[Ficlet] Mourning Dress

https://img01.rl0.ru/b3852e49a3dcb07cd2280c4b1ff68a2c/c500x333/s1.favim.com/orig/22/girl-lights-night-silhouette-Favim.com-210242.jpg

“When she becomes death.”

Kwon Jiyong, Sandara Park

.

.

Mourning Dress

Crime, Mystery, Family
by PindaPa

note : cherophobia
 Rasa takut pada kebahagiaan karena yakin ada hal buruk yang akan terjadi setelahnya.

Sandara menjadi salah satu gadis yang selalu mengidentikan pakaian bernuansa hitam sebagai bagian dari rasa belasungkawa. Tidak ada yang salah sebenarnya, terlebih jika seorang yang tengah mereka maksud adalah Sandara Park. Gadis dengan iris mata hazel yang menyala. Menghangatkan saat pesonanya terekspos sinar matahari teduh menggelayut, pun sama seperti yang tengah Kwon Jiyong rasakan saat dirinya dengan tak sengaja memiliki seperkian detik pandangan yang sejurus dengan Sandara.

Gadis itu memang sungguh terlihat setenang permukaan danau yang tak terusik batu pipih yang melompat, namun Jiyong memiliki arti lain dan hal itu nyatanya menjadikan Sandara ikut masuk ke dalam pikiran Jiyong sekiranya sampai beberapa jam.

Kenapa gadis itu menatapku dengan pandangan seperti itu?

Jika bisa secara gamblang untuk Jiyong berpendapat, ia tak menyukai tatapan Sandara yang cenderung mengintimidasinya kemarin siang.

Bagi Jiyong menjadi orang biasa adalah hal yang patut ia pertahankan. Jiyong tak pernah menyukai tatapan mengintimidasi yang khas tertuju bagi orang yang mencolok. Kwon Jiyong hanyalah pria biasa yang tak pernah menghabiskan banyak waktu dengan teman sebaya agar terlihat mencolok, namun mengapa saat Sandara menatapnya seperti kemarin –sangatlah berbeda dari berjuta pasang mata yang biasa Jiyong lihat walau hanya dalam seperkian detik.

Sekarang yang jelas terlihat hanyalah Jiyong yang tak menyukai tatapan Sandara yang mengibaratkan seolah ia terlihat mencolok layaknya anjing pengembala di antara puluhan domba yang bulunya siap dijadikan benang.

Apa ada yang salah dengan Jiyong kemarin siang?

Hingga entah apa yang menyeret kaki Jiyong untuk berada termenung di tempat ini saat rembulan mulai menggantikan senja, beberapa jam yang lalu. Pada akhirnya, pria itu jelas ingin menyudahi segala bentuk ‘tanggapan kemungkinan’ yang hilir berganti bergemuruh dalam pikirannya.

“Apa yang mendorongmu untuk berdiri kaku di depan rumahku?”

Saat Sandara menyuarakan suara rendahnya di tengah kesunyian, hal itu membuat Jiyong terlonjak. Gadis bersurai pirang platina itu tak bersungut kemudian, ia lebih memilih diam sedang mata dinginnya terus menatap datar seolah menyudutkan Jiyong untuk menjawab pertanyaannya.

“Tidak, aku hanya kebetulan lewat.”

Setelahnya Jiyong terpaksa meneguk berat saliva melewati kerongkongannya. Pria itu melupakan bahwa dirinya bukan termasuk orang yang bisa bersilat lidah dan hal itupun disadari oleh gadis pirang platina yang tak jauh jarak dengannya. Hal itu terlihat dengan jelas dari mimik wajah Sandara yang tak bersahabat dalam kurun waktu jarum jam panjang berputar 360 derajat.

“Maksudku, aku hanya sedang memahami situasi sekitar. Kau mungkin tidak pernah melihat wajahku karena aku memang penghuni baru di sini dan…”

“Aku sudah pernah melihatmu. Pria yang berpakaian putih saat yang lain berwarna gelap, kau mencolok.”

Mengapihkan apa yang dikatakan Sandara kepadanya, Jiyong justru menenggelamkan fokus netranya ke arah sebuket bunga krisan yang dipegang Sandara.

“Kau memiliki mata yang sangat jeli di tengah kegelapan rupanya,”

“Atau mungkin kau yang sengaja menunjukkan hal yang seharusnya bisa aku lihat dari kesibukanmu?”

Seperkian detik berselang, keduanya lebih memilih memakan sunyi dalam perdebatan masing-masing. Jiyong lebih memilih diam karena dianggapnya Sandara termasuk gadis introvert, sedangkan gadis itu menyibukkan kedua manik hazelnya untuk terus menatap Jiyong dengan malu atau bisa disebut sebagai curi pandang kepada pria itu.

“Namaku Kwon Jiyong dan hari di mana kematian ayahmu, aku baru saja pindah rumah jadi maafkan aku jika aku tidak memakai pakaian berwarna senada seperti kalian waktu itu.” Begitulah pernyataan pertama yang menyuara dari mulutnya.

Jika kembali dipikir, mungkin alasan Sandara terus menatap Jiyong dengan tatapan mengintimidasinya adalah alasan yang sama halnya ia terlihat mencolok.

“Sebenarnya saat kematian ayahku itulah hari di mana aku kembali tinggal bersama ayah dan juga istri barunya.”

Di bawah redupnya lampu penerang jalan, Sandara menenggelamkan wajahnya menatap tepat pada aspal bernada sama dengan langit di atasnya. Bukan menangis, karena tak sekalipun bahunya bergetar yang biasanya akan dilakukan seseorang saat menahan tangisnya namun tanpa disangka, gadis pirang platina ini justru melanjutkan perkataanya.

“Aku tidak menyukai ibu tiri. Mungkin delusiku tentang ibu tiri dalam cerita Cinderella adalah hal yang membuatku enggan untuk tinggal bersama ayah dan memilih hidup sendiri dipinggiran kota London.” kali ini rambut pirang platinanya menjadi penjamu di antara wajah manis Sandara yang terlihat jelas di depan Jiyong. “Aku tidak pernah yakin bahwa kebahagiaan yang sudah Tuhan rengut setelah kematian ibu bisa dengan mudah digantikan dengan sosok ibu tiri seperti pilihan ayah.”

“Untuk itu kau menghindar tinggal bersama ayahmu?”

Entah apa yang berhasil mendorong Jiyong untuk bertanya. Biasanya pria sepertinya lebih memilih diam dan hanya menjadi pendengar namun hatinya bergerak untuk menyuarakan apa yang ada dalam otaknya.

“Ya, aku hanyalah gadis penurut pada mulanya. Mengizinkan ayah menikah namun saat ayah menyuruhku untuk tinggal bersama, aku menolak karena aku sangat meyakini tidak ada kebahagiaan yang sama seperti keluarga kecil yang aku miliki sebelumnya.”

“Baiklah, karena sekarang aku sudah menganggapmu sebagai temanku, bagaimana kalau kau aku berikan usulan?”

“Usulan?”

Sandara mengangkat sejungkit bibirnya saat Jiyong berbisik untuk mengutarakan usulan yang menurut pria itu akan menarik dan membuat Sandara bisa memiliki hubungan yang baik dengan ibu tirinya.

“Yang harus kau yakini adalah kebahagiaanmu akan selalu Tuhan gantikan jadi jangan takut bahwa akan ada hal buruk yang terjadi.”

“Bisakah aku menjadikanmu sebagai salah satu kebahagiaan awal dari kehidupanmu di kota ini?”

Setelah itu malam semakin larut dan keduanya kembali dalam rumah juga suasana yang baru mereka coba. Bagi Jiyong tak banyak yang berubah namun pria itu percaya bahwa banyak hal yang akan terjadi dalam malam Sandara bahkan hari setelahnya bersama sang ibu tiri.

*

*

*

***

*

*

*

“Jiyong sayang, bangunlah.”

Mom? Ada apa?”

“Bisakah kau menemui mereka sebentar? Tenang saja, mom ada di sampingmu.”

Iris coklat Jiyong yang menyala langsung membulat saat dirinya di hadapkan pada keramaian sirine juga dua orang berkepala dua dengan pakaian yang semula menjadi cita-cita Jiyong.

“Selamat Pagi Tuan Kwon, kami membutuhkanmu untuk sedikit menjawab pertanyaan kami mengingat kau adalah orang terakhir yang ditemui Nona Park di luar rumahnya.”

Saat itu juga jantung Jiyong berdegup lebih cepat dibandingkan semula. Belum lama ia menilai situasi yang tengah membuatnya kebingungan, kini giliran tatapan orang dengan tangis di matanya menatap kearah Jiyong namun seseorang yang dirasa sedikit tak asing baginya justru tersenyum lembut kearah Jiyong –wanita yang tengah memegang frame Sandara terlihat seusia yang sama dengan ibunya.

fin

merry christmas

welcome to aitsil96, rmbintang keep writing 🙂

5 thoughts on “[Ficlet] Mourning Dress

  1. jd ngebayangin wanita yg megang frame dara itu biarawati yg di MV “sorry” gummy feat TOP😂😂😂R.I.P dara yg nyusul appa’y😭 dan reader keder baca’y😅

  2. Say hi buat semuanya lewat komen ini. Sorry udh jarang nongol di blog dan milih hari ini buat kembali ke dgi lagi. Btw, aku masih belum terlalu ngeh sama isi cerita. Dara itu nggak terlalu suka tinggal sama ibu tiri sehingga mutusin kalo dia mau bunuh diri ato karena ibu tirinya yg ngebunuh dara? sorry kalo komennya ngaco. Good job buat pinda unnie😂😄😊

Leave a comment