjo. Jika kondisinya tidak seperti ini, dia pasti akan menyukai kakek psikiatris itu. Pribadi dokter Lee Hyungjo yang ramah dan humoris sayangnya tidak bisa banyak membuat Dara merasa nyaman. Beberapa kali mata Dara menangkap raut kasihan dalam ekspresi wajah dokter tua itu. Itu yang paling tidak dia inginkan, dikasihani.

Sudah cukup dia mengasihani dirinya sendiri, dia tidak butuh orang lain untuk merasa kasihan padanya!

Suara ketukan pintu yang didengarnya tidak membuat Dara beralih dari jendela.

“Selamat sore, Sandara..” terdengar suara yang sudah familiar di telinga Dara berkata tepat setelah pintu dibuka.

Dara tidak menyahut, dan tetap memandang butir salju yang berjatuhan dari langit.

“Dokter Oh Hani sudah menunggumu, aku akan mengantarkanmu kesana.” Lanjut perawat Seo, yang bersikap seolah-olah Dara menyambut percakapannya. Dia tidak mempermasalahkan kebisuan Dara memang, siapapun yang berada dalam posisi Dara saat ini, pasti akan melakukan hal serupa.

“Aku tidak sabar untuk menunggu sampai kau memasuki minggu ke-17…” perawat Seo terus berbicara sambil mendorong kursi roda Dara di koridor. Mereka berdua berhenti didepan lift, dan langsung masuk begitu pintu lift terbuka.

Sudah ada Jiyong didalam kotak baja itu. Perawat Seo membungkukkan badan memberi hormat.

“Dokter Kwon,”

“Perawat Seo,” balas Jiyong. “Halo Nona Park, apa kau akan melakukan salah satu terapimu?” sebagai salah seorang dokter yang menangani Dara, tentu Jiyong tahu terapi apa saja yang harus dijalani gadis itu.

Seperti biasanya, tidak ada jawaban dari Dara. Justru perawat Seo yang memberikan jawaban kepada dokter tampan itu.

“Kami akan menemui dokter Oh.” Jiyong mengangguk mengerti mendengarnya.

== Flashback ==

Begitu urusannya dengan pasiennya selesai, secepat mungkin Jiyong bergegas kembali ke Kamar 112, kamar rawat Dara. Padahal bukan sepenuhnya menjadi tanggung jawabnya jika dugaannya tadi menjadi kenyataan. Tapi hati kecilnya akan lebih tenang jika dia segera mengetahui hasilnya langsung. Dalam hati dia terus berdoa agar apa yang dipikirkannya tidak menjadi kenyataan. Kilasan akan wajah polos Dara sejak berada di ruang ICU hingga percakapan mereka tadi terus terbayang dalam ingatannya.

“Tidak, tidak. Itu tidak boleh terjadi. Jangan hancurkan gadis itu lebih dari ini.” pintanya.

Beberapa langkah dari Kamar 112, kakinya terhenti. Jantungnya berdegup kencang melihat pemandangan didepannya. Pasangan suami-istri Park tengah berpelukan dalam tangis yang bisa diartikan bukan tangis bahagia, dihadapan mereka berdiri dokter Oh Hani yang juga berwajah jauh dari raut bahagia, disamping dokter Oh, perawat Seo – perawat muda itu, menghapus air matanya.

Oksigen seolah dipompa keluar dari paru-paru Jiyong. Dugaannya benar.

Kakinya kembali melangkah, namun kali ini dengan perlahan, seakan takut pada kanyataan yang sudah ada didepan matanya. Tidak ada yang menegurnya karena baik dokter Oh maupun perawat Seo sedang berusaha menenangkan pasangan suami-istri dihadapan mereka.

Dari kaca pintu Kamar 112, Jiyong melihatnya. Dia melihat bahu gadis itu bergetar, kedua kakinya dia peluk didepan dada, kepalanya terkulai lemas diatas lutut, rambut panjangnya bertebaran menutupi disekelilingnya. Gadis itu menangis, diam, terisak. Namun bagi Jiyong, tangisannya kali ini justru lebih menyayat hati dibandingkan jeritan pilunya.

Tanpa menunggu keempat orang didepan ruangan itu menyadari keberadaannya, Jiyong perlahan membuka pintu. Isakan Dara semakin jelas terdengar.

“Nona Park…” panggilnya.

Dara tidak merasa perlu untuk menatap dokternya itu, dalam posisi yang sama, dia berkata kepada Jiyong. “Jadi inikah yang kau prediksi tadi, dokter? Itukah sebabnya kau meminta dokter Oh Hani memeriksaku?” tanya Dara.

Jiyong bisa menangkap nada getir dalam suara gadis itu. Kepalanya mengangguk, namun begitu sadar bahwa Dara tidak melihat anggukan kepalanya dia menjawab, “Iya.”

“Katakan padaku bagaimana kau bisa tahu?” kali ini Dara memiringkan kepalanya menghadap Jiyong, dengan masih tetap menempatkan kepalanya diatas lutut. “Kenapa kau bisa tahu padahal aku tidak merasakan apapun?!”

Ingin sekali Jiyong menghapus air mata yang mengalir di wajah gadis itu. Tapi dia berusaha menahan diri. “Tekanan darah, denyut nadi, dan kecepatan nafasmu diatas normal. Mengingat catatan kesehatanmu, kau tidak punya riwayat penyakit apapun, dan lagi karena…” Jiyong tidak berani menyelesaikan kalimatnya.

“Dan lagi karena aku baru saja menjadi korban pemerkosaan.” Lanjut Dara seolah itu adalah hal yang normal. Tapi tidak, itu tidak normal, yang terjadi pada dirinya tidaklah normal. “Ah, kau tentu tahu dasarnya..” komentar Dara, merujuk pada cirri-ciri yang disebutkan oleh Jiyong sebelumnya.

“Nona Park…”

“Tidak perlu menghiburku.” Potong Dara. “Sejak aku tersadar dari obat penenang yang kalian suntikkan tepat setelah aku sadar, aku terus bertanya-tanya. Apa salah yang pernah kulakukan? Apa dosa yang pernah kuperbuat? Apakah aku pernah menyakiti orang lain tanpa kusadari? Apakah aku tengah mendapatkan karma?”

Untuk pertama kalinya, Jiyong mendengar pasiennya itu berbicara panjang dalam nada tenang – jika berbicara diselingi isakan bisa dikatakan sebagai berbicara dengan tenang. Maksud Jiyong disini adalah, bahwa Dara berbicara tanpa menaikkan nada bicaranya atau berteriak-teriak.

“Apa kau berkeinginan menggugurkan kandunganmu?” tanya Jiyong tiba-tiba, membuat Dara mengangkat kepalanya dan menatap Jiyong dengan tajam.

“Aku sangat ingin melakukannya!” seru Dara. “Dia berada didalam perutku tanpa kukehendaki! Kau tidak tau seberapa besar keinginanku untuk menyingkirkannya! Sehingga aku bisa berpura-pura bahwa tidak pernah terjadi apapun padaku! Aku bisa berpura-pura bahwa hidupku baik-baik saja! Aku bisa  berpura-pura bahwa aku tidak pernah diperkosa oleh… oleh…”

Dara menutup wajahnya dengan kedua tangan, tangisnya semakin keras. Takdir seolah sedang mempermainkannya. Disaat dirinya masih sulit untuk menerima kenyataan yang terjadi kepada dirinya, kini… kini… kini kenyataan lain sudah menghadangnya.

“Nona Park…” Jiyong mendekat. Baru saja tangannya terulur, Dara sudah berkata, “Jangan sentuh aku!”

Jiyong kembali mundur.

“Aku tidak mau mengandung anak dari monster-monster itu… bahkan aku tidak tahu monster mana yang menjadi ayahnya…” Jiyong bisa melihat gadis itu semakin hancur.

Siapa yang mau diingatkan pada mimpi buruk yang paling buruk? Dan dalam kasus Dara, selamanya dia akan diingatkan pada mimpi buruknya.

 == Flashback End ==

“Ah, apakah aku boleh ikut?” pertanyaan Jiyong kali ini berhasil menarik perhatian Dara. “Aku selalu penasaran dengan proses sonografi.” Jawabnya dibawah tatapan tajam gadis itu. Perawat Seo yang juga mendengar ikut mendengar membelalakkan matanya kaget.

“Kau seorang dokter, tentunya kau tahu prosesnya.” Sahut Dara dalam suara pelan, tapi tentu saja menggunakan nada tajam.

Tidak ada lagi jejak Park Sandara sebagai seorang guru yang ramah. Bahkan dia mengusir para rekan kerja yang berniat membesuknya. Anak-anak didiknya pun dilarang datang ke rumah sakit. Satu alasan yang paling mendasarinya, karena tidak ingin mendapat tatapan simpati dari mereka.

Jiyong menggaruk kepalanya yang tidak gatal. “Waktu kelas pemeriksaan sonografi dulu, aku berhalangan. Dan seperti yang kau tahu, spesialisasi yang kuambil tidak memerlukan sonografi.” Jawabnya. “Aku memang tahu prosesnya secara teoritis, tapi tetap saja aku ingin tahu secara langsung.” Lanjutnya tanpa rasa bersalah.

Dara memalingkan wajahnya kembali menatap kedepan, enggan menanggapi. Semantara perawat Seo merasa malu mendengar jawaban Jiyong. Dalam benaknya dia berpikir, apa dokter itu tidak malu berkata demikian kepada pasiennya. Bukankah yang biasanya ikut menemani saat pemeriksaan sonografi adalah ayah dari sang jabang bayi? Kalau begitu…

Pikiran perawat Seo terhenti karena mereka sudah sampai di lantai yang mereka tuju. Begitu pintu lift terpisah terbuka, dia mendorong kursi roda Dara. Baru berjalan tiga langkah, dia berhenti dan menoleh kepada Jiyong, masih dengan wajahnya yang memerah.

“Dokter Kwon…” lirihnya, bermaksud mengajak dokter tampan itu turun dari lift, mengingat dalam pembicaraan tadi pria itu berkeinginan untuk ikut.

Jiyong hanya tersenyum simpul dan menggelengkan kepalanya. Membuat perawat Seo mengerutkan alis.

“Aku hanya menggoda nona Park saja, kalau tidak begitu dia tidak akan mau membuka mulut.” Jawabnya enteng membuat perawat Seo melongo. Jadi hanya gurauan.

“Ah, neh, algessimnida dokter Kwon..” perawat Seo tersenyum.

“Nona Park, sampaikan salamku pada dokter Oh.” Kata Jiyong terakhir kalinya sebelum pintu lift kembali tertutup.

Perawat Seo terkikik geli mengingat perkataan Jiyong tadi.

“Aigoo, Sandara… kupikir tadi dokter Kwon akan benar-benar ikut kita.” Katanya. Tapi tidak ada tanggapan apapun, karena Dara sudah kembali pada sikap diamnya.

**

Sudah ada Park Eunju saat dokter Kwon Jiyong masuk kedalam Kamar 112, kamar yang sudah menjadi rumah kedua bagi Keluarga Park Hyunsuk, semenjak putri mereka ditemukan tergeletak tak sadarkan diri di sebuah gang kecil. Eunju tengah membereskan bekas tempat makan putrinya.

“Selamat sore Nyonya Park,” sapa Jiyong tersenyum.

Wanita paruh baya itu sejenak menghentikan pekerjaannya dan membalas senyuman Jiyong. “Selamat sore dokter Kwon.”

“Dara sedang berada didalam kamar mandi,” lapor Eunju sebelum Jiyong bertanya. Dokter muda itu hanya mengangguk singkat, tetap memasang senyumnya.

Pintu kamar kembali terbuka dan perawat Seo masuk. “Nyonya Park ini sandwich tuna yang Anda inginkan.” Katanya, “Oh, selamat sore dokter Kwon.” Tambahnya buru-buru melihat keberadaan Jiyong.

“Selamat sore perawat Seo.” Balas Jiyong tersenyum.

Tiba-tiba saja perawat Seo membungkukkan badannya dihadapan Jiyong. “Mianhamnida, Anda sampai disini lebih dulu daripada saya..”

“Aigoo, mianhe dokter Kwon. Itu bukan kesalahan perawat Seo, saya meminta tolong kepadanya untuk membelikan sandwich tuna karena saya tidak bisa meninggalkan Dara seorang diri.” Potong Eunju menyadari karena kesalahannya perawat muda itu mungkin akan mendapatkan masalah, ikut membungkukkan badan.

Jiyong tersenyum sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. “Tidak apa, perawat Seo, Nyonya Park. Itu bukan masalah..”

 PRAAANG

Suara itu mengejutkan ketiganya. Serentak mereka berlari menuju ke kamar mandi. Eunju yang pertama kali sampai di pintu langsung berusaha memutar handel, namun pintu tetap diam tak bergeming. Dara telah menguncinya dari dalam.

“Dara!! Sayang!! Ada apa nak?!” seru Eunju panik, menggedor pintu.

“Sandara!!”

“Nona Park!!”

Tidak ada jawaban dari dalam. Eunju yang panik mulai menangis sambil terus memanggil-manggil nama putrinya, meminta agar putrinya itu mau membukakan pintu.

“Perawat Seo, Nyonya Park, tolong mundur. Biar saya dobrak saja pintunya.” Kata Jiyong menggertakkan rahang.

Kedua wanita itu menurut. Perawat Seo merangkul Eunju yang sudah mulai lemas.

BRAAK

BRAAAK

BRAAAAK

Baru pada usaha ketiga, pintu berhasil terbuka. Ketiga pasang mata langsung menatap ngeri apa yang ada dihadapan mereka. Dara meringkuk dengan tubuh bergetar dalam tangis. Pecahan kaca berserakan disekitar tubuhnya. Sepasang kruk tergeletak begitu saja diantara serpih dan pecahan kaca. Ada darah yang tergenang. Kedua tangan Dara masing-masing menggenggam pecahan kaca, erat.

Seketika itu juga, Park Eunju pingsan.

**

Eunju tak hentinya menangis melihat kondisi Dara. Kedua tangannya dibebat tebal karena luka robek akibat dia mengenggam pecahan kaca tadi. Bagian tubuhnya yang lain pun tidak luput dari luka gores karena setelah memecahkan kaca, tubuh gadis itu langsung ambruk.

“Omma… aku ingin mati saja…” lirih Dara dalam dekapan ibunya. Gadis itu meringkuk mencari perlindungan dalam pelukan sang ibu.

Eunju semakin terisak keras mendengar penuturan putrinya. Perawat Seo dan Jiyong yang mendengarkan curahan hati ibu dan anak ini, tak kuasa menahan getir dalam hati mereka. Bahkan perawat Seo sudah menitikkan air mata.

“Dara… kau tidak boleh bicara seperti itu sayang…” balas Eunju disela isak tangisnya.

“Omma, kenapa aku yang harus menerima semua ini. Apa salahku?” Dara sudah berulang kali menanyakan pertanyaan yang sama, tapi Eunju tak juga menemukan jawaban untuk pertanyaan putri tercintanya itu.

“Dara-ah…”

“Tadinya aku berpikir, aku akan mencoba melupakan semuanya.. aku akan mencoba membuka lembaran baru.. tapi anak ini… anak yang ada dalam perutku ini…” Dara berhenti sejenak. “… anak ini akan terus mengingatkanku kepada monster-monster itu.”

“Dara-ah…”

“Aku ingin membunuhnya omma, aku sangat ingin membunuhnya… tapi, apa salahnya? Dia tidak bersalah apapun… walaupun… walaupun separuh dirinya berasal dari monster-monster itu, tapi separuhnya lagi berasal dariku…”

Sampai disini, perawat Seo tak lagi berusaha menyembunyikan isakannya.

“Putriku sayang… oh, putriku yang malang…” rintih Eunju, semakin mempererat pelukannya pada Dara.

“Tapi apa yang akan kulakukan padanya nanti, omma… aku tidak tahu bagaimana nanti aku bisa menghadapi anak ini…”

**

“Lihatlah Nona Park, janinmu sudah membelah dengan sempurna…” kata dokter Oh Hani sambil melihat ke monitor. Kehamilan Dara sudah memasuki minggu ke-22, sudah lima bulan dia berada di rumah sakit ini. “Apa kau ingin mengetahui jenis kelamin bayimu?” tanya dokter Oh antusias.

Dara yang selalu saja menatap ke plafon setiap kali kandungannya diperiksa, hanya menanggapi dengan singkat. “Tidak.”

Dokter Oh tidak mempermasalahkan ketidakantusiasan sang calon ibu, karena sepenuhnya bisa memahami penyebabnya. Justru dia merasa bangga pada gadis itu, jika dirinya yang berada dalam posisi Dara, sudah dipastikan dia akan memilih jalan aborsi sejak tahu jika dirinya hamil.

“Sepertinya tidak ada yang perlu dikhawatirkan perkembangan janinmu akan terhambat karena rasiasi sinar-X akibat tindakan CAT scan[1] yang dulu pernah dilakukan padamu.” Terang dokter Oh.

Dokter Oh Hani sempat mengkhawatirkan perkembangan janin Dara akan terganggu, karena saat baru dibawa kerumah sakit, gadis itu menjalani proses CAT scan secara menyeluruh. Pendapat pribadi dokter Oh sendiri, janin dalam kandungan Dara ini adalah sebuah keajaiban, karena secara teoritis saat Dara menjalani proses CAT scan, mungkin saat itu adalah saat-saat pertemuan ovum dan sperma. Jika janin yang sudah berkembang saja bisa terhambat terkena paparan sinar-X, adalah hal yang hampir mustahil janin yang masih dalam masa pembuahan bisa terus bertahan. Dia sendiri sebenarnya merasa kecolongan, karena justru Jiyong yang notabene memiliki spesialisasi lain yang menyadari kemungkinan Dara hamil. Padahal dia juga yang melakukan tindakan visum lanjutan setelah Dara sadar.[2]

“Sekali lagi aku minta, agar sebaiknya kau menjani prosedur SC[3] saat melahirkan. Aku sama sekali tidak menyarankan kau menjalani prosedur melahirkan normal. Apalagi, terapi untuk pemulihan tulang-tulangmu yang mengalami keretakan tidak sepenuhnya bisa dilakukan karena kondisimu yang sedang mengandung.” Dokter Oh merujuk pada tulang pubis dan tulang paha atas Dara yang retak akibat tindakan pemerkosaan yang dia terima.

Setelah selesai memeriksa kandungan Dara, dokter Oh memanggil kembali perawat Seo. Dara tidak pernah mau ibunya yang mengantarkannya memeriksakan kandungan. Entah apa alasannya, hanya gadis itu yang tahu.

**

 “Apa yang kau lakukan?” tanya Dara, menatap kearah pintu.

Jiyong masih berdiri didekat pintu yang baru saja dia tutup. Pria itu menunjukkan rangkaian bunga yang dia bawa. Sudah menjadi kebiasaan dokter itu rajin membawakan bunga mawar untuk Dara, sejak dirinya bersama perawat Seo dan juga ibu gadis itu menemukannya berlumuran darah di kamar mandi beberapa bulan yang lalu. Dari Eunju lah dia tahu bahwa mawar adalah bunga kesukaan Dara.

Tanpa berkata apapun, Jiyong mengganti mawar yang sudah mulai layu dalam vas bunga plastic disamping Dara dengan yang baru dibawanya.

“Kenapa kau selalu membawa bunga kemari?” tanya Dara dingin, mengalihkan pandangannya keluar jendela. Sisa-sisa salju sudah mulai mencair, musim semi akan segera datang.

Jika orang lain melihat, mereka akan mengira bahwa Jiyong jatuh cinta pada Dara. Namun bagi gadis itu, tindakan Jiyong tak lebih dari rasa simpati yang sudah muak dia terima.

“Apa kau tidak malu jika ada yang berpikir kau sedang berusaha mendekatiku, dokter?”

Jiyong tertawa mendengar pertanyaan Dara. “Aku memang sedang berusaha mendekatimu,” jawabnya enteng. Membuat Dara mendelik mendengarnya, tapi tidak cukup untuk membuat gadis itu menolehkan kepala menatap kepadanya.

“Aku tidak ingin kau dekati.”

“Tapi aku ingin mendekati anakmu, dan satu-satunya cara hanya dengan mendekatimu.”

“Kau hanya bersimpati karena anak ini tidak akan punya ayah.” Balas Dara, mulai lelah dengan pembicaraan ini.

“Kalau begitu biarkan aku menjadi ayahnya.” Ini bukan pertama kalinya Jiyong berkata begini kepada Dara.

Dara akhirnya mengalihkan pandangannya pada Jiyong. “Dokter Kwon, dengan segala hormat, kau tidak usah memulai pembicaraan sia-sia ini.” ucap Dara tajam, langsung menatap ke manik mata Jiyong.

 “Kau selalu mencemaskan siapa yang akan menjadi ayahnya nanti, tapi saat aku menawarkan diriku menjadi ayahnya, kau tidak bersedia. Berhenti bersikap egois, mungkin menurutmu hidupmu sudah hancur, tapi apa salah bayi dalam kandunganmu? Dia tidak salah apapun. Dia tidak meminta kepada Tuhan untuk diberikan kepadamu melalui musibah yang menimpamu!” balas Jiyong tak kalah tajam, membalas tatapan mata Dara.

**


[1] CAT scan kependekan dari computed axial tomography scan (sering dikenal juga dengan istilah CT scan atau computed tomography scan) = proses pemeriksaan dengan pemindaian sinar-X secara tiga dimensi

[2] Paparan sinar-X tidak semestinya diterima oleh ibu hamil karena bisa membahayakan janin dalam kandungan

[3] SC kependekan dari seksio sesarea (Inggris caesarean section atau cesarean section) = operasi bedah sesar

*masih ngumpet dari balik pintu*
Gyaaaaaa~~~ chapter ini kacau sekali… >.< saya terlalu memaksakan alurnya jalan kemana… T___T maaf untuk chapter kacau ini… T___T
Oke, udah banyak yg tebak2 kalo Dara hamil.. nah, ciri2 yg disebutin Jiyong itu emang ciri2 umum wanita hamil.. >.< *itu salah satu cara buat tabib2 jaman dulu deteksi wanita hamil*
Disini saya mencoba untuk fokus bikin cerita ini se-angst mungkin, *kalau masih bisa*, jadi harap sabar dan maklum yaa.. >.< Kan nggak kece kalo saya genre angst tapi cerita isinya fluffy..
Dari situ udah bisa nebak kan, kemana arahnya.. tapi saya masih punya kejutan di dua chapter depan.. jadi, please bear with me.. >.<

<< 1 3 >>

76 thoughts on “Imperfect : Part #2

  1. Dara hamil,
    Yang sabar ya dara
    Omo…boleh kah aku berharap kalau ucapan jiyong itu serius ingin menjadi ayah bagi anak yang dikandung dara???

Leave a comment