How to Save a Life [Part #8] : Butterfly

Untitled-2

Untitled-1

Author      : mbie07

Link          : HtSaL on AFF

Indotrans : dillatiffa

Kaget lihat postingan ini??? Saya juga kaget sudah bisa posting… LOL..

Oke, ceritanya nanti dulu… selamat membaca ^^/

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

tumblr_mcuo4kFkFD1r20z3so1_500

~ Butterfly ~

 

Tidak peduli seberapa besar perasaan sang pria kepada sang wanita, dan tidak peduli betapa terbebaninya sang wanita karena hal itu, masih ada dinding tebal yang memisahkan keduanya. Tergambar garis diantara mereka, menjauhkan mereka satu sama lain. Meski kulit dengan kulit sudah saling bersentuhan, tapi dinding tebal itu masih ada diantara mereka.

 

 

“Mohon perhatian semuanya,” kata Sohee menggunakan mikrofon di tangannya, dia berdiri di tengah panggung, semua perhatian langsung tertuju padanya. “Apa itu ‘pengungkapan’?” mulainya mengedarkan pandangan ke seluruh gymnasium. “Didalam kamus disebutkan bahwa ‘pengungkapan’ adalah kata benda dan merupakan tindakan mengungkapkan. Dan hari ini kita akan menyaksikan 20 orang peserta pada Picasso tahunan yang diselenggarakan oleh Choi University ‘saling mengungkapkan’ melalui lukisan mereka yang bertema ‘Confession: I was born for this’,”

Tepuk tangan memenuhi seisi gymnasium dan Sohee menebar senyum kepada para hadirin. “Selamat pagi para hadirin, perkenalkan saya Ahn Sohee,” katanya membungkukkan badan. “Dan saya yang akan menjadi pembawa acara pada acara ini,”

“Saya yakin Anda sekalian sangat bersemangat untuk menyaksikan bakat-bakat yang dimiliki oleh mahasiswa universitas kami ini. Kami tidak akan membuat Anda menunggu lebih lama lagi, mari kita saksikan hasil karya 20 mahasiswa kami satu per satu, dimulai dari Joon dengan karyanya Blaze,” ungkap Sohee membuat perhatian semua orang kepada pelukis yang dimaksud yang kemudian perlahan menarik lepas kain hitam yang menutupi kanvas – mengumumkan kepada khalayak hasil karyanya, Sohee berjalan kearahnya. Dosen itu kemudian menyerahkan mikrofon dan sang pelukis membaca apa yang tertulis di papan logam yang diterimanya tadi. Setelah selesai, dia kemudian meletakkan papan logam di penyangga lukisannya.

Semua orang memperhatikan satu per satu pelukis yang sedang memberikan penjelasan, disaat teman-temannya yang lain sedang mendengarkan penjelasan dari satu per satu dengan seksama, Jiyong justru malah memandangi Dara yang duduk di tempat yang disediakan untuknya bersama dengan jajaran dosen yang lain.

Dara mengenakan dress berlengan panjang dengan model vintage, rambutnya ditata rapi dalam sanggul sederhana – dan Jiyong heran, karena orang-orang yang berada didekatnya mengenakan make-up dan pakaian yang jauh lebih mahal dan keren, tapi tetap saja Dara yang paling bersinar diantara mereka. Rasanya seperti dia memancarkan aura tersendiri dan kecantikannya bersinar.

Dan diantara semua keramaian, hanya Dara-lah yang bisa Jiyong lihat. Jantungnya berdebar keras, seolah tidak sabar ingin melompat keluar dari dadanya, perutnya langsung serasa dipenuhi oleh ribuan kupu-kupu dan sebentuk senyum kecil tersungging di bibirnya.

Untuk pertama kalinya dalam hidup, Jiyong ingin menang. Dia sungguh sangat ingin memenangkan perlombaan ini.

Dia perlu untuk menang.

“Terakhir adalah peserta yang mendaftar di detik-detik terakhir dengan karyanya Butterfly,” kata Sohee sambil berjalan menuju kearah Jiyong, membuat pemuda itu tiba-tiba merasa gugup, rasanya dia meleleh. Semua mata tertuju padanya, beberapa saling berbisik mengagumi pelukis muda jenius itu. Sohee tersenyum pada Jiyong dan Jiyong menatap balik sebelum menghembuskan nafas, berharap rasa gugupnya akan segera pergi, berharap mengusir semua kupu-kupu yang berterbangan didalam perutnya.

Jiyong melirik kearah Dara yang tengah menatapnya. Dan hal itu justru membuatnya semakin merasa gugup. Dia menelan ludah sebelum perlahan menarik lepas kain penutup – menunjukkan masterpiece terakhirnya kepada dunia.

Semua orang menatap hasil karyanya dengan penuh kekaguman, mereka takjub akan hasil karyanya yang seolah hidup didepan mata mereka, dan seluruh tempat itu berubah senyap. Sohee tidak bisa berkata apapun, matanya terpaku pada lukisan.

Itu adalah lukisan seorang anak laki-laki sedang melukis kupu-kupu biru di kanvas dengan berbaring tengkurap dan kemudian kupu-kupu yang dilukisnya itu hidup, tapi itulah yang akan dilihat dari jarak dekat. Itu terlihat seperti lukisan sederhana dari dekat namun jika mundur jauh ke belakang, lukisan yang terlihat pun akan ikut berubah. Lukisan itu adalah ilusi optik raksasa.

Dara berdiri dari tempat duduknya menatap lukisan Jiyong. Dia menatap lukisan seorang anak laki-laki dan anak perempuan, berbaring tengkurap saling menatap sama lain, dengan bibir hampir bersentuhan. Sang anak laki-laki tengah menatap anak perempuan yang matanya tertutup, tidak melihat bahwa anak laki-laki itu menatapnya dengan penguh cinta, sekaligus penuh kerinduan.

Anak laki-laki itu merasa rindu meskipun mereka sedang bersama, berada dekat, hampir bersentuhan – namun tetap saja dia merindukan anak perempuan itu.

“Selamat pagi semuanya,” Jiyong memulai, menggenggam erat mikrofon di tangannya – mata Dara terpaku padanya. Mata mereka bertemu dan saat itulah saat semuanya memudar menjadi hitam, seolah hanya mereka lah yang berada dalam gymnasium besar itu. Seolah hanya mereka lah yang nyata. “Saya G-Dragon,” katanya membungkukkan badan dan kamusian kembali berdiri tegak, bertemu dengan tatapan Dara sekali lagi.

“Judul lukisan ini adalah ‘Butterfly’,” mulainya. “Saya pikir Anda semua sudah tahu kenapa,” katanya tertawa, masih dengan tatapan mata tidak meninggalkan Dara – seolah mereka sedang berbincang dengan Dara  berada tepat di hadapannya. “Saya sebenarnya tidak paham dengan temanya,” katanya membuat semua orang tertawa tidak percaya, bahkan teman-temannya. “Yang saya pahami adalah tentang ‘Confession’, lalu kemudian mengenai ‘I was born for this’,”

“Pertama kalinya saya memegang kuas, saya tahu bahwa saya dilahirkan untuk menjadi pelukis, untuk menjadi seniman,” katanya sambil tertawa. “Tapi sekarang,” lanjutnya sambil menatap lukisannya. “Saya pikir saya dilahirkan untuk sesuatu yang lebih besar untuk sekedar menjadi pelukis, lebih besar dari sekedar menjadi seniman. Saya dilahirkan untuk sesuatu yang lain – yang saya sendiri belum tahu apa itu, namun membuat perut saya dipenuhi oleh kupu-kupu,”

Dia tertawa sejenak dan menggigit bibir sebelum kembali mengarahkan matanya pada Dara. “Tapi saya rasa sebentar lagi saya akan segera mengetahuinya. Yang saya ingin katakan disini adalah bahwa kita semua tidak bisa membatasi diri kita sendiri, mengatakan bahwa kita dilahirkan untuk ini atau itu, kerena kita semua dilahirkan untuk semuanya. Jangan membatasi diri kita – jika kita bisa membuat orang lain tersenyum, maka kita dilahirkan untuk membuat seseorang tersenyum. Jika kita membantu seorang wanita tua menyebrang jalan, maka kita dilahirkan untuk membantu seorang wanita tua menyebrangi jalan,”

“Dalam segala sesuatu yang kita lakukan, kita memang dilahirkan untuk hal itu,” dia tersenyum. Sejenak semuanya diam dan mereka berdua saling pandang satu sama lain, meskipun hanya sejenak namun serasa selamanya bagi Jiyong maupun Dara. Abadi.

Jiyong membungkukkan badan dan menyerahkan mikrofon kembali kepada Sohee yang masih berdiri, berkedip menatapnya. Teman-temannya menatapnya, seolah dia adalah orang yang sama sekali berbeda, kemudian mereka kembali menatap lukisan. Lukisan itu terlihat semakin menarik setelah penjelasannya.

Lukisan itu adalah tentang dirinya, itu adalah pernyataannya.

Seluruh lukisan itu adalah sebuah pernyataan.

Saat berdiri di dekat lukisan, itulah yang dilihat menyenani dirinya, seseorang yang terlahir sebagai pelukis seperti 19 tahun hidupnya selama ini. Kemudian saat melihat seluruh lukisan dari jauh, akan terlihat dirinya yang lain, seseorang yang dilahirkan untuk melakukan sesuatu yang lebih dari sekedar untuk melukis.

Sohee tersenyum berfikir bahwa Jiyong sedang menyatakan perasaannya pada seseorang saat itu juga. “Itulah tadi 20 orang kontestan pada Picasso 2012, tolong beri tepuk tangan untuk mereka semua,” dia tersenyum. Semua orang bertepuk tangan sementara dia kembali ke panggung.

Jiyong berdiri diam menatap Dara yang sedang menatap lukisannya. Dara melihat lukisan itu seolah dia bisa mendengar ada yang berbicara, seolah lukisan itu adalah sebuah film. Ada ratusan orang yang sedang melihat lukisannya, yang mengucapkan ratusan kata-kata kekaguman dan pujian tanpa henti. Tapi dengan Dara hanya berdiri diam disana dan menatap lukisan Jiyong, tidak ada satu kata pun yang dia ucapkan, tanpa tanda-tanda ingin mengatakan sesuatu.

Dara menatap lukisan itu seolah itu adalah hal terbesar yang pernah Jiyong lakukan seumur hidupnya. Ada kekaguman, pemahaman, dan apresiasi.

Dara mengapresiasi Jiyong lebih dari semua orang yang berada didalam gymnasium pada saat itu.

Jantung Jiyong berdetak perlahan dalam dadanya, menatap Dara, seolah waktu berhenti memutuskan untuk melambat. Tiba-tiba saja air mata mengalir dari sudut matanya dan sebentuk senyuman tersungging di bibirnya.

Bagaiamana sekedar tatapan dari Dara sudah cukup untuk menebus semua yang telah dia lakukan? Apakah dia sudah melakukannya dengan benar? Tidakkah dia perlu mendapat apresiasi lebih dari itu?

Apa yang orang inginkan adalah untuk merasakan bahwa dia hidup, bahwa keberadaan mereka dianggap, bahwa mereka dihargai, dan bahwa mereka dibutuhkan.

Dan tepat pada saat itu, Jiyong merasa sangat hidup – lebih dari yang pernah dia rasakan seumur hidupnya.

*

“Dude,” kata Yongbae mengalihkan perhatian Jiyong dari pikirannya sendiri kemudian dia sembunyi-sembunyi mneghapus air matanya. “Apa? Tidakkah kamu melihat aku sedang menikmati momenku saat ini?” desis Jiyong membuat semua orang tertawa. “Selamat sudah membuat semua orang terpana, lagi,” kata Seungri sambil tertawa. “Apa yang bisa kulakukan? Aku ini G-Dragon,” katanya sombong dan semua orang mendesis padanya. “Kalian harus menundukkan kepala kalian kepadaku,” dia tertawa membuat semua orang memutar bola mata mereka.

Kemudian dia melirik kearah Dara dan melihatnya mengambil tasnya dan berjalan keluar dari gymnasium. “Aku harus pergi,” bisiknya lalu menepuk bahu Yongbae. “Hei, kamu mau pergi kemana? Siapa yang akan mengawasi ekshibisi lukisanmu?” tanya Daesung. “Apa gunanya ada kalian,” Jiyong menyeringai dan berlari menjauh dari mereka dan menghilang di tengah keramaian.

“Aishh, bocah itu benar-benar,” Hyunseung mendesah sambil menggeleng-gelengkan kepalanya dan yang lain hanya bisa mendesah frustasi. Mereka lalu kembali menatap lukisan Jiyong. “Apakah kalian tahu?” tanya Minzy, semua orang menatapnya. “Saat tadi dia menjelaskan lukisannya, aku merasa dia yang paling dewasa diantara kita semua, seolah dia sangat paham tentang semua hal yang terjadi. Aku mungkin berkata tidak masuk akal disini,” dia tertawa.

“Sebenarnya itulah yang kurasakan, aku merasa malu karena selalu bilang padanya dia harus tumbuh menjadi dewasa,” kata Seungri tersenyum. “Untuk seseorang yang kekanakan sepertinya, dia sungguh sangat dewasa,” tambah Hyunseung.

“Dia lebih kedengaran seperti sedang mengungkapkan perasaannya bagiku,” kata Bom hampir seperti sebuah desisan, berdiri dengan tangan terlipat di dadanya. Idiot.

 

 

 

*

Jiyong berlari mengelilingi seisi gedung untuk menemukan Dia mendesah frustasi, berjalan dengan menggaruk kepalanya. Gedung kuliah sepi sekarang karena semua kelas diliburkan terkait dengan penyelenggaraan Picasso ini. Dia baru akan pergi dari sana saat mendengar sesuatu – seperti sebuah kursi yang didorong. Merasa penasaran, dia melongok kedalam salah satu ruang melukis, dan akhirnya menemukan Dara duduk didekat jendela sedang menatap ke langit.

Dia tersenyum saat masuk kedalam ruangan – meski pintunya sudah terbuka lebar, dia tetap mengetuk pintu. Dara menoleh pada Jiyong yang berdiri melambaikan tangan kepadanya. “Halo,” kata Jiyong sementara Dara masih menatapnya. “Apa aku boleh masuk?” tanyanya, Dara masih menatapnya dalam diam. Jiyong menunggu jawaban selama beberapa detik, kemudian dilihatnya Dara mengangguk.

Jiyong lalu duduk disebelah Dara, masih dengan senyumnya yang seperti anak kecil semantara Dara kembali menolehkan pandangannya menatap langit dengan mereka duduk saling bersebelahan. Mereka sangat dekat – Dara menyadari hanya bergerak sedikit saja dan kulit mereka akan bersentuhan. Dan memikirkan tentang hal itu membuat Dara terhenyak dan menghentikan kerja jantungnya sesaat.

Jiyong masih tersenyum menatap kedepan, merasakan Dara berada didekatnya, kulit mereka mungkin tidak bersentuhan langsung namun dia bisa merasakan keberadaan Dara dengan pasti, membuatnya sekujur tubuhnya kebas saking senangnya hingga hatinya serasa tenggelam dalam kebahagiaan pada saat itu.

Nyatanya Jiyong ingin mengatakan banyak hal, namun sepertinya hanya sekedar kata-kata saja tidak akan cukup, hingga akhirnya dia membiarkan semuanya larut dalam kebisuan mereka yang terasa hangat. Jiyong tidak membutuhkan kata-kata, dia tidak membutuhkan apapun. Dia tidak butuh Dara memandangnya, dia tidak butuh pujian dari Dada atau bahkan hanya sekedar kepedulian padanya.

Yang dia butuhkan adalah keberadaan Dara disana, dengan Dara membiarkan dirinya berada disana – duduk bersebalahan, melupakan waktu, terserah waktu mau berputar semaunya. Tidak peduli semua yang ada di dunia ini datang dan pergi, namun mereka akan tetap duduk diam disana saling bersebelahan.

Dara menoleh padanya dan perlahan memperhatikan pemuda disampingnya itu.  Jiyong masih menatap kosong kedepan, namun dengan penuh kepuasan dan senyuman lebar terpasang di bibirnya. Dan itulah saat Dara menyadari betapa polosnya Jiyong, betapa kekanakannya dia dan betapa murninya pria itu, hingga dirinya sendiri merasa takut akan hal-hal yang tidak dia inginkan – meskipun belum terjadi, namun tidak mungkin bisa dihindari.

Dara bukannya bodoh. Dia sangat mengerti bahwa Jiyong tertarik padanya. Jiyong yang sangat tertarik padanya itulah yang dia takutkan.

Dara takut pada saat Jiyong mengungkapkan hal itu kepadanya, tidak peduli seberapa jujur pria itu kepadanya, dia mungkin tidak akan memliki kepercayaan untuk mempercayainya.

Dara membuka mulutnya untuk mengatakan sesuatu namun menutupnya lagi karena kata-katanya pudar ditelan ketakutan yang dia rasakan dalam dirinya. Jiyong menoleh pada Dara dan meta mereka bertemu, saat itulah mereka tahu bahwa mereka duduk sangat dekat satu sama lain hingga hidung mereka hampir bersentuhan. Dan untuk pertama kalinya sejak hidup Dara seolah berhenti, setelah dia mati dan tubuhnya serasa seperti mayat hidup, dia merasakan kehangatan menyebar hingga sampai ke pipinya karena merasakan nafas Jiyong di kulitnya.

Bagaimana bisa rasanya sungguh benar, padahal sebenarnya salah?

Mata Jiyong melebar dan Dara langsung mengalihkan pandangan. Jiyong tertawa lepas hingga air mata keluar dari sudut matanya karena alasan yang sudah sangat jelas. Dia merasa sangat bahagia hingga serasa dia diremas menjadi bola padat dan mereka kekurangan udara didalam ruangan itu.

Jiyong terus menatap Dara semantara Dara berusaha tetap menatap lurus kedepan. Kemudian, tanpa diketahui dari mana datangnya, Jiyong berani menyandarkan kepalanya di bahu Dara dan bergeser mendekat hingga akhirnya kulit mereka bersentuhan.

Mata Dara melebar dan perlahan menatap kearah Jiyong. Pemuda itu tengah menyandarkan kepalanya ke bahu Dara, dengan mata tertutup seolah berkata bahwa dia ingin beristirahat sejenak. Jiyong hanya ingin beristirahat dan hatinya memohon agar Dara mengijinkannya. Tubuh Dara membeku tidak sanggup bergerak sedikit pun.

“Kumohon, biarkan aku tidur beberapa menit, bisa kan?” tanyanya namun Dara tidak menjawab. “Aku sama sekali tidak tidur,” dia tertawa. Kemudian kembali sunyi menyelimuti diiringi hembusan angin – mereka berdua duduk menghadap ke jendela, dengan tubuh bersentuhan, dan kepala Jiyong menyandar pada Dara.

Tangan Jiyong kemudian bergerak meraih tangan Dara dan menautkan jemari mereka. Dara ingin protes, namun karena merasakan kehangatan yang sudah sangat dikenalnya – kehangatan yang dia rindukan – menghentikannya dan merasakan tubuhnya menegang. Dan perlahan, dalam beberapa detik, tubuhnya kembali relaks.

“Kamu terlihat sangat mengagumkan saat kamu tersipu,” bisik Jiyong membuat pipi Dara semakin terbakar. Kemudian diam kembali menyelimuti mereka dan yang bisa didengar adalah suara samar dari arah gymnasium, angin dan suara nafas teratur Jiyong yang sudah jatuh tertidur.

Dan tanpa disadari, kepala Dara menyandar pada kepala Jiyong, kemudian matanya perlahan menutup dan rasa kantuk melingkupi dengan jemari mereka masih saling bertautan.

Rasanya sangat hangat; rasanya sangat menyenangkan dan Dara menginginkan perasaan seperti itu selamanya.

Masih ada dinding tak kasat mata diantara mereka. Yang memisahkan keduanya, satu sama lain.

 

Dan sekarang perlahan namun pasti dinding itu mulai runtuh.

 

~ TBC ~

Saya hanya ingin memperjelas pandangan saya mengenai cerita ini.. saat Jiyong berharapan dengan Dara yang adalah dosennya, dia akan bersikap sopan dan menggunakan bahasa formal.. namun saat dia melihat Dara sebagai wanita yang dia sukai (untuk saat ini kita sebut saja seperti itu), saya pikir agak aneh kalau saya menggunakan bahasa formal dalam percakapan mereka.. contoh nyatanya adalah di scene terakhir.. dimana saya lihat, akan sangat absurd jadinya kalau disitu Jiyong ber’saya-Anda’ terhadap Dara..

Jadi saya harap temen2 memahami, dan tidak menganggap saya labil.. lol XD

Prolog 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 Epilog FN

55 thoughts on “How to Save a Life [Part #8] : Butterfly

  1. Ternyata hati yg dingin selama ini akan runtuh ,,dengan adanya sentuhan2 jiyong yg menghangatkan jiwa dan hati dara,,ooohh manis banget…

Leave a comment