[FESTIVAL_PARADE] THE ONE AND ONLY — 06

the-one-and-only-copy

THE ONE AND ONLY :: THE JAPANESE HOUSE



Rumah besar bergaya Jepang itu berdinding semi permanen, berstruktur batu bata dan kayu. Tembok bata dibiarkan tetap terbuka tanpa plester semen maupun cat. Demikian halnya dengan warna kayu alami yang memang sengaja dipamerkan, hanya dilapis pernis untuk menjaga keawetan. Seluruhnya menggunakan lantai kayu.

Antara ruang tamu dengan taman samping dihubungkan dengan pintu kaca. Dari pintu kaca dapat terlihat jelas kincir air yang berputar pelan, menciptakan ritme menenangkan. Putaran kincir menyamarkan puluhan ikan mas dari perhatian. Karena banyaknya tamu, pintu kaca dibuka lebar agar terasa makin leluasa.

Ruang tamu langsung terhubung dengan ruang tengah tanpa pembatas. Dari ruang tengah, tampak jelas taman tengah yang jauh lebih luas dibandingkan dengan taman samping. Antara ruang tengah dan taman tengah hanya dipisahkan oleh tiang-tiang peyangga dari kayu.

Di taman tengah, ada juga kolam ikan memanjang yang memenuhi enam puluh persen bagian taman. Dikeempat sudut kolam, dipasang masing-masing patung ikan yang menyemburkan air dari mulutnya. Di atasnya, terbentang jembatan lengkung membelah kolam, mengantarkan langsung pada gazebo kecil yang menambah kesan kekeluargaan.

Sandara yang merasa asing dengan keberadaannya, menepi menjauhi keramaian. Jika bukan karena Dayoung, tidak akan dia mau berada di tempat asing begini. Lagu-lagu klasik yang diputar sama sekali tak akrab di telinganya.

Rui, kakak Rohye, membawa Dayoung dan Sandara menemui orang tua mereka. Hari ini adalah pesta ulang tahun ibu mereka, orang yang ingin mereka hadiahi taman yang didesain ulang oleh Dayoung.

“Mama, perkenalkan ini Park Dayoung dan adiknya Park Sandara. Dayoung ini yang berhasil bertahan dengan tuntutan rewelku dan Rohye dan menyelesaikan taman untuk Mama ini,”

“Hey!” Rohye berseru dengan nada protes.

“Benar kau dan Rohye yang rewel, atau hanya kau saja, Rui?” pertanyaan itu keluar dengan nada menggoda. “Firasat Mama bilang, hanya kau yang rewel untuk mencari alasan agar bisa berbicara dengan Park Dayoung ini,”

“Mama benar-benar hebat!”

“Mama…!”

Rohye dan Rui berseru, yang pertama disampaikan dengan tawa, yang kedua disampaikan dengan wajah sedikit panik. Melirik ke arah Rui dan Dayoung, Sandara rasa komentar ibu Rohye tadi tepat sasaran.

Langit malam musim semi terlihat cerah, meski tidak secerah saat musim dingin. Banyak bintang bertaburan menemani rembulan yang bulat sempurna. Sandara memilih untuk menghindari keramaian dan menyendiri di gazebo. Menyeberangi jembatan dan memandangi bulan yang tengah purnama.

“Sendirian?” tiba-tiba saja Rohye sudah berada di sampingnya. Sandara kaget, tapi segera berhasil menguasai diri. Ini rumahnya, bebas saja dia mau berada di mana pun.

Sebuah senyuman tersungging di wajahnya. “Iya, aku tidak mengenal tamu-tamu kalian,”

Rohye tertawa mendengar jawaban Sandara, disadarkan akan pertanyaannya yang keliru.

Keduanya diam. Tak ada topik yang dibicarakan. Lalu tiba-tiba Sandara ingat ada hal yang ingin dia tanyakan.

“Apa tidak masalah kalau Rui-ssi bersama dengan Unnie-ku terus-terusan?” tanyanya, menyadari sejak tadi kakak Rohye itu tak pernah meninggalkan sisi kakaknya.

“Huh?” kening Rohye berkerut.

“Tidak akan ada yang tiba-tiba marah dan melabrak Dayoung Unnie, kan?” Sandara memperjelas maksudnya dengan berganti pertanyaan.

Paham dengan pertanyaan Sandara, Rohye tertawa.

“Kuberitahu satu rahasia, hanya kalian berdua wanita yang pernah Rui-neesan perkenalkan pada Mama – di luar alasan kakakmu adalah desainer lansekap taman ini,” penjelasan Rohye membuat mata Sandara terbelalak. “Dan sepertinya, Rui-neesan sengaja melakukannya karena yakin Mama akan menyukai kakakmu. Aku mulai merasa kasihan pada kakakmu,” mendengar komentar yang terakhir, Sandara menelan ludah.

“Jadi Mama-mu adalah orang Jepang dan Appa-mu adalah Korea-Jepang,” ucap Sandara setelah mengetahui asal-muasal keluarga Rohye. “Tapi jika dipikir demikian, kalian didominasi darah Jepang, kenapa kalian memilih untuk tinggal di Korea?”

“Keluarga Harabeoji-ku sangat dekat dan Appa besar di Korea. Appa bertemu dengan Mama ketika sama-sama kuliah di Korean University,”

Pembicaraan mereka mengingatkan Sandara pada Jiyong. Dulu Jiyong pernah menyangka dia memiliki darah Jepang – entah darimana logika itu datang. Sandara belum memiliki kesempatan untuk menanyakannya.

“Kalau soal Jepang, yang paling kusuka jelas manga. Jujur lebih suka manga dibandingkan dengan manhwa, the most favorite one of course, Conan.”

“Serius?!” seru Rohye, mengagetkan Sandara. Tidak menyangka reaksi Rohye akan sampai segitunya. “Aku juga sangat suka dengan manga satu itu, aku bahkan mengoleksi edisi aslinya,”

Gantian Sandara yang memekik histeris dan memohon agar Rohye mau meminjamkan beberapa edisi – saa titu juga. Rohye terpaksa memenuhi permintaan Sandara sebelum gadis itu membuat keributan.

“Sandara-ah,” seseorang memanggil Sandara dari seberang jembatan.

Sandara merasa mengenali suara yang memanggilnya. Dan benar, Jiyong kini telah berdiri di ujung jembatan, menyeberang. Sandara langsung melompat berdiri, lupa pada Rohye yang tengah memberinya kursus Bahasa Jepang dadakan.

“Oppa,” untuk kesekian kalinya, Sandara terpesona. Melihat Jiyong dalam pakaian resmi membuat kembang api serasa bermunculan di dalam perutnya. Membuat nafasnya sesak.

Rohye yang akhirnya menyadari bahwa dirinya sudah tidak dihiraukan, mengangkat wajahnya dari buku komik di tangannya, menyadari bahwa dia sudah tidak sendiri lagi bersama Sandara di sana. Kepalanya bergerak bergiliran, menoleh ke arah Sandara dan Jiyong.

Jiyong terpana. Memandang Sandara dari ujung kepala sampai ujung kaki. Baru kali ini dia berkesempatan mendapati Sandara berdandan formal. Potongannya sederhana tapi terlihat istimewa, mungkin karena faktor pemakainya. Rambut sebahunya dibiarkan terurai lurus begitu saja, hanya berhiaskan bando berwarna senada dengan gaunnya.

“Oppa, bagaimana kau bisa berada di sini?” pertanyaan Sandara menyadarkan Jiyong dari pikirannya.

“Menemani Boa Nuna,” jawabnya sambil melangkah mendekat. “Ternyata memang benar kau, Sandara-ah, kukira aku salah mengenali orang,” ucapnya membimbing Sandara kembali duduk, kemudian ikut duduk di sisi lain Sandara.

“Err, Oppa pasti sudah kenal dengan Rohye, kan?” Sandara berusaha mengusir rasa gugupnya yang tiba-tiba menyergap.

Rohye tersenyum pada Jiyong, “Sempat beberapa kali bertemu, tapi kami berlum sempat berkenalan. Rohye,” Rohye mengulurkan tangan.

“Jiyong,” Jiyong menyambut uluran tangan Rohye. “Iya, aku ingat,”

Atmosfer di antara mereka sedikit berubah, membuat Sandara merasa canggung menyadari dirinya duduk diapit oleh kedua cowok ini.

“Kau tidak bercerita akan datang ke mari, jika aku tahu kami bisa menjemputmu tadi,” Jiyong berujar.

“Dayoung Unnie memaksaku untuk menemaninya. Lagipula, aku tidak tahu jika Oppa juga akan berada di sini,”

“Bukankah kau yang waktu itu Sandara hampiri di rumah Sanghyun?” Rohye turut bersuara.

“Iya,” jawab Jiyong apa adanya.

“Oh, mumpung ingat, sekalian saja kau bertemu dengan Boa Nuna. Dia sudah sangat ingin bertemu denganmu dan terus-terusan meminta aku membawamu ke rumah,” Jiyong berdiri sambil menarik Sandara ikut berdiri bersamanya.

Sandara yang merasa tak enak terpaksa pamit pada Rohye dan mengucapkan terima kasih, kemudian mengikuti langkah lebar Jiyong.

“Oppa marah,” itu bukan pertanyaan.

Jiyong berhenti mendengar pernyataan Sandara, menyadari sikapnya pasti sudah meresahkan kekasihnya itu.

Gelengan kepala dari Jiyong sedikit melegakan perasaan Sandara. “Aku tidak marah. Aku hanya perlu terus ingat, bahwa aku memiliki pacar yang sangat cantik dan banyak yang ingin merebutnya. Jadi aku harus memikirkan cara agar kau tidak pergi meninggalkanku,”

Wajah Sandara sontak memerah mendengar penuturan Jiyong. Ada perasaan hangat yang menyelimuti hatinya ketika dirasakan, tangan Jiyong menggenggam tangannya.

Omma, apa Omma melihat dari atas sana? Sandara bahagia…



to be continue~



<< back next>>

15 thoughts on “[FESTIVAL_PARADE] THE ONE AND ONLY — 06

Leave a comment