NEVER TOO LATE [Chap. 2]

by Zia Nisa

[Length : Chaptered]

Romance Comedy; School-life (Rate T)

Main Cast : Kwon Jiyong; Park Sandara; Lee Donghae; Jung So-jung

~~~

 

[Dara POV]

 

Pagi ini aku merasa kurang enak badan. Sepertinya ini adalah efek dari pertemuanku dengan kakak sepupu So-jung kemarin. Sial, aku sudah berubah menjadi gadis picisan hanya dalam waktu kurang dari dua puluh empat jam. Tapi cinta memang bisa mengubah segalanya, kan?

“Itu bukan cinta.” dengus Chaerin yang menyetir di sebelahku. Ia menoleh sambil mengangkat bahu, “Itu hanya perasaan kagum berlebihan karena melihat laki-laki tampan.”

Aku menggeleng. “Jangan coba mengguruiku, Rin-ah. Aku kenal perasaanku. Lagipula, bukankah kau mengalami hal yang sama dengan Choi Seung-hyun?”

Karena aku membawa nama-nama Seung-hyun, namja incaran Chaerin sejak musim panas tahun lalu yang tak jauh lebih baik dari Jiyong karena mereka berdua sama-sama menghambakan diri dengan game, Chaerin langsung terdiam. Hari ini sahabatku yang satu ini kembali memotong beberapa centi rok seragamnya. Aku berdoa semoga Seung-hyun segera menyadari dan membalas perasaan Chaerin sehingga ia kembali menuntun sahabatku ini ke jalan yang benar.

Atau justru sebaliknya?

Aku menggeleng-gelengkan kepala untuk menetralisir kembali isi otakku saat Audi milik Chaerin memasuki pelataran sekolah. Wajahnya langsung pucat saat melihat Yoon Il-jung seonsaengnim sudah berdiri di gerbang masuk kecil yang mengarah ke koridor utama dengan membawa rotan panjang.

Aku memutar bola mata, “Baiklah, Chaerin. Tunggu disini dan perhatikan kodeku. Kalau aku sudah melambai kau boleh masuk.”

Yoon seonsaeng adalah wanita berusia pertengahan empat puluh tahun, guru bahasa Inggris yang galaknya minta ampun. Saat sedang kurang kerjaan seperti saat ini misalnya, ia akan datang lebih awal untuk menginspeksi murid. Atau lebih tepatnya mencari-cari kesalahan murid. Rok diatas lutut menduduki peringkat pertama daftar kesalahan tak termaafkan versinya.  Sepertinya ia punya dendam pribadi soal rok mini. Dia benar-benar menjengkelkan karena selalu bertingkah seolah tidak pernah muda.

Tapi aku tahu kelemahannya. Dia suka makan. Dan sangat menyukai sup kacang merah ibuku, sama seperti Jiyong.

“Selamat pagi, seonsaengnim.” sapaku dimanis-maniskan.

Yoon seonsaeng menatapku dengan tatapan menyelidiknya. Ia berdeham kecil lalu meletakkan rotannya di atas kepalaku, “Rambut dikuncir kuda.” lalu rotan turun ke kerah, “Semua dikancingkan. Bagus sekali. Kau memang belum punya sesuatu untuk dipamerkan.” Sialan. “Rok.. hmm, bagus, kau lulus, Park Sandara. Silahkan masuk.”

Aku tersenyum tipis dan mencoba menemukan suara manisku lagi. “Seonsaengnim. Kenapa Anda jarang ke kedai ibu saya lagi? Padahal ibu baru saja menemukan resep baru. Kau tahu, semacam rempah-rempah..”

Manik sipit Yoon seonsaeng melebar. Hatiku tertawa terbahak-bahak. Aku membuat gerakan melambai seolah-olah menaikkan tali dalaman yang melorot. Ekor mataku menangkap gerakan Chaerin membuka pintu mobil dengan terburu-buru dan bersiap berlari ke arahku.

“Coba lihat disana itu.” aku menunjuk ke tumpukan daun maple di belakang Yoon seonsaeng.

 

Dia menoleh ke belakang dan sekonyong-konyong Chaerin dari arah parkiran berlari kencang dan memasuki gerbang. Ia mendekap tas dalam pelukannya dan berlari sambil menunduk seperti banteng. Rok mininya berkibar-kibar dan aku melihat Lee Seungri menganga di dalam mobilnya melihat kejadian itu.

“Ada apa dengan daun-daun itu?” pertanyaan Yoon seonsaeng membuat tawa tanpa suaraku terhenti. Ia menatapku heran.

“Tidak. Aku hanya.. hanya ingin mengucapkan Selamat Musim Gugur. Semoga hari Anda menyenangkan.” ujarku sambil membungkuk dan berusaha keras menahan tawa.

***

Chaerin sudah tidak ada di lorong saat aku masuk ke dalam gerbang. Meninggalkan si-pencari-kesalahan yang sedang menceramahi Seungri tentang bahaya merokok, karena dia membawa satu slot rokok. Benar-benar tak tanggung-tanggung. Aku bertanya-tanya apa yang akan ditemukan Yoon seonsaeng saat menginspeksi Kwon Jiyong nanti. Biasanya anak itu lulus, tapi kadang dia membawa barang-barang aneh seperti video game bergambar ‘nyeleneh’. Dan hari ini aku tidak berangkat bersamanya karena dia masih tidur pulas saat aku menggedor pintu kamarnya yang dikunci.

Dia pasti begadang main game lagi. Dasar bodoh.

“Astaga. Apa aku baru saja melihat dewa turun dari langit?”

Pekikan dari seorang gadis membuatku menoleh. Aku melihat sekelompok gadis berkumpul di depan jendela kelas 1-2. Sambil menjerit-jerit. Dan kumpulan itu semakin banyak. Secara otomatis, aku berhenti di tempatku berdiri. Ingin tahu apa yang terjadi.

Sekitar dua puluh detik kemudian, sesosok pria keluar dari ruangan kelas itu. Dan gadis-gadis yang tadinya berkumpul sepanjang jendela kelas langsung berlari mengerumuninya.

Sebenarnya ada apa sih? Apakah Robert Pattinson sudah bosan main film dan memutuskan untuk jadi Guru Olahraga di sekolahku?

“Tolong minggir, nona-nona. Aku tidak bisa lewat.” pria itu berkata dengan gusar. Meski dia berkata dengan cukup pelan, tapi aku berada di jarak yang cukup dekat untuk bisa mendengarnya. Gadis-gadis itu pun langsung minggir, memberi jalan pria itu.

Pria itu. Lee Donghae. Aktor utama dalam mimpiku semalam. Dan penyebab tubuhku yang agak demam hari ini.

Lee Donghae. Pemilik love at the first sight ku.

Astaga. Kenapa aku terdengar seperti narator opera sabun?

Tatapan elangnya bertemu dengan tatapanku yang mungkin terlihat seperti penguntit yang tertangkap basah. Tatapan itu membuat tubuhku kaku dan perutku mulas. Apakah aku harus pergi dari sini? Atau menyapanya? Pilihan pertama terdengar cukup masuk akal. Yang tidak masuk akal adalah menyapanya karena dia pastinya sudah melupakan namaku.

Tapi karena dunia ini sudah hampir kiamat jadi segala sesuatunya memang tidak masuk akal, secara tiba-tiba bibir Lee Donghae membentuk segaris senyuman. Bukan senyuman biasa. Tapi senyuman lebar seolah dia sudah mengenalku seumur hidupnya.

“Dara.” ucapnya.

Dia melangkah pasti menuju ke arahku. Tatapannya mengunci mataku. Dan aroma yang lebih maskulin dari kemarin–mungkin Bulgari atau entahlah aku tidak pandai menebak bau parfum–semakin tercium dan membuai indra penciumanku. Aku berjuang untuk tetap berdiri tegak dan tidak pingsan karena sel-sel tubuhku mulai merespon kedatangannya secara berlebihan.

“Aku sudah menduga kau tipe anak rajin yang datang pagi-pagi ke sekolah.” dia berusaha bercanda. Tapi rahangku terlalu kaku. Jadi aku tetap berdiri tegak seperti patung sambil terus menatapinya seperti orang bodoh.

“Kau sudah sarapan?” tanyanya.

Butuh dua detik bagi otak pintarku untuk memproses pertanyaan sederhana itu. Lalu butuh tiga detik untukku mengangguk. Astaga, Cinta, kau bisa merubahku menjadi bagaimana saja, tapi jangan jadikan aku bodoh.

Donghae-ssi terkekeh dan menepuk bahuku pelan, “Hei. Santai sajalah. Memangnya aku ini apa sampai kau ketakutan begini?”

 

Sentuhan itu mengirimkan sensasi listrik statis pada tubuhku. Padahal dia tidak menyentuh langsung kulitku. Tapi tepukan di bahu ini juga mengembalikan separuh kewarasanku. Suara dalam kepalaku meneriakiku untuk bersikap wajar. Jadi, dengan suara pelan dan agak serak aku memutuskan untuk bertanya,

“Kenapa.. kenapa.. kau bisa ada disini?” cicitku.

“Aku harus memastikan adik sepupuku sampai di kelas dengan aman. Kau tahu So-jung kan? Katanya dia sering digoda namja mesum saat lewat di koridor.” jawabnya, mengedipkan sebelah mata.

Aku punya perasaan kalau dia sedang mengerahkan segala trik untuk mempesonaku. Tapi aku tidak peduli. Karena sejak awal aku sudah terpesona.

“Oh, begitu.” aku mengangguk mengerti.

“Baiklah. Aku harus pergi.” ujarnya yang membuatku kecewa. Tapi kemudian tangan kanannya terangkat dan dia mengelus puncak kepalaku, “Belajar yang tekun, Dara-ah. Fighting!

Dia berjalan pergi meninggalkanku yang kembali mematung. Wanginya masih ada di koridor ini. Tapi aku masih tidak percaya ini nyata. Karena, Ya Tuhan, ini bahkan lebih manis dari mimpiku semalam!

“Ehm.”

Sebuah suara berdeham menyadarkanku. Aku mengangkat kepalaku dan mendapati sekitar dua lusin gadis tengah berdiri berderet di hadapanku dengan tatapan membunuh.

Saat itu aku tahu, mimpi indah dan mimpi buruk masa SMA ku baru saja dimulai.

***

[Jiyong POV]

 

Sialan. Lagi-lagi aku terlambat bangun. Aku tidak tahu apa penyebabnya, tapi kepalaku sakit sekali pagi ini. Sepertinya anemiaku kambuh karena kurang zat besi. Anemia sialan. Aku harus menunggu sekitar satu jam setelah minum vitamin penambah darah untuk benar-benar bisa merasa sehat. Itu sebabnya aku tidak bisa bangun saat Dara datang dan menggedor-gedor pintuku sambil berteriak-teriak.

Aku curiga jangan-jangan dia tidak bisa membedakan antara rumahku dengan hutan.

Aku berharap dia masih belum mengikuti jejak teman pirangnya, Lee Chaerin, untuk menggunting rok menjadi seperti rok anak TK. Dara naik bus untuk kemana-mana setiap hari dan aku tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi kalau dia berpakaian seperti itu. Untuk itu, aku mengirimkan pesan singkat pada Chaerin agar menjemput Dara di rumahnya.

Tapi aku harus sekolah. Atau aku akan mati bosan di rumah sendirian. Meskipun DOTA bisa menemaniku dengan sukarela seharian penuh, tapi seperti kata Nyonya-Yang-Tahu-Segalanya alias Park Sandara aku harus tetap bersosialisasi dan tidak melupakan kodratku sebagai makhluk sosial.

Maka, disinilah aku sekarang. Di halte depan kompleks, menunggu bus. Pasti akan jauh lebih mudah kalau aku punya mobil. Sebenarnya Ayah sudah meminta bahkan memaksaku untuk bersedia membeli mobil. Aku sudah melihat-lihat Range Rover sebulan yang lalu. Tapi, aku takut jika aku membeli mobil itu semakin memperjelas perbedaan status sosialku dengan Dara. Dulu, kami sama-sama anak orang biasa tapi semua itu berubah sejak usaha ayahku tiba-tiba meledak dan menjadi perusahaan raksasa seperti sekarang. Namun Bibi Shin tetap menjadi penjual sup kacang merah. Dan Paman Park masih pegawai kantoran biasa.

Dara memang tidak pernah secara terang-terangan menunjukkan kecanggungan atau apapun itu. Tapi aku mengenalnya sebaik aku mengenal diriku sendiri. Dia tidak nyaman. Dia ingin mundur perlahan dari hidupku. Itu terjadi sekitar tiga tahun lalu saat dia tidak mau terlihat bersamaku di sekolah.

Omong kosong. Tidak akan kubiarkan itu terjadi.

Kedatangan bus biru yang menuju ke halte depan sekolah bersamaan dengan ponselku yang bergetar. Aku merogoh-rogoh saku sambil merangsek kerumunan yang memasuki bus.

“Halo, Ayah?” sapaku agak keras, meningkahi kebisingan di dalam bus. Aku langsung duduk di kursi belakang, satu-satunya kursi yang masih kosong.

“Suara ribut apa itu?” tanya ayah.

“Aku sedang di bus. Menuju sekolah.” jawabku sambil menguap. Sementara bus terus melaju membelah keramaian jalan arteri Seoul.

Kudengar ayah berdeham dan berkata, “Kesiangan lagi, ha? Apa Dara bersamamu sekarang?”

“Ya. Aku kesiangan. Dan tidak, aku tidak bersama Dara.” jawabku sekenanya.

Terjadi jeda sekitar beberapa detik sebelum ayah berkata dengan datar, “Berkat doamu, Anakku yang bandel, aku menang tender lagi.” katanya santai seolah-olah ia baru saja mendapatkan uang seribu won secara tidak sengaja dan bukannya berjuta-juta dolar.

Kemudian hening. Aku tidak tahu apa yang harus ku katakan karena aku bukanlah tipe anak manis yang akan berkata ‘selamat, Ayah!’ atau ‘kau memang hebat’ dalam keadaan begini. Jadi setelah terdiam cukup lama dan membiarkan suara ahjussi gendut di sebelahku yang sedang memaki-maki tetangganya yang suka kentut sembarangan memenuhi indra pendengaran ayahku di belahan benua Asia lainnya nun jauh disana, aku pun berkata dengan nada sedatar mungkin,

“Jadi, Ayahku yang budiman.” ujarku memulai pertanyaan. “Apakah kau akan membeli perusahaan majalah wanita dewasa, mencari istri anggota girlband, atau semacamnya dengan uang itu?”

Sekonyong-konyong ayahku yang memang penikmat humor sarkas seperti diriku itu tertawa terbahak-bahak. Aku harus menjauhkan telepon sekitar tiga puluh detik sampai tawanya berhenti.

“Pertama-tama.” jawabnya, “Aku akan memastikanmu tidak lagi naik bus bersama orang tak bermoral yang menyamakan tetangganya sendiri dengan chihuahua hanya karena dia tidak bisa menahan hasrat untuk buang angin.”

Aku melirik ahjussi di sebelahku dan bertanya-tanya apakah dia mendengar perkataan ayahku karena tiba-tiba raut wajahnya menjadi masam. Lalu aku bertanya dengan kening berkerut, “Apa maksudmu?”

“Mobil, Jiyong! Astaga..” dia terdengar frustasi, “Anak laki-laki lain bahkan rela mengemis untuk memintanya, sementara kau.. Astaga..”

Aku memutar bola mata. “Aku belum kepingin mobil, Ayah.”

“Omong kosong.” dengusnya. “Aku tahu, Jiyong. Semua riwayat pencarian google-mu hanya seputar Rover atau Supercar.”

Sial. Bagaimana dia bisa tahu?

“Aku sekarang punya segalanya.” tiba-tiba ayah berkata dengan nada yang lain. “Kecuali kemampuan untuk membahagiakanmu. Aku tahu kau tak begitu bahagia. Jadi, jika ada hal yang kuyakini bisa membuatmu senang, aku akan melakukannya.”

Oh. Dasar penyair amatiran. Reputasiku bisa anjlok kalau ketahuan berkaca-kaca di tempat umum. Aku mengedip-ngedipkan mata dengan cepat dan segera menutup pembicaraan sebelum ada produser yang ingin mengangkat percakapan ini menjadi sebuah drama keluarga.

“Baiklah, Ayah. Terserahmu saja. Hati-hati disana.”

Teleponpun ditutup.

***

Setelah memastikan tidak ada yang melihat, aku meloncati pagar pembatas antara halaman belakang sekolah dengan sungai kecil. Aku berjalan perlahan melewati kantin dan kelas demi kelas. Pengalaman terlambat sekolah berkali-kali membuatku pandai berkelit dari zona-zona dimana guru, staf, atau satpam berada.

Maka, kurang dari sepuluh menit kemudian, aku–dengan selamat, sudah berada tepat di depan pintu ruang kelasku yang tertutup. Ruang kelas 2-1. Aku tahu guru Sastra Inggris kami, Do Il-yoo seonsaeng tidak akan pernah datang tepat waktu. Entah mengapa. Maka dengan santai aku membuka pintu kelas.

Cekrek.

 

Seketika suasana gaduh kelas langsung berganti menjadi hening total. Seperti ada angin yang menyedot semua suara berisik mereka.

“Sialan!” teriak Choi Seung-hyun, si brengsek yang selalu mengalahkanku dalam bermain Let’s Get Rich sekaligus teman sebangkuku.

“Kupikir si Do Il-yoo yang datang!”

“Dasar Kwon!”

“Tukang telat!”

Dan seperti ada yang menekan tombol ‘play’, mereka kembali ribut lagi seperti bebek baru dikeluarkan dari kandangnya. Aku melenggang melewati bangku demi bangku seraya memasang tampang innocent lalu duduk di bangkuku, di depan Dara dan si pirang Chaerin yang astaga.. pendek sekali roknya!

“Aku tahu.” tiba-tiba Seung-hyun berbisik, matanya masih memelototi layar ponsel. Bisikannya membuatku mau tidak mau mengalihkan tatapanku dari bawah meja Lee Charerin.

“Tahu apa?”

“Aku tahu apa yang kau lihat, bodoh!” seru Seung-hyun geram, sampai-sampai ia meletakkan ponselnya di atas meja. Ia melirik ke arah Chaerin yang sedang menulis sesuatu dengan headset menyumpal kedua telinganya lalu menatapku,

“Rok pendek itu dimaksudkan untuk menarik perhatianku, jadi hanya aku yang boleh melihatnya.” jawabnya santai.

Aku ternganga selama beberapa detik lalu menepuk belakang kepalanya lumayan keras, “Besar kepala! Yakin sekali kau kalau dia menyukaimu!”

Seung-hyun menyeringai. “Insting, bro. Kau tahu itu kan?”

Aku menggeleng-gelengkan kepala. Berniat untuk mengambil ponselku dan main COC namun tiba-tiba aku tersadar.

Dara tidak menceramahiku. Padahal ia jenis manusia yang tidak akan melewatkan satu pun kesempatan untuk menceramahiku tentang pentingnya hidup disiplin, hidup sehat, dsb., dst.,…

Maka aku pun menoleh ke belakang dan memperhatikan apa yang membuatnya begitu sibuk sampai-sampai tidak menghiraukanku.

Sama seperti Chaerin, dia tengah menyumpal telinganya dengan headset. Bedanya, ia mendengarkan lagu dengan begitu takzim sambil memejamkan mata dan bersandar pada kursi. Padahal biasanya dia mengangguk-anggukan kepalanya seperti orang kesetanan atau menghentak-hentakkan kaki seperti tentara sedang menyanyikan yel-yel.

Dan mukanya.. pipinya.. Merah sekali.

Apa yang terjadi?

Aku bangkit berdiri untuk melepas headsetnya. Kalau Dara punya kecenderungan untuk menceramahiku setiap saat, maka aku punya kecenderungan untuk mengganggunya tiap ada kesempatan. Entah mengapa aku suka melihat wajah marahnya yang sama sekali tidak menyeramkan. Namun, seperti mengerti apa yang hendak kulakukan, Chaerin tiba-tiba melepas headsetnya dan menatapku seraya berkata,

“Jangan ganggu dia kali ini, Kwon Jiyong. Dia sedang menikmati sensasi jatuh cinta pandangan pertama.”

Bersambung…

 

 

A/N : Haiii! Aku minta maaf banget ya karena ngaret. Maklum sibuk sekolah, sibuk pula di rumah. Belum lagi sindrom Writers Block-ku yang kambuh-kambuhan ini hehe. Kritik saran ditunggu^^

Zi.

 

7 thoughts on “NEVER TOO LATE [Chap. 2]

  1. Aigoo jiyong sweet banget gamau beli mobil biar gadijauhin sama dara,fix ini mah jiyong ada sesuatu sama dara dan dara masa sama donghe :3
    Next pokonya ditungguu!!

  2. Di balik sikap cuek dan orakan jenong, terdapat berlian. Ya allah. Manis banget, ampe rela kga mau beli mobil camn gegara kga enak ama Dara, takut Daranya minder ma dia 😯 owhh ji kmu pngertian elahh…kmu suka pan ma Dara? Tpi Daranya……lope2 ama Nemo 😂😳😳 next dtunggu

  3. Emang yah cwo cuek itu kalo udh manis bikin greget, jiyong rela gak beli mbil demi dara krna tkut dara minder sama jiyong yg sttus sosialny udh beda aigoooo. Tpi dara lgi terpesona sma nemo tuh wkwk, tahaan yaa ji keluarkan kekuatanmu utk menaklukkan sandara park wkwk

Leave a comment