The King’s Assassin [50] : The King’s Assassin

TKA

Author :: silentapathy
Link :: asianfanfiction
Indotrans :: dillatiffa

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~  

 

Ilwoo berlari menuju ke hutan, tapi tak berapa lama, dia mendengar suara siulan menuju ke arahnya, instingnya membuatnya berjaga-jaga. Dia segera berhenti dan memeriksa sekeliling dan kemudian, sesosok yang sudah familiar muncul di hadapannya.

“Hyung,”

“Apa yang kau lakukan di sini?”

“Ada dua hal,” pria itu berjalan mendekatinya. “Untuk berterima kasih karena kau sudah menyematkaku… dan untuk memperjelas semuanya,”

“Aku tidak mengerti apa yang sedang kau bicarakan Seungri—,”

“Aku melihatmu. Aku sedang dalam perjalanan untuk mengikuti Dara noona dan Sanghyun ke penjara, tapi aku melihatmu, bertarung melawan Penjaga Istana dan aku akhirnya memutuskan untuk mengikutimu. Kau mendatangi Penasehat Choi… kenapa hyung? Dia adalah musuh kita. Kau tahu itu!”

Ilwoo mundur dan untuk sesaat bahunya lemas. Dia memejamkan matanya dan kemudian dia jatuh berlutut.

“Aku tidak memiliki pilihan lain… dia bilang… dia bilang dia akan melepaskanku… agar aku bisa hidup bersama Dara setelah aku membunuh Dara. Aku dibutakan oleh kebencianku… kemarahan… iri… aku selalu kesepian, sementara kalian… kalian semua bekerja sama, mengikuti perkataan Putra Mahkota. Putra Mahkota telah merebut Dara dariku,”

“Hyung…” Seungri menyejajarkan dirinya dengan Ilwoo. “Hyung… kau tahu sejak awal Dara noona bukanlah milikmu. Dia memang sudah ditakdirkan untuk bersama dengan Putra Mahkota. Sejak awal sudah seperti itu,”

“Tidak… dia bahagia bersamaku. Kami hidup bahagia sebelumnya saat kami masih kecil dulu!”

“Hentikan… hentikan hyung. Lihat apa yang telah kau lakukan! Kau telah membahayakan nyawanya!” Ilwoo mengangkat kepalanya untuk menatap Seungri.

“Aku tidak bermaksud demikian…”

“Hyung kumohon, hentikan semua kegilaan ini,”

“Aku tidak bermaksud demikian, Seungri, percayalah padaku!” Ilwoo mencengkeram lengan Seungri. “Aku tidak ingin melihatnya menderita, tidak! Aku harus menyelamatkannya! Aku harus menyelamatkannya!”

“Hyung… sekarang ini, aku takut kita tidak bisa melakukannya. Kita harus menunggu sampai besok dan memastikan bahwa Pangeran akan menerima tahta Raja. Kumohon, jangan lakukan tindakan bodoh lagi sampai waktu itu tiba. Kita tidak akan bisa menang jika kau bersikap seperti ini,”

“Apa yang harus kita lakukan? Bagaiman jika si tua itu menyakiti Dara?”

“Aku akan melihat apa yang bisa kulakukan. Aku akan mencoba bicara pada ayahku.”

**

“Tidak. Maafkan aku, sekarang semua tuduhan terarah padanya. Atas apa yang dilakukannya, dia akan menerima hukuman mati.”

“Abeoji, kumohon. Dengarlah… bukan dia yang membunuh Raja. Dan jika dia sampai mengakui hal itu, itu karena dia ingin menyelamatkan Pangeran!”

“Maafkan aku, nak…”

“Abeoji, kumohon,” Seungri berlutut di hadapan ayahnya, sang Menteri Keadilan. “Lakukanlah demi aku. Jangan biarkan Dara noona dihukum mati. Kumohon. Jangan lakukan kesalahan yang sama seperti yang telah kau lakukan pada ayah Ilwoo hyung,”

Menteri Lee hanya bisa berdiri diam, tak bergerak di tempatnya menatap putranya yang masih berlutut. Dia memejamkan matanya mengingat kenangan yang membanjiri pikirannya. Menteri Jung… oh, bagaimana dia bisa lupa? Kenapa dia ikut ambil bagian dalam konspirasi itu? Dia membuka matanya dan melihat kepada putranya. Seandainya dia dulu tidak setuju pada rencana Penasehat Choi, apakah sekarang mereka masih akan tetap hidup?

“Aku hanya melakuan apa yang bisa menyelamatkan keluarga kita—,”

“Jangan memberikan alasan yang sama, abeoji!!!” Seungri mencengkeram seragam sutra ayahnya erat-erat. “Apa kau tahu betapa jijiknya aku pada diriku sendiri setiap kali teman-temanku menatapku?”

“Nak…”

“Kumohon, bantu aku. Lakukanlah hal yang benar, abeoji. Kali ini, mari kita saling membantu. Jangan menjadi seorang pengecut!”

**

“Chaerin,” Master Wu membuka matanya. Dia duduk di lantai di seberang Chaerin yang masih terjaga, meremas-remas jemarinya, pria tua itu mulai mendesah sebelum kembali bersuara.

“Pergilah tidur, Sanghyun dan Seungri mungkin tidak akan kembali ke mari malam ini,”

“T-t-api… Master…”

“Pergilah tidur,”

“Apakah kau melihat sesuatu?” tanya Chaerin bersikeras. “A-a-pakah sesuatu terjadi kepada mereka?”

Kakek tua itu menggelengkan kepalanya dan perlahan berdiri, namun tubuhnya menyerah, lututunya lemas, membuatnya jatuh di lantai. Chaerin segera berlari mendekat dan mencoba memabantunya, tapi kakek tua itu menggelengkan kepala dan menutupi wajahnya dengan kedua tangannya.

“Paduka Raja… aku tidak bisa melihatnya lagi. Paduka Raja…”

“Master…”

“Inilah yang kumaksud… aku sudah memperingatkan Sanghyun untuk menghentikan Ilwoo. Aku sudah tahu… semuanya memang samar tapi aku masih bisa melihatnya. Setiap kali mereka berusaha memisahkan yang sudah ditakdirkan dari surga, setiap kali ada orang yang berusaha menghancurkan apa yang Tuhan rencanakan akan jadi seperti ini. Berapa kali lagi hal ini harus terjadi?” kakek tua itu mencengkeram dadanya merasa sedih atas nasib Raja, teman baiknya. “Raja… Paduka Raja telah tiada. Dan tidak ada yang bisa dipersalahkan kecuali Ilwoo untuk kejahatan itu,”

“Oh Tuhan…” Chaerin menutup mulutnya. “I-i-lwoo oppa… Ilwoo… tidak… tidak mungkin,”

**

“APPPAAAAAAAA!!!” Bom menangis keras penuh pili melihat ayahnya, terbalut dalam jubah putih bersih yang terbuat dari sutra, terbaring dalam ranjang penuh bunga, seolah tengah tertidur nyenyak. Dia mencoba membebaskan diri dari pelukan Seunghyun, namun suaminya itu memeganginya erat, takut jika dirinya tidak bisa mengendalikan rasa sedihnya. Segala yang bisa Seunghyun lakukannya hanyalah memejamkan mata sembari semakin menarik tubuh istrinya ke arahnya, memeluknya dari belakang.

Para Dayang Istana dan pelayan menundukkan kepala mereka, merasakan rasa sakit yang dirasakan oleh Tuan Putri mereka yang terus menangisi kepergian ayahnya.

“SIAPA YANG MELAKUKAN INI???!!! SIAPA YANG MELAKUKAN INI???!!! MEREKA HARUS MEMBAYAR UNTUK PERBUATAN MEREKA INI!!!” teriak Bom penuh kemarahan, terus berusaha memberontak dan menendang-nendang. “APPPAAAA!!! KENAPA??? KENAPA ANDA MENINGGALKAN KAMI SEMUA???”

“Yeobo…” Seunghyun membenamkan wajahnya di lekuk leher Bom, lengannya mencoba terus menahan tubuh istrinya. “Saya mohon… dengarlah,”

“Seunghyun… Seunghyun, kenapa Appa Mama dibunuh seperti ini? Beliau adalah seorang Raja yang baik. Kenapa?” Bom mulai lemas dalam pelukannya dan Seunghyun segera membalik tubuh istrinya dan memeluknya erat.

“Ya benar, Yang Mulia adalah Raja yang baik. Tapi Anda harus tenang… karena adik Anda juga menderita. Dara berada dalam penjara… dia melindungi adik Anda karena Pangeran mungkin akan dicabut haknya dari tahta karena para pejabar memiliki sesuatu untuk dituduhkan kepada Pangeran. Dan selain itu… hampir semua orang di Istana menyebutnya sebagai pembunuh Raja.”

**

Tinggal beberapa jam hingga matahari terbit terasa sangat lama, dan Dara hanya bisa memeluk tubuhnya sendiri, menciumi sisa aroma dari Putra Mahkota yang masih tertinggal – menyentuhkan pipinya pada rompi sutra milik pria itu yang sengaja dilepaskan untuk menyelimutinya. Sanghyun masih belum kembali ke selnya, tapi suara erangannya masih bisa terdengar dari kejauhan. Dara memejamkan matanya. Dia ingin sekali menutupi telinganya, karena suara erangan adiknya bagaikan sembilu yang menusuk hatinya, tapi dia menghentikan diri. Lebih baik masih bisa mendengar suara erangan Sanghyun dibanding jika terdengar apa pun sama sekali – Dara takut hal itu berarti Sanghyun sudah tidak sanggup menerima semua siksaan pada tubuhnya.

“Sanghyun…” Dara menggigit bibinya keras, hingga hampir berdarah. Dia tahu Putra Mahkota tengah berduka karena kematian sang ayah dan kondisinya saat ini semakin membuat pria itu terpuruk emosinya. Dirinya sudah memutuskan, tapi kenapa rasanya dia mengenali rasa takut yang tengah dirasakannya sekarang?

Dia mencoba untuk menelaah semuanya. Jika Jiyong diangkat menjadi Raja sesegera mungkin, artinya dia akan aman dari parta Penasehat Choi. Begitu posisi Raja telah diamankan, Jiyong dan para rekannya bisa mengambil tindakan nyata dan melanjutkan rencana mereka untuk membongkar kejahatan Penasehat Choi, dan pria tua itu tidak akan menjadi ancaman lagi.

Dara menelan ludah berat saat sesuatu menghantam pikirannya. Bagaimana jika dirinya akan diadili sebelum penobatan Putra Mahkota? Penasehat Choi benar, dan sepertinya dia telah merencanakannya dengan sangat baik kali ini.

Dara terbangun dari pikirannya ketika mendengar suara berisik menuju ke arahnya. Dia segera bangkit dan mendekat ke jeruji selnya untuk melihat apakah itu adiknya – dan dia hanya bisa ternganga begitu melihat keadaan Sanghyun, babak belur, diseret masuk ke dalam selnya sendiri.

“SANGHYUN!!! SANGHYUN!!!”

Adiknya hanya mengangguk dan memaksakan sebuah senyum, namun senyuman kecil itu langsung terhapus dari wajahnya begitu Penjaga Istana mulai membuka pintu sel Dara – dan itu membuat Sanghyun benar-benar ketakutan.

“T-ti-dak… j-ja-ngan…” dengan lemah Sanghyun berusaha merangkak dan menyeret tubuhnya menuju ke arah pintu yang kemudian segera digembok oleh Penjaga Istana. Dilihatnya noona-nya itu menatap para Penjaga Istana satu per satu dengan tatapan tak mengerti saat dibawa keluar dari selnya.

“Ke mana kalian akan membawanya? K-k-umohon! J-jangan sa-sa-kiti noona-ku! Kumohon padamu… j-jangan…”dan hanya itu yang bisa Sanghyun ucapkan sampai kesadarannya menyerah dan perlahan cahaya memudar dari pandangannya, tubuhnya yang telah babak belur akhirnya berkhianat.

**

“AAAAAAAAAAH!!!”

Jerit kesakitan menggema saat para sipir penjaga terus menyiksa tubuh kecil seorang wanita – Dara, yang didudukkan di sebuah kursi kayu, dengan sepasang tongkat kayu disilangkan di antara kakinya. Dia menggigit bibir, ingin menahan teriakannya tapi rasa sakit yang diderita seolah menggigit kulitnya, sampai ke tulang, menjalar ke seluruh tubuhnya.

“TANDA TANGANI GULUNGAN INI!!!”

“AAAAAAH!!!” Dara kembali menjerit, saat para sipir semakin menekan tongkat yang dilangkan di antara kakinya, membuatnya berpikir dia pasti akan pincang – tapi dia memasang wajah berani. Tidak akan pernah dia mau menandatangani gulungan itu, tidak jika itu berisikan pernyataan bahwa Putra Mahkota mengetahui dirinya adalah seorang wanita dan sengaja menyembunyikannya, menggunakan dirinya untuk memenuhi ambisi pribadi.

“Jika aku jadi kau, aku akan menyelamatkan diriku dan menandatangani ini!”

Dara mendelik kepada pria itu. Pria malang itu tidak tahu apa pun, begitu pikirnya. Apakah dia tahu bahwa justru Dara justru menggunakan dirinya sebagai pelindung Putra Mahkota? Apakah dia tahu bahwa Dara telah membunuh pulungan orang demi menyelamatkan Putra Mahkota? Mereka tidak ada yang tahu. Karena mereka dengan bodohnya berpikir rasa sakit yang dirasakannya sekarang akan cukup untuk membuat dirinya tunduk kepada Penasehat Choi.

“Bodoh,” Dara menyeringai kehabisan nafas kepada Sipir Kepala, dan sesaat setelahnya sebuah tamparan keras terdengar, dan dia bisa merasakan darahnya mengalir bibirnya.

“K-k-alian bisa menyiksaku semau kalian. Kalian bahkan bisa membunuhku, tapi kalian tidak akan pernah bisa membuatku menandatangani itu karena aku tidak akan pernah menjual diriku kepada iblis berwujud Penasehat Choi!!!”

Pria itu menundukkan tubuhnya semakin mendekati Dara, menatapnya dengan wajah menyeringai. “Kalau begitu kurasa kau telah memutuskan nasibmu sendiri, Agassi,”

“HENTIKAN SEMUA KEGILAAN INI!!!” pejabat lain terlihat dalam pandangan mata Dara. “APA YANG KALIAN LAKUKAN PADANYA?”

“Oh,” Sipir Kepala itu segera menyembunyikan lembaran di tangannya di belakang tubuhnya, namun orang yang baru saja tiba itu melihatnya. Dia segera merebutnya dan membaca apa yang tertulis di sana. “Itu bukan apa-apa! Kami… kami hanya mencoba mengorek informasi darinya.”

“Informasi? Wanita ini harusnya disidang sekarang dan Menteri Keadilan telah menunggunya di Pengadilan, tapi saat orang-orangku tidak bisa menemukannya di dalam selnya! Cepat, bebaskan wanita ini dan biar kami yang mengurusnya! Dan ini,” dia melambaikan surat pernyatan di tangannya, “Aku yang akan mengurusnya,”

**

“Park Sandara…”

Dara mendongakkan kepalanya kepada pria yang berdiri beberapa langkah di hadapannya. Dia tadinya mengira akan berhadapan dengan Penasehat Choi, tapi bukan karena wajahnya terlihat jauh lebih ramah dan sedikit lebih muda dari pada sumber kejahatan itu. Dan segera Dara menyadari bahwa pria itu adalah ayah Seungri, Menteri Keadilan.

“Bagaimana keadaanmu?”

Dara tersenyum lemah. Menteri Lee adalah orang pertama dari partai lawan yang menanyakan tentang keadaannya. Apakah dia bisa mempercayai pria ini? Dia menggelengkan kepala. Bagaiman bisa dia mempercayai siapa pun setelah Ilwoo berkhianat kepada mereka? Tapi tetap saja dia masih mengkhawatirkan tentang pria itu. Lututnya lemas, dan seluruh tubuhnya gemetaran.

“Apakah kau akan menjatuhkan hukuman mati padaku sekarang?” tanya Dara pahit membuat pria tua itu memejamkan matanya.

“Tidak,”

Dara menyipitkan matanya tak mengerti. Menteri Keadilan mengedikkan kepalanya ke samping, memberikan tanda kepada orang-orangnya untuk menjauh dan mereka segera menurut.

“Tidak… kubilang. Kau akan aman, Agassi…”

“A-a-pa—“

“Aku tahu… setelah smeua yang kulakukan, aku tidak pantas untuk memdapatkan kepercayaan darimu. Tapi kumohon, jika aku perlu memohon, maka akan kulakukan. Percayalah padaku, Dara. Kumohon,”

“Kalau begitu bawa aku pergi… bawa aku pergi menjauh dari sini,”

**

Berlari secepat kilat menuju ke penjara tempat Dara dan Sanghyun ditahan, Minzy dan Harang tidak peduli dengan nafas mereka yang putus-putus dan udara dingin semakin memperburuk keadaan. Fajar sudah hampir terbit dan mereka harus memastikan bahwa kedua bersaudara Park itu baik-baik saja.

“Kita harus menghentikan mereka, noona. Profesor Dong dan Profesor Choi bilang mereka akan berusaha sekuat tenaga untuk menghentikan siding dan semua aktivitas dari Departemen Keadilan.” Harang terengah-engah, menatap Minzy yang tengah membenarkan letak jangot di kepalanya.

“Ya. Aku harus menemui, Agassi. Nyonyaku… kuharap dia baik-baik saja.” wanita mudah itu mencoba mengenyahkan pikiran dalam kepalanya pergi dan kemudian mereka akhirnya sampai di penjara,

Minzy membungkukkan kepalanya kepada sipir penjara dan perlahan dia mengeluarkan kantong uang dari lengannya. Dia menatap sipir dan meminta mereka dengan tergesa.

“Tolong, ijinkan kami masuk,”

Para sipir yang menjaga pintu saling tatap satu sama lain, bingung.

“Maaf, kami tidak bisa menerima itu,”

“Kumohon, berapa banyak yang harus kubayar?” tanya Minzy. “Dua kali lipat dari ini? Baiklah kalau begitu. Aku berhutang lima puluh nyang pada kalian. Akan kuberikan besok. Sekarang, bisakah kami masuk?”

“Kami tidak bisa menerima itu, Lady Gong karena aku yakin, kau mencari Park Sandara… dan dia tidak berada di sini. Dia dibawa ke Pengadilan untuk disidang.”

“Apa?”

**

“BUKA GERBANGNYA!!!”

“YEH!!!”

Gerbang Istana terayun terbuka menampakkan seorang wanita berada dalam kurungan yang ditarik oleh sepasang kuda. Matahari tidak terlihat meski telah terbit beberapa menit yang lalu, angin dingin dan beberapa tetes salju putih yang dingin menyempurnakan suasana. Dikelilingi oleh banyak orang dan penonton, Penjaga Istana hanya bisa berdiri di sana, menunggu orang-orang untuk mundur dan memberi mereka jalan – tapi tidak seorang pun yang melakukannya.

“BERANINYA KAU MEMBUNUH RAJA TERCINTA KAMI!!!” seorang pria melemparkan batu dengan marahnya ke arah Dara dan benda itu dengan mudahnya menghantamnya yang berada di dalam kurungan. Dia mengelus lengannya lalu segera menutupi wajahnya dari mereka karena tidak lama kemudian, kerikil dan batu dihujankan kepadanya.

“HENTIKAN! HENTIKAN!” Penjaga Istana berlarian mendekat dan melindungi Dara. “HENTIKAN ATAU KALIAN AKAN DITANGKAP!!!”

Kerumunan orang it terdiam dan mundur, tapi seorang anak tetap berdiri diam dekat dengan kurungan kayu, mengamati Dara dengan seksama, mencermati sosok wanita itu.

“Itu dia! Itu dia! Aku tahu itu! Dia adalah anak mendiang Penasehat!” kata bocah itu. “Dia memberi kami beri! Dia adalah teman guru kami, Daesung hyung!!!”

Dara menyipitkan matanya karena sinar matahari pagi yang menyilaukan dan sebuah senyum lemah tersungging di bibirnya saat melihat bocah yang pernah ditemuinya di pasar saat mencari Daesung dulu. Bagaimana bisa bocah itu mengenalnya? Dilihatnya bocah itu diseret oleh seorang wanita, mungkin saja itu adalah ibunya. Oh, bagaimana bisa dia lupa pada wanita itu? Namun perhatiannya teralihkan oleh rasa sakit di keningnya, dan tak lama kemudian cairan merah menghalangi pandangannya.

“Tapi omma! Itu dia! Aku melihatnya di kertas dan poster pengumuman! Katamu itu adalah perbuatan Penasehat yang sekarang— Hmpppph!!!”

Kesiap kekagetan terdengar dari seluruh penjuru dan orang-orang menatap takjub pada wajah yang telah menghilang sejak tujuh tahun yang lalu. Putri satu-satunya dari Penasehat baik yang merupakan harapan terakhir mereka, sampai akhirnya keluarganya difitnah bersama dengan rekan-rekan mendiang Raja. Sudah tujuh tahun, pikir mereka. Sudah tujuh tahun lamanya mereka harus menutup mulut dan sekarang semuanya kembali terjadi.

“Agassi!” wanita itu menutup mulutnya begitu melihat keadaan Dara. Mereka mulai menangisi putri dari orang yang pernah mengabdi kepada negara, yang keluarganya menjadi teladan bagi semua orang, menolong mereka yang membutuhkan demi membantu mendiang Raja Hyunsuk. Raja mereka telah pergi, dan juga para rekannya. Tapi semangat mereka kembali dihidupkan begitu kabar menyebar di semua tempat bahwa putri dari mendiang Penasehat Park masih hidup, namun kembali padam saat melihat wajahnya tergambar di poster, dituduh sebagai pembunuh Raja. Mereka tidak bisa mempercayai hal itu. Sebagian besar dari mereka yakin itu bukanlah putri dari mendiang Penasehat Park. Tapi melihat wajahnya dari dekat, mereka mulai menjatuhkan batu-batu di tangan mereka. Orang waras mana yang akan tega untuk menyakiti wanita itu padahal mereka semua tahu mendiang Penasehat dan mendiang Rajalah yang sudah bekerja keras untuk menciptakan Joseon yang lebih baik dan mereka semua sadar bahwa wanita yang sekarang terikat tali di dalam kurungan itu harusnya menjadi Putri Mahkota dan calon Ratu mereka?

“Oh… maafkan kami! Agassi! Maafkan kami!”

“Kami bersama Anda, Nyonya,” salah seorang wanita tua berjalan mendekat ke arahnya, tapi penjaga segera menghalangi jalannya.

“MINGGIR!” wanita itu mundur ketakutan akan keselamatannya sendiri dan Dara hanya bisa menggelengkan kepalanya, memberikan tanda kepada semua orang bahwa sia-sia saja melawan. Dara tersenyum dan sesaat kemudian, air matanya mengalir turun di pipi karena merasa sangat terharu, dia sampai lupa akan luka-luka di tubuhnya. Semua orang ini mencintai mendiang Raja, tapi mereka juga mempercayainya. Mereka sangat mengenal ayahnya.

“AGASSI!!!”

“NOOONAAA!!!”

Semua orang menolehkan kepala ke arah gerbang di mana seorang dayang istana dan seorang pemuda berlari dari belakang.

“Jangan membawanya pergi! Kumohon,” Minzy mulai memohon kepada Penjaga Istana. “Kumohon, dia tidak bersalah!!!”

“Lady Gong, jangan,” kata Dara lemah, menggelengkan kepalanya dan memaksakan senyuman kepada gadis itu yang telah menangis.

“Tidaaak!!! Nyonya!!! Nyonya!!!”

“Lady Gong, tolong jangan ikut campur!” Penjaga Istana mencoba menghalagi jalan dayang istana itu.

“Tidak… Agassi!!! Agassi!!!” Minzy mencoba meraih Dara, namuan Penjaga Istana menghalangi jalan mereka dan Harang tahu sekarang bukanlah saatnya untuk bertindak demikian. Dia segera menahan Lady Gong yang masih mencoba meraih Dara.

“Hentikan noona! Kita harus segera memberitahukan kepada Putra Mahkota!”

Dara memiringkan kepalanya, tubuhnya lemah karena berjam-jam dia terus terjaga, menangis, berpikir, menahan sakit, dipukuli dan disiksa. Tapi pikirannya sekarang semuanya tertuju kepada adiknya yang malang. Bagaimana keadaan adiknya? Di mana Ilwoo? Dan yang paling penting Putra Mahkota? Apakah upacara penobatannya telah berlangsung? Alarm peringatan berbunyi dalam kepalanya. Tidak, mereka tidak boleh mengganggu upacara penobatan!

“Harang, tidak!” Dara mengumpulkan seluruh sisa kekuatannya dan mencoba untuk berdiri, memaksakan dirinya untuk mendekati ke jeruji kurungan. “Belum saatnya, jangan sekarang! Pastikan dia menjadi Raja! Berjanjilah padaku!”

“AGASSI!!!” Minzy sudah berlutut, berduka akan keadaan nyonyanya.

“Noona,” Harang mengepalkan tangannya, bingung akan apa yang harus dia lakukan.

“Harang, aku mohon kepadamu. Tolonglah…” Dara menggeleng-gelengkan kepalanya. “Pastikan dia menduduki tahta!” iring-iringan mereka mulai berangkat, sepasang kuda membawa Dara menjauh. “Harang-ah! Lady Gong! Kumohon, berjanjilah padaku! Lindungi Putra Mahkota! Pastikan dia menduduki tahta!”

Minzy hanya bisa berlutut di tanah sambil menangis, Harang berdiri di sisinya memandang Dara yang semakin lama semakin menghilang dari pandangannya.

Dara sama sekali tidak bergerak. Dia tetap berdiri di sana, mencengekeram jeruji kurungannya dan begitu dia melihat Harang melambaikan tangan dan mengangguk padanya, dia tersenyum tulus dan merasa lega karena telah membuat keputusan yang tepat. Sekarang, dengan keberanian yang baru, dia berbalik dan menatap apa yang di hadapannya. Dia melihat orang-orang perlahan memberikan jalan, bergeser ke samping, namun tatapan mereka terus tertuju ke padanya. Senyumannya kian lebar. Entah ucapan Menteri Keadilan benar atau tidak, dia akan selamanya berterima kasih atas seluruh kepercayaan dan rasa simpati yang tidak pernah dia sangka bisa diterimanya dari semua orang-orang ini.

Mereka bergerak sampai di gerbang terluar Istana, tapi orang-orang masih mengikutinya, terus mengiringi iring-iringan. Dara mengeratkan rompi Putra Mahkota di tubuhnya dan menatap ke jarinya 0 di mana tersemat sepasang cincin. Setetes air mata mengalir keluar saat kenangan akan Pangeran memenuhi pikirannya. Akankah mereka bisa bertemu lagi? Itu, tidak ada yang tahu. Dara memainkan tali kalungnya, lalu menyentuh liontin yang merupakan cincin tanda kedewasaan dari Putra Mahkota, lalu menatap ke depan – namun ada yang menarik perhatiannya hingga dia terkesiap kaget. Dan tentu saja, hal itu semakin membuatnya lebih berani daripada sebelumnya.

“AGASSI!!!”

Kerumunan orang yang mengiringi mereka setentak melipat tangan mereka dan berlutut di atas tanah, membungkuk dalam-dalam padanya. Dara terkesiap dan alisnya saling bertautan karena setiap wanita dan anak-anak sepanjang jalan mengikuti hal itu, sementara para pria menundukkan kepala mereka padanya, melepas ikatan dari kepala mereka.

Para Penjaga Istana mencoba mengacuhkan pemandangan yang menyayat hati ini, namun mereka tidak bisa mengesampingkan rasa bersalah yang menghantam mereka. Mereka hidup dengan mengikuti perintah dari para pejabat tinggi tanpa berpikir apakah itu benar atau salah karena rasa takut akan keselamatan mereka dan keluarga mereka. Tapi kali ini, mendengar apa yang telah direncanakan oleh Menteri Lee, mereka mulai bergerak maju – mungkin saja orang-orang Penasehat Choi masih mengawasi mereka.

“CEPAT! KITA HARUS BERGERAK CEPAT!”

**

Jiyong’s POV

“Jeoha… sudah waktunya.”

Aku terbangun dari lamunanku, dan segera berdiri dari alas tempatku berlutut. Di hadapanku terbaring ayahku, yang wajahnya penuh kedamaian dan pucat pasi – aku masih sulit menerima bahwa beliau telah meninggalkan kami semua. Aku mengangguk, meski aku tidak memandang Seunghwan dan aku melirik noona-ku di sebelahku, tapi aku tidak bisa menenangkan diriku sendiri. Dalam diriku ada pemberontakan, aku ingin sekali kabur dari upacara penobatan karena di dalam hatiku, ayahku masihlah Raja negeri ini yang sesungguhnya dan kematiannya terlalu cepat. Tapi pikiran rasionalku masih bekerja dan mengingatkanku bahwa wanita yang kucintai telah banyak menderita, dan itu demi menunaikan janjinya kepada ayahku.

Berapa kali lagi wanita itu harus menderita karenaku? Aku ingin membunuh diriku sendiri karena rasa bersalah yang kurasakan. Hidupnya selalu saja terancam bahaya karenaku, tapi tetap saja aku tidak sanggup meninggalkannya. Aku tidak bisa melepaskannya… tidak, aku tidak akan pernah melepaskannya.

Aku berdiri dan menatap Eunuch-ku, dan bersamaan dengan itu kulihat alas tempat seharusnya nenekku berkabung. Tapi beliau tidak ada di sana. Beliau masih tak sadarkan diri dan tengah beristirahat di kamarnya.

“Noona…”

“Aku tidak akan pergi. Aku tidak akan meninggalkan Appa Mama sendirian,” aku memejamkan mataku. Dan aku tahu dia mengatakan hal itu bukan karena menentang penobatanku. Dia melakukannya karena lima hari lagi, Appa Mama akan diletakkan di dalam peti mati, dan diarak menuju ke pemakaman.

“Aku mengerti…” bahuku lemas. Sepertinya ini akan menjadi upacara penobatan yang paling sepi. Bukannya aku ingin segera menggantikan atau ingin mengambil posisi ayahku. Tapi aku perlu melakukan ini sesegera mungkin, karena semakin aku membuang-buang waktu musuh menikmati kekuasaan yang mereka miliki.

Aku diiringi oleh para rekanku menapaki jalan sisi selatan Istana setelah Seunghwan membantuku berganti pakaian untuk upacaraku. Aku tidak bisa menemukan kata-kata untuk menjelaskan rasa kesepianku saat aku berjalan melewati para pelayan Istana dan para pejabat. Aku mengepalkan tangan saat kuliat Choi dan partainya. Tunggu aku. Mari kita lihat siapa yang akan tertawa pada akhirnya.

Aku memberi hormat kepada tahta yang biasa diduduki oleh ayahku dan untuk sesaat aku masih bisa membayangkan beliau duduk di sana, Raja Hyunsuk yang hebat balas tersenyum padaku, terlihat sangat bangga membuat dadaku sesak karena rasa rindu. Kupikir tanya akan seperti ini jadinya. Tapi semua hanyalah bayangan dalam imajinasiku. Aku berdiri, berusaha keras agar tidak menangis saat aku menatap semuanya. Aku menunggu si pengkhianat yang tidak lain dan tidak bukan adalah Kepala Penasehat Kerajaan itu sendiri, pejabat tertinggi yang akan membacakan wasiat terakhir dari ayahku. Aku ingin muntah karena jijik, tapi Seunghyun meyakinkanku bahwa dirinya dan Menteri Kim telah merencanakan semua itu. Aku menyingkirkan seluruh keraguanku dan menyerahkannya pada kehendak langit.

Dia mulai membaca gulungan di tangannya, keras dan penuh wibawa – dan mungkin, memandang rendah padaku, meragukanku karena aku terlihat lemah dan tak berdaya, dirundung kesedihan dan tidak bisa berpikir dengan benar. Aku duduk berlutut dan melirik kepada orang-orangku. Tidak… mereka adalah orang-orang Istana. Aku bertanggung jawab untuk bisa memberi makan dan melayani lebih dari mereka.

Pria tua culas itu sudah separuh membacakan isi gulungan dengan nada monoton saat aku mengangkat sebelah tanganku, membuatnya diam.

“Buka gerbangnya. Aku ingin melihat semua orang.” Aku menatap bawahanku.

“Tapi Jeoha…” Seunghyun mendekatiku dan aku langsung melihat kepanikan tersirat jelas di matanya, tapi aku mengabaikannya. Kenapa dia bersikap sangat aneh?

“Tolong. Aku harus melihat semua orang. Mereka juga tengah berkabung sekarang. Aku perlu mereka juga menyaksikan hal ini. Dan aku ingin melihat rakyatku. Rakyat kita,”

Kulihat keraguan di wajah para rekanku dan jantungku berdetak keras di dalam dada. Kenapa mereka memberikan tatapan seperti itu padaku?

“S-setelah penobatan Anda, Jeoha. Saya mohon. Kami tidak bisa mengambil resiko demi keselamatan Anda.” Kudengar Menteri Kim berkata dan aku hanya mengangguk mengalah.

Penasehat Choi mulai membacakan isi gulungan sekali lagi dan ikatan di kepalaku akhirnya dilepaskan, digantikan oleh yang lebih tinggi. Seluruh tubuhku merinting. Ini adalah mahkota ayahku. Pejabat yang berwenang mulai mengganti tanda kerajaan, seekor naga berjari lima di tiap sisi baju upacaraku, telapak tanganku berkeringat penuh penantian. Dan kupikir itulah pertama sesetelah kematian ayahku aku merasa lega.

Pengorbanan dari kekasihku tidak sia-sia.

“… dan aku, Raja Hyunsuk dari Rumah Yi, dengan seluruh kekuatan yang langit berikan kepadaku, menyerahkan seluruh tugas dan tanggungjawabku kepada keturunan yang berhak mewarisi tahta, putraku satu-satunya, Putra Mahkota Jiyong.”

Aku bangkit berdiri, menatap orang-orang yang membungkukan kepala mereka kepadaku, dan aku sungguh sangat ingin melihat orang-orang di luar Istana, karena dalam hati mereka, aku tahu pasti sangat merasa kehilangan akan kepergian seorang Raja yang baik dengan sangat mendadak. Apakah aku akan bisa sesederhana dan sebaik ayahku? Aku menggelengkan kepalaku. Aku bisa menjadi Raja yang baik, tapi kurasa aku tidak akan sanggup melampaui pencapaiannya.

Aku menganggukkan kepala dan memaksakan sebuah senyuman, aku mulai berusaha menenangkan diri. Aku melirik ke arah tahta ayahku dan setetes air mata jatuh dari sudut mataku karena aku bisa dengan jelas membayangkan ayahku tersenyum padaku dengan bangganya, memaksaku untuk melanjutkan. Aku berusaha melawan rasa sesak yang kurasakan di tenggorokanku dan kembali menatap ke depan.

“Itu… tempat duduk itu adalah milik ayahku,” kataku, dan semua orang diam. “Untuk beliau, dan hanya untuk beliau seorang. Maafkan aku karena kurasa aku tidak akan bisa duduk di sana untuk sementara ini karena beliau pergi secara tiba-tiba, Keluarga Kerajaan, termasuk aku, masih belum bisa percaya bahwa beliau telah pergi.” Aku memejamkan mataku, air mata mulai mengaburkan pandanganku, dan aku mulai memainkan cincin yang melingkar di jariku.

“Aku tahu, sebagian besar dari kalian di sini juga sangat berduka. Tapi aku juga tahu… sebagian orang di sini melonjak kegirangan karena rasa kahilangan ini. Seseorang berharap agar aku terpuruk dan menjadi Pangeran lemah seperti yang semua orang di sini tahu. Tapi, si lemah dan bodoh itu telah mendapatkan pelajarannya dengan baik. Karena dia tahu, tidak peduli siapa yang lebih bijaksana atau lebih kuat. Kenalilah hatimu, mendiang Raja pernah berkata demikian kepada putranya saat dia masih kecil (chap 1-red). Jadilah pria bangsawan, tidak hanya gelar namun juga dengan hati dan perbuatanmu. Kenalilah hatimu, dan jika hatimu masih murni, kau pasti akan tahu jawabannya.”

Aku mengepalkan tangannya saat perkataanku selanjutnya mulai keluar dari mulutku tak terkendali.

“Tapi aku tidak memiliki hati yang murni.” Semua orang saling tatap penuh tanya. “Aku dulunya dibutakan oleh sifat arogan dan kekanakan, penuh kenakalan dan bertindak sesuka hati – tapi aku dengan bangga bisa mengatakan bahwa aku merasa beruntung karena diberkati… aku mengenal seorang wanita dan dia memiliki hati yang murni, dia hidup dalam hatiku. Dia membersihkan hatiku, dia membuatku merasakan hidup. Dan sekarang, bisa kukatakan, aku sudah mengenal hatiku… demi wanita ini yang tidak hanya bangsawan karena gelarnya namun juga perbuatannya, dan dia telah mengalami kehidupan sebagai orang terendah. Kehidupnya, tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan kehidupan kalian. Dia pernah hidup sebagai sebagai seorang wanita bangsawan, dan dia juga pernah hidup sebagai seorang budak, melarikan diri saat keluarganya difitnah dan dibunuh. Dia mengerti, dia telah membuatku memahami bahaimana cara mempercayai orang lain yang memiliki kedudukan lebih rendah dariku,” aku mencoba mencari Hong dan pasukannya, tapi aku tidak bisa menemukan mereka. Aku beralih pada Eunuch-ku yang bisa kuandalkan, rekan-rekanku… Harang… aku menyadari dia juga tidak ada di sini bersama Seungri dan Lady Gong. Aku mencoba tidak mengindahkan rasa tidak enak yang muncul di hatiku saat tahu orang-orangku tidak lengkap.

“… tapi harapanku akan Joseon yang lebih baik semakin membumbung karena dia telah mendukungku… seseorang menjebaknya untuk bertanggung jawab atas kematian ayahku. Sebuah rencana? Sebuah taktik? Tidak ada yang tahu. Tapi aku tahu beberapa hal yang tidak diketahui oleh pengkhianat itu.” aku mengangkat kepalaku menatap sang pria tua dan aku bisa melihat ketidaknyamanannya meskipun dia berusaha menatap wajah berani.

“Dia tidak tahu apa yang mampu kulakukan. Dan sekarang… sebagai Raja baru dari Joseon… AKU PERINTAHKAN PENJAGA ISTANA UNTUK MENANGKAP PEJABAT TERTINGGI DI PEMERINTAHAN, PENASEHAT CHOI ATAS KEJAHATANNYA PENGKHIANATAN, PEMBUNUHAN, DAN KARENA TELAH MENGACAUKAN KELUARGA KERAJAAN!”

Gumam kekagetan terdengar dari para pelayan dan pejabat sementara aku hanya melihat ketikan Menteri Kim mulai memerintahkan orang-orangnya untuk menangkap pria tua itu. Aku membungkukkan badan singkat meminta maaf kepada Seunghyun dan dia berpaling.

“HAH! DAN BUKTI APA YANG ANDA MILIKI, JU-SANG JEON-HA?” dia menyeringai padaku.

“BUKTI, KATAMU? APA KAU MENANTANG RAJAMU?!” balasku berteriak.

“SAYA RAGU ANDA HANYA TENGAH MENIKMATI KEKUASAAN BARU ANDA, JEONHA,” dia menekankan pada gelar baruku dan aku menyeringai.

“BUKANKAH ITU KAU YANG TELAH TERLALU LAMA MENIKMATI KEKUASAAN ATAS KELUARGA KERAJAAN?” tanyaku. “APA KAU MENANtANGKAU UNTUK MEMBONGKAR SEMUA KEJAHATAN DI HADAPAN SEMUA ORANG SATU PER SATU?” kulihat wajahnya berubah gelap dan meski sebenarnya aku ingin lebih mempermalukannya lagi, dari sudut mataku kulihat Seunghyun pergi. Temanku. Pasti sangat menyakitkan baginya. Aku mendesah sebelum memberikan tanda kepada mereka untuk membawa Chpi ke Pengadilan. Pria tua itu berusaha berontak, tapi itu adalah perintah pertamaku sebagai Raja yang baru dan para Penjaga Istana segera mematuhinya. Aku segera melangkah turun dan menaiki tandu – sebagaimana ritual penobatan yang harus dilakukan. Aku harus menuju ke kantor ayahku, tapi aku memutuskan untuk mengunjungi Dara. Aku memanggil Seunghwan.

“Seunghwan, aku ingin melihatnya,”

“J-j-eonha…” aku harus mulai terbiasa dengan sebutan itu, mungkin dia juga.

“Ada apa?” aku menatapnya dari jendela tandu.

“J-j-eonha… S-s-andara-ssi…”

“Apa?” aku mulai merasa tidak sabar saat melihat ketakutan di wajah Seunghwan.

“Dia sudah tidak berada di sini lagi,”

**

“Pengkhianat,” Penasehat Choi meludah ke arah Menteri Lee. “Aku sudah tahu.”

“Pengkhianat untuk seorang pengkhianat, temanku sayang,” kata Menteri Lee. “Sayang sekali, kali ini, tidak akan ada yang bisa membantumu. Aku tidak tahu jika Putra Mahkota benar-benar licik. Tapi sangat yakin akan lebih menyakitkan bagimu begitu tahu anakmu sendiri mengkhianatimu,”

“Dia akan membantuku. Segera, aku tahu. Dia akan membantuku. Dia tidak akan meninggalkanku di sini,” Penasehat Choi menyeringai sambil duduk dengan nyamannya di kuersi, kedua tangannya terikat di masing-masing lengan kursi.

“Aku meragukannya. Dia adalah tangan kanan Putra Mahkota. Dan ini…” sang Menteri Keadilan melambaikan sebuah buku, “putramu telah menjadi bagian dari gerakan rahasia untuk menentangmu,”

“Itu tidak benar!”

“Aku tidak akan berani bertanya padamu atau membuatmu mengakui kejahatanmu, Penasehat… aku akan membiarkan nasibmu diputuskan oleh orang-orang yang telah kau hancurkan hidupnya. Tapi siapa yang tahu, kau akan bisa menahan rasa sakit dan rasa bersalah. Aku akan menunggu di Pengadilan untuk menjatuhkna hukuman mati padamu… sebelum aku mengundurkan diri,” kata Menteri Lee dan segera Penasehat Choi diseret menuju ke selnya.

“LEPASKAN AKU!  BERANINYA KALIAN PARA SIPIR PENJARA MENYENTUHKU! LEPASKAN AKU!!!” Penasehat Choi meringis kesakitan saat dia terjatuh di lantai keras dari sebuah sel luas, namun langsung seketika itu juga, dia bisa merasakan tatapan tertuju ke arahnya. Dia melihat sekeliling dan matanya melebar ngeri saat dia mengenali wajah dari orang-orang itu.

“Bagaimana kabarmu Mente— maksudku, Penasehat Choi?” seorang pria menyeringai padanya dan pria tua itu hanya bisa melangkah mundur.

“Selamat datang di neraka, tempat yang pantas untuk kita semua,”

**

Seunghyun’s POV

Aku segera berlari masuk ke dalam penjara yang gelap untuk mencari pria yang sangat kubenci. Aku sudah membunuhnya dalam kepalaku, tapi hatiku masih tidak sanggup menghapuskan. Dia adalah ayahku. Dia tetaplah ayahku.

Aku memeriksa setiap sel, mencari wajahnya sampai akhirnya aku tiba di sel paling ujung, di mana sekelompok tahanan baru saja dikeluarkan dari sana oleh sipir penjara, tapi ada sesosok yang menarik perhatianku. Dia berlutut, penuh memar dan berdarah dengan nafas terengah-engah. Aku menutupi mulutku. Dia muntah darah.

“A-a-beoji…” mataku menyipit menatapnya dan lututku mulai menyerah melihat pendangan itu. Aku mengumpulkan sisa kekuatanku dan memberikan tanda kepada sipir penjara untuk membukakan pintu sel untukku.

“Abeoji…” perlahan aku berlutut di lantai beralaskan jerami dan dengan lemah dia mengangkat wajahnya menatapku. Sebentuk senyuman lemah muncul di bibirnya yang berdarah.

“N-n-ak… k-k-au datang,”

Aku mengangguk, menahan diriku agar tidak menangis dengan kedua tanganku terkepal kuat.

“Kau terluka. Mereka melukaimu,” kataku, apa adanya, memandangi wajahnya dan aku tidak berhasil menghentikan diriku untuk tidak hancur melihat keadaa pria di hadapanku yang sudah tua, lemah, dan gemetaran – jauh dari sosok Penasehat Choi yang ditakuti oleh semua orang.

“Ya… ya… t-t-api kau datang… aku tahu itu… kau tidak pernah mengecewakanku,” aku menghapus air mataku saat ayahku memelukku, erat – inilah pertama kalinya dia memelukku sepanjang hidupku. Sekujur tubuhku merinding.

“Tolong aku, nak…” pintanya dan isakanku menjadi semakin keras terdengar. “Tolong aku…”

“Maafkan aku, abeoji. Aku tidak bisa.” Kataku jujur, penuh kepahitan. Aku sedang memperjuangkan apa yang benar… dan ayahku berada di sisi yang berlawanan. Pada satu titik, akhirnya kami akan saling bertemu.

“Kadang, aku bertanya-tanya apakah kau benar-benar anakku,” aku mengerutkan alis mendengar ucapannya. “Karena kau adalah pria yang penuh dengan harga diri dan baik, dan aku adalah yang semua orang pikir adalah jahat,”

“Karena kau memang jahat dan tak berhati,” kuberitahukan padanya. “Kenapa kau memilih jalan itu?” tanyaku pahit. “Kenapa?”

Aku mendengarnya tertawa. “Itu adalah cerita yang panjang. Aku harusnya bisa menjadi Raja… kau harusnya bisa menjadi Putra Mahkota,”

“Hentikah… kau bukanlah putra dari mendiang Raja sebelumnya. Hentikan. Itu tidak benar,”

“Itu benar. Kenapa kau enggan percaya kepadaku? Kenapa tidak seorang pun yang percaya padaku?”

Aku menggelengkan kepalaku, karena lagi-lagi dia mengatakan hal itu. Semasa kecil dia adalah anak korban kekerasan, aku mengetahui tentang masa kecilnya karena aku pernah mencari tahu tentang itum ingin mengetahui kenapa dia memendam kebencian dalam hatinya. Dia adalah anak yang diadopsi oleh Keluarga Choi, pada dasarnya kakek dan nenekku… adalah pedagang dari timur dan musuh dari Kerajaan karena mereka tidak menyetujui tindakan mendiang Raja terdahulu yang menentang Yangban. Sebagai seorang anak kecil, dia dibohongi tentang masa lalunya dan dia mempercayai hal itu, sehingga dia merencakan untuk membalas dendam. Dia diberitahu bahwa dia diadopsi dan merupakan putra dari mendiang Raja terdahulu yang dibuang menjadi budak. Itu adalah rahasia kecil keluarga kami. Tapi ke mana akhirnya balas dendam ayahku ini membawanya?

“Aku tidak ingin menjadi seorang Pangeran… atau seorang Raja,” aku menelan ludah berat, mengikuti maunya karena berdebat dengannya sekarang hanyalah sia-sia. “Aku hanya ingin menjadi putramu, dan kau, menjadi ayahku,”

Aku merasakan senyumannya di bahuku sampai dia mendorongku sedikit menjauh. Dia memasang sebuah senyuman lebar dan air mata mengalir menuruni wajahnya yang telah mulai keriput. Sejak kapan dia jadi setua ini?

“Kau akan selalu menjadi putra terbaik yang bisa dimiliki oleh seorang ayah. Aku akan selamanya bangga padamu. Sejujurnya saja, aku iri padamu. S-s-ekarang…” dia mengambil sesuatu dari lengannya dan aku mengikuti gerakannya dengan tanganku. “Apa aku menyakiti hatimu karena menjadi seperti ini?” suaranya penuh dengan kepahitan yang mampu kurasakan.

“A-a-beoji…”

“Apakah aku sangat mempermalukanmu? Hiduplah dengan baik dan jangan biarkan siapa pun merendahkanmu. Hiduplah dengan baik, putraku,”

Aku mengerutkan alisku saat dia menyerahkan sebilah belati ke tanganku, dan segera tubuhku gemetar ketakutan.

“Mudahkanlah rasa sakitku… Seunghyun… mudahkanlah rasa sakitku,”

**

Jiyong’s POV

“DARAAAA!!! DARAAAA!!!”

“Saya harap ritual upacara penobatan berjalan dengan baik, dan Anda tetap baik-baik saja meskipun dalam hati saya tahu sebenarnya Anda tidak. Maafkan saya,”

Bagaimana bisa kau melakukan ini padaku, Dara? Hatiku memberontak keras. Kenapa? Kutendang kuda jantan yang kunaiki dan meluncur berlari, dan aku tidak peduli dengan para pengiringku yang berusaha untuk mengikuti di belakangku. Aku harus menemukannya. Aku harus melihatnya.

“Saya tidak berniat untuk pergi. Tapi keberadaan saya akan selalu membahayakan Anda. Anda harus selamat. Dan saya harus pergi dan memberi waktu untuk Anda menyembuhkan diri, untuk berkabung atas kehilangan ayah Anda. Saya mohon, jangan mengkhawatirkan saya, Jeonha… mulai sekarang, Anda akan menjadi Raja negara ini… dan hanya dengan mengetahui hal itu, saya bisa tersenyum dengan bangga.”

Jangan tinggalkan aku, Dara jangan tinggalkan aku!!! Kuhapus air mataku yang terus mengalir mengaburkan pandanganku. Bagaimana bisa dia melakukan ini padaku? Tidakkah dia tahu kehilangan dirinya akan membuat rasa kehilanganku semakin besar? Dia tidak membahayakanku sama sekali. Tidak pernah seperti itu!

“… saya ingin berada di sisi Anda dan menghibur Anda, memeluk Anda dan menawarkan bahu saya sebagai tempat Anda menangis… tapi saya menyadari, saya hanya akan terus menyebabkan banyak masalah untuk Anda. Anda mungkin akan mengalami kesulitan, kebingungan karena tanggung jawab dan beban yang harus Anda pikul. Dan saya tidak ingin menambah itu semua. Maafkan saya… saya hanya memenuhi janji saya kepada ayah Anda… bahwa saya akan melindungi dan menjaga Anda… bahkan jika saya harus pergi dari sisi Anda – karena setiap kali kita bersama untuk menatap dunia, seluruh dunia selalu berusaha memisahkan kita…”

Itu tidak benar! Itu tidak benar! Aku memprotes keras sambil menarik tali kekang kudaku dan membuatnya berhenti. Kenapa tidak ada yang merasa perlu untuk memberitahuku mengenai hal ini? Aku marah memikirkan tentang itu. Aku akan berurusan dengan mereka nanti.

Aku melompat turun dari kudaku, dan berlari menuju ke arah sungai, melihat ke depan, dan kemudian kudapati sebuah perahu mengapung, bergerak menyusurinya. Hatiku serasa ingin meledak. Dara… mungkinkah?

“Jeonha!” aku menoleh ke sisi kananku dan mendapati Seungri dan Hong berlari mendekatiku dan ketika mereka berhenti di depanku, mereka menggeleng-gelengkan kepala mereka. Hal itu membuatku marah. Tanpa berpikir aku meninju wajah Hong keras dan mendorongnya minggir dan tak lama kemudian aku sudah mencengkeram pakaian Seungri.

“BAGAIMANA BISA KAU MELAKUKAN HAL INI? BERANINYA KALIAN MELAKUKAN INI PADAKU???”

Bentakku pada mereka. Aku merasa sangat terkhianati. Kenapa? Semuanya baik-baik saja, semuanya akhirnya baik-baik saja.

“Ayah saya berkata dia diminta untuk menyidang Dara noona meski upacara penobatan Anda belum berlangsung. Kami membuat rencana pelarian diri… tapi saat kami merencanakan semuanya, mereka menyiksa Sanghyun. Dan Dara noona…” bibirku gemetaran menahan marah mendengar Seungri melanjutkan perkataannya. “… dia sudah babak belur saat orang-orang ayah saya mengambilnya dari sipir penjaga. Dia diminta untuk menandatangani sesuatu yang bisa digunakan untuk menentang Anda, tapi dia menolak. Untungnya orang-orang ayah saya datang tepat pada waktunya. Dan dia sudah digiring keluar Istana untuk pura-pura menjalani pengadilan,”

Tubuhku lemas mendengar penjelasannya. Betapa tidak bergunanya aku?! Aku mengikuti gerakan perahu dengan pandangan mataku. Daraku… kenapa dia harus banyak menderita karenaku?

“Aku membutuhkannya,” kataku lemah. Aku memang egois, ya. Aku membutuhkannya. Tapi perkataannya di dalam surat yang diberikan oleh Menteri Lee kepadaku kembali terngiang. Semuanya jelas sudah sekarang…

“Saya mencintai Anda… maafkan saya, tapi tolong mengertilah bahwa saya harus pergi. Musuh-musuh Anda akan selalu melihat saya sebagai sesuatu untuk menghancurkan Anda. Dan saya tidak akan pernah mengijinkan mereka menggunakan saya untuk menghancurkan Anda… saya mohon, mengertilah. Saya mencintai Anda, Putra Mahkota… Raja saya… Jiyong saya,”

“Saya… saya minta maaf,” Seungri menundukkan kepalanya.

“TIDAAAAK!!! DARAAA!!!” aku berlari menuju sungai. Apakah ini selamat tinggal? Aku tidak bisa mempercayainya. Jika ini yang harus kuberikan untuk menjadi seorang Raja, bisakah aku melepas jabatanku? Karena aku lebih baik hidup sebagai orang yang tak dikenal atau bahkan hidup rendahan sebagai seorang budak daripada menjadi seorang Raja tanpa Ratuku.

Aku berenang seperti orang bodoh, mengabaikan air yang sedingin es yang serasa membakar kulitku, membasahi baju upacara merah yang masih kukenakan, yang sekarang sudah tersemat lambang naga berjari lima. Kulemparkan ikseonggwan – pengikat kepala tinggi itu, lalu kembali ke sungai dan terus berenang menuju perahu yang perlahan tapi pasti mulai menghilang dari pandanganku.

TIDAK! Aku mencoba berenang lebih cepat, meskipun aku bukanlah seorang perenang yang baik. kakiku mulai terasa kaku, dan bahkan aku belum memotong separuh jarak yang ada dari perahu.

“DARAAAA!!! JANGAN TINGGALKAN AKU!!!” aku menangis keras seperti anak kecil. Komohon jangan…

“JEONHA!!!” di belakangku Hong dan Seungri sudah menyusul, semua prajuritku berenang menuju ke arahku. Aku mengabaikan mereka, air mataku bercampur dengan cipratan air di wajahku.

“DARA JANGAN LAKUKAN INI! KAU BILANG KAU TIDAK AKAN MENINGGALKANKU LAGI! DARAAAAA!!!” teriakku seperti orang bodoh dan ucapanku yang penuh dengan kepiluan menggema di tempat itu yang seolah turut berduka bersamaku. Jika dia tidak kembali, lebih baik aku mati. Aku bersumpah aku lebih baik mati.

“Kumohon hangan… jangan,” aku terus merapalkan mantra itu dalam kepalaku tapi tidak berhasil. Aku terus menggerakkan kaki dan tanganku hingga aku merasakan kakiku kram, terasa kaku dalam setiap gerakanku. Aku tidak peduli. Yang kutahu aku harus sampai di tempatnya. Perlahan aku menyadari bahwa tubuhku tenggelam, rasa sakit di kakiku mulai tidak tertahankan dan dengan sisa nafas terakhir, aku menggumamkan namanya.

“Dara…” aku tenggelam kian dalam dan aku tidak lagi bisa bergerak. Aku berusaha kembali naik ke atas, tapi paru-paruku berkhianat. Dan tak lama kemudian, aku merasa kepalaku sangat ringan saat aku semakin dalam terpuruk dalam kegelapan.

**

Tissu.. tissu.. yang butuh tissu~ ;____;/~ *sebar tissu satu-satu

<< Previous Next >>

32 thoughts on “The King’s Assassin [50] : The King’s Assassin

  1. Aishht seneng campur sedih deh baca capt ini. Seneng karena penasehat choi udah dipenjara sedih karena dara unnie dan jiyong oppa harus pisah kyk gitu dan sedih juga gara gara seunghyun oppa juga harus rela appanya dipenjara 😭😭😭

Leave a comment