Princess’s Mask… [Chapter 8]

PM

Author : Astrella
Adaptation by chichan

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

“Sialan kau, Jiyong!”

Seungri melihat Dara yang sedang berada di antara bunga-bunga di taman. Gadis itu tampak seperti peri pagi dengan gaun putihnya yang sederhana. Dara menyentuh pucuk-pucuk dedaunan di sekitarnya dengan penuh kasih sayang.

“Kalau tahu Putri Kerajaan Silla secantik peri, aku pasti akan melamarnya sebelum engkau. Kalau tahu ia sangat cantik, aku pasti akan semakin keras melarangmu melamarnya.”

“Aku tidak menyuruhmu tidak mengambil resiko,” Jiyong berkata tenang.

“Ya, engkau tidak menyuruhku. Juga tidak ada yang menyuruhmu mengambil resiko menikahi Putri Kerajaan Silla yang kata orang jelek, gemuk, dan sebagainya,” Seungri berkata tanpa sedikitpun melepaskan pandangan dari Dara.

“Engkau mengambil resiko dan engkau mendapatkan berkat,” Seungri terus menggerutu, “Kau sangat beruntung. Kau tahu itu?”

“Ya, aku juga merasa seperti memenangkan hadiah yang sangat besar dalam perjudianku.”

“Memang seharusnya engkau merasa seperti itu. Putri Dara cantik dan mungil seperti peri. Siapapun yang tidak mempercayai adanya peri, pasti percaya ia adalah seorang peri. Tetapi sayang, ia telah menjadi milikmu.”

“Ia cantik dan cerdas, tetapi aku merasa ada sesuatu yang salah padanya. Sesuatu yang kurang.”

“Kurang?” Seungri baru beralih dari Dara, “Gadis sesempurna itu masih kau bilang kurang? Aku heran padamu, Jiyong. Gadis itu adalah gadis impian tiap orang. Cantik, manis, mungil, seorang Putri dari kerajaan yang makmur. Ia memiliki segala yang diinginkan tiap gadis dan itu masih kaubilang kurang? Kalau engkau tidak mau dengannya, Jiyong, berikan saja ia padaku dan aku akan merasa sangat beruntung.”

“Ia memang sempurna, tetapi aku merasa ada yang kurang padanya. Aku tidak tahu apa itu tetapi aku merasakannya.”

“Aku tidak mengerti engkau, Jiyong,” Seungri kembali memperhatikan Dara, “Dulu engkau berani mengambil resiko menikah dengan gadis yang buruk rupa. Sekarang setelah mendapatkan seorang peri, engkau masih merasa tidak puas. Kalau engkau lebih menyukai gadis buruk rupa, berikan ia padaku.”

Jiyong tidak mendengarkan perkataan sahabatnya itu. Ia melihat Seungri masih saja memandang ke bawah ke Dara di taman melalui jendela. Sejak muncul di Ruang Duduk di tingkat tiga ini, Seungri terus memandang ke bawah dan tidak menoleh saat berbicara dengannya.

“Sebaiknya engkau tidak terus menerus memperhatikannya, Seungri,” Jiyong memperingati, “Dara mempunyai perasaan yang tajam. Kemarin dalam jamuan makan siang di Gedung Pertemuan, Dara tahu Jessica memperhatikannya walau Jessica duduk jauh darinya.”

Seungri tiba-tiba merapat di dinding. “Mengapa engkau baru memberitahuku sekarang, Jiyong?” gerutunya. “Ia baru saja melihat ke arah sini.”

“Engkau masih beruntung ia hanya melihatmu. Kalau ia memanggil Hwarang, aku tidak yakin apakah engkau masih selamat.”

“Hwarang ada di sini?” tanya Seungri tak percaya.

“Ya, kemarin Dara memberitahuku. Ia mengatakan Hwarang telah mengikutinya sejak ia meninggalkan Kerajaan Silla.”

“Dan engkau tidak mengetahuinya,” tebak Seungri.

“Seperti yang semua orang katakan, Hwarang memang hebat. Ia menjadi penumpang gelap di kapal dan tidak ada seorang prajuritpun yang tahu. Kau tahu prajurit yang waktu itu kubawa adalah prajurit terbaik Kerajaan Goguryeo. Kalau prajurit terbaik saja tidak bisa merasakan keberadaan Hwarang apalagi orang biasa.”

“Engkau yang mempunyai perasaan tajam juga tidak dapat merasakan keberadaannya. Mereka benar-benar hebat membuat aku ingin mencoba kehebatan mereka.”

“Sebaiknya engkau tidak melakukannya, Seungri. Kata Dara, mereka seperti pembunuh bayaran kelas tinggi yang diperintah untuk melindunginya dari setiap ancaman.”

“Aku mengerti,” kata Seungri. Tetapi Jiyong melihat mata pria itu mengatakan lain. Ia tahu pria itu mempunyai rencana.

“Terserah engkau, Seungri. Bila terjadi sesuatu padamu, jangan katakan aku tidak memperingatimu.”

“Bicara tentang Jessica,” Seungri mengalihkan pembicaraan, “Kemarin aku melihat ia mencegat Ratu Dara di koridor. Engkau pasti tertawa geli kalau mengetahui apa yang diperbuat perimu itu padanya.”

“Apa yang telah terjadi di antara mereka?”

“Tidak terjadi apa-apa. Kemarin Jessica mencegat Ratu Dara dan mengolok-oloknya.”

Jiyong terkejut.

“Jangan khawatir, ia mengucapkannya dalam bahasa Prancis.”

“Untunglah. Kalau tidak, aku tidak tahu apakah ia masih selamat hari ini.”

“Semula aku juga berpikir demikian tetapi siapa yang menyangka kalau yang terjadi berlawanan dengan yang kita pikirkan.”

“Apa yang telah terjadi, Seungri?” tanya Jiyong cemas.

“Akan kuceritakan apa yang kudengar,” kata Seungri, “Kemarin Jessica berkata panjang lebar tetapi aku masih ingat sedikit-sedikit. Aku tidak ingat jelas tetapi pada intinya ia berkata, ‘Engkau wanita yang tidak pantas. Gadis bisu sepertimu sama sekali tidak pantas untuk menjadi Ratu Kerajaan Goguryeo. Pantas Raja Hyun-suk mengurungmu dalam Istana Seoya. Kalau bukan karena ingin menguasai kerajaanmu, Raja Jiyong tidak akan menikahimu. Baginya engkau adalah alat untuk menguasai Kerajaan Silla. Tidak lebih dari itu! Engkau harus mengerti itu. Kalau bukan karena menguasai Kerajaan Silla, Raja Jiyong pasti akan menikah denganku. Aku telah mengenalnya jauh sebelum engkau mengenalnya dan aku lebih pantas menjadi Ratu Kerajaan Goguryeo daripada engkau. Engkau mengerti?’”

“Ia mengatakan itu?” Jiyong tak percaya.

“Ya, itulah yang dikatakan Jessica. Tetapi jangan berpikir lega dulu. Ketika aku mendengarnya, aku merasa marah. Aku berpikir bagaimana mungkin Jessica bisa menghina seorang Ratu seperti itu. Saat itu aku bersyukur Jessica mengatakannya dalam Bahasa Prancis. Aku tidak dapat membayangkan apa yang terjadi kalau ia mengatakannya dalam Latin Kuno atau Inggris.”

“Rasa syukurku itu hanya sampai di situ. Sebab kemudian Putri Dara menjawab pertanyaan Jessica itu dalam Bahasa Prancisnya. Aku terkejut sekali mendengar ia dengan Bahasa Prancisnya yang fasih berkata, ‘Saya mendengar dan mengerti semuanya, Mademoiselle.’”

Jiyong terkejut. “Aku tak menyangka.”

“Aku pun juga tak menyangka apalagi Jessica. Wanita itu sampai pucat pasi mendengar jawaban itu. Aku yakin ia akan segera meninggalkan Kerajaan Goguryeo.”

“Ya, itu cukup menjelaskan isi surat ini,” Jiyong mengangkat sebuah surat.

“Aku ingin melihatnya.”

Seungri mengambil surat itu dan membacanya.

Maafkan saya, Paduka, saya tidak sempat pamit pada Anda.
Saya harus  kembali ke Paris. Ada urusan mendadak yang 
harus saya selesaikan.
Saya senang dapat tinggal di Istana Gungnae.

Jessica.

Seungri membelalak menatap Jiyong.

“Tadi pagi pelayan memberikannya padaku. Katanya kemarin malam saat meninggalkan Istana Gungnae, Jessica menitipkan surat itu padanya.”

“Ia memang harus pergi secepatnya. Ia telah menghina seorang Ratu di hadapan Ratu itu sendiri dan itu akan berakibat buruk baginya kalau ia tetap tinggal di sini.”

“Apalagi Ratu itu dilindungi oleh pasukan rahasia yang tidak akan segan-segan membunuh siapa saja yang berani mengusik Ratunya,” timpal Jiyong.

“Aku lega akhirnya wanita itu kembali ke Paris dan aku yakin ia tidak akan kembali.”

“Jangan melihatku dengan pandangan menuduh seperti itu, Seungri. Aku tidak mengajaknya ke sini. Ia sendiri yang ikut dan ia sendiri yang meminta diijinkan tinggal di sini. Aku tidak bisa menolaknya sebab selama aku di Paris, ia banyak membantuku ketika aku mengalami kesulitan.”

“Karena wanita itu aku mengalami kesulitan. Ia selalu menempel padaku dan selalu menanyakan padaku mengapa engkau tidak mencintainya. Karena dia, semua wanita menjauhiku. Ia bukan wanita yang ramah untuk diajak bersaing, Jiyong.”

“Sekarang ia sudah pergi, Seungri. Bukan saatnya lagi engkau menasehatiku. Sekarang aku telah menikah.”

“Sekarang aku juga baru mengerti mengapa engkau tidak jatuh cinta pada wanita cantik itu. Sejak awal engkau memang berniat menikahi Putri Kerajaan Silla.”

“Maukah engkau memanggilkan Dara untukku?”

“Engkau bisa menyuruh pelayan.”

“Katamu engkau ingin mengenal Dara dan berbicara dengannya? Kalau engkau tidak mau, aku akan menyuruh pelayan.”

“Tidak perlu,” Seungri tiba-tiba menjauhi jendela, “Akan kupanggilkan dia untukmu. Aku juga ingin mencoba kehebatan Hwarang.”

“Jangan lakukan itu, Seungri!” cegah Jiyong.

Seungri melesat pergi tanpa mendengarkan larangan Jiyong. Dengan hati riang ia menuju taman. Sekarang ia mempunyai alasan untuk berbicara dengan Dara dan kalau ia beruntung, ia dapat membuat Hwarang muncul.

“Paduka Ratu!”

Dara menoleh perlahan.

Seperti biasa, Seungri terpesona melihat kecantikkan Dara.

“Ada apa, Seungri?” kata Dara membuyarkan lamunan Seungri.

“Saya ingin berbicara dengan Anda,” kata Seungri sambil mendekati Dara.

Dara merasakan Seungri memiliki rencana tertentu terhadapnya, tetapi ia tetap bertanya tenang, “Apa yang ingin Anda bicarakan?”

“Anda sangat cantik, Paduka. Mengapa Anda sendirian di sini?” Seungri terus mendekat, “Anda bagaikan bunga yang tiada taranya di taman bunga ini. Kecantikkan Anda mengalahkan kecantikkan semua bunga di sini. Anda membuat saya terpesona, Paduka.”

Seungri terus mendekat dan ketika ia telah dekat dengan Dara, ia mengulurkan tangannya meraih dagu Dara.

Dara berpegangan pada pohon dibelakangnya. Dengan tenang ia berkata, “Sebaiknya Anda menjaga sikap, Tuan Seungri.”

“Bagaimana saya bisa menjaga sikap, Paduka?” tanya Seungri, “Anda telah mempesona saya dan membuat saya melupakan segalanya.”

“Anda harus mengingat siapa saya, Tuan Seungri,” Dara mengingatkan.

“Saya tahu. Anda adalah Ratu Kerajaan Goguryeo dan istri sahabat saya. Tetapi, saya tidak dapat menghilangkan perasaan terpesona ini. Anda sangat cantik Paduka dan membuat saya tidak dapat menahan diri.”

Seungri semakin mendekatkan wajahnya. Ketika Seungri hampir mencium bibir Dara, tiba-tiba seseorang berdiri di belakang Seungri dan melingkari leher Seungri dengan pedangnya yang lentur tetapi tajam.

“Sebaiknya Anda menjauhi Paduka Ratu sekarang juga,” suara itu memperingatkan tajam, “Atau saya tidak akan segan-segan membunuh Anda.”

Tiba-tiba Seungri merasakan bahaya di sekitarnya. Jiyong telah memperingatinya untuk tidak mengusik Dara dan sekarang ia merasakan akibatnya. Ia merasakan perasaan yang sama dengan ketika ia berada di Istana Seoya. Ribuan mata serasa menatap tajam dirinya. Dan bahaya berada di dekatnya.

Seungri melepaskan Dara dan menjauhinya tetapi pedang tajam itu terus melingkari lehernya. Bahkan orang di belakangnya itu menariknya mendekat dan menempelkan ujung pedangnya yang tajam di lehernya.

Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Seungri merasa ketakutan. Darah dingin terasa mengalir mulai dari kepalanya hingga seluruh tubuhnya. Keringat dingin bercucuran di dahinya.

Tiba-tiba Dara mengatakan sesuatu pada orang itu.

Seungri tidak mengerti dengan bahasa apa Dara memberi perintah pada orang itu. Tetapi seketika itu juga orang itu kemudian melompat ke rimbunnya dedaunan pohon. Seungri merasa lega ketika pedang itu pergi dari lehernya.

“Maafkan saya, Paduka Ratu. Saya tidak benar-benar berniat menggoda Anda,” kata Seungri setengah lega dan setengah ketakutan.

“Tidak apa-apa, Seungri. Saya mengerti,” kata Dara lembut untuk menenangkan pria itu. “Tadi Anda mengatakan ada yang ingin Anda bicarakan.”

“Jiyong memanggil Anda.”

Dara menengadahkan kepala ke jendela Ruang Duduk. Di balik jendela yang tertutup itu, Jiyong tersenyum padanya.

“Terima kasih, Seungri.”

Dara meninggalkan taman bunga.

Dara mengetuk pintu Ruang Duduk dan membukanya perlahan-lahan.

“Maafkan Seungri. Dara. Ia tidak bersungguh-sungguh menggodamu. Aku telah memperingatinya untuk tidak mencoba kekuatan Hwarang tetapi rupanya ia tidak mendengarku.”

“Saya mengerti.”

Jiyong berkata, “Ia adalah salah satu dari mereka bukan?”

Jiyong terus melihat taman sejak Seungri pergi. Jiyong merasa khawatir ketika Seungri terus mendekati Dara hingga Dara mundur perlahan-lahan. Ketika Seungri memegang dagu Dara, Jiyong sangat cemas.

Saat itulah Jiyong melihat sebuah bayangan hitam yang bergerak sangat cepat sebelum seseorang menghunuskan pedang di leher Seungri. Orang itu berbaju serba hitam. Mulai dari rambut hingga kakinya tertutup kain hitam. Jiyong kagum melihat kecepatan orang itu. Setelah Dara mengatakan sesuatu, ia melesat pergi secepat kedatangannya.

“Ada yang ingin Anda katakan pada saya?”

“Aku mempunyai kejutan untukmu, Dara. Aku yakin engkau pasti senang.” Jiyong membunyikan bel dan tak lama kemudian Minzy datang dengan seorang wanita yang amat dikenal Dara.

“Paduka Ratu,” Gummy berseru dan berlari memeluk Dara.

Dara terus menatap Jiyong.

Jiyong tersenyum. “Ketika kita mendarat di pantai itu, aku menyuruh beberapa prajurit menjemput Gummy. Aku tahu engkau akan merasa senang bila di sisimu ada seseorang yang telah kaukenal.”

“Saya sangat senang dapat berjumpa Anda lagi, Paduka Ratu,” kata Gummy terharu, “Saya sangat merindukan Anda. Bunga-bunga Anda juga merindukan Anda. Semua tampak lesu setelah Anda pergi.”

“Tumbuhan memiliki perasaan,” Dara menjelaskan singkat.

Gummy melihat Dara lekat-lekat. “Anda tidak berubah sedikitpun, Paduka Ratu. Anda tetap seperti dulu.”

Dara tidak menanggapi.

Jiyong semakin merasa ada sesuatu yang kurang pada Dara. Di saat ia melihat Gummy tersenyum senang, ia melihat Dara tetap tenang. Wajah cantiknya tetap menunjukkan ketenangannya.

“Kita masih mempunyai banyak waktu sebelum kita ke Incheon,” Jiyong memberitahu.

Karena Jiyong mengatakannya dengan bahasa Inggris, Gummy dapat mengerti. “Mari, Paduka Ratu,” ajaknya.

Di pintu, Gummy tiba-tiba berbalik. “Terima kasih, Paduka. Saya senang Anda mempertemukan saya dengan Putri kembali.”

“Aku senang dapat melakukannya untuk kalian, Gummy.”

Gummy kembali mencurahkan perhatiannya sepenuhnya pada Dara.

Minzy mendampingi mereka kembali ke kamar Dara.

Gummy berulang kali mengatakan kerinduannya pada Dara dan kata-kata penduduk Kerajaan Silla tentangnya. Gummy mengatakan semua orang terkejut karena Putri Kerajaan Silla yang dikatakan buruk rupa itu ternyata sangat cantik. Gummy tampak sangat puas ketika ia menceritakan kekagetan orang-orang itu.

Ia juga mengatakan kekagetannya ketika seorang prajurit Kerajaan Goguryeo datang ke Istana Seoya dan mengatakan Jiyong menyuruh mereka menjemputnya. Tanpa banyak bertanya, Raja Hyun-suk mengijinkannya pergi. Prajurit itu memacu kereta kuda yang ditarik empat ekor kuda, cepat-cepat sehingga ia tiba dalam waktu singkat. Pagi ini ia baru tiba dan langsung disambut Minzy yang segera mengantarnya ke kamarnya.

Tak lupa Gummy mengatakan kesedihan bunga-bunga Dara karena kepergian gadis yang selalu merawat mereka. Tetapi Gummy tidak lupa membawa bunga-bunga yang telah mekar. Karena Gummy merendamnya dengan air segar selama perjalanan ke Istana Gungnae, bunga-bunga itu masih segar. Gummy tidak lupa pada kebiasaan Dara untuk memanfaatkan udara musim gugur untuk mengeringkan bunga-bunga.

Gummy menunjuk tiga keranjang penuh bunga di tengah kamar Dara.

Ketika masuk tadi, Dara dapat mencium wanginya bunga-bunga dari tamannya dan ia telah melihat ketiga keranjang yang diletakkan di tengah kamarnya itu.

Usai bercerita panjang lebar, Gummy menghela nafasnya dalam-dalam dan berkata, “Saya tidak pernah menyangka Paduka Raja Jiyong akan mengijinkan saya mendampingi Anda walau sekarang Anda tinggal di Istana Gungnae.”

“Paduka Raja memang orang yang pengertian,” Minzy mencoba berbicara dengan bahasa Inggris.

“Sebaiknya engkau belajar bahasa kami, Minzy. Aku tidak ingin engkau merasa tersisih ketika kami berbicara.”

“Mungkin sebaiknya saya juga belajar bahasa Latin Kuno. Saya tidak mau seperti orang bodoh yang hanya bisa kebingungan mendengar sekeliling saya berbicara.”

“Sebaiknya kalian saling belajar mengajar.”

Gummy tersenyum. “Anda tidak berubah, Paduka Ratu. Selalu berkata tenang, singkat, padat, dan jelas tetapi bertujuan besar.”

Karena bahasa yang digunakan di Kerajaan Goguryeo agak mirip dengan bahasa Kerajaan Silla, Minzy dapat mengerti sedikit apa yang dikatakan Dara dan Gummy. Ia sependapat dengan Gummy. Dara tidak mengatakan ia ingin Minzy dan Gummy berteman baik tetapi kata-kata singkatnya itu menunjukkan maksudnya.

Dara melihat matahari semakin tinggi. Ia menuju tiang penggantung mantel dan mengambil topinya.

“Anda mau ke mana?” tanya Minzy dan Gummy bersamaan dalam bahasa yang berbeda.

“Panti Carmell,” jawab Dara singkat.

“Anda mau ke Panti Carmell dengan gaun itu?” Minzy terkejut, “Jangan, Paduka. Paduka Raja pasti tidak senang melihat Anda pergi dengan gaun itu.”

“Aku bukan pergi ke pesta,” kata Dara singkat.

“Tetapi, Paduka…”

“Maaf,” Gummy memotong, “Apa yang kalian bicarakan?”

Sejak diberi tugas oleh Jiyong untuk melayani Dara, Minzy telah belajar Bahasa Inggris namun ia masih terbata-bata dalam mengucapkannya.

“Paduka Ratu akan pergi ke Panti Asuhan dengan gaun itu,” Minzy mencoba menjelaskan.

Gummy melihat Dara dari atas hingga bawah. Dengan rambut hitamnya yang dibiarkan tergerai dan gaun putihnya yang sederhana, Dara tidak tampak seperti seorang Ratu. Ia lebih tampak seperti gadis biasa.

“Ke Panti Asuhan dengan gaun itu?” kata Gummy sambil berpikir.

Dara tidak menanti hasil pemikiran Gummy. Ia melambaikan topinya pada kedua orang itu dan melangkah pergi.

“Paduka! Paduka Ratu!” Minzy mengejar Dara. “Saya mohon, Paduka. Dengarkanlah saya. Jangan pergi dengan gaun itu. Gaun itu tidak pantas.”

“Gaun ini pantas,” kata Dara tenang.

“Paduka!”

Dara terus menuju ke kereta kuda yang telah menanti. Minzy juga terus mengikuti gadis itu dan terus memohon.

“Maafkan saya, Paduka Raja,” kata Minzy, “Ratu tidak mau mengganti gaun. Ia memaksa pergi dengan gaun ini.”

“Gaun ini cocok untuk pergi ke Panti Asuhan,” kata Dara tenang.

Jiyong melihat Dara kemudian berkata, “Dara benar, Minzy. Kami akan pergi ke Panti Asuhan bukan ke pesta. Lebih baik mengenakan pakaian yang sederhana bila akan berkunjung ke Panti Asuhan. Tidak baik membuat orang lain menjadi iri.”

Minzy terpana mendengar Rajanya setuju dengan Ratu.

“Sebaiknya aku mengenakan sesuatu yang lebih sederhana.”

Jiyong kembali masuk ke dalam Istana.

“Mungkin Paduka Raja benar,” gumam Minzy setelah terdiam beberapa saat. Sekali lagi Minzy dibuat kagum oleh Dara. Gadis itu tidak mengatakan apa yang dipikirkannya tetapi langsung melakukannya.

“Sebaiknya saya kembali ke kamar Anda dan memulai pelajaran bahasa saya dengan Gummy,” Minzy berpamitan. Minzy membungkuk hormat kemudian masuk kembali ke dalam bangunan megah itu.

Tak lama kemudian Jiyong muncul kembali dan kali ini ia mengenakan kemeja santai yang terbuat dari bahan biasa. Pakaiannya seperti pakaian orang-orang lainnya tidak seperti pakaian seorang bangsawan.

“Mari kita berangkat.”

Perjalanan ke Panti Carmell tidak lama. Dengan kereta yang ditarik empat ekor kuda yang cepat, dalam waktu singkat mereka tiba di Panti Carmell.

Kali ini yang menyambut kedatangan mereka bukan hanya orang dewasa. Banyak anak yang berdiri di depan panti menanti mereka.

“Selamat datang, Paduka,” sambut seorang wanita, “Saya, Yuna, Kepala Panti Carmell siap melayani Anda.”

Seorang anak tiba-tiba berseru, “Peri! Perinya datang!”

Mereka melihat anak-anak yang mulai ribut itu.

“Jangan berisik, anak-anak. Kalian belum memberi salam pada Paduka,” seorang wanita memperingati. Tetapi anak-anak itu tidak dapat diam. Mereka semakin ramai dan berulang kali mengatakan, “Benar. Perinya datang! Perinya datang!”

“Maafkan anak-anak itu, Paduka. Mereka terlalu senang dapat berjumpa dengan Paduka Ratu.”

“Peri yang mereka katakan itu?” tanya Jiyong tertarik. Jiyong melihat Dara yang tetap dengan tenang memandangi anak-anak Panti Carmell itu.

“Benar, Paduka, mereka menyebut Paduka Ratu. Maafkan mereka, Paduka. Mereka tidak mengerti siapa yang mereka sebut peri itu.”

“Aku mengerti mereka, Yuna. Semua orang juga mengatakan padaku Dara lebih mirip seorang peri daripada seorang Putri.”

Yuna melihat Dara. “Kami mengajak mereka menyambut Anda kemarin dan ketika mereka melihat Paduka Ratu memasuki Gedung Pertemuan, mereka mengatakan Paduka Ratu adalah peri.”

Beberapa anak memberontak dari pengasuh mereka. Mereka tidak menghiraukan larangan pengasuh-pengasuh mereka dan berlari mendekati Dara.

“Anda benar-benar seorang peri?”

“Mana sayap Anda?” tanya yang lain.

Dara melihat wajah-wajah polos itu dan tersenyum. “Aku bukan peri dan tidak mempunyai sayap,” katanya lembut.

Seorang anak perempuan menarik tangan Dara. “Ikutlah main bersama, peri.”

Yuna membungkuk dan berkata pada anak-anak itu. “Kalian jangan mengganggu Paduka Ratu. Pergilah bermain.”

Anak-anak membandel. Mereka memegang erat-erat tangan Dara dan berkata, “Kami mau bermain dengan peri.”

Yuna tampak kewalahan menghadapi anak-anak itu. “Maafkan anak-anak ini, Paduka Ratu,” kata Yuna bersalah, “Mereka anak-anak yang nakal. Saya akan membujuk mereka untuk pergi bermain.”

“Mereka di sini untuk menyambut kedatangan kami.”

Yuna menatap Dara lekat-lekat.

Anak-anak itu tidak mau menanti ijin dari orang-orang dewasa di sekitarnya. Beramai-ramai mereka menarik Dara dan membuat gadis itu tidak dapat berbuat lain selain mengikuti mereka.

Melihat wajah bersalah Yuna, Jiyong berkata, “Tidak apa-apa, Yuna. Anak-anak itu menunjukkan rasa sayang mereka pada Dara. Dara juga tampak senang dapat menemani mereka.”

Yuna melihat Dara yang seakan-akan menjadi mainan anak-anak itu dengan pandangan bersalah.

“Bagaimana perkembangan tempat ini, Yuna?”

Yuna memalingkan kepala. “Seperti tahun-tahun sebelumnya, Paduka. Anak-anak di tempat ini tidak berkurang jumlahnya tetapi semakin bertambah. Beberapa di antara mereka sudah ada yang diambil keluarga lain tetapi masih ada anak-anak yang ditinggalkan di depan Panti. Kami kesulitan menemukan orang tua kandung mereka.”

Jiyong mendengarkan sambil melihat Dara.

Dara mengeluarkan sesuatu dari kantung bajunya dan memberikannya pada anak perempuan yang tadi memegang tangannya.

Anak itu melupakan bonekanya dan mengambil bunga kering itu. Dengan bangga anak itu menunjukkan pemberian Dara pada teman-temannya. Entah karena terlalu senangnya anak itu atau karena kecerobohannya, bunga itu tiba-tiba jatuh dan seorang anak tidak sengaja menginjaknya.

Dara cepat-cepat mendekati anak itu sebelum ia menangis. Dara mengeluarkan bunga yang lain dari sakunya dan anak itu gembira menerimanya.

Beberapa prajurit menurunkan peti-peti berisi mainan yang dibawa dari Istana Gungnae dan membawa sebuah peti ke samping Dara.

Bagaikan seorang peri yang baik hati, Dara mulai memberikan mainan itu pada tiap anak. Anak-anak tentu saja senang mendapat hadiah dari peri mereka. Mereka berebutan menerima pemberian Dara tetapi Dara dengan tenang terus membagikan.

Dua orang anak terlihat berebut kereta kayu. Mereka sama-sama tidak mau mengalah.

Dara ingin melerai mereka tetapi sebuah tangan kecil memegang tangannya. Dara berlutut di depan anak itu. Anak itu mengulurkan tangannya. Dara menyambut uluran tangan itu dengan menggendongnya.

Anak yang tadi berebut mainan melihatnya dan mereka meninggalkan mainan itu. Mereka berlari menuju Dara.

“Aku!”

“Tidak! Aku dulu!”

Terdengar mereka masih memperebutkan sesuatu. Ketika sampai di samping Dara, mereka sama-sama mengulurkan tangan meminta gendong. Kedua anak itu saling melihat dengan marah kemudian berkejar-kejaran di sekeliling Dara dan membuat gadis itu kewalahan.

Kedua anak itu tidak sadar teman mereka yang lain mengambil mainan yang tadi mereka perebutkan. Anak itu berjingkat-jingkat seperti seorang maling kecil dan tersenyum nakal ketika melihat mainan yang tergeletak itu.

Ketika ia kembali ke tempatnya semua, anak-anak itu baru menyadarinya. Serentak mereka meninggalkan Dara dan berlari mengejar pencuri mainan mereka.

Dara tertawa geli melihat mereka. Bukan salah anak itu kalau ia mengambil mainan yang menjadi perebutan itu. Mereka meninggalkan benda itu tergeletak begitu saja di tanah dan sibuk memperebutkan Dara.

Jiyong terpana melihat tawa Dara itu. Tiba-tiba saja ia menyadari apa yang tidak ada pada Dara.

Gadis itu memang sempurna tetapi ia bagaikan mengenakan sebuah topeng. Topeng cantik dengan bibirnya yang selalu tersenyum.

Benar, sebuah topeng cantik yang selalu tersenyum. Di saat diam, bibir Dara menekuk halus membentuk sebuah senyum tipis. Tetapi tidak pernah ada ekspresi di sana. Sinar matanya selalu tenang. Senyum di bibirnya terasa hambar. Wajahnya tidak pernah terlihat bahagia. Gadis itu terlalu tenang dan dingin.

Benar-benar seperti sebuah topeng yang dingin dan hanya menunjukkan wajah yang sama. Ketika melihat Gummy datang, Dara juga tidak tampak bahagia. Ia dengan tenang menatap wajah wanita tua itu dan tidak membalas pelukannya.

Jiyong yakin pasti ada penyebabnya di balik semua sikap dingin Dara ini. Jiyong semakin yakin Dara memang marah padanya bahkan mungkin tidak senang menjadi istrinya!

Jiyong mulai menduga sebelum menikah dengannya, Dara telah jatuh cinta pada seseorang. Dan karena harus menikah dengannya, ia melepaskan kebahagiaannya itu di Kerajaan Silla dan sekarang yang tertinggal padanya hanya seorang peri cantik dengan topengnya yang selalu tersenyum.

Tidak ada alasan yang lebih tepat dari itu!

Raja Hyun-suk mengurung peri cantik itu di Istana Seoya juga pasti karena ia mempunyai rencana lain terhadap masa depan gadis itu. Raja Hyun-suk mungkin ingin menikahkan Dara dengan pria pilihannya dan ia tidak mau ada orang lain yang mengetahui kecantikkan Dara. Raja Hyun-suk tidak mau banyak pria melamar Dara karena kecantikkannya yang tiada tara ini. Raja Hyun-suk menginginkan seorang pria yang benar-benar mencintai Dara dan tetap mau berada di sisinya walaupun ia buruk rupa.

Pasti karena itu Raja Hyun-suk membiarkan khayalan orang-orang melambung tinggi dan berlawanan dengan kenyataan. Raja Hyun-suk terus membiarkan hal itu hingga ada seorang pria yang benar-benar mau mendampingi Dara seumur hidupnya baik ia buruk rupa maupun ia cantik.

Dan ketika Jiyong melamarnya, Raja Hyun-suk merasa senang dan menerimanya dengan terbuka. Tetapi Raja Hyun-suk tidak tahu saat itu Dara sudah jatuh cinta pada pria lain. Raja Hyun-suk tentu memaksa Dara menikah dengannya demi hubungan dua kerajaan ini.

Tiba-tiba saja Jiyong merasa bersalah pada Dara. Tetapi tidak ada yang dapat dilakukannya. Mereka telah menikah. Pernikahan mereka sakral dan tak terpisahkan. Dalam upacara pernikahan mereka, mereka telah berjanji untuk terus bersama sampai maut memisahkan.

Dara menunjukkan ketidak bahagiaannya dengan berdiam diri sepanjang hari dan tidak menunjukkan ekspresi di wajahnya selain wajah tenangnya. Dara mendiamkan Jiyong dan tidak mau berbicara banyak kepadanya.

Jiyong melihat ketiga anak yang berkejaran itu berlari ke arah Dara. “Permisi,” katanya kemudian mendekati Dara.

Sebelum anak yang dikejar itu menabrak Dara, Jiyong menggendong anak itu. “Cukup,” katanya, “Jangan berebut lagi. Masih ada banyak mainan untuk kalian.”

Jiyong menurunkan anak itu dan menunjuk dua buah peti lain di samping kereta.

Melihat teman-temannya berlari ke kereta, anak perempuan di gendongan Dara meminta turun. Dara menurunkan anak itu.

Jiyong melihat wajah Dara yang kembali tenang seperti tertutup topeng itu. Jiyong ingin melepas topeng itu dan sebelum ia melakukannya ia ingin sebuah kepastian. Ia tahu apa yang harus dilakukannya dalam waktu dekat ini.

to be continued….

<<back  next>>

60 thoughts on “Princess’s Mask… [Chapter 8]

  1. makin seru ceritanya.
    semoga apa yg akan di lakukan jiyong bisa membuat dara lepas dari topengnya, dan bisa membuat dara lebih banyak bicara.

Leave a comment