The King’s Assassin [45] : Light and Dark

TKA

Author :: silentapathy
Link :: asianfanfiction
Indotrans :: dillatiffa

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~  

 

Ruang makan seketika sunyi saat Pangeran duduk di antara para prajurit di ujung meja. Para pria itu melongo tak percaya, dengan tangan terkepal di sisi kaki, menunggu perintah Pangeran untuk mengijinkan mereka melanjutkan makan.

“Aku minta maaf karena sudah mengganggu acara makan malam kalian, Tuan-tuan.” Jiyong memulai sambil memandang pasukannya yang duduk di dua meja panjang di masing-masing sisinya.

“Aku memiliki seseorang yang penting yang ingin kuperkenalkan kepada kalian,” katanya sambil menggosok-gosokkan kedua tangannya penuh semangat. “Aku tahu kalian semua bisa dipercaya dan kuharap kalian tidak akan merusak kepercayaan yang telah kuberikan pada kalian,”

“YEH, JEOHA! PERCAYAKAN PADA KAMI, JEOHA!”

“Besok akan menjadi hari yang sibuk karena semua persiapan untuk upacara penobatanku. Aku menginginkan partisipasi kalian semua, tapi sebelum itu, kupikir kalian layak untuk bertemu dengan seseorang yang talah menjadi inspirasiku selama ini. Seseorang yang telah membuka kedua mataku agar mau melihat kenyataan. Seseorang yang tidak pernah mengingatkanku akan tanggung jawab yang dibebankan padaku, akan tugas-tugasku. Seseorang yang mengajarkanku akan nilai kepercayaan dan kesetiaan. Sumber kekuatan dan kekuasaan.” Sang Putra Mahkota berkata demikian sebelum berdiri.

“Aku memberikan kalian semua kehormatan untuk bertemu dengan calon Ratu Joseon. Dan meskipun sekarang, semuanya masih belum sepenuhnya jelas bagi kita, kita sudah berada di jalan yang benar. Tunggu sebentar lagi… kita akan sampai pada sana,” Jiyong tersenyum dan merentangkan sebelah tangannya ke samping.

“Kita akan segera sampai, benar bukan?” Jiyong menoleh pada Dara yang masih berada di pintu bersama dengan Lady Gong menyertainya dan menuntunnya ke arah Pangeran.

Keterkejutan tak bisa disembunyikan dari para prajurit yang berada di ruang makan. Beberapa mengenali wajahnya, beberapa tidak. Jiyong segera menggenggam tangan Dara dan meyakinkan gadis itu yang tidak bisa menutupi kecemasan di wajahnya. Diciumnya tangan Dara dengan penuh cinta. Semua orang masih terkejut, namun Hong menjadi orang pertama yang memberikan selamat kepada mereka.

“Saya secara pribadi mendukung rencana Anda, Jeoha. Apa pun itu, Anda bisa mempercayai saya,” Hong berdiri dengan sebelah tangan menyilang di dadanya dan membungkukkan badan. “Ayah Anda bermimpi tentang Joseon yang lebih baik dan dengan seorang wanita sekuat dan setegar Komandan Park di sisi Anda, tidak ada yang perlu diragukan lagi. Kita pasti bisa mencapai tujuan kita<”

Segera semua pasukan ikut berdiri dan menghadap ke arah Jiyong dan Dara, tersentuh oleh pengakuan tiba-tiba dari sang Pangeran. Dan melakukan apa yang telah Hong lakukan sebelumnya, membungkukkan badan kepada mereka.

“KAMI MENDUKUNG ANDA DAN CALON RATU!”

Jiyong tersenyum dan meremas tangan Dara dalam genggamannya. “Kalian semua di sini, aku akan membawa kalian bersamaku sampai aku menerima tahta. Kesetiaan kalian akan mendapatkan penghargaan. Mari, kita nikmati malam yang indah ini,”

Lady Gong, Eunuch Seunghwan, dan Harang berdiri di kejauhan, menatap betapa Pangeran memuja wanita di sampingnya, namun wajah para pelayan tampak cemas.

“Apa menurut Anda ini lebih baik untuk kali ini?” tanya Lady Gong. “Saya sangat cemas, Eunuch Seunghwan.”

“Mari kita percaya pada Pangeran. Lagipula, besok lusa, beliau akan menjadi Raja. Tidak ada lagi yang bisa mempertanyakan kekuasaannya. Bahkan Penasehat Chou dan para pengikutnya,” jawab pria itu dengan penuh keseriusan.

Harang menarik nafas dalam. Ini adalah salah satu momen yang dia harapkan ada Master Wu bersama mereka. Kekuatannya untuk melihat masa depan masihlah terbatas, dan yang bisa dilakukannya sekarang adalah percaya pada instingnya untuk sementara waktu. Dan instingnya bilang… semuanya masih aman. Dia tidak merasakan adanya bahaya di dekat mereka. Tapi dia tidak bisa tenang, karena tahu apa pun bisa terjadi dalam semalam.

**

“Wajah kaget mereka. Mereka masih tidak bisa percaya bahwa kau adalah Komandan yang sama yang menendangi dan memukuli mereka,” kata Jiyong menarik Dara lebih mendekat kepadanya, membenamkan wajah di lehernya dan menarik punggung wanita itu hingga menempel di dadanya. Dia senang, sangat senang karena akhirnya mereka baik-baik saja dan meskipun keputusan dan rencananya baru selesai siang tadi, dia tidak menyesalinya. Malam semakin larut dan mereka hanya menyaksikan para prajurit berlarian ke sana ke mari untuk memeriksa semua sudut dan jalan masuk, memposisikan diri mereka di Istana Selatan dan memastikan pembunuh gelap yang mungkin akan mengacau ditangkap.

“Kenapa kau diam?” tanya Jiyong cemas karena Dara sama sekali tidak bersuara. Wanita itu hanya menggelengkan kepalanya.

“Jangan cemaskan saya. Saya rasa saya hanya perlu membiasakan diri untuk kembali bersikap layaknya wanita,” katanya, namun dalam hati dia cemas mengingat bahwa dirinya harus menghadap Raja besok malam.

“Kau selalu ada bersamaku. Kau tetap terlihat cantik bahkan dalam pakaian Komandanmu. Terlalu cantik. Terlalu cantik bagi mata semua pria mana pun,” Jiyong membalik tubuh Dara dan menangkup wajah wanita itu. “Sayang sekali… kau sudah sepenuhnya menjadi milikku,”

“Ya. Saya bersedih untuk mereka,” Dara mengangguk setuju sambil meringis pada Jiyong.

“Aku mencintaimu. Sangat…” kata sang Pangeran, mencium kening Dara. dia menarik Dara mendekat dan baru akan mengangkat wanita itu, saat Dara tiba-tiba bersuara.

“Tapi saya masih tetap menjadi Komandan, kan?” tanyanya tiba-tiba, membuat sang Pangeran tertawa.

“Kau benar-benar memiliki kebiasaan untuk membuatku frustasi, Dara,” dia menggelengkan kepala. “Pilihan waktumu benar-benar semakin memburuk.”

“Huh?” dia benar-benar tak mengerti, alisnya terangkat.

“Ya. Secara resmi kau masihlah Komandan Pasukanku. Aku hanya ingin mengabulkan permintaan ayahku sebelum dia turun dari tahta dan menyerahkannya padaku. Pada kita.”

“Apakah beliau sudah tahu tentang saya? Bahwa saya adalah… Park Sandara—,”

“Tidak, belum… kenapa kau terkesan takut?”

“Ani… saya hanya merasa cemas jika orang-orang di Istana Utama akan mengenali saya,”

“Dara…”

“Jeoha, faktanya, saya ini masihlah seorang budak buronan.” Bayangan tentang dirinya dimasukkan ke dalam penjara yang gelam membuatnya menelan ludah berat. Dia tidak ingin berada di sana. Bahkan hanya dengan memikirkannya, membuat jantungnya berdetak cepat karena ketakutan.

“Tidak akan ada yang terjadi, Dara. Kami sudah merencanakan semuanya. Buku Menteri Kim dan Master Wu, kumpulan dari semua bukti yang menentang Penasehat Choi, Sanghyun akan datang ke mari membawa gulungan itu besok. Dan kita akan mempersembahkan semuanya kepada Raja. Kita membutuhkan kata-katanya secara tertulis. Semuanya bukti sudah kita amankan, Dara.”

“A-a-pa? Bukankah itu berbahaya?”

“Kita memiliki orang-orang yang bisa dipercaya. Lagipula semuanya lebih baik sekarang, aku akan segera menjadi Raja. Dan aku akan memastikan Penasehat Choi akan menanggung semua kejahatannya. Ini sudah waktunya, apa kau tidak bisa melihatnya? Kita sudah semakin dekat. Dan saat kita sudah membersihkan namamu, kita akan segera menikah. Kita akan segera menikah setelah itu. Dara… jangan takut. Aku melakukan yang terbaik yang kubisa. Apakah kau tidak mempercayaiku?”

Dara merasa seolah tertampar. Bagaimana mungkin dia meragukan pria yang paling dicintainya ini dan bahkan balik mencintainya? Dia menggelengkan kepala dan menyimpan semua keraguannya sampai akhirnya dia ingat akan hadiah kecil yang sudah dia persiapkan untuk diberikan kepada Pangeran.

“Apakah saya akan menghabiskan malam di sini… bersama Anda di dalam kamar Anda?” wajahnya merona merah menundukkan kepala sambil meremas-remas jemarinya.

“Tentu saja, kecuali… kau tidak merindukanku?” Pangeran mendongakkan kepala Dara ke atas dan wanita itu menggigit bibir untuk mencegah seringaian yang akan muncul di wajahnya. “Aku masih menantikan kejutanmu,” keluhnya mengerutkan bibir membuat Dara terkikik. Dara kemudian menggenggam tangan Jiyong dan menuntun sang Pangeran kembali masuk ke dalam kamarnya, lalu sgeera mendorongnya untuk berbaring di karus dan mengecup bibirnya.

**

Chaerin lebbih mendekatkan dirinya pada sepasang lengan yang tengah memeluknya dan saat dirasakannya rambutnya disentuh, matanya terbuka dan wajahnya langsung bersinar cerah. Ternyata Seungri. Mata pria itu terpejam, namun Chaerin tahu dia tidak tidur.

“Kembalilah tidur,” Seungri pasti bisa merasakan tatapan Chaerin padanya. Matanya masih terpejam.

“Kau juga harus tidur. Tidurku sudah cukup,” Chaerin mengangkat kepalanya untuk menyentuh wajah Seungri, membuat pria itu membuka mata. Dia tersenyum pada Chaerin.

“Ya. Aku sedang berusaha untuk tidur,”

“Dimana… Sanghyun?” tanya Chaerin tiba-tiba. Tubuh Seungri membeku sesaat, namun dia tahu pertanyaan Chaerin tidak bermaksud apa-apa selain kepedulian terhadap seorang teman.

“Dia pergi keluar. Dia ingin menemui Ilwoo hyung.”

“Ilwoo oppa… oh… aku belum mendengar apa pun darinya selama beberapa waktu terakhir,”

“Neh… Seunghyun hyung, Menteri Kim, dan Daesung kemari beberapa saat yang lalu. Mereka ingin memastikan bahwa kita aman. Mereka bilang rencananya sudah terselesaikan. Tinggal dua hari lagi dan kita akan bebas, Chaerin. Kau akan bebas,”

“Itu… adalah kabar bagus, kalau begitu.” Chaerin tersenyum kecil, namun begitu ingat akan Lady Hyori, dia mencemaskan tentang Lotus House. “Lotus House… apa yang ter—,”

“Mereka baik-baik saja. Lady Hyori berhasil memikirkan jalan keluar.”

“Tuhan, aku sudah menyebabkan masalah besar untuk mereka. Aku sudah membahayakan hidup mereka,”

“Chaerin… hentikan. Yang sudah terjadi biarlah terjadi. Yang bisa kita lakukan adalah memastikan bahwa kita akan mengambil keputusan yang tepat untuk tindakan kita selanjutnya,”

“Pendidikanmu… catatanmu. Seungri, kau hampir saja membunuh Tuan Xin… aku yakin… kau pasti dijadikan buronan,”

“Aku tidak peduli. Aku akan menghadapinya. Kita tidak melakukan kesalahan apa pun,”

“Jangan tinggalkan aku di sini,” Chaerin meletakkan kepalanya di dada Seungri dan memeluknya sayang. “Aku takut, Seungri,”

“Dasar wanita keras kepala… kau harusnya mendengarkanku dari dulu,” Seungri menggeleng-gelengkan kepalanya dan menarik tubuh Chaerin semakin dekat. “Aku tidak akan pergi. Tidak saat kau masih ketakutan seperti ini. Aku tidak akan pernah melepaskanmu. Sekarang, kembalilah tidur. Aku harus lebih menjagamu lagi sekarang karena Sanghyun sudah kembali,” Seungri menyeringai mengingat percakapannya dengan temannya sebelumnya.

“A-a-pa?”

“Tidak ada apa-apa. Kumohon, tidurlah Chaerin. Besok akan menjadi hari yang panjang,”

**

“Seunghyun?” Bom bangun saat merasakan di sisinya dingin dan kosong. Berapa lama dia tertidur setelah Seunghyun bercinta dengannya? Mengira-ngira waktu dengan melihat sekelilingnya, sepertinya sekarang sudah tengah malam. Sangat gelap dan kamar mereka hanya disinari oleh sebuah lilin kecil. Bom segera menyelimuti tubuhnya dengan selimut dan berdiri untuk mengambil jubahnya dan segera keluar dari kamar untuk mencari suaminya.

“Seunghyun?” panggilnya sambil berjalan menyusuri korisor dan kemudian dilihatnya seberkas cahaya dari arah ruang belajar. Bom membuka pintu dan benar saja dia menemukan Seunghyun yang hanya mengenakan jubah dan celanya, kepalanya diletakkan di atas meja.

Bom tidak lagi memanggil suaminya. Dia berjalan perlahan ke sisinya dan mengelus rambut panjang Seunghyun, membuat pria itu segera bangun, terkejut melihat istrinya telah berada di hadapannya.

“Yeobo… apa yang Anda lakukan di sini?”

“Kau tidak ada di sisiku.” Katanya berterus terang.

“Oh… maafkan saya.”

“Apakah kau sedang sibuk? Demi Tuhan, Seunghyun kumohon berhenti membuat dirimu semakin tertekan. Kau juga butuh istirahat.”

“Tidak… saya hanya…”

“Hanya,” Bom menyadari ketakutan pada nada bicara suaminya. Dia segera menangkup wajah Seunghyun. “Apa yang membebanimu?”

“Kemarilah,” Seunghyun menarik Bom ke dalam pangkuannya, membuatnya menghadap kertas-kertas di meja kerja.

“Kami sudah berhasil menyusun rencana…”

“Oh Tuhan, ini—,”

“Kami menggabungkan semua informasi yang berhasil kami kumpulnkan dan hasilnya… hasilnya… sudah terbukti… bahwa ayah sayalah yang menjadi dalang dari semua ini,”

“Seunghyun…”

“Kami sudah selesai merencakan semuanya. Ayah Anda sudah tahu mengenai Dara karena Menteri Kim sudah memberitahukan kepada Raja. Bahkan Raja berkenan untuk bertemu langsung dengan Dara. Beliau ingin Pangeran membawa Dara menghadap. Semua catatan, pernyataan, dan bukti-bukti akan diserahkan kepada Raja besok, dan lusa, adik Anda akan dinobatkan sebagai Raja. Beliaulah yang akan…” Seunghyun tersedak oleh perkataannya sendiri dan Bom berbalik untuk melihatnya, namun yang ditemukannya adalah suaminya itu tengah menangis.

“Adik Andalah yang akan menjatuhkan hukuman kepada ayah saya…”

“Oh, Seunghyun.” Bom menangkup wajah Seunghyun dan menghapus air matanya. Tidak pernah dilihatnya suaminya sehancur ini. Tidak perduli seberapa jahatnya Penasehat kerajaan, tidak ada yang bisa menghilangkan kenyataan bahwa dia adalah ayah dari suaminya.

“Kenapa dia harus menjadi orang jahat? Kenapa?” Seunghyun bertanya kepada Bom yang hanya  bisa menggelengkan kepala. “Dia tetaplah ayah saya. Ayah saya sendiri yang akan saya adili, Bom. Saya yang akan menghukumnya dengan hukuman mati. Ayah saya sendiri…”

“Seunghyun, tenanglah, kumohon,” Bom menarik suaminya padanya, memeluknya seperti anak kecil dan tidak ada kata-kata yang bisa dia ucapkan untuk menenangkan Seunghyun, karena tahu hati pria itu pasti hancur – terbagi antara tugasnya sebagai abdi Putra Mahkota dan perasaannya sebagai seorang anak.

**

Jiyong berguling ke sisinya, menarik Dara padanya, menikmati saat-saat menenangkan setelah percintaan mereka. Berusaha mengambil nafas dan tetap saling memeluk satu sama lain, Jiyong mencium kening Dara sementara wanita itu mengelus wajahnya, keduanya seolah tersesat dalam surge mereka sendiri.

“Aku adalah pria yang beruntung, sangat beruntung,” Jiyong memeluk Dara erat sambil mengelus rambut panjang wanitanya.

“Dan saya adalah wanita yang beruntung. Dari seluruh Joseon, Putra Mahkota memutuskan untuk memilih saya. Mencintai saya… bercinta dengan saya,” dia tersenyum nakal, mengingat hubungan intim yang mereka lakukan. “Sepertinya saya ingin mengunjungi Taman Barat. Saya menrindukan pohon sakura di sana… gazebo yang sering kita datangi saat kita masih kecil…”

“Kurasa aku harus membuat pohon sakura itu sebagai tempat keramat,” potong Jiyong dan sedikit mengangkat wajah Dara. “Karena di sanalah tempat pertama kali aku melihatmu,” Dara tersenyum padanya.

“Kita masih sangat kecil waktu itu. Dan sekecil itu, Anda sudah berani mencium saya. Anda benar-benar bocah mesum, Jeoha,” Dara menyipitkan matanya dan saat melihat sang Pangeran menggigit bibirnya karena rasa bersalah, dia tertawa keras.

“Itu semua salahmu. Kau benar-benar tak tertahankan,” dia menyentuh bibir Dara dengan ibu jarinya kemudian menciumnya ringan. “Selalu manis.” Dara mendelik.

“Lihat? Itu hanya keberuntungan. Jika waktu itu Anda tidak—,”

“Aku mencintaimu. Itu bukan hanya sebuah keberuntungan.”

“Lalu kenapa Anda menyebut diri Anda beruntung? Saya juga mencintai Anda,” Dara menatapnya.

“Aku lebih dulu jatuh cinta padamu. Dan aku beruntung karena berhasil membuatmu juga jatuh cinta padaku setelah bertahun-tahun berkerja keras. Oh, Dara, kau benar-benar sudah berhasil menaklukkanku. Kau langsung memilikiku hanya dengan satu ciuman itu. Apa aku mengatakan hal yang masuk akal?” tanyanya seperti bocah kecil yang kehilangan arah dan Dara hanya mencium bibirnya ringan.

“Saya rasa saya hanya akan berpegangan pada alasan Anda yang masuk akal saja, Jeoha.”

“Kedengarannya… bagus. Sekarang katakan padaku, apa ini?” tanyanya menarik tali hitam yang terkalung di leher Dara. “Kau tidak sedang menyihirku dengan ini, benar bukan?”

“Tentu saja tidak!” teriak Dara. Berani sekali dia berkata seperti itu!

“Aku hanya bercanda,” Jiyong tersenyum. “Sekarang katakan padaku,”

Dengan malu-malu Dara bangun dan membelitkan selimut di tubuhnya, lalu menarik lepas tali yang di lehernya. “Apakah Anda masih menyimpan cincin saya?”

“Cincinmu? Itu sudah menjadi milikku,”

Dara menggelengkan kepalanya. “Pscht… saya tidak pernah memberikannya kepada Anda. Itu terjauh dari jari saya secara tidak sengaja. Sekarang, mana?”

Jiyong memberengut dan berdiri untuk mengambilnya di salah satu laci, tanpa mempedulikan bahwa dia masih telanjang, Dara hanya bisa menatap tali tangannya, wajahnya merona merah.

“Kenapa kau tiba-tiba memintanya? Harusnya ini sudah menjadi milikku. Kau telah memiliki cincinku,” tanyanya seperti anak kecil yang dilarang makan makanan manis dan Dara berusaha menahan senyumnya. Dia segera mengambil cincinnya dari tangan Jiyong dan menyeringai pada pria itu.

Dara melepaskan ikatan pada tali dan memasukkan cincinnya pada satu tali yang memiliki kunci emas, sementara sang Pangeran hanya bisa menatapnya dengan penuh rasa penasaran.

“Apa yang sedang kau lakukan?”

“Shhh… diamlah.”

“Kenapa aku malah merasa kagum dengan keberanianmu memintaku diam seperti itu,” balas Jiyong ringan membuat Dara terkikik.

“Maafkan saya,” Dara menggigit bibirnya dan bergeser mendekat, menikmati ekspresi kekaguman yang masih terpasang di wajah Jiyong. Pria itu mengerutkan alis menatap Dara, terpesona dan penuh rasa penasaran.

“Saya sudah mengenakan cincin Anda sejak Chaerin memberikannya kepada saya. Bahkan saat saya masih tinggal di gunung… bahkan sebelum takdir kembali mempertemukan kita. Bahkan sebelum kita bertemu lagi,” kata Dara sambil memakaikan kalung di leher Jiyong, wajahnya merona merah. “Saya rasa Anda juga harus melakukan hal yang sama dan mengenakan cincin saya selau.”

“Aku tidak pernah melihatmu memakai ini,”

“Itu karena saya sudah bersama Anda,” ujar Dara sambil memastikan ikatan talinya kuat. “Sudah… maaf jika ini… terlalu biasa. Tapi saat saya mendapatkan kesempatan untuk ke kota, saya akan membelikan Anda—,”

“Tidak, ini sempurna, aku suka idemu ini. Aku benar-benar menyukainya,” Pangeran memegang kalung pemberian Dara dengan tangannya, tersenyum seperti anak kecil yang baru saja mendapatkan hadiah, sebelum kemudian mencium kening wanita itu. “Terima kasih. Aku tidak tahu jika kau bisa bersikap semanis dan seperhatian ini,”

“Anda benar-benar menyukainya? Benda ini tidak cocok untuk seorang calon raja… ini bukan terbuat dari emas,” Dara mengerucutkan bibir dan meremas-remas jemarinya.

“Percayalah padaku…” Jiyong meraih tangan Dara dan menggenggamnya. “Ini jauh lebih berharga dibandingkan emas atau perhiasan mahal lainnya. Jantungku bahkan berdebar-debar sekarang karena aku senang,”

“Oh, berhentilah bersikap romantic seperti ini, Jeoha.” Dara memutar bola matanya. “Anda membuat saya semakin jatuh cinta pada Anda lagi,”

“Oh, benarkah?” Jiyong meringis dan Dara terkekeh mengingat mereka mudah saja bercakap-cakap hanya dengan selimut menutupi tubuh telanjang mereka. Dara merangkak ke pangkuan Jiyong dan menyandarkan punggungnya di dada pria itu. Jiyog segera melingkarkan lengannya di tubuh Dara.

“Mengenai kuncinya …”

“Ya, aku baru akan menanyakan tentang kunci ini. Kunci apa ini?”

“Mimpi ayah-ayah kita untuk Joseon yang lebih baik,” Dara meraih kunci yang kini telah menyatu dengan tali di leher Jiyong.

“Apa maksudmu?” alis Jiyong saling bertautan.

“Ini adalah kunci untuk membuka peti yang berisikan gulungan itu, Jeoha… mimpi kita. Harapan kita. Kerja keras ayah-ayah kita,”

“Benarkah?”

“Ya. Itu telah berada di tangan kita sekarang. Saya mempercayakannya kepada Anda,”

“Dara…”

“Anda akan menjadi Raja yang hebat. Dan Anda pasti bisa menerapkan hukum itu nanti setelah Anda menjadi Raja. Saya percaya kepada Anda. Saya mendukung Anda, Jiyong,” Dara mendongakkan kepalanya dan menatap Jiyong, mengelus pipinya dan dia dihadiahi oleh senyuman hangat dari pria itu dan digantikan oleh suara tawa.

“Saya berkata serius,” Dara menyipitkan matanya.

“Maafkan aku, cinta… bukankah sudah kukatakan padamu seberapa besar efek yang bisa kau timbulkan hanya dengan memanggil namaku?”

“Oh, Jeoha, tolong,”

“Jiyong,”

“Seja Jeoha!” Dara meringis.

“Yah. Sebut namaku. Hanya kau yang melakukannya. Dan Omma Mama ketika beliau memarahi saya saat beliau masih hidup,”

“Benarkah?”

“Neh… jadi sebut namaku, ppalli,” Dara tertawa keras melihat Jiyong cemberut seperti anak kecil.

“Yah,” Jiyong semakin merajuk karena Dara justru kembali tertawa. “Menurutmu itu lucu?” Jiyong mengedipkan matanya dan Dara semakin tertawa karena menurutnya itu lucu. Dia kemudian menatap Jiyong dan menangkup wajah pria itu, mengagumi wajah tampan yang seolah dikirimkan langsung dari surge.

“Jiyong…” Dara menyebutkan namanya pelan. “Putra satu-satunya dari Raja Hyunsuk dari rumah Yi… sang pewaris tahta… yang memiliki lambang naga berjari empat dan akan segera menjadi lima, gonryongpo sutra birunya akan segera berubah menjadi merah dan emas… pria yang hatinya tidak perlu diragukan lagi, yang hatinya tidak mungkin tergoyahkan…” Jiyong meringis lebar menunggu pujian selanjutnya dari kekasihnya.

“… dia adalah bocah yang kenakalan dan sifat keras kepalanya tidak mungkin bisa dilupakan,”

“Y-y-ah…”

“… dia adalah pemuda yang ingin menikahi putri dari Penasehat Kerajaan pada usia yang masih sangat belia,”

“Dara… aisht. Bagus sekali caramu merusak suasana,” Jiyong memutar bola matanya, meski begitu pipinya merona merah.

“Dan saya lega dia masih tetap menjadi orang yang sama,” Dara tersenyum padanya.

“Dibalik semua gelar kerajaannya, dia masihlah pria yang saya cintai dan dia tidak pernah berubah sedikit pun bagi saya. Tidak… keyakinannya tidak pernah berhenti. Dan di balik semua kekuasaan dan kekuatan yang dia miliki, dia masihlah memiliki hati yang baik. Dan itu adalah Pangeran yang saya kenal, tidak peduli dengan penilaian semua orang. Itulah Pangeran yang saya cintai dan akan tetap saya cintai sampai nafas terakhir saya. Dirinya yang sebenarnya. Jiyong yang sebenarnya,”

“Dara,”

“Saya mencintai Anda. Saya harap ini akan segera berakhir. Saya ingin menjalani kehidupan normal bersama Anda. Jauh dari smeua rasa sakit dan kebencian. Jauh—,”

“Aku sangat mencintaimu. Aku sangat bahagia. Kau selalu bisa membuatku bahagia. Sangat bahagia,” Jiyong mencium rambut Dara dan memeluknya. “Ini akan segera berakhir. Dan kita akan menikah. Dan memiliki anak… oh. Putri dan Pangeran kecil kita. Kita akan membesarkan mereka bersama… oh… Ayahanda pasti akan sangat senang,” Jiyong tidak mneyadari dia menangis memikirkan masa depan mereka bersama.

“Di mana pun Ibunda berada sekarang, beliau pasti berbahagia untukku. Beliau berkata padaku untuk mencari Ratu yang akan selalu berada di sisiku. Yang akan membantuku dalam setiap keadaan. Yang cukup kuat untuk menuntunku menuju jalan yang benar jika aku tersesat… itu adalah dirimu. Aku benar-benar diberkati karena pilihan hatiku benar. Oh, aku sangat mencintaimu… aku tidak sabar agar semua masalah di sekitar kita selesai,” sang Pangeran terus meremas tubuh Dara dalam pelukannya, meringis lebar karena kebahagiaan yang mereka rasakan.

“Mari kita pergi keluar besok, Jeoha.” Kata Dara tiba-tiba membuat Pangeran langsung melepaskan pelukan mereka untuk menatapnya.

“Keluar?”

“Ya… kita… Jeoha… saya mohon… ijinkan saya untuk… untuk melihat Ilwoo oppa,” Jiyong langsung tegang mendengar nama pria itu disebut.

“Ilwoo? Dara kurasa itu tidak mungkin. Maafkan aku—,”

“Jeoha… saya hanya perlu bicara padanya… ini sangat penting. Jika Anda berkenan, Anda bisa menemani saya dan kita akan membawa satu kompi pasukan. Saya mohon?”

“Dara tidak… itu terlalu berbahaya,”

“Kenapa? Kami hanya akan berbicara. Saya merasa bersalah karena sudah meninggalkannya begitu saja padahal sejak awal, dialah yang telah membantu saya. Saya mohon? Bisakah Anda mengijinkan saya menemuinya?”

“Dara,”

“Saya mohon, Jiyong?”

Jiyong melihat harapan di mata Dara dan dengan tak berdaya dia memejamkan matanya. Bagaimana bisa dia menolak permintaan wanita itu dengan tatapan seperti itu dan wajah cantinya? “Oh Tuhan. Bagaimana bisa aku menolakmu?” Jiyong berdecak lidah dan menggelengkan kepalanya. Apakah ini akan berbahaya? Dia meragukan hal itu. Mereka harus berada di sana pagi-pagi. Dia juga perlu mendengar pria itu. Melihatnya dalam tekanan. Mendengar suaranya dan membuktikan kecurigaannya sendiri.

“Jadi… apakah Anda setuju?”

“Ya. Kita akan berangkat pagi-pagi sekali. Sekarang pergilah tidur,” Jiyong meniup lilin dan menarik Dara bersamanya kembali berbaring di kasur.

“Apakah Anda marah?” Dara mulai merasa cemas melihat perubahan sikap Jiyong yang tiba-tiba. “Maafkan saya—,”

“Tidak, aku tidak marah, My Lady. Aku menyetujui permintaanmu. Sekarang tidurlah. Kemari,”

“Benarkah? Oh… saya mencintai Anda, Jiyong,” Dara mulai menciumi bibir Jiyong dan pria itu hanya bsia mengerang, nafasnya terengah saat mendorong Dara menjauh.

“Park Sandara, tidurlah. Sebesar apa pun inginku dengan ciuman darimu, Tuhan. Maafkan aku… kumohon jangan… tidak sekarang… mari kita tidur.”

“Kenapa saya tidak boleh mencium Anda?”

“Karena jika kau terus menciumku, aku mungkin akan melupakan tentang tidur dan malah menikmati mala mini denganmu. Jadi kumohon. Tidur.”

Dara hanya bisa memutar bola matanya dan menarik selimut untuk menutupi tubuhnya. Dia lalu menarik Jiyong ke dadanya, memeluknya membuat pria itu terkejut.

“Terima kasih. Sekarang tidurlah… cinta,”

“Itu perkataanku,” Jiyong terkekeh.

“Tidur,” Dara tersenyum dan memejamkan matanya, mencium aroma rambut Jiyong sambil mengelusnya.

“Ya, Ratuku. Aku akan tidur dalam pelukanmu. Terima kasih untuk hadiahnya. Aku pasti akan merawatnya dengan baik selamanya,” kata Jiyong merasakan kalung pemberian Dara dengan jemarinya.

“Ya… Anda harus melakukannya. Jangan pernah melepaskannya… itu adalah saya… bawalah selalu bersama Anda… selalu…”

**

“DI SANA! DI SEBELAH SANA! PEMBUNUH GELAP BERGERAK KE ARAH SANA! CEPAT!”

Penjaga Istana berlarian menuju ke arah sungai mengejar pembunuh gelap yang baru saja melakukan pembunuhan pada salah seorang pejabat dan bawahannya, namun begitu dia menghilang dalam kegelapan malah, mereka kehilangan jejaknya.

“Aisht!” salah seorang Penjaga Istana mengeluh pasrah.

“Jangan bilang kalian tidak berhasil menangkapnya lagi???” salah satu orang kepercayaan Penasehat Choi bertanya. “Kita harus segera bergerak. Penasehat Choi menerima sebuah ancaman dan jika kalian tidak tahu bagaimana cara mengakhiri hal ini, kami yang akan melakukannya!”

“Pak,” salah seorang pria berlari keluar dari hutan.

“Ada apa?” dia berbalik dan menemukan tangan pria itu berlumur darah.

“Dia terluka.”

Pria itu menyeringai dan menatap pasukannya dengan senyum kemenangan.

“DIRIKAN KEMAH DI TEPI HUTAN! DAN IKUTI JEJAK DARAH SETELAH MATAHARI TERBIT!!!”

“YEH!!!”

**

Berusaha tetap berpijak dengan benar dalam kegelapan, berusaha keras menemukan jalan untuk pulang, dia memegangi lengannya yang terluka, mencengkeram kuat lukanya dan menggit bibir untuk menahan suaranya agar tidak keluar, dan kemudian dia menyeringai. Terdapat cahaya samar dari dalam gubuk tua di depan pandangan matanya, kepulan asap menajamkan seluruh inderanya. Ada seseorang di dalam.

Mungkinkah itu sama seperti sebelumnya? Jantungnya berdebar keras. Dia sangat merindukan wanita itu. Senyumannya. Pelukannya. Perhatian yang tadinya hanya untuk dirinya seorang. Kesepian melandanya. Dan kemudian itu berubah menjadi kepedihan. Kebencian pada Pangeran dan keluarganya.

Perlahan, dia mengintip dari sela dinding kayu. Tidak ada seorang pun. Dia memutuskan untuk mencabut pedangnya dan mendobrak masuk. Perlahan-lahan dia berjalan memutari dapur, namun tidak menemukan siapa pun, dia beranjak masuk menuju ke ruang tengah dan dia disambut oleh seorang pria yang duduk di lantai menatap ke arahnya.

Pria itu juga mengenakan pakaian serba hitam. Hanya saja wajahnya tidak ditutupi. Wajah itu, sangat dikenalnya, sama persis dengan wajah wanita yang dia cintai.

“S-s-anghyun?”

“Hyung,” pria yang lebih muda itu berdiri. “Aku sudah menunggumu,”

“Apa yang kau lakukan di sini?”

“Kau terluka,” Sanghyun tidak menjawab pertanyaannya.

“Aku… aku b-b-aik saja… aku terjatuh karena gelap… aku… aku tidak sengaja—,”

“Kau tidak perlu meyakinkanku seperti itu, hyung. Kurasa hal itu tidak akan bisa membodohiku,” kata Sanghyun, tidak mengalihkan pandangan matanya. “Kumohon, ceritakan semuanya padaku,”

Ilwoo tersentak. Dia ingin sekali bertemu dengan pria di hadapanya sekarang, tapi tidak berpikir akan secepat ini, khususnya dengan keadaannya sekarang. “Jawab aku lebih dulu. Apa yang kau lakukan di sini?”

“Sederhana.” Sanghyun dengan mudahnya melangkah mendekat, mengenggam pedangnya kuat sampai memaksa Ilwoo untuk mundur.

“Aku ke mari untuk membawamu kembali dari kegelapan dan aku bertaruh dengan keberuntunganku untuk membawamu kembali ke jalan yang terang. Tapi jika kau menolak… maka, kau harus menjawab pedangku,”

“Hentikan semua omong kosong ini, Sanghyun! Apakah kau juga sudah buta?”

“Ya aku sudah buta. Tapi aku sekarang telah melihat cahaya. Kau hentikan ini semua, hyung! Aku akan memberimu waktu sampai besok. Kumohon. Pilihlah jalan yang benar,”

**

<< Previous Next >>

35 thoughts on “The King’s Assassin [45] : Light and Dark

  1. Semakin dekat, jiyong oppa bakal jadi raja dan dara unnie bakal menyusul jadi ratu. Semuanya bakal kembali seperti semula. Tapi, kasihan sama seunghyun oppa, harus ngelawan penasehat choi yg jelas jelas appanya sendiri #kok puitis gini sihh#

Leave a comment