How to Save a Life [Part #10] : Warmth

Untitled-2

Untitled-1

Author      : mbie07

Link          : HtSaL on AFF

Indotrans : dillatiffa

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

10

~ Warmth ~

 

 

Ada saatnya dimana kita berpikir bahwa kita baik-baik saja, bahwa kita berpikir bahwa memang sudah seharusnya semuanya terjadi. Kita makan, berjalan, dan terus hidup seperti yang seharusnya dan membuat diri kita percaya bahwa kita baik-baik saja… bahwa kita tidak merasa kesepian padahal kita hidup sebatang kara dan hal itu menghancurkan hati kita hingga berkeping-keping.

 

“Kinapa kita tidak hang out sekali-kali untuk merubah suasana?” tanya Daesung mengusulkan setelah kelas mereka selesai. “Maksudku, ayo kita pergi kemana atau makan dimana seperti itu,” tambahnya membuat semua orang berhenti melakukan kegiatan mereka sejenak, memikirkan tentang usulan itu, pada akhirnya mereka semua setuju.

“Tentu, kita belum pernah melakukannya, jadi siapa saja yang ikut?” tanya Hyunseung yang langsung disambut acungan tangan dari Bom, Minzy, dan Daesung. Mereka menoleh pada Jiyong yang masih sibuk membereskan barang-barangnya. “Bagaimana denganmu Ji? Kamu tidak mau datang?” tanya Bom. Jiyong hanya nyengir pada mereka. “Kalau kalian berjanji untuk mentraktirku, kenapa tidak,” dia tertawa.

“Duh! Harusnya kamu yang mentraktir kita semua oppa! Kemana perginya dua puluh ribu dolarmu?” pertanyaan Minzy mendapat anggukan setuju dari teman-temannya yang lain. “Sudah kuhabiskan,” jawab Jiyong tersenyum lebar sambil menaik-turunkan alisnya membuat teman-temannya menatapnya dengan tatapan what-the-f*ck.

“Aishh, bilang saja kalau kamu tidak mau mentraktir kami, tidak perlu sampai berbohong seperti itu,” kata Daesung. “Dan kamu itu pembohong yang paling payah,” tambahnya membuat yang lain tertawa. “Kalau begitu, ayo berangkat,” kata Hyunseung dan mereka semua tertawa, tepat pada saat itu ponsel Jiyong berdering  keras. Semua orang yang masih berada didalam kelas, juga yang kebetulan lewat di koridor depan kelas mereka, menatap kearah Jiyong.

Jiyong buru-buru mengeluarkan ponselnya dari dalam saku celana dan menatap layar. Senyumnya merekah saat membaca nama Dara tertera disana. Dia langsung menjawab panggilan itu, sementara teman-temannya menatap tak percaya karena ternyata dia memiliki ponsel. “Halo,” Jiyong menerima panggilan masuk.

“Datang ke Gedung Rafael ruang 201, sekarang,” kata Dara singkat dan langsung memutus sambungan. Jiyong menatap ponselnya sambil menggeleng-gelengkan kepala kemudian menyelempangkan tali tas ke bahunya. Dia tertawa, Dara sebenarnya bisa tinggal mengiriminya pesan, tapi malah lebih memilih untuk meneleponnya. Dan hal itu membuatnya sangat senang, berpikir suara imut dosennya itu lewat telepon, bahkan dia bisa menghabiskan berjam-jam hanya untuk mendengarkan suaranya – jika Dara adalah tipe cerewet, yang sayangnya bukan. Jiyong mendesah.

“Kamu punya ponsel?!” semua temannya bertanya keras, dia hampir melompat karena kaget. “Aishh, apa yang kalian pikirkan tentangku? Tinggal didalam gua?” tanyanya, semua temannya dengan bodoh menganggukkan kepala mereka membuat Jiyong memutar bola matanya. “Terserah,” sahutnya menggeleng-gelengkan kepala lalu berjalan menuju ke pintu. “Aku tidak akan ikut dengan kalian,” dia meringis melihat kesemua temannya memutar bola mata mereka.

“Kenapa?” tanya Bom dijawab dengan cengiran khasnya. “Aku harus mengecek salah satu anak yang hilang[1],” jawabnya. Jiyong kemudian memberi hormat kepada teman-temannya. “Bye! Aku pergi dulu ke Neverland!” tambahnya sambil merentangkan tangan – seperti akan terbang, persis seperti anak kecil yang sedang bermain.

“Idiot,” desis Bom sambil menggelengkan kepala. “Jiyong curang,” kata Daesung, semuanya mengangguk setuju. “Baru pertama kali ini kita akan pergi keluar, tapi dia malah mementingkan hal lain,” komentar Hyunseung. “Dia punya pekerjaan, guys, beri dia waktu,” Minzy tertawa. “Dia bekerja?!” seru Hyunseung dan Daesung secara bersamaan.

“Duh, asisten dosen untuk Ms. Park,” kata Bom sambil menggeleng-gelengkan kepala lalu berjalan mendahului mereka keluar dari ruang kelas. “Ahh yeah, aku lupa,” kata Daesung tertawa saat mereka berjalan di koridor.

“Tapi aku tetap berharap dia ada besama kita, dengan begitu akan lebih menyenangkan,” kata Hyunseung yang mendapat angguka setuju.

*

Jiyong berlari melompat-lompat sepanjang jalan menuju ke tempat yang Dara katakan – lebih tepat, ke tempat yang Dara perintahkan untuk datang. Setelah mengecek ruangan itu seperti yang dimaksudkan, Jiyong mengetuk pintu yang sebenarnya sudah terbuka dan melihat Dara duduk di tempat dosen, sedang memijat kepalanya serta setumpuk sketchpad berada diatas meja didepannya serta seluruh barang-barang gadis itu masih berserakan.

Jiyong mengedarkan pendangan ke ruangan yang sekarang sudah kosong. Aneh rasanya melihat barang-barang Dara belum dirapikan, juga masih berada disini, padahal dia biasanya keluar sebelum para mahasiswa yang mengikuti kelasnya. “Ms. Park, apa Anda baik-baik saja?” tanyanya mendekati Dara yang kemudian menolehkan kepalanya dengan lelah. Mereka saling tatap selama beberapa detik hingga Dara mengeluarkan desah tertahan, kemudian mengangguk. Gadis itu lalu mulai merapikan barang-barangnya sementara Jiyong menata sketchpad.

Jiyong memandangi setiap gerakan Dara, dan merasakan bahwa gadis itu tidak seperti biasanya. Dara memang selalu bergerak lambat atau lebih kepada pelan-pelan, namun kali ini kelihatannya dia tinggal menunggu jatuh berkeping. Jiyong mulai merasa khawatir pada Dara sambil membawa tumpukan sketchpad dalam pelukannya dan menunggu Dara selesai membereskan barang-barangnya.

“Ayo,” kata Dara dalam satu hembusan nafas, suaranya menyiratkan kelelahan, teramat sangat kelelahan. Jiyong menatapnya dengan tatapan penuh kecemasan saat Dara mulai berjalan mendahului, tidak punya pilihan lain selain mengikuti dibelakang. Mereka sampai di ruang fakultas dalam beberapa menit, lalu JIyong langsung menata setumpuk sketchpad di tempatnya.

Dara duduk diam sambil menjambak rambutnya, mengeluarkan desah berat. Jiyong menatapnya dan kemudian menyadari sesuatu. Wajahnya merah, sangat merah pada saat itu, kelihatan sangat kerepotan membawa beban semua barang-barang – yang seolah seperti membawa seisi dunia – Itu di lengannya. Dara kemudian memaksakan dirinya untuk bangkit, namun limbung dan hampir terjatuh, membuat Jiyong refleks bergerak mendekat, namun dihentikan dengan gerakan tangan gadis itu.

“Terima kasih untuk kerja kerasmu hari ini, aku akan mengirimkan pesan untukmu besok,” katanya pada Jiyong yang berdiri diam menatap padanya, mendengarkan setiap kata yang diucapkan Dara penuh perjuangan. Dara kemudian berjalan menuju ke pintu ruang fakultas setelah mengucapkan selamat tinggal kepada para rekan kerjanya dengan Jiyong mengikuti dibelakangnya.

Dara berjalan keluar kampus masih dengan Jiyong mengikuti dibelakangnya, sampai pria itu tidak tahan lagi lalu menahan pergelangan tangan Dara membuat gadis itu berbalik menghadapnya. Dara menatap Jiyong yang kemudian menariknya mendekat dan meletakkan punggung tangan di keningnya. “Kamu demam,” gumam Jiyong, Dara langsung menarik diri menjauh.

“Aku tidak demam,” jawab Dara dalam bisikan namun Jiyong seolah tidak mendengarnya, dan kembali memegang pergelangan tangan Dara yang hampir kembali terjatuh. “Biasanya kamu naik apa?” tanya Jiyong membuat Dara menatap padanya. Dara sangat ingin mendorong Jiyong menjauh atau melepaskan pegangan tangan pria itu pada pergelangan tangannya, karena pegangan tangan Jiyong padanya malah justru serasa semakin menambah sakit di kepalanya, rasanya semuanya berputar.

Namun karena terlalu lelah dan tidak punya cukup tenaga untuk berdebat dengan Jiyong, dia menyerah. “Aku naik taksi,” jawabnya, dan dengan begitu Jiyong berjalan menggandengnya keluar dari kampus dan memanggil taksi. Perlahan Jiyong menuntun Dara memasuki taksi kemudian ikut masuk dan duduk disebelah gadis itu yang menatapnya tak percaya.

Jiyong langsung memberitahukan tujuan mereka kepada sang supir taksi, dan taksi pun melaju. “Kamu tidak perlu mengantarku, aku bisa menjaga diriku sendiri,” kata Dara lirih. Jiyong hanya tersenyum, tidak berusaha beralasan atau berargumen, tahu bahwa gadis itu perlu beristirahat. Dara memijat kepalanya untuk meringankan sakit kepalanya.

Jiyong perlahan merangkulkan lengannya pada pundak Dara, menarik tubuh gadis itu mendekat padanya, saat tubuh mereka tidak sengaja bersentuhan. Dara ingin protes tapi tubuhnya kehilangan tenaga bahkan hanya untuk sekedar protes dan merasakan kepalanya semakin sakit, tubuhnya terasa sangat berat, dan juga matanya sudah memanas meminta untuk diistirahatkan. Dan tanpa sadar mata Dara terpejam sembari dia mengistirahatkan kepalanya di bahu JIyong dan sedetik kemudian dia merasa mengantuk.

Dia tertidur dalam pelukan Jiyong.

*

Begitu taksi berhenti, Jiyong mengeluarkan lembaran uang dari dalam dompetnya, membayar ongkos perjalanan mereka. Dia secara perlahan keluar dari taksi dengan menggendong Dara di lengannya setelah menggeledah tas mencari kunci. Dia menatap gadis yang dia gendong dalam pelukannya, tidak bisa mempercayai betapa ringannya gadis itu – sepertinya gadis itu sama sekali tidak mendapat asupan makanan apapun selama ini. Dia berat mendesah saat berkutat membuka pintu gerbang rumahnya.

Setalah berjalan, akhirnya mereka berhasil masuk kedalam rumah. Jiyong memandang tempat itu. Sebuah senyuman terbentuk di bibirnya. Senyum bahagia karena dia bisa melihat sisi yang lain lagi darinya, tahu sesuatu yang baru tentangnya. Serta senyuman bangga akan kehebatan gadis itu sebagai seorang arsitek.

Rumah Dara terbilang luas dengan material didominasi oleh kayu, marmer, dan kaca. Ruang tamunya sangat lapang, hanya memiliki seperangkat furnitur berwarna putih yang terlihat nyaman yang diletakkan ditengan, bersama dengan karpet bermotif zebra dibawahnya, sebuah TV plasma besar terpasang di dinding kaca didepannya. Lantainya terbuat dari kayu.

Beberapa mungkin akan beranggapan, bahwa rumah itu terlihat sangat maskulin, namun bagi Jiyong itu semua adalah Dara, rumah itu sangat menggambarkan tentang Dara. Tempat yang besar, dengan furnitur terbatas seperlunya, berbagai pajangan karya seni – semua itu tertata dengan sangat rapi. Lantai kayu dan dinding kaca, serta dinding marmer. Itu semua adalah Dara, semuanya cocok dengan kepribadian Dara yang lembut dan innocent.

Hanya ada sedikit lukisan yang terpajang disana, dan yang paling menarik perhatian Jiyong adalah lukisan yang pertama kali diterima Dara dari tunangannya.

Lukisan yang Dara sangka telah dia plagiat.

Jiyong menatap lukisan itu hingga tanpa sadar bibirnya membentuk sebuah senyum pahit. Memang hampir sama, tidak heran jika Dara bersikap seperti itu. Jiyong menatap Dara yang tertidur dalam gendongannya, memahami gadis itu sepenuhnya. Dia kemudian mengedarkan pandangan ke seisi rumah, mengira-ngira dimana kamar Dara, dan akhirnya dia berhasil menemukannya.

Jiyong mendorong pintu hingga terbuka, dan disambut oleh kesederhanaan dari kamar itu, namun kesan elegan yang ditimbulkan oleh dinding kaca masih kental terasa, ranjang queen size-nya ditutupi oleh sprei putih, diletakkan begitu saja tanpa ada pembatas lain. Terdapat banyak bantal disana. Jiyong kemudian perlahan membaringkan Dara diatas rangang. Dara sedikit bergerak dalam tidurnya, namun tidak sampai bangun. Jiyong duduk ditepi ranjang, menatap Dara. Wajah gadis itu sangat merah dan kelihatan sangat lelah.

Dengan pelan, Jiyong menyentuh kening Dara dengan punggung tangannya, sambil merapikan helaian rambut yang menutupi wajah gadis itu. Suhu tubuhnya sangat panas, sudah pasti dia mendetrita demam. Jiyong kemudian berdiri, melepas tali tas yang dari bahunya kemudian meletakkan di sudut ruangan lalu keluar dari sana.

*

“Ah-huh lalu?” Tanya Jiyong saat masuk kedalam kamar Dara dengan membawa baskom kecil di tangannya dan selembar handuk. “Basahi sedikit handuk itu, kemudian peras, lalu usapkan keseluruh wajahnya,” jawab ibunya dari ujung sambungan telepon, Jiyong perlahan duduk ditepi ranjang setelah meletakkan baskom di lantai, persis seperti yang ibunya katakan.

“Terima kasih mom,” jawab Jiyong. “Tidak masalah nak, jam berapa kamu akan pulang?” tanyanya. “Aku tidak yakin, tapi mungkin aku tidak pulang,” jawabnya sambil mengusap wajah Dara lembut dengan handuk basah, membuat gadis itu bergerak dalam tidurnya. “Apa ini tidak apa-apa? Dia sakit,” kata Jiyong. “Tentu saja itutidak apa-apa nak,” jawab ibunya.

“Bisakah telepon ini jangan ditutup?” tanyanya sambil menekan tombol loud speaker kemudian meletakkan teleponnya di lantai, dan kembali mengusap wajah Dara. Jiyong kemudian meletakkan handuk yang sudah dia lipat rapi di kening Dara. “Tentu saja, kenapa tidak,” ibunya menjawab. “Terima kasih mom,” sahut Jiyong.

“Apa lagi yang harus kulakukan?” tanya JIyong. “Longgarkan bajunya sedikit, jadi panas tubuhnya bisa turun,” jawab ibunya. “Ehh??!!” seru Jiyong, langsung menutup mulutnya dengan tangan dan wajahnya serasa terbakar. Ibunya tertawa dari ujung saluran. “Mom!” serunya dalam desisan. “Kuharap aku bisa melihat wajahmu,” ibunya menertawakannya membuat mukanya semakin memerah.

Jiyong menelan ludah sebelum menatap Dara yang tengah tertidur di ranjang. Dia mendesah, merasakan jantungnya berdebar keras dalam dada, semakin membuatnya gugup. Dia berdiri, lalu melepas sepatu Dara. Dia tidak percaya melupakan hal yang satu itu. Dia mengacak rambutnya, menyadari bahwa dirinya tidak tahu apapun tentang merawat orang sakit.

Setelah melepas sepatu, JIyong kembali kesisi Dara – dengan menelan ludah, melepas kancing mantel yang gadis itu kenakan agar bisa semakin nyaman. Jiyong rasanya kehabisan stock oksigen dalam tubuhnya dan rasanya seluruh darahnya hanya bersirkulasi di daerah pipinya. Kembali, dia mendesah. “Ini jauh lebih sulit dari pada yang kupikir,” katanya menghembuskan nafas frustasi.

Jiyong menatap Dara lalu membuka mantel gadis itu. Disanalah dia, terbaring diatas ranjang dengan mantel terbuka dan dia hanya mengenakan blus tanpa lengan didalamnya dengan potongan leher sangat rendah, hingga  Jiyong bisa melihat dengan jelas tulang selangkanya – bahkan belahan dadanya. Wajahnya semakin merona merah dan langsung mengalihkan pandangan. “Aughhh!” teriaknya, menampar pipinya sendiri untuk menyadarkannya ke kenyataan – wajahnya benar-benar merah. “Matamu seperti mata pendosa!” katanya frustasi.

Tanpa sadar, Jiyong kembali menatap Dara, cahaya kamarnya temaram, hanya berasal dari sinar bulan yang masuk melalui dinding kaca. Di matanya, kulit Dara seolah bersinar memantulkan cahaya bulan. Itu mempesona, sangat mempesona. Lalu pandangannya jatuh pada bekas lukanya, dalam hatinya langsung merasa tercubit dan dadanya sesak. Dia memejamkan matanya erat, berbalik tanpa lupa memungut teleponnya.

“Maafkan aku mom, aku melamun,” dia tertawa pada ibunya sambil keluar dari kamar. “Aku tahu itu,” ibunya tertawa dan Jiyong hanya memutar bola matanya. Dia bisa dengan jelas membayangkan wajah ibunya yang menggodanya. “Hei, mom,” panggilnya. “Ada apa baby?” tanya ibunya saat dia berjalan menuju ke dapur dan membuka kulkas. “Bagaimana cara memasak sup seperti yang kamu buatkan saat aku melukis untuk Picasso?” tanyanya.

“Oh itu mudah,” jawab wanita paruh baya itu. “Mau mengajariku?” tanya Jiyong membuat ibunya tertawa seolah dia mengatakan sesuatu yang lucu. “Tidak sama sekali,”

Jiyong lalu mulai menuruti instruksi yang disampaikan ibunya – dimulai dari bahan-bahan yang dia butuhkan, bahkan sampai ke masalah menyalakan kompor – intinya sampai segala detail kecil.  Dan dia selalu saja panik saat melakukan langkah selanjutnya dan dalam hati merasa ragu dengan apa yang dia lakukan. Tapi kemudian dia berusaha untuk tetap fokus dan berteguh hati untuk menyelesaikan apa yang dikerjakannya ini.

Semua ini untuk Dara.

Jiyong mendesah saat menyendok sup buatannya, meniup uapnya, dan mencicipnya. Dia memejamkan mata, berdoa agar supnya bisa dimakan walau rasanya tidak akan mungkin bisa seenak buatan ibunya. Dia kemudian tersenyum. “Siapa yang menyangka bahwa ternyata aku memiliki bakat dalam memasak?” tanyanya tersenyum arogan lalu tertawa – seperti dia baru saja menyusun rencana paling jahat sedunia.

“Jadi bagaimana rasanya?” tanya ibunya dari ujung saluran membuat Jiyong berhenti tertawa dan bergerak untuk mengambil mangkuk. “Bisa kubilang aku bisa mengalahkanmu di lomba memasak, mom,” katanya tersenyum lebar seolah ibunya bisa melihatnya. Ibunya tertawa di telepon. “Mendengar kamu percaya diri seperti itu, mungkin saja kamu menuruni kemampuan memasak ibumu ini,”

Jiyong mengangguk. “Ah-huh! Sudah dulu ya,” dia tertawa sambil menempatkan mangkuk sup di nampan, bersama dengan segelas air putih dan obat yang dia temukan di lemarinya. Setelah menyiapkan semua yang dia perlukan, dia beranjak kembali ke kamar Dara dengan membawa nampan di tangannya.

Perlahan dia mendorong pintu terbuka dengan punggungnya dan berjalan mendekat ke ranjang, tepat saat Dara bergerak dalam tidurnya. Dia menempatkan nampan di lantai, perlahan Dara bangun dan mencoba duduk. Handuk jatuh dari keningnya, berhasil dia tangkap. Dara merasa sangat pusing sampai rasanya dia ingin muntah. Kepalanya berdenyut hebar dan tubuhnya terasa sangat berat. Jiyong cepat-cepat duduk ditepi ranjang, membantu, membuat kepala Dara langsung menoleh padanya dan menatap pria itu – itu adalah tatapan terlama yang dia berikan pada JIyong.

“Bagaimana perasaanmu?” tanya Jiyong saat mata mereka bertemu dan tubuh Dara langsung membaku. Dara ingin menjawab namun suaranya mengkhianatinya. Heck, dia ingin mengatakan sesuatu namun seluruh tubuhnya membeku dan hanya bisa menatap Jiyong. Dara menelan ludah berat. Semuanya serasa menelan Dara hidup-hidup, tidak memberinya kesempatan untuk melawan.

Dara ingat akan malam-malam kesepian di rumahnya, perasaan saat dia memeluk dirinya sendiri hingga tertidur. Belum lagi sunyi yang mencekam dari rumah besarnya, dan dia hanya bisa meringkuk menutup telinganya di tempat tidur, seolah sunyi meneriakinya. Saat-saat dimana dia sendirian, tengah malam, dan dunia mengacuhkannya. Saat-saat dimana bagaimanapun dia berusaha keras untuk menyangkal, dia sebenarnya butuh bahu untuknya menangis, lengan untuknya berpegangan, serta mata yang mengatakan bahwa dia tidaklah sendirian.

Malam-malam dimana dia terus saja membodohi dirinya sendiri bahwa dia baik-baik saja, bahwa dirinya sudah sempurna. Bahwa dia tidak membutuhkan siapapun selain dirinya.

Tanpa sadar Dara meraih tangan Jiyong, memegangi dengan kuat hingga kukunya menancap di kulit pira itu, namun Jiyong sama sekali tidak keberatan hal itu karena dia tengah tenggelam dalam mata Dara yang mengatakan jutaan hal padanya, jutaan hal yang menyakiti gadis itu hingga jantungnya sendiri serasa berhenti berdetak, membiarkan dirinya ikut merasakan penderitaan gadis itu.

“Tidak,” kata Dara dengan air mata berlinang dengan sendirinya. “Aku tidak baik,” lanjutnya tidak tahu bagaimana caranya dia sanggup mengatakan hal itu. Tangan Jiyong bergerak menghapus air mata Dara. Dia tersenyum. “Aku memasakkan sup untukmu, mungkin bisa sedikit membantu, lalu kamu harus minum obat,” katanya membuat Dara mengangguk. Jiyong lalu meraih nampan dan kembali menatap Dara. Dara balas menatapnya, membuat senyuman Jiyong terkembang.

Jiyong menempatkan nampan di lantai dan hanya mengambil mangkuk sup dan sendok. “Ayo buka mulutmu, ahh,” katanya tertawa, Dara menatapnya selama beberapa detik. Dara menelan ludah berat, kemudian memaksa mulutnya untuk membuka. Jiyong mulai menyuapi Dara yang hanya terdiam menatap pria yang sedang menyuapikan sup yang khusus pria itu masak untuknya.

Jiyong baru akan kembali menyuapi Dara, namun gadis itu menggelengkan kepala. “Sudah cukup,” katanya merasa pusing. Dia tahu, sebentar lagi dia akan memuntahkan semua yang barusan dia makan, dan entah kenapa, dia tidak ingin menyia-nyiakan apa yang sudah Jiyong lakukan untuknya. “Rasanya enak,” kata Dara membuat Jiyong tersenyum lebar kemudian meletakkan mangkuk di nampan dan mengambil gelas berisi air putih dan juga obat. Perlahan dia membantu Dara meminum air dari gelas dan memberikan obat. Dara perlu memaksa dirinya menelan obat dan mendorongnya masuk kedalam kerongkongan dengan bantuan air.

Dara mendesah dan menyerahkan gelas yang sudah kosong kepada Jiyong. Jiyong tersenyum menerimanaya dan meletakkannya di nampan kemudian berdiri, namun berhenti karena Dara memegangi kemejanya. Jiyong menoleh menatap Dara, menanti perkataan apa yang akan diucapkan, namun gadis itu hanya menatapnya. Sebenarnya Dara ingin mengucapkan banyak hal, namun dia tidak bisa menggerakkan bibirnya.

“Aku akan segera kembali, aku harus membawa ini kembali ke dapur,” katanya tersenyum. Dara menggelengkan kepalanya dan pegangannya pada kemeja Jiyong semakin arat. “Jangan… pergi,” akhirnya dia bisa memaksa suaranya keluar.

Diam menyelimuti keduanya. “Jangan pergi,” ulang Dara, sekarang terdengar memohon. Jiyong hanya tersenyum dan kembali duduk ditepi ranjang. Dara membaringkan tubuhnya ke ranjang. “Berbaringlah disebelahku,” katanya, Jiyong hanya menurut seolah dia telah terkena hipnotis bersamaan dengan jantungnya yang sejenak berhenti berdetak. Perlahan dia membaringkan tubuhnya disebelah gadis itu. Dara merasakan nafasnya semakin berat tiap detiknya. Jiyong sangatlah dekat hingga kulit mereka hampir bersentuhan dan bahkan dia bisa mendengar detak jantung pria itu, dan juga desah nafasnya.

Dia perlahan memiringkan badannya dan mata mereka bertemu. Jiyong melingkarkan lengannya pada tubuh Dara, menariknya mendekat. Dia sudah sangat menginginkan merasakan tubuh gadis itu dari dekat, sedekat ini. Dia hampir sekarat hanya karena ingin agar tubuh mereka berdekatan.

Hanya Tuhan yang tahu, betapa inginnya JIyong akan momen ini untuk terjadi, untuk merasakan Dara berada sedekat ini dengannya.

Dara memejamkan matanya begitu merasakan tangan Jiyong mengelus punggungnya, naik-turun, secara perlahan, dengan lembut. Lalu kepalanya dia letakkan diatas kepala Dara, bibirnya mencium rambut Dara, dan mulai menggumamkan melodi seolah sedang menina-bobokan bayi. Jiyong menggumamkan sebuah lagu, berharap agar itu dapat menenangkan Dara dan membuat gadis itu segera tidur.

Tak lama, nafas Dara mulai teratur dan dia sudah kembali tidur. Jiyong memejamkan matanya dan membiarkan dirinya tenggelam dalam momen yang sudah dia tunggu sejak… selamanya.

Akan ada orang yang membuat kita melihat betapa kita membodohi diri kita sendiri. Seseorang itu akan membuat kita menyadari semua rasa sakit dan kebohongan yang selama ini kita simpan dalam diri kita – agar kita tetap berdiri dengan kedua kaki kita, tidak hancur berkeping.

Orang itu akan membuat kita merasakan betapa kita membutuhkan bahu untuk bersandar, seseorang untuk berpegangan, dan seseorang itu akan membuat kita merasakan bahwa kita tidaklah sendirian. Bahwa kita merindukan hal itu, membutuhkannya.

Dan tak lama lagi kita akan sadar, bahwa seseorang itu adalah orang yang paling kita butuhkan.


[1] Anak yang hilang (the lost boy), sebutan yang digunakan untuk menyebut ‘penduduk’ Neverland dalam kisah Peter Pan.

 

~ TBC ~

Prolog 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 Epilog FN

53 thoughts on “How to Save a Life [Part #10] : Warmth

Leave a comment