The King’s Assassin [7] : Collide

TKA

Author :: silentapathy
Link :: asianfanfiction
Indotrans :: dillatiffa

Kenapa Sanghyun nyamar jadi cewek? soalnya dia diminta Dara jemput Chaerin, padahal dia kudu belajar dan nggak boleh keluar rumah, makanya nyamar jadi kakaknya biar nggak ketahuan kalo kabur dari kamarnya..
Siapa Master Wu? mantan Hakim Provinsi Utara yang difitnah sama Menteri Lee atas suruhan Menteri Choi.. nah kebetulan Master Wu ini juga bisa liat masa depan gitu, sama jago silat..
Pertanyaan2 yang kira2 ada dalem crita, kejawab kok pelan2.. XD

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

 

“When we collide we lose ourselves,

When we collide we break in two,

And as we push and we shove and we hurt the ones we love,

It’s a hard mistake

When we collide, we break…

…We break.” – Dishwalla

**

“Aku tidak bisa mempercayai ini!” Ibu Suri menggebrak meja dengan tangannya. “Raja sudah benar-benar gila! Dia bahkan mengacuhkanku saat aku mencoba bicara dengannya mengenai rencana bodohnya ini! Dan Kau! Kau lebih banyak menghabiskan waktu bersamanya, tapi bagaimana bisa hal ini terjadi tanpa sepengetahuanmu?”

“Mianhe, Daebi Mama…” kata Menteri Choi sambil membungkukkan kepalanya.

“Aisht! Aku penasaran dimana anakku menyembunyikan Putra Mahkota. Aku perlu tahu… apakah dia akan pergi dalam waktu yang lama? Katanya dia sedang berlibur… kapan dia akan kembali?” tanya Ibu Suri sambil mengelus cincin yang berada di jarinya.

“Saya rasa, Raja sedang merencanakan sesuatu. Saya pikir dia akan segera membuat keputusan yang drastic dalam waktu dekat. Saya takut dia akan mengumumkan undang-undang baru dan itu akan menjadi akhir dari kekuasaan kita di negara ini.” kata Menteri Choi.

“Kalau begitu lakukan tugasmu! Gunakan orang-orangmu! Dan satu hal lagi… cari kandidat lain untuk menjadi calon Putri Mahkota. Hondam akan segera dikirim ke Keluarga Park dan sebelum kita menyadarinya, kita akan menemui masalah yang lebih besar.”

“Neh, Mama. Anda bisa mengandalkan saya.”

“Jangan hanya bicara! Satu kegagalan saja sudah cukup, arasso???!!!”

**

 Dengan berat hati Dara melangkah masuk kedalam kamar setelah selesai sarapan bersama keluarganya. Ayahnya langsung pergi ke istana sementara Sanghyun pergi ke sekolah. Ibunya juga pergi untuk mengambil beberapa hanbok yang diperlukan untuk persiapan pernikahan yang mungkin akan terjadi dalam minggu-minggu ini.

Sebuah hondam, sebuah tawaran untuk mengikat pernikahan, akan segera dikirim kepada keluarga mereka – mungkin besok. Napchae akan segera menyusul dan tidak ada yang bisa Dara lakukan untuk mencegah hal itu. Kemarin, dia sudah terang-terangan menolak perjodohan pernikahan itu namun sekarang, dia merasa sangat marah kepada dirinya sendiri, dia mencemaskan perubahan sosial yang akan terjadi pada dirinya sebagai Putri Mahkota dan itu berbahaya.

Dara mengetahui dari ayahnya mengenai kejadian yang terjadi di Provinsi Utara dan dia merasa cemas akan keadaan sang Pangeran. Dia tidak mengerti, namun hatinya merasa sakit membayangkan sang pangeran sombong dan arogan itu mungkin harus menghadapi kejadian paling mengejurkan – mendapat serangan saat berada dalam hutan.

Cepat-cepat, dia membuka peti kayu didekat mejanya. Dia mengambil selembar sapu tangan yang terlipat rapid an menggenggamnya di tangan.

“Apa Anda baik-baik saja, Jeoha? Apa Anda terluka?” tanyanya mengusap sulaman naga yang terdapat pada kain itu dengan ibu jarinya. “Anda selalu berbaik hati dan memafkan semua sikan saya walaupun terkadang itu kasar. Saya mohon kembalilah.”

Dara lalu mengembalikan sapu tangan itu kedalam peti kayu dan duduk, dengan memeluk kedua lututnya.

“Saya mohon, kembalilah dan selamatkan saya dari situasi ini.” katanya terisah. “Anda bilang Anda bisa memahaminya sekarang, kan? Beri saya waktu, Jeoha… saya mohon. Segeralah kembali dan selamatkan saya… cabut lamaran pernikahan itu. Saya mohon.”

**

“Tutup mulutmu bocah nakal!” teriak Putra Mahkota pada bocah kecil yang meributkan dirinya berjalan lambat. “Seorang Pangeran sepertiku harusnya bepergian dengan tandu! Kenapa aku harus berjalan???!!!”

“Jeoha,” bocah itu berhenti didepan Jiyong lalu berbalik dengan kedua tangan berlipat. “Bagaimana mungkin Anda bisa mendapatkan tandu di gunung, huh?”

“Kenapa kau berani bicara begitu padaku bocah nakal?! Yah!!!”

“Jangan cemas, Jeoha… Master sudah menyiapkan seekor kuda untuk kita dibawah sana.”

“Seekor kuda? Hanya seekor kuda? Yah! Apa kau pikir aku akan—,”

“… membiarkan saya menunggang seekor kuda bersama Anda? Ani… tapi Anda harus, Jeoha. Karena Anda tidak punya pilihan. Saya tidak bisa membawa pulang dua ekor kuda kemari.”

Jiyong mendecakkan lidah karena kesal. Bagaimana bisa anak kecil ini sangat menyebalkan padahal dia hanya mengatakan hal yang sudah jelas terlihat?

“Oke, oke! Sekarang tolong diam, arasso? Kau terlalu banyak bicara untuk seorang anak kecil.”

“Dan Anda terlalu banyak mengoceh untuk seorang Pangeran.” Bisik Harang kecil.

“Mworago???”

“Aniyo! Saya bilang kita akan sampai di istana saat tengah hari.” Kata bocah itu berlari menuruni lereng pegunungan meninggalkan Pangeran.

“Yah! Tunggu aku! Yaaah!!!”

**

“Chaerin-ah…”

“Neh, omma?”

“Bagaimana keadaan Dara?” tanya ibunya sambil melanjutkan kegiatannya menyisiri rambut panjang Chaerin.

Chaerin mengeluarkan desah sebelum menjawab ibunya. Bayangan akan wajah Dara muncul di matanya saat dia mencoba mengingat sambutan yang dia terima saat sampai di kediaman Keluarga Park.

“Dia sangat bersedih karena kabar itu. Dia tidak berhenti menangis omma. Kita semua tahu bagaimana mimpi unnie untuk bisa belajar. Tapi sekarang Raja memaksa agar Putra Mahkota dan unnie segera menikah, unnie merasa dikhianati oleh ayahnya.”

“Aigoo… itu sangat rumit. Aku mengerti apa yang Keluarga tengah alami. Pasti sangat sulit dari sisi orang tua.”

“Aku tahu omma. Aku sangat yakin Penasehat Park dan istrinya memiliki beban berat di pundak mereka. Itu adalah keinginan sang Raja. Bagaimana bisa seseorang menolak hal itu? Memikirkan tentang bagaimana Penasehat Park mengusulkan tentang undang-undang itu kepada appa, Menteri Jung, dan Raja karena dia ingin memenuhi mimpi anak-anaknya, pasti perasaannya sangat menderita karena harus mengorbankan unnie untuk mewujudkan hal itu. Aku hanya tidak mengerti kenapa harus secepat ini.” kata Chaerin sambil mencoba memikirkan pertanyaannya sendiri.

“Aku pun tidak mengerti. Kenapa mereka begitu terburu-buru? Aiyoo.” Kata ibunya mendesah berat. “Yah, Chaerin-ah…”

“Neh?”

“Ngomong-ngomong, bagaimana perkembangan hubunganmu dengan Sanghyun?”

“Booyah?” Chaerin melebarkan matanya menatap sang ibu. “Ada apa dengan pertanyaan itu, omma? Tentu saja kami baik-baik saja, kami sudah berteman sejak kecil.”

“Bukan itu yang kumaksud Chaerin-ah.” Jawab ibunya, meraup kedua tangan putrinya. “Seentar lagi, kau perlu menemukan seseorang yang akan menjagamu—,”

“Aku masih terlalu muda omma.”

“Aisht, semakin muda kau menikah, semakin baik. Kita hidup di negara dimana segera menikah dengan pria bangsawan adalah sebuah kehormatan. Lagipula, aku tidak ingin mengkhawatirkanmu.”

Chaerin menyipitkan matanya menatap sang ibu. “Omma, apa kau baik-baik saja? Berhenti mengatakan hal seperti itu, kau membuatku takut, aigoo.” Kata Chaerin tersenyum.

Ibunya hanya menaikkan alis dan balas tersenyum. Dia menarik nafas dalam, dan matanya jadi berkaca-kaca, dia kemudian menggenggam tangan putrinya dengan lebih erat.

“Omma…”

“Chaerin-ah, aku ingin kau menjadi seorang wanita yang terhormat. Putri satu-satunya dari Profesor Lee, Kepala Sekolah Seungkyunkwan. Menjadi bangsawan yang baik hati dan terhormay. Hanya itu, dan aku bisa berbahagia. Tapi jika saja kau kehilangan jalanmu, jangan merasa terbebani. Aku hanya menginginkan yang terbaik bagimu. Aku tidak akan bisa bertahan jika putriku satu-satunya mendapatkan bahaya. Aku adalah ibumu dan aku mencintaimu.”

“Omme, apa yang kau bicarakan? Kau tahu aku juga mencintaimu dan aku akan menjadi putrid yang baik yang bisa kau banggakan. Kenapa kau menangis?” tanya Chaerin sambil menghapus air mata yang mengalir di wajah ibunya.

“Aisht, jangan pedulikan aku, aigoo. Kurasa aku tidak bisa menerima kenyataan bahwa kau sekarang sudah menjadi seorang lady.” Ujar ibunya. “Yah, berbalik. Berbaliklah.”

Chaerin mengerucutkan bibirnya sebelum membalikkan badannya hingga kembali memunggungi ibunya, menatap ke cermin. Perlahan, ibunya mulai mengepang rambutnya kembali. Chaerin masih mendengar isakan pelan dari ibunya dan tidak bisa untuk tidak merasa merasa cemas. Pasti ada sesuatu yang mengganggu pikiran ibunya namun dia tidak mau bertanya lebih jauh karena sudah jelas ibunya tidak akan mau memberitahunya.

“Sudah selesai, sayang.” Kata ibunya, muncul dalam bayangan di cermin dari belakang tubuhnya. “Putriku yang cantik, aigoo… waktu sangat cepat berlalu.” Katanya, menghapus air matanya sebelum mengelus rambut Chaerin.

Chaerin terdenyum dan mengambil sebuah aksesoris rambut untuk dipakai di rambutnya, namun omma-nya mendahuluinya melakukan itu.

“Aku hampir lupa… sini… biarkan aku yang melakukannya.” Kata ibunya sambil membenarkan jepitan disisi rambutnya. Itu adalah aksesoris berbentuk bunga teratai berhiaskan emas disisinya.

“Wow… ini sangat cantik omma.” Kata Chaerin mengecek penampilannya melalui cermin.

“Neh… aku memperoleh itu saat upacaraku menginjak dewasa. Sekarang aku akan memberikannya padamu.”

“Chincha? Ini jadi milikku sekarang? Waaah!” seru Chaerin sambil memegang struktur aksesoris yang kini telah terpasang di rambutnya. “Omma, gomawo!”

“Apapun akan kuberikan untukmu, anakku tersayang. Apapun.”

**

“Dengan rendah hati, kami mohon kepada Anda, Jeonha!”

“Kami mohon jangan lakukan ini, Jeonha!”

Para pejabat kerajaan berlutut dihadapan Raja begitu membaca gulungan yang dikirimkan kepada mereka yang berisikan tentang undang-undang yang baru. Beberapa diantara mereka ada di pihak Raja namun lebih banyak yang menentangnya sehingga Raja harus memanggil mereka semua untuk membicarakan ini lebih lanjut sebelum pengumuman.

“Kenapa kalian berusaha untuk tidak mematuhi keinginanku?! Aku adalah Raja negara ini, sehingga aku memiliki hak untuk menerapkan undang-undang baru ini!”

“Jeonha, maafkan kami karena hal ini tapi biarkan kami menyatakan pendapat kami terlebih dahulu, Jeonha!”

“Jeonha!” para pejabat itu semakin menundukkan kepala mereka dalam.

“Jeonha, kita tidak bisa membuat mengumumkan dan menetapkan yang sangat drastic seperti ini. ya, Anda akan bisa menenangkan pemberontakan yang dilakukan oleh para orang-orang dari kelas biasa namun bagaimana dengan para yangban? Bukankah mereka juga adalah rakyat Anda?”

“Yangban atau orang  biasa atau budak atau orang yang merdeka, semuanya adalah rakyatku. Yangban dan para elit sudah lama menikmati hidup mereka dalam kenyamanan. Kenapa kita tidak memberikan hal yang sama kepada para orang-orang biara? Kenapa budak tidak bisa menjadi seorang yang normal? Kenapa orang biasa tidak bisa pergi ke sekolah? Kenapa wanita tidak bisa mendapatkan hak mereka dalam masyarakat? Kenapa kita tidak bisa hidup secara harmonis tanpa memandang kelas status?”

“Saya setuju dengan Baginda Raja. Kita tidak layak menjadi pejabat kerajaan karena bersikap seperti ini saat kita tahu ini demi kepentingan negara dan rakyat.” Penasehat Park berkata, membuat para wakil penasehat kerajaan mengangguk setuju.

Menteri Jung melirik Menteri Lee dan Menteri Choi, menunggu reaksi mereka berdua, namun dia justru terkejut begitu mendengar apa yang Menteri Choi katakan kemudian.

“Saya menyarankan, agar kita semua mendengarkan apa yang Baginda Raja kehendaki. Perkataan Baginda ada benarnya.” Kata Menteri Choi singkat membuat Menteri Lee langsung menolehkan kepala menatap Menteri Pertahanan itu.

“Anda tidak mungkin serius, Menteri Choi!” bentak para Menteri yang lain menentang perkataannya.

“Siapa bilang saya tidak serius? Tentu saja saya sangat serius. Saya berada di pihak Baginda Raja.”

Desah dan gumaman segera terdengar begitu Menteri Choi menyatakan pendapatnya. Sejak awal, semua orang tahu Menteri Choi menentang penunjukan Penasehat Park sebagai Kepala Penasehat Kerajaan. Dia bahkan mempertanyakan kedekatannya dengan Raja juga Profesor Lee dan Menteri Jung.

Seisi balai pertemuan kerajaan seketika sunyi saat Menteri Lee berdeham dan berbicara.

“Sebagai Menteri Keadilan… dank arena Menteri Pertahanan setuju dengan undang-undang yang baru, dengan ini saya menyatakan persetujuan saya.”

Para pejabat saling pandang satu sama lain dan berdebat sesaat, namun begitu mereka melihat sang Raja berdiri, semua orang langsung menyatakan persetujuan mereka akan keinginan sang Raja.

“Apa yang kau pikirkan, Menteri Choi?” pikir Menteri Jung mencoba membaca raut wajah Menteri Choi.

**

Jiyong mengerutkan alisnya sambil terus memperhatikan bocah didepannya. Pantatnya sudah sakit karena mereka telah menunggang kuda selama berjam-jam – dikarena mereka mengambil rute perjalanan yang berbeda untuk menghindari pandangan orang-orang sebab dia hanya mengenakan pakaian sederhana; jubahnya yang kotor dia tinggalkan di rumah si kakek tua itu.

Tak lama atap megah gerbang depan istana muncul dalam pandangan matanya.

Tak lama lagi, dia akan terlindungi lagi dan kejadian malam kemarin hanyalah sebatas mimpi.

Jiyong mendesah dan bersyukur karena dia dan ayahnya selamat. Dia mungkin sudah mati sekarang jika bukan berkat kakek tua yang dipanggil Master oleh bocah kecil ini. Dan kematian bukanlah sebuah pilihan bagi Putra Mahkota sepertinya, karena suatu saat nanti dia akan mengambil alih tahta dan melayani negaranya sebagai seorang Raja.

Jiyong menggelengkan kepalanya, mengenyahkan pikirannya itu, membuat pikiran lain terlintas.

Kematian…

Kematian bukanlah sebuah pilihan…

… si kakek tua…

… si kakek tua dan peringatannya…

Jiyong biasanya tidak mau percaya kepada shaman namun kakek tua itu berbeda. Aneh rasanya kakek itu berhasil menebak apa yang tengah dia pikirkan dengan tepat – dia tidak sanggup membayangkan. Dan kemudian dia mengingat perkataan kakek itu, seketika itu juga sinyal bahaya langsung bergema dalam kepalanya.

“TIDAK!!! TIDAK!!!” Jiyong langsung menarik kuda yang ditungganginya menepi, memberhentikan laju hewan itu. Dia segera melompat turun, meninggalkan si bocah ternganga menatapnya.

“Kau… kau pergi dulu ke istana!”

“Apa?”

“Kubilang, pergilah lebih dulu! Aisht! Apa perkataanku sulit untuk dimengerti?”

“Saya tidak bisa! Anda tahu mereka tidak akan membiarkan saya masuk! Lagipula, Anda akan pergi kemana? Master memerintahkan kepada saya untuk membawa Anda ke istana, dasar naga!”

“YAAAAAH!!! DENGARKAN AKU ARASSO? AKU INI ADALAH PUTRA MAHKOTA DAN IKUTI SAJA PERINTAHKU JIKA KAU MASIH INGIN BISA PULANG KEPADA MASTER-MU ITU HIDUP-HIDUP!”

“Tapi…”

“Kau menantangku, bocah?” Jiyong memperingatkan.

“AISHT!!!” bocah itu mendesah pasrah dan ikut melompat turun, mendarat dengan sempurna di tanah. Dia langsung menghampiri JIyong dan memegangi tangan kanan sang Pangeran sebelum memejamkan matanya dan menarik nafas dalam.

“Y-y-ah…” Jiyong merasa bulu kuduknya meremang bersamaan dengan saat bocah itu kembali menarik nafas dalam. “Y-y-ah… apa yang kau lakukan?”

Mata Harang terbuka dan Putra Mahkota langsung terkesiap melihatnya. Mata bocah itu kosong, hampir sama seperti mata si kakek tua. Jiyong mulai panik dan mencoba melapaskan tangannya dari genggaman bocah itu dan begitu Harang melepaskan tangannya, mata bocah itu seketika kembali normal membuat Jiyong mundur beberapa langkah.

“A-a-pa… B-ba-gaimana…”

“Saya tidak melihat ada yang salah dan Anda kembali ke istana sore ini… saya butuh sesuatu dari Anda, agar penjaga mengijinkan saya masuk.” Kata Harang dengan nada biasa saja, membuat Putra Mahkota ternganga lebar menatapnya.

“Jeoha… mungkin cincin Anda?”

“Bwoh? Yah! Kau pasti seorang tukang sihir, aku tahu itu! hah! Kau pikir kau bisa membodohiku kali ini? aniya!!!”

“Berikan cincin Anda kepada saya, cepat dan berlarilah ke rumah Agassi cantik itu. ppalli!!!”

Mata Jiyong mendelik lebar hingga hampir melompat keluar dari rongganya. Dia ingin mengatakan sesuatu namun dia ingat bahwa dia harus segera berbicara kepada Dara. Dia lalu buru-buru melepas cincinnya dan menyerahkannya pada Harang.

“T-t-unggu aku di istana, arasso?” kata Jiyong, bocah itu sudah berada diatas pelana.

“Saya tidak bisa, saya harus segera pulang. Master akan memarahi saya. Saya akan mengantarkan surat ini kepada Raja, Jeoha. Annyeong!” kata Harang lalu memacu kudanya menjauh.

“Bocah itu benar-benar sesuatu. Benar-benar sesuatu.” Kata Jiyong terpana.

“Aisht!!! Aku harus segera bicara kepada Dara!!!” dia berkata dan segera berlari, menyebari jembatan menuju ke Hanyang.

**

“Aku tahu… aku tidak bodoh.” Kata Raja meraih cangkirnya. “Ibuku memintaku menemuinya, namun aku menolak dan sekarang, Menteri Choi ada di pihak kita.”

“Gulungan yang asli… yang memiliki stempel mereka… kita perli menjaganya. Kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi.” Kata Menteri Jung muram. “Aku takut mereka sedang merencanakan sesuatu. Kita harus berhati-hati.”

“Kita harus menyembunyikan gulungan itu sampai hari pengumuman undang-undang yang bari.” Usul Profesor Lee membuat Raja mengangguk setuju.

“Aku akan membawa gulungannya. Benda itu tidak akan aman jika berada didalam istana.” Penasehat Park menawarkan diri.

“Tidak… aku akan membawanya… semua orang akan lebih mencurigaimu dibandingkan kami berdua.” Usul Profesor Lee sambil menunjuk kepada Menteri Jung.

“Ani… aku akan membawanya. Benda itu akan membahayakan hidup keluargamu.” Kata Menteri Jung.

“Dan tidak denganmu?” balas Profesor Lee.

“Aigoo cukup, gentlemen,” kata sang Raja. “Semuanya akan baik-baik saja. Jangan terlalu cemas.”

“Jeonha, seseorang dikirim kemari oleh Putra Mahkota!” kata seorang dayang dari balik pintu.

“Biarkan dia masuk!”

Mereka menunggu hingga pintu terbuka dan menampakkan seorang anak kecil yang membawa peti berisikan gulungan. Harang terlihat bingung. Dia menelan ludah sebelum bisa memberi hormat kepada Raja.

“J-j-jeonha…” katanya menundukkan kepala. Dia kemudian mengangkat kedua tangannya, mengulurkan gulungan kepada Raja. “Pesan ini dari Master saya.”

Raja langsung mengambil gulungan itu dan membacanya.

“Hakim Wu? Kupikir itu dari Putra Mahkota?”

“Beliau tadi bersama saya, Jeonha…”

“Lalu sekarang dimana dia?”

**

“Aisht!!! Kenapa dia tidak membuka jendelanya?!”

Jiyong menggaruk kepalanya dan dengan tidak sabar melempar kerikil ke jendela Dara untuk kesekian kalinya.

“Aisht!!! Kau…”

Jiyong membenarkan posisinya diatas pagar dan menatap batu kerikil yang tersisa ditangannya. “Yah, yah!!! Jangan mengecewakanku, arasso?”

Jiyong melempar kerikil terakhir dengan segenap kemampuannya. Dia menyeringai bangga namun senyumnya langsung menghilang begitu mendengar seseorang merintih kesakitan.

“Aaaaccck!!!”

Jiyong melihat itu, kerikil masih melayang di udara saat jendela itu terbuka, menampakkan gadis yang paling disukainya. Dia ingin menangkap kembali kerikit itu jika mungkin namun sudah terlambat.

“Unghhhh…” Dara merintih kesakitan sambil mengusap dahinya yang kini bengkak.

“Dara!!! Dara!!!” Jiyong buru-buru melompat turun dari pagar dan melompat ke jendela. Dia langsung memeriksa wajah gadis itu dan mendorongnya kembali kedalam kamar.

“Omo…” Mata Dara melebar kaget begitu melihat sang Pangeran sekali lagi, sedekat ini.

“Yah, kau baik-baik saja, huh? Aisht! Kenapa kau tiba-tiba membuka jendelamu! Lihat, sekarang dahimu bengkak! Aisht!”

“B-b-w-who?”

“Bagaimana perasaanmu? Apa kau merasa pusing? Apa? Katakan padaku!!!”

Wajah Jiyong penuh gurat cemas. Dia merasa semakin bersalah karena dirinyalah yang harus disalahkan untuk itu. Dia sedang meniup dahi Dara saat merasakan sepasang tangan ramping melingkar di pinggangnya. Tentu saja dia kaget. Matanya melebar dan tak lama kemudian gadis itu terisak hebat dalam pelukannya.

“Terima kasih karena sudah kembali dengan selamat, Jeoha. Terima kasih.” Kata Dara disela-sela tangisnya. Jiyong hanya bisa tersenyum dan balas memeluk gadis itu. Kedua sudut bibirnya tertarik membentuk sebuah senyuman meskipun dia tidak tahu kenapa gadis itu bersikap seperti ini.

Jiyong merasa senang. Gadis itu mencemaskannya. Apakah Dara juga merasakan perasaan yang sama dengannya? Tanyanya pada diri sendiri namun tidak peduli akan jawabannya.

Disinilah dirinya sekarang, dengan gadis itu dalam pelukannya. Meskipun tindakannya ini illegal, dia akan menerima semua konsekuensinya dengan menikahi gadis itu.

“D-d-ara-ah…” ucap Jiyong mengelus punggung Dara membuat gadis itu menarik diri dari pelukan mereka.

“Mian… Mianhe Jeoha… Mian—“

“Tidak apa-apa…” kata Jiyong tersenyum pada gadis itu. “Kita akan segera menikah. Appa Mama sedang mengurus semuanya, aku yakin.” Katanya namun Dara langsung menggelengkan kepalanya dan mundur perlahan.

“J-j-eoha… bisakah saya meminta sesuatu?” tanya Dara sambil menghapus air matanya.

“Apa itu? Katakan padaku…”

“B-bi-sakah… bisakah Anda menunggu saya?”

“Bwoh?”

“J-j-eoha… Anda bilang Anda memahami saya. Saya mohon, Jeoha. Ada banyak hal yang masih ingin saya lakukan. Saya belum siap untuk menikah. Kita masih terlalu muda. Dan—,“

Rahang Jiyong mengeras mendengar permohonan gadis itu. Tangannya terkepal dan dia menahan diri sekuat mungkin untuk tidak menangis dihadapan Dara. dia adalah Putra Mahkota dan demi gadis dihadapannya ini, dia rela melupakan status dan posisinya. Tapi tidak peduli akan apapun yang dia lakukan, selalu saja seperti ini, pikirnya.

Kenapa Jiyong terlalu memaksakan diri padahal Dara selalu mendorongnya menjauh?

“A-a-pa yang sebenarnya kau inginkan?” tanyanya, mengesampingkan rasa sakit yang dia rasakan dalam dadanya. Sebenarnya dia takut mendengarnya langsung dari mulut Dara, penolakan lain yang harus dia terima. “Katakan padaku…”

“Saya mohon… cabut kembali… saya mohon, jangan lakukan ini pada saya. Saya mohon tarik kembali perjanjian pernikahan itu.”

**

“Jeoha! Jeoh!!!” Eunuch Seunghwan langsung berlari menyambut tuannya begitu melihatnya.

“Jeoha! Selamat datang kembali! Anda benar-benar membuat saya cemas. Aigoo…” katanya sambil membungkukkan badan dihadapan sang Pangeran. Dia semakin menundukkan kepalanya untuk menymbunyikan air mata yang telah tergenang di matanya.

Jiyong menatap pelayannya dengan mata berkaca-kaca. Dengan hatinya yang telah hancur, dia berbalik untuk membuka sepatunya. Sang Eunuch langsung malayani tuannya. “Biarkan saya membantu Anda, Jeoha.”

Pangeran berjalan menuju ke kamarnya, dan begitu dia masuk kedalam, dia menjatuhkan dirinya di tempat duduknya diatas lantai kayu. Seunghwan hanya bisa memiringkan kepalanya bingung. Dia burur-buru mengikuti Putra Mahkota, namun pemuda itu langsung mengusirnya.

“Keluar.”

“Jeoha…”

“Keluar…” ulang Jiyong sekali lagi tanpa menatap Eunuch-nya.

“Tapi… tapi…”

“KUBILANG KELUAR! AKU TIDAK BUTUH SIAPAPUN SAAT INI, APA KAU MENGERTI?! PASTIKAN TIDAK ADA SEORANG PUN YANG MASUK, TIDAK HALMA AMAMA ATAU OMMA ATAU BAHKAN AYAHKU, ARASSO???” bentak Jiyong kepada pria paruh baya itu, membuang sang Eununch yang malang itu langsung menundukkan badannya karena takut. Dia perlu mengedipkan matanya beberapa kali untuk memproses apa yang perkataan Pangeran. Ini adalah hal terakhir yang disangkanya akan terjadi begitu sang Pangeran kembali. Dia ingin menanyakan apa yang terjadi namun memutuskan untuk tetap diam.

“APA LAGI YANG KAU TUNGGU??? KELUAR!!!”

Eunuch Seunghwan langsung beridiri dan berbalik, bahunya merosot karena kecewa. Dia tahu tuannya tengah mengalami masalah dan dia hanya ingin membantu untuk meringankan beban, namun dia mengerti Pangeran mungkin hanya membutuhkan waktu untuk sendiri. Dia baru akan membuka pintu saat telinganya mendengar sang pangeran terisak. Dia mengepalkan tangan dan berusaha melawan keinginannya untuk berlari ke sisi Pangeran.

“Apa yang terjadi? Aku tidak mengerti apapun.” Seunghwan mendengar Jiyong bertanya. “Pemberontakan, ramalan… penolakan… kenapa? Aku tidak mengerti. Aku tidak tahu akan akan setidak berdaya ini. Ini terlalu berat… sangat berat…” kata Jiyong sambil memukuli kepalanya, kedua sikunya dia letakkan diatas meja.

Sang Eunuch memejamkan matanya saat dia merasakan sakit mendengar apa yang dikatakan Putra Mahkota. Dia ingin menenangkan pemudan itu dari segala takanan yang diterima oleh pikiran mudanya namun sang Pangeran harus kuat. Dia tahu Pangeran harus menyelesaikan semua ini sendiri – saat negara mereka tengah mengalami gejolak politik.

“Saya mohon, bertahanlah Jeoha. Ini adalah nasib Anda, ini adalah takdir Anda. Jadilah berani dan pilihlah jalan yang benar. Tak lama lagi, negara ini akan bersandar pada pundak Anda. Anda harus kuat.” Kata Eunuch Seunghwan sebelum melangkah keluar dari kamar Pangeran…

… dan begitu dia menutup pintu, suara beberapa benda yang hancur diiringi oleh suara tangisan yang memilukan memecah keheningan malam.

**

Saya bagi2 tissu nih, sapa mau~ sapa mau~??
T___T

<< Previous Next >>

57 thoughts on “The King’s Assassin [7] : Collide

  1. Omo,,,t’nyata harang jg bsa mlihat masa depan sprti master wu ya ???
    Oppa,, 😥
    miris ngeliat oppa mnangis dgn sngat memilukan,,, 😥
    Oppa kuatkan hati nd tenagamu,rakyat m’butuhkanmu,,
    Dara eonni rubahlah kputusanmu nd trima prnikahan itu,,, 😥
    Next

Leave a comment