SNEEUWWITJE [Chap. 3]

swee

A storyline by. Cho Hana

Sandara Park || Kwon Jiyong

Park Soojin || Kim Jongin || Jung Soojung || Park Jiyeon || Park Hayeon

Kang Seulgi || Jung Taekwoon || Lee Seungri || Im Yoona

Romance || Drama || Marriage-Life

PG-15

.

She is a Snow White, not a Cinderella

.

Buat yang baru baca di chapter ini diharapkan baca prolog/chapter sebelumnya:

[Introduction+Prolog] [1] [2]

“Makanannya enak?” Jongin menatap gadis dengan surai kemerahan yang tengah menikmati sepiring spicy tuna di depannya.

“Ummm. Ini sangat enak, sunbae,” Sahut gadis itu sambil tersenyum lebar. “Terimakasih sudah mengajakku makan malam di sini. Kupikir Sunbae tidak jadi mengajakku makan karena tadi siang sunbae tidak menghubungiku. Aku benar-benar merasa senang sekarang.”

Jongin membalas senyum gadis itu, “Tidak perlu merasa sungkan. Ini sebagai ganti karena tadi siang aku membatalkan janji. Nikmati makananmu dengan lahap. Oke?”

Jongin segera menyambar pisau dan garpu yang ada di depannya. Beberapa waktu kemudian tak ada yang bersuara. Hanya sesekali terdengar suara pisau atau garpu yang bergesekkan dengan piring makan. Jongin memperhatikan gadis di depannya itu dalam diam. Gadis itu nampak memotong tipis setiap potongan tuna yang ada di piringnya lalu memakannya pelan-pelan.

“Hyemi…” Suara berat Jongin itu membuat si gadis mendongakkan kepalanya. “Apa kau punya masalah pencernaan?”

“Oh? Apa?” Gadis itu nampak keheranan.

“Tidak apa-apa. Aku hanya berpikir mungkin kau punya masalah pencernaan. Kau memotong tunanya tipis-tipis lalu mengunyah dengan pelan-pelan. Apa perutmu tidak tahan makanan pedas?”

Gadis itu tertawa mendengar pertanyaan Jongin, “Ah tidak. Aku hanya ingin menghormati sunbae sebagai seniorku di kantor dan juga—bukankah seorang gadis harus menjaga citranya di depan seorang pria? Sunbae, semua gadis pasti akan sepertiku jika sedang makan bersama seorang pria.”

“Semua… gadis?” Jongin menautkan kedua alisnya sebentar sebelum akhirnya terbahak tanpa sebab. “Kupikir pemikiranmu salah, Hyemi-ssi.”

“Apa?” Kini gadis itu kembali menunjukkan ekspresi bingung.

“Semua gadis tidak seperti itu. Tidak semua gadis mementingkan citranya di depan pria.”

3 tahun yang lalu…

 

 

Sepasang muda-mudi itu merajut langkahnya memasuki sebuah restoran. Bukan restoran bintang lima yang menyajikan makanan mewah, hanya sebuah restoran jajangmyeon sederhana yang buka selama dua puluh empat jam.

 

  

“Soojung-ssi, kau yakin mau makan di sini?” Si pria bersuara saat gadis bersurai legam di depannya tengah asyik memilih menu.

 

 

“Ya. Kenapa memangnya? Kau tidak suka?” Si gadis –Jung Soojung masih menancapkan maniknya pada buku menu yang ada di depannya. “Aku ‘kan sudah bilang, jika kau tidak suka dengan pilihanku, silahkan memisahkan diri saja. Kau bisa pergi ke restoran Italy yang ada di dekat sini. Setengah jam kemudian kita bisa kumpul kembali ke basecamp.”

 

 

“Tidak. Bukan begitu. Maksudku—kenapa harus jajangmyeon?”

 

 

Soojung menghela napas panjang. Disingkirkannya sebentar buku menu yang menghalangi pandangannya dari si pria, “Karena di sini kau bisa makan sepuasnya. Aku suka kebebasan. Aku suka makan dengan porsi besar dengan kaki diangkat ke kursi dan mulut belepotan saus kacang hitam. Kau puas, Kim Jongin-ssi?”

 

 

Jongin hanya membulatkan mulutnya membentuk huruf O. Benar kata teman-temannya. Soojung memang gadis yang berbeda. Gayanya tomboy, suka ceplas-ceplos dan judes, tapi tetap saja di mata Jongin, Soojung adalah gadis yang cantik.

 

 

Setelah menunggu beberapa lama, pesanan mereka datang. Dua mangkok jajangmyeon ukuran jumbo. Tanpa banyak bicara mereka langsung menyantap makanan masing-masing. Seperti yang dikatakannya tadi, Soojung langsung mengangkat kaki kirinya ke atas kursi lalu menyambar sumpitnya dan melahap dengan rakus jajangmyeon yang ada di mangkoknya. Jongin takjub untuk beberapa saat sebelum akhirnya ikut menyumpali mulutnya dengan satu sendok penuh helaian jajangmyeon.

 

 

“Jadi kira-kira topik apa yang akan kita pilih? Ekonomi mikro atau ekonomi makro?”

 

 

“Apa?” Jongin menatap mulut Soojung yang kini sudah dijejali dengan jajangmyeon. Bahkan sausnya sampai meluber di bibir mungil gadis itu. Soojung benar-benar tak memikirkan image-nya lagi di depan Jongin.

 

 

“Aku bertanya padamu, kita mau bahas topik apa?” Sahut Soojung sambil menyumpali kembali mulutnya dengan jajangmyeon. “Kau tahu ‘kan kita hanya punya waktu malam ini. Kita harus membuat paper, makalah juga slide power point. Banyak yang harus kita kerjakan, jadi kita harus tentukan topiknya sekarang.”

 

 

Jongin terkesima. Entahlah. Di matanya sekarang Soojung terlihat dua kali lebih cantik saat berbicara dengan mulut penuh jajangmyeon.

 

 

“Kim Jongin-ssi, apa kau mendengarku?” Soojung menggebrak meja yang tengah mereka tempati.

 

 

Jongin terkesiap. Lamunannya buyar seketika dan diganti dengan cengiran bodoh yang tercipta di wajahnya, “Kalau aku… pilih kamu saja.”

 

 

“Apa?” Soojung menautkan kedua alisnya.

 

 

Jongin terkekeh pelan lalu menyeka luberan saus jajangmyeon di bibir Soojung dengan jempolnya. Semburat merah nampak samar tercipta di kedua pipi gadis itu.

 

 

“Aku tidak mau pilih ekonomi mikro atau ekonomi makro. Aku pilih kau saja.”

 

 

Untuk sepersekian detik Soojung mematung. Otaknya berpikir keras untuk menyerap maksud dari kata-kata Jongin barusan.

 

 

“Jongin-ssi—“

 

 

“Ah sudahlah. Aku tidak ingin mendengar jawabanmu. Aku tidak mengajukan pertanyaan padamu. ‘Aku memilihmu’. Apa kau mengerti itu kalimat apa? Itu kalimat pernyataan. Artinya itu mutlak dan tidak bisa diganggu gugat. Aku menyukaimu. Mulai sekarang kita pacaran. Kau paham ‘kan?”

 

 

Dan Soojung merasa pipinya pasti sudah semakin memerah sekarang.

~~~

Ketika manik Sojin bersirobok dengan manik Jiyong, dimensi waktu di sekitar mereka terasa terhenti sesaat. Menciptakan sebuah kenangan tersendiri yang seolah kembali berputar di benak mereka. Tak ayal aktivitas nostalgia dadakan pun terjadi.

“Kalian sudah saling kenal?” Suara baritone Seunghyun seolah menjadi alarm pengingat bagi keduanya agar dapat kembali ke dunia nyata.

“Ah ah ya. Aku mengenalnya. Dulu kami satu SMA,” Sojin menjawab dengan canggung. Dialihkannya maniknya dari Jiyong, berusaha menetralkan perasaan yang bergemuruh di dalam dadanya.

“Kami adalah teman satu sekolah dulu. Sudah lama kami tidak bertemu,” Jiyong ikut menimpali.

“Oh begitukah? Berarti saat aku mengirimimu foto Sojin semalam, kau sudah mengenalnya?” Seunghyun kembali bertanya.

Sojin langsung menatap Seunghyun tajam lalu beralih kembali menatap Jiyong. Seulas senyum terukir di wajah pemuda itu. Senyum yang masih sama seperti terakhir kali mereka bertemu.

“Ya, bisa dibilang begitu,” Jiyong menyahut dengan santai.

“Tunggu dulu!” Tiba-tiba Seungri yang sejak tadi diam menginterupsi obrolan di antara ketiga orang yang ada di sekitarnya. “Jadi ini yang namanya Park Sojin? Yang hyung bilang jadi cinta pertama hyung.”

Sojin terkesiap. Begitu pun dengan Seunghyun.

“Cinta pertama?” Seunghyun mendelik pada Sojin.

“Ah kami memang punya hubungan yang cukup dekat saat di SMA, tapi hubungan kami sudah lama berakhir,” Sojin berusaha meluruskan semua kebingungan yang terjadi dalam obrolan mereka.

“Ya, Sojin benar. Hubungan kami berakhir tepat setelah tiga bulan kami berkencan. Aku dicampakkan olehnya,” Jiyong terkekeh pelan.

Sojin menatap Jiyong dalam-dalam. Ia tak percaya jika Jiyong akan menceritakan tentang masa lalu mereka pada temannya.

“Oh baiklah. Kurasa ini pertanda baik. Kalian berdua sudah saling mengenal. Itu artinya kalian bisa lebih leluasa untuk saling bekerja sama,” Seunghyun kembali membenarkan jalur obrolan mereka sore itu. “Tapi Jiyong-ah, maafkan aku. Kau terlihat sangat senang saat bertemu lagi dengan Sojin dan sepertinya sekarang aku mengerti apa alasannya kau menerima tawaran ini, tapi—“ Seunghyun menjeda kalimatnya sebentar. “—klien kawin kontrakmu sebenarnya bukanlah Park Sojin.”

“Apa?” Jiyong mengerutkan keningnya.

“Akan kujelaskan nanti,” Sojin bersuara lalu beralih menatap Seunghyun dan Seungri yang duduk berseberangan dengannya. “Bisakah aku bicara empat mata dengan Jiyong?”

~~~

Malam menjelang di kota Seoul. Suasana jalanan menjadi semakin ramai. Kehidupan malam kota Seoul semakin nampak hidup. Di tengah jalan yang lumayan ramai, sebuah mobil sport berwarna hitam melaju dengan kecepatan sedang. Di dalamnya ada Soojung yang nampak tengah berteleponan dengan seseorang.

“Ne oppa. Aku sedang dijalan sekarang. Apa pesawatnya sudah mendarat?” Tanya Soojung sambil memutar setir mobilnya pelan-pelan.

“Ya, pesawatnya baru saja mendarat. Aku akan menunggu di depan bandara. Hati-hati di jalan, Soo.” Terdengar suara berat di ujung sana.

“Ne oppa. Tunggu aku ya.”

Setelah itu Soojung langsung memutuskan sambungan teleponnya lalu menginjak pedal gasnya dan mempercepat laju mobilnya. Dalam waktu lima belas menit, ia tiba di depan bandara Incheon. Seulas senyum terukir di wajahnya kala maniknya menangkap sosok pria dengan postur badan yang canggung.

“Oppa,” Soojung langsung keluar dari mobil dan memeluk sosok itu. “Oppa, aku merindukanmu.”

“Ya oppa juga merindukanmu, Soojung-ah,” Pria itu membalas pelukan Soojung dengan mengecup puncak kepalanya.

“Benarkah? Apa oppa benar-benar merindukanku?” Soojung melempar tatapan manja pada pria itu.

Pria itu nampak terkekeh, “Ya. Oppa benar-benar merindukanmu, Soojung-ah. Oppa rindu dengan adik oppa yang bawel, rakus dan jelek ini.”

Soojung meringis kesal saat tangan pria itu mulai mengacak-acak rambutnya, “Yak, oppa benar-benar menyebalkan.”

“Ayo, kita masuk ke mobil. Hari sudah semakin larut.”

Pria itu merangkul tubuh mungil sang adik sambil menyeret kopernya ke dalam mobil. Kini pria itu –Jung Taekwoon- sudah mengambil alih posisi setir dari Soojung. Sudah hampir 5 tahun lebih pria itu meninggalkan kota Seoul. Ia begitu merindukan suasana kota kelahirannya itu. ada sedikit perasaan menyesal dalam dirinya karena setelah lulus kuliah ia tak langsung kembali ke Seoul. Ya, seandainya saja ia tak tergiur dengan proyek pekerjaan sebagai fotografer majalah di Prancis, mungkin ia takkan merasa serindu ini dengan seseorang.

“Soojung-ah, bagaimana keadaan ibu dan ayah? Mereka sehat-sehat saja ‘kan?” Tanya Taekwoon memecah keheningan di dalam mobil.

“Ya, mereka baik-baik saja. Setiap hari mereka selalu menelponku,” Sahut Soojung.

“Oh, mereka juga menelponku setiap hari. Kurasa kehidupan mereka di Jepang cukup menyenangkan.”

“Ya, oppa benar. Tak ada yang lebih menyenangkan selain menghabiskan masa tua kita bersama dengan orang yang kita cintai. Ah, aku jadi merindukan ayah dan ibu,” Soojung bergumam pelan sambil menyandarkan punggungnya ke kursi.

Taekwoon hanya tersenyum sambil terus fokus memacu mobil Soojung, “Oh ya, bagaimana dengan keadaan Dara-noona? Dia baik-baik saja ‘kan?”

Soojung menghela napas panjang sebentar sebelum akhirnya menjawab, “Dia baik-baik saja. Dia masih seperti dulu. Masih kuat dan tangguh. Oppa takkan percaya betapa tangguhnya ia selama ini melawan keluarga tirinya.”

“Apa keluarga tirinya masih sejahat itu? Maksudku paman Yonmin baru meninggal beberapa hari yang lalu dan mereka masih saja menjahati Dara-noona? Woah mereka benar-benar tak punya hati.”

“Itulah kehidupan. Akan selalu ada tempat bagi orang-orang jahat seperti mereka, tapi tentu saja bukan tempat yang bagus. Mungkin semacam neraka atau sejenisnya. Mereka hanya tinggal menunggu waktunya saja. Sekarang mereka sedang menggali lubang kubur mereka sendiri dan Dara-unnie hanya harus sedikit mendorong mereka agar tercebur ke dalam lubang itu.”

Taekwoon menganggukkan kepalanya tanda setuju. Entah mengapa karena membicarakan masalah Dara, ia jadi teringat akan sesuatu. Ah bukan sesuatu, lebih tepatnya seseorang.

“Apa Kang Seulgi masih bekerja di rumah Dara?”

“Apa? Seulgi?” Soojung nampak sedikit kaget dengan pertanyaan kakaknya.

“Ya, Seulgi. Kau masih ingat ‘kan? Anak kepala pelayan di rumah Dara.”

Soojung terdiam sebentar, “Ah, Kang Seulgi. Ya ya aku mengingatnya. Dia masih bekerja di sana kok. Sekarang dia jadi pelayan pribadi Dara-unnie. Sepertinya ibunya yang kepala pelayan itu sudah tidak bekerja lagi. Mungkin sudah pensiun, tapi Seulgi masih tetap bekerja di sana.”

“Benarkah?” Seulas senyum tercipta di wajah Taekwoon membuat Soojung langsung mencium gelagat mencurigakan.

“Ah, aku baru ingat. Oppa pernah berkencan dengannya ‘kan? Iya ‘kan?” Soojung melempar tatapan menggoda pada sang kakak.

Taekwoon terkekeh, “Berkencan? Tidak. Kami hanya berteman saja.”

“Ah benarkah kalian hanya berteman? Jangan membodohiku. Aku masih ingat kok. Dulu oppa sampai mengabaikanku karena asik bermain dengan gadis itu. Tidak masuk akal jika kalian hanya sekedar teman.”

“Terserah kau sajalah. Yang jelas aku sudah jujur. Kami hanya teman.”

Dan sepanjang perjalanan menuju rumah, Soojung terus menggoda  Taekwoon. Hingga sesekali Taekwoon merasa tersipu dan malu sendiri.

~~~

Seunghyun menyambar lebih dulu minuman yang dibawakan pelayan ke mejanya. Di seberang sana Seungri masih duduk dengan tenang. Sesekali dilemparkannya tatapan nakal pada beberapa gadis seksi yang tengah menari di lantai dansa. Berharap ada yang bisa terpikat oleh pesona wajah tampannya.

“Apa kau sudah berhenti bekerja?”

“Oh? Apa?” Ucapan Seunghyun itu sukses menarik atensi Seungri.

“Aku bertanya tentang pekerjaanmu,” Sahut Seunghyun. “Apa kau benar-benar sudah berhenti. Kudengar kau punya pacar seorang wanita karir. Bukankah dia cukup menjanjikan untuk menjamin hidupmu?”

Seungri menghela napas panjang lalu segera menyambar gelas wine miliknya yang masih belum disentuhnya sejak tadi, “Tidak. Aku belum berhenti. Aku hanya sedang beristirahat.”

“Beristirahat?” Seunghyun terkekeh pelan. “Kau lucu sekali, Seungri-ah. Aku tidak tahu jika kau punya selera humor sebagus ini.” Seunghyun meneguk habis minumannya lalu kembali menatap Seungri dengan lekat. “Dengarkan aku baik-baik. Dalam dunia kita, tak ada istilah istirahat. Hanya ada dua pilihan, tetap lanjut atau mundur saja. Jika kau tidak berburu sekarang, itu artinya kau sudah menyerah dan berhenti. Kau mengerti maksudku ‘kan? Jangan sia-siakan hidupmu untuk hal yang tak pasti.”

Ucapan Seunghyun itu membuat Seungri bungkam. Dialihkannya tatapannya pada segerombolan gadis-gadis muda yang tengah berada di club malam itu. Ya, seharusnya ia sadar sejak awal. Ia harus memilih satu pilihan yang pasti. Jika ia terus diam, itu sama saja ia membuang waktu di masa mudanya. Tak ada gunanya. Menghindari tuntutan Yoona tanpa kehilangan sosok gadis itu sekaligus adalah hal yang mustahil untuk dilakukan. Pada akhirnya, Seungri tetap harus memilih dan merelakan salah satunya untuk pergi. Antara menikahi Yoona dan kembali pada kehidupannya yang bebas seperti dulu. Seungri berpikir sebentar sebelum akhirnya ia bangkit dari kursinya dan menghampiri seorang gadis dengan pakaian minim yang duduk sendirian di depan bar.

“Hai cantik, mau menemaniku malam ini?” Seungri berbisik di telinga gadis itu.

~~~

Semilir angin menyambut kedatangan Jiyong dan Sojin di atap lantai lima club yang mereka kunjungi. Mereka sengaja memisahkan diri dari Seunghyun dan Seungri. Ada banyak hal yang harus mereka bicarakan berdua, terkait dengan pekerjaan, juga tentang perasaan mereka.

“Sudah lama kita tidak bertemu. Kau tidak merindukanku?” Jiyong lebih dulu membuka konservasi.

Sudah lama ia tak menikmati pemandangan semacam ini. Melihat Sojin dengan helaian rambut kecoklatannya yang tertiup angin. Tak ada satu pun yang berubah dari gadis itu.

“Sedikit. Aku terlalu sibuk untuk mengingatmu. Dan kurasa kau juga pasti begitu ‘kan?” Sojin membalas tatapan seduktif yang Jiyong arahkan padanya.

“Kau benar. Aku memang sibuk. Aku tak punya banyak uang, maka dari itu aku selalu sibuk bekerja.”

“Sebagai gigolo?” Ucapan Sojin itu terdengar penuh dengan tekanan.

Jiyong tersenyum sebentar, “Kenapa? Kau kaget dengan pekerjaanku?”

“Tentu saja aku kaget. Setahuku kau bukan orang yang seperti ini, Ji. Kau pintar, punya kepercayaan diri yang kuat dan juga bukankah keluargamu kaya raya?”

Jiyong menghela napas sebentar lalu mengalihkan pandangannya pada langit gelap yang ada di atas kepala mereka, “Orangtuaku sudah meninggal.”

“Apa?” Sojin tercengang dengan jawaban Jiyong.

“Ayahku ditangkap tujuh tahun yang lalu. Tepat dihari kau terbang ke Amerika. Ia dituduh melakukan tindak korupsi. Ia dipenjara lalu dijatuhi hukuman mati. Ibuku stress dan ia bunuh diri, meninggalkan aku yang sedang frustasi sendirian,” Mata Jiyong nampak berkaca-kaca.

“Jiyong-ah, maaf. Aku sama sekali tak berniat membuatmu sedih. Aku benar-benar tidak tahu jika keadaannya seperti itu. Maaf,” Soojin merasa tak enak hati.

“Tidak apa. Bukan salahmu juga. Kau memang tidak tahu apa-apa tentang kehidupanku selama tujuh tahun belakangan ini.” Jiyong menyeka air yang menggenang di pelupuk matanya. “Baiklah. Sepertinya kita akhiri saja sesi nostalgia masa lalu kita sekarang. Kurasa ini hanya akan memperburuk suasana hatiku.”

Sojin mengangguk pelan, menyetujui usul Jiyong untuk menyudahi aktivitas kenang-mengenang yang mereka lakukan.

“Jadi bisa kau ceritakan detail rencana kawin kontrak itu? Jujur aku sama sekali tak mengerti dengan situasi sekarang. Semalam Seunghyun mengirimiku fotomu dan kupikir klien-ku adalah dirimu, namun nyatanya aku salah.”

Sojin menarik napas, berusaha menghirup sebanyak mungkin oksigen di sekitarnya, “Sepertinya Seunghyun salah mengartikan tawaran yang kuajukan padanya. Aku sama sekali tidak menyangka jika ia akan menawarkan ini padamu. Yang jelas bukan aku yang harus menjalani kawin kontrak denganmu, tapi kakak tiriku.”

“Kakak tirimu?” Jiyong mengerutkan keningnya. Setahunya Sojin sama sekali tak pernah menceritakan perihal ini padanya.

“Aku tahu, aku memang tidak menceritakan hal ini padamu. Sebenarnya sebelas tahun yang lalu ibuku menikah dengan seorang duda beranak satu. Putrinya-lah yang sekarang menjadi saudara tiriku,” Sojin mulai menceritakan semuanya pada Jiyong. “Kau ingat ucapanku saat terakhir kita bertemu?”

Jiyong terdiam sejenak, berusaha mengingat ucapan gadis itu sebelum ia pergi ke Amerika. “Tentang sesuatu yang harus kau lakukan demi keluargamu?”

Seulas senyum tercipta di wajah Sojin, “Ya. Kau benar.”

“Jadi yang kau maksudkan saat itu adalah tentang masalah saudara tirimu ini?”

“Ya, kira-kira begitu. Saudara tiriku adalah manusia yang tak punya hati. Ia dingin dan bebal. Aku membencinya, sama seperti ia juga membenci keluargaku.”

Jiyong mengangguk-anggukan kepalanya. Sepertinya ia mulai sedikit mengerti pekerjaan macam apa yang harus ia lakukan, “Jadi maksudmu aku harus melakukan kawin kontrak dengannya untuk membalas dendammu?”

“Kau tidak akan terikat kontrak langsung dengannya, tapi dengan keluargaku. Tugas utamamu adalah menikahi kakak tiriku. Buat dia jatuh cinta padamu dan ceraikan dia di waktu yang telah ditentukan dalam kontrak.”

“Apa kau memintaku untuk mencampakkannya?”

“Terserah apa yang akan kau lakukan padanya. Yang jelas aku ingin melihatnya menderita,” Jiyong dapat melihat ada sorot kebencian yang terpancar dari kedua manik milik Sojin. “Jadi Tuan Kwon, kau bersedia untuk membantuku ‘kan?”

Sojin mengulurkan tangannya untuk bersalaman dengan Jiyong. Pemuda itu terdiam sebentar. Ia teringat akan janjinya di masa lalu. Ia berjanji akan sanggup untuk menenami Sojin menghadapi masalah keluarganya. Mungkin ini adalah jalan yang telah disuratkan Tuhan padanya agar ia dapat membantu Sojin dalam menyelesaikan masalahnya. Tanpa ragu Jiyong akhirnya menyambut uluran tangan Sojin.

“Sesuai janjiku, aku akan menemanimu, Park Sojin.”

~~~

Seperti biasanya pagi-pagi sekali Seulgi telah menyambangi kamar Dara. Ia melakukan aktivitas seperti biasanya, menyiapkan berbagai keperluan Dara, termasuk juga sarapan

“Apa hari ini Nona akan ke kantor?” Tanya Seulgi di tengah perjalanan mereka menuju halaman belakang.

“Kenapa? Apa kau ingin melakukan sesuatu?” Dara balik bertanya.

“Ah, sebenarnya saya ada sedikit urusan hari ini. Saya ingin membeli beberapa barang keperluan dan mengirimnya pada ibu di kampung.  Kalau Nona tidak keberatan, saya izin pergi sebentar.”

“Pergilah. Tidak apa-apa. Toh, seharian ini aku tidak akan berada di rumah. Kembalilah sebelum aku pulang.”

Seulgi mengulas senyumnya. Ia tahu jika Dara pasti akan mengizinkannya untuk pergi.

“Terima kasih, Nona.”

Seulgi langsung membantu Dara untuk duduk di kursinya saat mereka sudah sampai di pondokkan. Ia langsung menyodorkan sepotong roti pada majikannya itu.

“Sampaikan salamku pada ibumu,” Ucap Dara di sela-sela aktivitas sarapannya.

“Pasti akan saya sampaikan,” Sahut Seulgi.

“Sebenarnya aku agak kecewa saat ibumu memutuskan untuk mundur dari pekerjaannya sebagai kepala pelayan. Ia adalah salah satu orang kepercayaanku di rumah ini, selain dirimu. Aku penasaran, apa yang ia lakukan sekarang di kampung?”

Pertanyaan Dara itu membuat Seulgi membeku di tempatnya. Ia mengembuskan napasnya perlahan, berusaha menahan gejolak perasaannya sendiri.

“Ibu membuka restoran di kampung,” Sahut Seulgi setelah cukup lama berdiam.

“Restoran?”

“Ya. Restoran seafood.”

“Oh. Itu bagus. Ibumu memang pintar memasak. Sup seafood buatannya sangat enak. Kuharap kapan-kapan aku bisa datang ke sana.”

Seulgi mengepalkan tangannya kuat-kuat. Entah kenapa sekarang pikirannya jadi melayang jauh, membumbung pada sebuah kenyataan miris yang selama ini selalu ia sembunyikan rapat-rapat dari semua orang.

~~~

Dara telah pergi meninggalkan rumah. Setelah selesai sarapan, ia langsung masuk ke dalam mobilnya. Hari ini ia harus kembali ke kantor. Ia membuka kaca mobilnya, membiarkan semilir angin menerpa wajahnya. Ia merindukan suasana seperti ini. Saat di mana ia berada di mobil saat pagi hari dan tangan jahilnya membuka kaca jendela.

“Dara sayang, tutup kaca mobilnya. Nanti kamu kedinginan loh,” Suara lembut itu menyapa rungunya. Ia menoleh, mendapati seorang wanita dengan wajah yang begitu cantik dan damai.

 

 

“Eomma, hari ini Dara senang sekali. Ini ‘kan hari pertama Dara masuk sekolah. Dara senang karena appa dan eomma bisa mengantar Dara ke sekolah,” Dara yang masih berusia 6 tahun itu berucap dengan nada polos, membuat sang ayah yang duduk di kursi depan terkekeh pelan.

 

 

“Eomma juga senang hari ini. Putri eomma yang cantik sekarang sudah mulai besar,” Tangan wanita itu mengelus lembut surai panjang Dara.

 

 

“Yah, mulai sekarang mari kita semua berjanji. Bahkan hingga nanti Dara sudah memasuki sekolah tingkat atas, appa dan eomma akan selalu menemanimu. Bagaimana apa kau senang?” Sang ayah melirik Dara lewat kaca yang terpasang di atas mobilnya.

 

 

“Tentu saja Dara senang. Appa dan eomma… kalian harus berjanji. Bahkan hingga 1000 tahun ke depan appa dan eomma harus terus menemani Dara. Kalian tidak boleh meninggalkan Dara. Oke?”

 

 

“Ne. Eomma janji.”

 

 

“Appa juga janji.”

Dara begitu merindukan momen itu. Momen di saat ia berangkat ke sekolah diantar oleh ibu dan ayahnya. Semua momen itu terasa sangat manis saat ia mengenangnya. Bagaimana semilir angin menerpa wajahnya bersama dengan tawa ceria yang tercipta kala sang ayah dan ibu melontarkan kalimat sayang padanya. Ia sangat ingin kembali ke masa lalu. Masa dimana hanya ada dirinya yang tertawa bersama kedua orangtuanya.

“Apa kita masih punya waktu?” Tanya Dara pada snag supir.

“Sekarang masih jam 8. Apa sebelum ke kantor Nona ingin pergi ke suatu tempat dulu?” Sang supir balik bertanya.

“Ne. Aku ingin pergi ke taman Hangang.”

~~~

Jiyong memasang wajah super masam. Padahal ia baru saja bangun tidur, namun sebuah memo yang tergantung di depan pintu lemari es sukses membuat paginya yang cerah berubah jadi suram.

‘Hyung, semalam aku dapat teman kencan. Dia adalah gadis yang cantik dan seksi. Kurasa aku menyukainya. Oh masalah Yoona—kurasa mungkin aku akan meninggalkannya. Setelah kupikir-pikir aku tak cocok hidup bersama gadis seperti dia. Aku telah menentukan pilihanku, apa hyung senang?

 

 

Ah sepertinya aku sudah terlalu banyak basa-basi. Hyung, kau mungkin akan jadi sedikit kesal pagi ini, tapi aku yakin kekesalanmu itu akan segera reda setelah aku pulang. Kwon Jiyong, hyung-ku yang paling tampan, terima kasih atas pinjaman mobil sport-mu yang keren. Aku janji setelah selesai sarapan dengan pacar baruku, aku akan mengembalikannya padamu. Oh ya, aku juga akan membawa mobilmu ke tempat pencucian lebih dulu. Akan kupastikan mobilmu pulang dalam keadaan bersih tanpa noda. Gumawo, hyung^^

 

 

-Tertanda Pangeran Tampan, Lee Seungri

p.s: Hyung, aku meninggalkan obat sakit kepala di atas meja makan. Jika kau marah hingga merasa kepalamu sakit, silahkan minum obat itu. Aku sayang padamu.’

Jiyong meremas kertas tipis berwarna kuning itu lalu melemparnya ke dalam bak sampah.

“Sialan! Bisa-bisanya si kunyuk itu pergi kencan dengan mobilku.”

Jiyong mengumpat sambil melangkahkan kakinya memasuki kamar mandi.

~~~

Dara langsung keluar saat mobilnya telah sampai di taman Hangang. Bahkan tanpa menunggu bantuan dari sang supir, Dara sudah mengambil langkah lebih dulu.

“Apa nona perlu ditemani?” Tanya sang supir sambil menenteng tongkat milik Dara.

“Tidak. Tunggu saja di mobil. Aku akan segera kembali.”

“Nona, tongkat anda—“ Sang supir baru saja akan menyodorkan tongkat milik Dara, namun gadis itu sudah lebih dulu menjauhi mobil mereka.

Dara melangkahkan kakinya di atas hamparan rumput yang hijau. Daun-daun pohon maple yang tumbuh di sisi taman nampak menguning. Tinggal menunggu waktunya dedaunan itu untuk gugur meninggalkan rantingnya. Ia memejamkan matanya, menikmati semilir angin yang menerpa wajahnya. Taman itu menyimpan banyak kenangan. Dulu setiap hari minggu, ia dan kedua orangtuanya pasti akan selalu mengajaknya ke taman itu. Mereka akan menghabiskan waktu setengah hari di sana.

“Dara-ya, eomma punya hadiah untukmu.”

 

 

Suara sang ibu membuat Dara menoleh, mengabaikan sosok ayahnya yang tengah mengantri di depan gerobak es krim yang terparkir di depan taman.

 

 

“Hadiah apa, eomma?”

 

 

Sang ibu tersenyum lalu merogoh saku roknya. Ia nampak mengeluarkan sebuah kotak kecil dan menyodorkannya pada Dara, “Bukalah.”

 

 

Dara segera membuka kotak itu. Matanya berbinar kala di dapatinya seutas kalung di dalamnya. Kalung itu nampak sangat cantik dengan liontin berbentuk hati.

 

 

“Woah, cantiknya,” Dara berdecak kagum.

 

 

“Itu hadiah dari eomma karena kau telah berhasil meraih peringkat pertama di kelas. Sini, biar eomma pasangkan di lehermu.”

 


Wanita itu mengambil kalung tadi lalu memakaikannya pada Dara. “Sudah selesai. Woah, kalungnya benar-benar cocok untukmu, Dara. Oh ya, kalung ini sebenarnya sepasang. Lihat, eomma memakai pasangannya.”

 

 

Dara menatap kalung yang terpasang di leher ibunya. Bentuknya sama persis dengan yang terpasang di lehernya.

 

 

“Eomma cantik sekali saat memakai kalung ini,” puji Dara sambil memeluk tubuh ibunya.

 


“Benarkah? Berarti kita sama-sama cantik sekarang,” Ucap sang ibu membuat Dara langsung tertawa dan memeluknya.

 

 

“Eomma, terimakasih banyak. Dara akan selalu memakai kalung ini.” Dara semakin mempererat pelukannya pada sang ibu.

Sebuah senggolan yang mengenai tangannya membuat Dara tersadar dari lamunannya. Ia hampir saja jatuh, namun untungnya ia masih bisa menjaga keseimbangan.

“Agassi, jangan berdiri di tengah jalan. Ini area olahraga. Jika kau berdiri di tengah seperti ini, orang-orang akan sulit lewat.” Seorang pria menegur Dara.

“Ah, maafkan aku.” Dara langsung mengeluarkan ponselnya lalu menghubungi seseorang.

“Soojung-ah, bisakah kau menjemputku di taman Hangang?”

~~~

Soojung tiba di taman Hangang tepat setengah jam setelah Dara meneleponnya. Ia sempat berpapasan dengan supir pribadi Dara yang menunggu di depan taman.

“Oh ahjussi.”

“Nona Soojung?” Sang supir langsung menundukkan badan pada Soojung.

“Dara-unnie meneleponku dan memintaku menjemputnya. Ahjussi pulang saja. Dara-unnie akan ke kantor bersamaku.”

“Baiklah, nona.”

Soojung kembali melanjutkan langkahnya memasuki taman. Beberapa menit ia berjalan tanpa arah, mencari-cari sosok Dara. Senyumnya langsung mengembang saat di dapatinya Dara tengah duduk sendirian di bawah pohon maple.

“Eonnie,” Soojung memanggil Dara, membuat gadis itu langsung menyadari kehadirannya.

“Soojung-ah,” Dara langsung berdiri dari tempat duduknya. “Ayo, kita langsung ke kantor.”

“Oh, eonnie mau langsung pergi? Kupikir eonnie mau kutemani jalan-jalan dulu di sini.”

“Tidak. Aku sudah bosan di sini. Kita langsung ke kantor saja.”

“Ah, baiklah. Biar kubantu eonnie jalan,” Soojung meraih tangan Dara lalu membimbingnya menuju mobil.

Sepanjang perjalanan tak ada satupun yang bersuara. Soojung masih fokus mengemudi sementara Dara hanya merenung sendirian. Mobil Soojung berhenti saat mereka melintasi sebuah kedai kopi.

“Aku akan beli kopi sebentar. Eonnie tunggu di mobil saja ya.”

Soojung langsung melepas seatbelt-nya lalu keluar dari mobil. Dara menunggu sendirian. Entah kenapa ia tiba-tiba merasa gerah. Mungkin karena sebelum keluar Soojung mematikan AC mobilnya. Dara baru saja berniat untuk mengikat rambutnya saat tiba-tiba ia merasa ada sesuatu yang aneh.

“Kalungku,” Dara meraba-raba lehernya, menyadari kalung pemberian sang ibu yang selalu ia pakai tak lagi ada. Dara beralih meraba-raba area di sekitarnya, berharap kalung itu terjatuh di dekatnya. Namun nihil, kalung itu tak ada di sana. Dara mulai panic. Ia memutuskan untuk keluar dari mobil. Ia yakin kalungnya pasti terjatuh saat ia sedang jalan-jalan di taman. Ia mendengar suara mobil di sekitarnya, menandakan ia tengah berdiri di tepi jalan. Dilambai-lambaikannya tangannya untuk memanggil taksi.

“Agassi, kau butuh taksi?” Suara itu terdengar oleh Dara.

“Ne. Apa kau supir taksi?” Tanya Dara pada pemilik suara itu.

“Ne. Masuklah. Aku akan mengantar nona.”

Dara meraba-raba sekitarnya. Setelah ia berhasil menggapai taksi yang berhenti di depannya, ia segera membuka pintu lalu masuk ke dalamnya. Lima belas menit kemudian ia telah sampai di taman Hangang. Dara langsung keluar dan mulai mencari kalungnya. Ia merangkak di atas hamparan rumput, berusaha mencari kalung yang hilang.

“Agassi, apa yang kau lakukan? Kau sedang mencari sesuatu?”

Seseorang menegur Dara. Mungkin orang itu heran melihatnya sedang merangkak sambil meraba-raba di atas rumput. Ia berusaha mengabaikan orang itu dan tetap fokus mencari kalungnya.

“Agassi, kau butuh bantuan? Aku bisa membantumu jika—“

“Pergilah!” Ucap Dara dengan ketus. “Aku tidak butuh bantuan siapapun.”

Orang yang menegur Dara tadi menekuk wajahnya, “Cih, sombong sekali.” Orang itu pun langsung berlalu meninggalkan Dara. Hampir sejam ia berada di sana, tak peduli dengan tatapan-tatapan heran yang pengunjung taman lain lontarkan padanya juga degan langit terang yang mendadak jadi medung. Ia tetap mencari. Baginya kalung itu adalah barang berharga –satu-satunya barang pemberian ibunya yang amat ia sayangi.

Tanpa Dara sadari air matanya hampir saja menetes. Ia hampir menangis, jika saja ia tak segera menyeka air matanya.

“Kau pasti bisa. Kau pasti bisa menemukannya, Dara. Ya, kau pasti bisa!” Dara menyemangati dirinya sendiri.

Tes. Tes. Tes.

Satu rintik. Dua rintik. Hingga ribuan rintik tak terhitung turun dari langit. Semua pengujung langsung mencari tempat berteduh, menyelamatkan diri masing-masing dari hujan yang tiba-tiba turun. Dara masih tak bergerak dari tempatnya. Tak peduli dengan tubuhnya yang sudah basah kuyup, ia tetap mencari kalungnya.

“Eomma, maafkan aku. Aku telah membuat kalung itu hilang.”

~~~

Rintik hujan mendadak turun di kota Seoul. Padahal tadi pagi cuaca nampak sangat cerah. Seulgi –bersama beberapa pejalan kaki yang lain buru-buru memburu langkah ke tepian toko yang berderet di sepanjang Myeondong. Bersama beberapa barang bawaan yang ia beli, Seulgi berdiri di depan salah satu toko, menunggu sejenak hingga hujan reda.

“Ah hujan pertama di musim gugur.

Suara seorang pria yang berdiri di belakangnya menarik atensi Seulgi.

Hujan pertama di musim gugur. Entah kenapa serangkaian frasa itu seolah menyeretnya pada kejadian di masa lalu.

 

Musim gugur 5 tahun yang lalu…

 

 

Seulgi memburu langkahnya dengan cepat kala rintik hujan mulai membasahi kepalanya. Ia berusaha menyamakan langkahnya dengan pemuda jangkung yang berjarak beberapa langkah di depannya. Mungkin karena kaki pemuda itu cukup panjang, jadi langkahnya pun lebih lebar daripada langkah Seulgi.

 

 

“Seulgi-ya, ayo cepat. Nanti kau bisa basah kuyup,” Pemuda itu berhenti sejenak, menoleh pada Seulgi yang tertinggal di belakangnya.

 


“Ah ya. Tunggu sebentar.” Seulgi baru saja tiba di depan pemuda itu saat tiba-tiba—

 

Greb.

 

 

Sentuhan hangat itu menjalar di tangannya.

 

 

“Kita tak punya banyak waktu. Ayo, berlari bersamaku.”

 

 

Detik berikutnya mereka sudah berlari bersama. Seulgi menatap tangan besar yang menggenggam tangan mungilnya. Entah untuk alasan apa, ia mendadak merasa senang sekarang. Setelah lima menit berlari menembus guyuran hujan, mereka akhirnya sampai di depan sebuah emperan toko yang bisa dijadikan tempat berteduh.

 

 

Pemuda itu langsung melepaskan genggaman tangannya pada Seulgi lalu beralih pada kamera yang sejak tadi tergantung di lehernya.

 

 

“Apa kamera tuan tidak apa-apa?” Tanya Seulgi pelan.

 

 

Pemuda itu nampak mengusap-usap layar kameranya, “Sepertinya tidak apa-apa. Ini kamera murah. Kalaupun rusak, aku bisa beli yang baru.”

 

 

Ah, Seulgi lupa tentang satu hal. Pemuda ini yang tengah berdiri di sampingnya itu adalah sepupu majikannya. Tentu saja ia punya banyak uang. Kamera yang nampak mahal di mata Seulgi itu, tentu bisa ia beli kembali dengan mudah.

 

 

Pemuda itu bernama Jung Taekwoon. Sebenarnya mereka tak terlalu dekat. Mereka baru saling mengenal selama beberapa hari. Kata ibunya, ayah Taekwoon adalah adik kandung dari ibu Dara. Keluarganya baru saja pindah dari Jepang ke Seoul. Mereka bertemu pertama kali saat pesta peringatan ulang tahun pernikahan Park Yoonmin dan istri barunya yang keenam. Pertemuan mereka di awali dengan kejadian yang kurang menyenangkan, namun akhirnya mereka bisa jadi sedekat ini.

 

 

“Ini hujan pertama di musim gugur ya?” Pemuda itu kembali bersuara, menyadarkan Seulgi yang sejak tadi larut dalam pikirannya.

 

 

“Ah iya, tuan. Ini adalah hujan pertama,” Sahut Seulgi sambil menatap pemuda jangkung itu.

 

 

“Ah, ini menyebalkan. Padahal cuaca tadi pagi cerah sekali, kenapa bisa-bisanya jadi turun hujan begini?”

 

 

Seulgi tersenyum tipis melihat wajah Taekwoon yang sekarang ditekuk, “Hujan pertama di musim gugur adalah salah satu hal yang menakjubkan.”

 

 

“Apa?” Taekwoon menatap Seulgi dengan raut heran.

 

 

“Di musim gugur, semua daun akan berguguran dan meninggalkan rantingnya. Kadang aku berpikir, bagaimana perasaan sebuah ranting yang harus kehilangan daunnya? Apakah mereka merasa senang atau harus sedih? Apakah daun itu sempat mengatakan ucapan selamat tinggal atau tidak? Kurasa saat hujan pertama di musim gugur turun, merekalah yang akan menghibur ranting itu. Hujan memberi sebuah harapan pada ranting yang baru saja ditinggal oleh daunnya. Hujan memberi pesan pada sang ranting, jika daun yang telah gugur akan diganti dengan daun baru yang akan segera tumbuh.”

 

 

Perlahan seulas senyum tercipta di wajah Taekwoon. Ternyata Seulgi jauh lebih bijaksana daripada yang ada dipikirannya. Meski umurnya lebih muda, namun pola pikirnya sangat dewasa.

 

 

“Seulgi-ya,” Lagi-lagi suara itu membuat Seulgi menoleh. “Kurasa aku menyukaimu.”

 

 

Untuk beberapa saat Seulgi merasa waktu berhenti. Ada sebuah perasaan yang sulit untuk ia deskripsikan sekarang.

 

 

“Apa?” Seulgi masih menatap Taekwoon dengan wajah yang polos.

 

 

Taekwoon terkekeh pelan, “Ah tidak. Aku hanya bilang aku menyukaimu—“ Taekwoon mengalihkan tatapannya pada rintik hujan yang masih terus turun dari langit. “—Mungkin ini sedikit gila, tapi bolehkah aku menyukai gadis sepertimu?”

 

 

Seulgi menghela napas panjang saat sadar dirinya tengah melamun sejak tadi. Hujan masih belum kunjung berhenti bahkan hingga ingatan masa lalunya telah selesai ia kenang.

“Kenapa? Apa kau tidak suka hujan pertama di musim semi?”

Deg!

Jantung Seulgi berdetak lebih cepat saat itu. Kala rungunya menangkap suara berat yang terdengar familiar dari arah belakangnya. Suara itu—

“Tentu saja aku tidak senang. Karena hujan kita jadi tidak bisa mengambil foto. Ah, padahal pameran kita akan segera dimulai. Apa yang akan kita pamerkan jika kita dapat mengambil foto? Jung Taekwoon, apa kau mau tanggung jawab kalau pameran kita nanti gagal?”

“Tidak mungkin!” Seulgi berteriak dalam hatinya.

Si empunya suara berat yang terdengar familiar tadi terdengar terbahak.

“Santai saja, hyung. Kita pasti bisa mengambil foto yang bagus. Kita masih waktu dua minggu. Kita juga belum mengambil foto di tempat lain ‘kan. Tenang saja.”

“Ah, ini semua karena hujan sialan ini.”

Suasana hening sejenak. Dua orang yang berdiri di belakang Seulgi itu nampak menghentikan obrolan mereka sebentar sebelum akhirnya salah satu bersuara kembali.

“Hyung, kau tahu. Aku sangat menyukai hujan pertama di musim gugur,” Suara berat itu terdengar lagi.

“Oh ya? Kenapa? Memang apa bagusnya hujan di musim gugur?”

“Hyung, pernahkah kau berpikir bagaimana perasaan ranting yang ditinggalkan oleh daunnya yang gugur?” Pertanyaan itu membuat Seulgi membeku di tempatnya. “Pernahkah kau berpikir apakah ranting itu akan menjadi sedih atau kesepian setelah ditinggalkan daunnya? Kadang aku berpikir jika hujan adalah penyemangatnya. Hujan membawa harapan baru bagi si ranting untuk menumbuhkan daun baru, meskipun si ranting tahu jika di musim berikutnya daun itu akan gugur lagi.”

Mata Seulgi mulai memanas. Berulang kali ia berusaha meyakinkan diri jika sosok yang berdiri di belakangnya bukanlah Jung Taekwoon –sosok pemuda yang telah lama tak ia temui. Seulgi ingin menoleh ke belakang, memastikan jika dugaannya memang salah, namun ia takut. Bagaimana jika pemuda yang berdiri di belakangnya itu memang Taekwoon? Apa yang harus ia lakukan dan katakan? Ia sama sekali belum siap untuk menemui pemuda itu lagi.

Setelah lama bergumul dengan pikirannya sendiri, akhirnya Seulgi memutuskan untuk pergi dari sana. Ia menembus guyuran hujan yang masih belum reda. Tak peduli tubuhnya akan basah. Ia harus segera mencari taksi dan pergi menjauh dari tempat itu, juga dari pemuda misterius yang mengingatkannya pada sosok Jung Taekwoon.

~~~

Jiyong bukan tipikal orang yang senang berolahraga secara rutin. Kendati ia punya badan yang terbilang bagus, percayalah ia sama sekali tak pernah berolahraga secara rutin, apalagi berkunjung ke pusat kebugaran. Bentuk tubuhnya ia dapat secara alami.

Namun nampaknya pagi itu Jiyong mendadak jadi rajin berolahraga. Tentu saja itu karena tak ada hal yang dapat ia lakukan selain berolahraga. Mobilnya sedang dicuri Seungri, jadi ia tak bisa berpergian kemana-mana. Tak ingin mati bosan sendirian di apartemen, Jiyong memilih opsi untuk melakukan olahraga. Kebetulan apartemennya berada di dekat Taman Hangang –taman yang cukup populer dan ramai dikunjungi. Jogging sebanyak beberapa putaran sepertinya tak terlalu buruk untuk ia lakukan pagi itu.

Jiyong baru saja melakukan tiga kali putaran saat tiba-tiba hujan turun. Jiyong –berserta pengunjung taman yang lain- bergegas menyelamatkan diri. Jiyong memilih berteduh di salah satu halte yang ada di depan taman Hangang. Dikibaskannya rambut yang sedikit basah karena rintik hujan. Nampaknya ia memang tak diizinkan untuk berolahraga pagi ini.

“Hei, coba lihat di sana. Apa yang sedang gadis itu lakukan?”

“Apa dia gila? Kenapa dia hujan-hujanan seperti itu?”

“Kurasa dia sedang mencari sesuatu.”

Segelintir percakapan menyapa rungu Jiyong. Karena penasaran Jiyong memutar kepalanya, menatap sosok yang jadi bahan perbincangan beberapa orang yang berdiri di belakangnya itu. Di tengah-tengah lapangan nampak seorang gadis tengah merangkak pelan. Nampaknya ia tengah mencari sesuatu. Jiyong memicingkan matanya, berusaha menajamkan penglihatannya.

“Oh gadis itu—“ Jiyong nyaris memekik andai saja tangannya tak segera menutup mulutnya.

“Agassi, kau mengenal nona itu?” Seorang wanita renta yang berdiri di sebelah Jiyong bertanya padanya.

“Oh apa?” Jiyong pura-pura memasang tampang polos.

“Sepertinya kau mengenal nona yang ada di tengah taman itu. Kurasa dia sedang mencari sesuatu. Ia sudah berada di sana sejak dua jam yang lalu. Aku kasian. Kurasa nona itu buta.”

Jiyong kembali mengalihkan tatapannya pada sosok yang berada di tengah guyuran hujan itu. Ia ingat jika sosok yang ada di sana adalah gadis buta yang ia temui tempo hari di toko burger.

“Agassi.”

“Hah?” Jiyong kembali menatap nenek yang tadi berbicara padanya.

“Bisakah kau membawanya kemari? Aku kasihan pada nona itu. Jika seperti itu, ia bisa sakit karena kehujanan.”

Jiyong terdiam sejenak. Ia memang tidak mengenalnya, tapi ucapan wanita renta itu memang benar. Ia berdecak sebal kala menyadari orang-orang yang ada di sekitarnya mengabaikan eksistensi gadis buta itu.

“Ah, sepertinya hanya aku yang punya hati nurani di sini.”

Jiyong melepas jaket yang membungkus tubuhnya lalu mengangkatnya di atas kepala dan segera berlari menembus guyuran hujan. Ia berlari ke arah gadis yang berada di tengah-tengah lapangan itu.

“Agassi, apa yang kau lakukan? Apa kau tidak tahu jika sekarang sedang hujan? Cepatlah berdiri. Aku akan membawamu ke tempat berteduh,” Jiyong memekik, berusaha mengalahkan suara derai hujan yang pecah di sekitar mereka.

Gadis itu –Dara- mengabaikan teriakan Jiyong. Ia masih terus meraba-raba rumput di sekitarnya. Tak peduli dengan Jiyong yang berteriak hingga urat lehernya terasa akan putus.

“Agassi, kau tidak mendengarku? Apa kau tetap akan hujan-hujanan seperti ini? Katakan padaku apa yang sedang kau cari? Akan kubantu kau mencarinya.”

Dara tetap tak bergeming. Jiyong jadi kesal sekarang. Ia rela basah-basahan berlari seperti orang gila ke tengah lapangan hanya karena ia tak tegas melihat gadis itu, namun kini gadis itu kini justru mengabaikan kehadirannya.

“Yak, Agassi.” Tak tahan Jiyong akhirnya menarik lengan Dara. Membuatnya terdiam sejemang sebelum akhirnya menghempas tangan dengan kasar.

“Aku tidak butuh bantuanmu. Pergilah!” Ucap Dara dengan sinis.

Oh yang benar saja? Jiyong bahkan bisa melihat wajah gadis itu sudah mulai pucat. Jika terus begitu, ia bisa saja pingsan.

“Agassi, sebenarnya aku juga tidak mau melakukan ini. Sungguh, aku benar-benar tak mau melakukannya, tapi ulahmu saat ini benar-benar menggangguku. Aku masih punya hati nurani makanya aku iba melihatmu seperti ini.”

Dara mengarahkan maniknya pada Jiyong sebentar –seolah-olah ia bisa tahu jika Jiyong tengah berjongkok di depannya, “Iba? Apa kau sekarang sedang mengasihaniku?” Ia tertawa sinis. “Berhenti berpura-pura baik padaku. Aku tahu di taman ini bukan hanya ada dirimu. Ada banyak orang di sini, tapi kenapa hanya kau yang merasa terganggu dengan ulahku? Pergilah dan jangan ganggu aku.”

Jiyong menghela napas panjang. Bahkan kini ia sudah tidak peduli lagi dengan air hujan yang mengguyur seluruh tubuhnya, “Ah gadis ini benar-benar keras kepala. Baiklah, terserah kau saja, Nona. Aku takkan lagi berpura-pura baik lagi padamu. Kau puas?”

Jiyong baru saja akan melangkahkan kakinya dari tempat itu, namun maniknya menangkap sebuah objek yang berkilau di antara rerumputan hijau di taman itu. Ia terdiam sejemang sebelum akhirnya memungut benda itu.

“Kalung?” Ia lalu kembali menatap gadis buta yang tengah merangkak di belakangnya. “Apakah ini miliknya?”

Jiyong mendekati Dara lalu berjongkok kembali di depannya, “Agassi, bolehkah aku bertanya sesuatu padamu?”

Dara diam, tetap tak menyahut dan mengabaikan eksistensi Jiyong di sana.

“Agassi, dengarkan aku. Apa benda yang sedang kau cari itu adalah sebuah kalung?”

Ucapan Jiyong sukses membuat Dara membeku sejenak. Ia terdiam sebelum akhirnya kembali menatap Jiyong dengan sinis. “Apa kau menemukan kalungku? Apa kau benar-benar menemukannya? Kembalikan padaku sekarang. Kembalikan!”

Jiyong terkekeh pelan, “Woah, bukannya berterimakasih, kau malah meneriaku. Agassi, aku ini bukan orang jahat. Aku takkan mengambil kalungmu. Akan kukembalikan, tapi setelah kau ikut aku berteduh.”

“Apa?”

Jiyong menghela napas panjang. Nampaknya ia harus lebih sabar lagi menghadapi gadis keras kepala yang ada di hadapannya sekarang.

“Ikutlah denganku berteduh. Setelah itu, aku akan kembalikan kalung ini padamu,” Jiyong menyimpan kalung yang ia temukan tadi ke dalam saku.

Dara terdiam sejemang sebelum akhirnya ia nampak mulai berdiri. Jiyong menahan tubuh gadis itu saat tungkainya mendadak lemah.

“Lepaskan aku!” Ucapnya sinis, berusaha menyela tangan Jiyong dari pundaknya.

“Yak, Agassi, aku begini bukan karena aku baik padamu. Kakimu itu keram karena terlalu lama merangkak. Kau tidak kasian apa pada dirimu sendiri? Sekarang diamlah. Aku akan membawamu ke tempat berteduh.”

Detik berikutnya, tanpa Dara sangka, Jiyong tiba-tiba mengangkat tubuhnya dengan kedua tangan.

“Apa yang kau lakukan?” Dara nampak sangat kaget.

“Apa yang aku lakukan?” Jiyong membuang napas kasar. “Tentu saja aku menggendongmu. Jika tidak begini, mungkin aku keburu mati kedinginan menunggumu berjalan. Sekarang diamlah. Aku akan membawamu berteduh.”

Dan yang selanjutnya terjadi adalah adegan yang sama sekali tak pernah dibayangkan oleh Dara. Ketika ia digendong bak seorang putri lemah tak berdaya yang baru saja diselamatkan oleh pangerannya. Dara tak mengenal siapa pemuda itu, namun hati kecilnya seolah percaya jika pemuda itu adalah bukanlah sosok yang jahat.

==Chapter 3 : END=

 

Saoloh ini panjang banget T_T 46 halaman yaoloh 46 halaman

Buat readers semua yang bisa baca sampai bagian A.N ini kalian semua luar biasa. Tahan banget baca FF yang jumlahnya 46 halaman. Semoga habis ini mata kalian gak pada sakit ya.

Chapter sebelumnya keliatan banyak yang sebel karena momen Jiyong-Sojin-nya lebih banyak daripada momen daragon sendiri

Di chapter ini pun sebenarnya mereka belum bener-bener ketemu secara harfiah –dalam artian ketemu sebagai sepasang suami-istri kontrak- tapi lumayan lah ya. Di ending itu mereka ketemu meskipun disitu mereka juga belum saling kenal.

Ada salah satu komentar yang aku bales kemarin, di situ aku bilang kalo emang nanti ke depannya Jiyong bakal berpaling ke Dara. Cuma aku gamau bikin alur jadi terlalu cepet. Kesannya bakal jadi gak natural (?) Aku lebih senang kalo alurnya dibikin nyantai, diselang-selingin sama konflik dara-jiyong-sojin, juga konflik dari cast lain.

Meskipun nanti alurnya bakal jadi terkesan lamban atau kofliknya terlalu bertele-tele, tapi aku sendiri lebih comfort bikin ceritanya kayak gitu. Sama kayak kalo kita nonton Drama Korea. Jujur, aku lebih suka drakor yang alurnya nyantai tapi pasti (?) Bukan yang lead female sama lead male-nya sekali ketemu langsung jatuh cinta, jatuhnya malah kurang greget. Kurang nendang kalau ceritanya Cuma kayak gitu.

So, aku harap kalian gak jadi bosan baca FF ini. Jiyong pasti bakal berpaling ke Dara, tapi prosesnya bakal bertahap.

Aku seneng karena disini FF-ku disambut dengan positif. Kuharap ke depannya kalian tetap memberi komentar dan masukkan supaya author abal-abal ini bisa lebih semangat nyelesain FF ini^^

 

 

-Hana

 

35 thoughts on “SNEEUWWITJE [Chap. 3]

Leave a comment