[Finalis FF] BEER, CIGARETTE, AND YOU CHAPTER 1

CoverContest1

Yeaaa akhirnya tiba juga di Juara ! lomba FF yang diadain DGI, Happy reading, dan tinggalkan jejak ya! sin mau post klo yang ninggalin jejaknya banyak. kkk~

 

Cast                 : G-Dragon (written as Kwon Ji-Yong)

Sandara Park

Support Cast    : Mizuhara Kiko

Seungri (written as Lee Seung-Hyun)

SE7EN (written as Choi Dong-Wook)

Rate                 : R

Length            : 2 Parts

Genre               : Romance

P.O.V               : 1st Person P.O.V. (GD)

author            : Nita Nurul Ramadhita / @G_DRUGON

Disclaimer       : Delusional thought is required. It’s not based on true event. I do not own the

characters’ names. This story is mine so respect it.

Ada tiga hal yang terlintas di kepalaku saat titik-titik gelap mulai memenuhi mataku. Bir, rokok, dan.. Kau.

———————————-

PART 1

Sumpah ini bukan yang pertama kalinya seorang wanita menampar wajahku, membabi buta dengan segala caci makinya di depan mataku, dan mengakhirinya dengan kalimat, ‘kita sudah tidak cocok lagi.’ Karena itulah saat Kiko berdiri di depanku dengan pandangan lurus yang seakan menembus segala pertahananku dengan garis wajah tegas dan sedikit sendu, aku sudah tahu apa yang akan terjadi.

“Oke, kalau kau mau menamparku, sebaiknya kau lakukan di pipi kiriku karena yang kanan sudah kupersiapkan untuk ibuku nanti,” kataku sambil membenamkan kedua tanganku di saku celana dan menggertakkan gigiku menahan embusan angin musim dingin yang mengiris kulit.

Hari ini pertengahan musim dingin dengan suhu entah berapa derajat di bawah nol. Dari berbagai tempat hangat seperti club, retoran, atau bahkan kamarku, ia lebih memilih untuk bertemu denganku di Namsan Tower yang kurasa bukan tempat yang cukup bagus untuk memutuskan kekasih yang sudah bersamamu hampir selama enam bulan. Terlebih lagi saat tempat itu menyimpan cukup banyak kenangan yang kurasa berharga seperti sebuah ciuman atau janji untuk terus bersama yang ternyata merupakan omong kosong kacangan dari sepasang kekasih yang merasa dunia milik mereka. Aku tahu Kiko pun sedang memikirkan hal itu sekarang. Setelah mendengar ucapanku, matanya menerawang menyusuri pemandangan malam kota Seoul yang bisa dibilang cukup memukau dengan berbagai jenis warna lampu benderang di bawah sana. Kecuali dengan untaian kemacetan di jalanan dengan bunyi klakson yang mengganggu gendang telinga. Kota yang tak pernah tidur, yang terlalu luas untuk dijelajahi.

“Aku tak ingin putus,” ujar Kiko perlahan hampir seperti bisikan dengan pola kalimat yang kurang benar dan nada bicara yang canggung. Pasti berat baginya untuk berusaha mempelajari bahasa Korea hanya untukku karena bahasa Jepangku benar-benar payah. Sebenarnya kami bisa berbahasa Inggris, namun logatku dan logatnya amat berbeda sehingga aku tak bisa mengerti apa yang ia bicarakan. Ia pun begitu.

Aku menghela napas dan menggosok-gosokkan telapak tanganku. “Jadi, siapa pria itu?”

Embusan angin menerbangkan rambut pendeknya. Ia menyugar rambutnya dan menatapku. “Kenalan ibuku yang merupakan editor sebuah majalah,” jawabnya. Ia melipat kedua tangannya di bawah dada dan membenamkan wajahnya pada sebuah syal bulu yang terlingkar di lehernya. “Kau tahu kan aku ingin sekali menjadi model,” katanya sedikit dengan nada memohon.

“Ya, tentu saja. Dan pria dengan jabatan tinggi di sebuah perusahaan majalah bisa membuka pintu untuk mimpimu.”

“Aku tahu kau akan mengerti,” ujarnya lagi, kali ini dengan sedikit senyuman di bibir penuhnya dan sedikit warna di matanya yang besar dan bundar. “Oh, kalau bukan karena ia kenalan ibuku, aku takkan sudi meninggalkanmu.”

“Aku yang tanpa apa-apa ini? Aku yang bahkan tidak kuliah dan hidup melarat karena rokok dan bir ini?”

Mata Kiko melebar dan bibirnya merekah. “Jangan buat dirimu seakan seorang pengecut, Ji-Yong! Kau tahu kau lebih baik dari itu,” katanya sambil menonjok lenganku pelan.

“Jika aku lebih baik dari seorang pengecut, mungkin aku akan memelukmu sekarang dan mengatakan bahwa aku bisa membuat mimpimu menjadi kenyataan. Tapi nyatanya aku tidak bisa.”

Kiko terdiam lalu ia berdehem. “Kalau begitu, mengapa kau tidak memelukku sekarang dan bilang bahwa kau akan menungguku?” Aku mengerutkan kening dan ia tersenyum. “Setelah aku menjadi model di Jepang, aku akan memutuskan si tua itu dan mengencanimu lagi. Asalkan kau berjanji kau akan menungguku.”

Aku menggelengkan kepalaku. “Waktu akan mengubah segalanya. Kau dan aku. Kau takkan tahu siapa yang kau temui nanti dan apa yang kau rasakan. Begitupula aku. Jadi, aku tak bisa berjanji terhadap sesuatu yang tak kuyakini.”

“Jadi kau tak yakin dengan cinta kita?” Tanya Kiko dengan wajah memelas.

“Tak ada yang namanya cinta, Kiko. Hanya perasaan ingin memiliki saat seorang pria bertemu dengan seorang wanita.”

“Jadi–” Kiko meneteskan air mata. “Ini benar-benar akhirnya?”

Aku mengangguk.

“Kau berengsek, Kwon Ji-Yong,” katanya seakan meludahkan kata-kata itu dengan seuntai air mata yang berkilau terkena cahaya lampu di malam temaram ini. “Dan aku suka.”

Aku tersenyum sambil membetulkan beenie-ku yang tertiup angin. “Dan pipi kiriku selalu siap untuk kau tampar.”

Kiko tertawa kecil sambil mengusap airmatanya. “Untuk kau cium lebih tepatnya. Ji-Yong, jika nanti aku ternyata tidak bisa menemukan seseorang yang mampu menggantikan keberengsekanmu, bisakah aku kembali ke sini?” Tanyanya sambil melingkarkan tangannya ke sekeliling leherku.

Aku memegang pinggangnya dan mendesah. “Jika saat itu tiba, mungkin aku takkan ada disini lagi.”

Arasseo[1],” katanya terisak lagi.

Sedetik kemudian, Kiko mengusapkan bibirnya pada bibirku. Mengalirkan jutaan volt aliran listrik pada sekujur tubuhku dan menghangatkan malam musim dingin ini.

Percaya atau tidak, aku lebih baik ditampar dan dimaki daripada dicium dengan rasa asin air mata memenuhi mulutku.

***

“Perhatikan kemana kakimu melangkah, nenek tua!” Bentakku saat seorang nenek menghalangi jalanku dan menubrukku. Aku tahu aku berlebihan, tapi aku benar-benar tidak ingin ada seorang pun yang menggangguku. Setelah aku menutup pintu taksi yang membawa Kiko pergi, salju mulai turun dan aku baru menyadari betapa sakitnya patah hati. Padahal Kiko sama seperti belasan gadis yang pernah kukencani. Perbedaannya hanyalah, Kiko orang Jepang, sementara yang lain orang Korea.

“Maafkan aku jika aku menganggu jalanmu. Mataku sedikit rabun,” kata nenek itu membuyarkan pikiran tentang Kiko di benakku.

“Kalau kau rabun, sebaiknya kau pakai kacamata atau tidak berjalan-jalan sendirian. Tolol!” Bentakku marah dan melangkah pergi dengan langkah tegap. Beberapa pasang mata memperhatikanku seakan menuduhku sebagai remaja tidak tahu diri yang membentak orang tua. Itulah aku. Suka atau tidak, aku takkan menguba diriku untuk orang lain.

Aku berbelok pada satu belokan tanpa tahu mau kemana. Aku melirik jam tanganku sambil terus melangkah. Pukul dua belas lebih lima. Jika aku pulang sekarang, ibuku pasti akan langsung mengusirku tanpa pikir panjang. Ia pasti menyebutku berandalan dan melempar seluruh barangku keluar. Jadi, rumah bukan pilihan utamaku saat ini.

Aku membetulkan beenie-ku yang terus menerus miring karena tertiup angin, lalu menyeletingkan jaketku hingga menutupi mulutku yang terus berasap karena udara dingin. Saat aku melihat sebuah toko swalayan, aku merogoh saku celanaku dan berharap ada beberapa lembar won di sana. Aku harus menyalahkan Kiko karena meneleponku tiba-tiba dan menyuruhku datang ke Namsan Tower tanpa memberiku waktu untuk mengambil uang. Yang tersisa di sakuku hanya beberapa lembar won yang cukup untuk membeli sebotol bir. Aku melangkahkan kakiku menuju toko itu dan memutuskan untuk mabuk malam ini. Meskipun aku tak yakin aku akan mabuk hanya dengan satu botol bir.

Eoseo oseyo[2],” sapa pegawai toko itu ramah. Aku tidak menghiraukannya, dan langsung pergi menuju rak tempat bir. Aku mengambil satu botol dan menyerahkannya pada kasir.

“Hey, kau–” katanya. “Kwon Ji-Yong sunbae[3]? Sunbae ingat aku? Seung-Hyun, Lee Seung-Hyung,” jelasnya dengan nada memaksa.

“Ah,” kataku pada akhirnya setelah beberapa detik berusaha mengingat wajah anak remaja dengan tampang sok keren di hadapanku ini. “Gwangju Boy.”

“Ya! Syukurlah kau ingat. Aku ingin berterima kasih pada sunbae karena kini aku sudah berpacaran. Semua tips dan ajaran sunbae benar-benar ampuh,” katanya sumringah dengan gerakan tangan yang canggung. Aku hanya membalasnya dengan gumaman kecil. “Ah, ya. Bagaimana kabar sunbae dan pacar sunbae?”

Aku berdecak dan menggebrak meja kasir itu. “Aku sudah berpacaran lebih dari sebelas kali dan selalu diputuskan tak lebih lama dari 6 bulan dan kini aku baru saja putus dengan pacarku yang super cantik di atas Namsan Tower yang justru merupakan tempat dimana kebanyakan pasangan baru saja pacaran. Jadi—” aku mencondongkan wajahku padanya dan ia tampat kaget dan takut. “Aku dan pacarku baik-baik saja.”

Seung-Hyun tampak ragu. “Wow, kurasa itu.. Bukan baik-baik saja. Dengar, hyung, aku tahu kau akan dapat cinta sejati pada akhirnya. Terkadang cinta sejati bisa datang di tempat yang tak terduga.”

“Seperti sebuah toko swalayan dengan kasir yang sok kenal yang kebetulan adalah adik kelasku semasa SMA dan aku baru sadar bahwa aku gay?”

Seung-Hyun tertawa. “Bukan begitu. Maksudku, seperti yang hyung ajarkan padaku dulu bahwa kau tak perlu mencari cinta karena cinta akan datang sendiri padamu.”

Aku membuat ekspresi jijik dan menggeleng-geleng. “Sudah berkali-kali kubilang, kau salah mencari guru.” Aku mengambil sebuah bungkus rokok dan mengambil botol birku. “Kau yang bayar,” kataku sambil melangkah pergi meninggalkan Seung-Hyun yang baru saja akan memprotes. “Dan aku bukan hyungmu,” tambahku sebelum aku menutup pintu toko itu.

***

Seoul dan malam musim dinginnya benar-benar menyiksaku. Aku sedang berdiri di pinggir jalan, menunggu bis datang saat aku menyadari bahwa bibirku kaku dan jari-jari tanganku terasa kebas. Bahkan saku jaketku tidak bisa membuatnya hangat kembali. Aku mengambil sebatang rokok dan menyulutnya. Aku membiarkan asap memenuhi mulutku dan nikotin menyebar di paru-paruku. Racun itu terbukti bisa merilekskan pikiranku dan menghangatkan tubuhku. Jelas tidak lebih hangat dari ciuman Kiko tadi tetapi– ah, Kiko! Mengapa ia masih terus membayangi pikiranku dan bahkan tembakau dan nikotin ini tak bisa menghapusnya? Aku menghisap rokokku lebih dalam dan menghembuskan asapnya keras-keras.

Sebuah bis berhenti di hadapanku, dan aku, dengan entah apa yang kupikirkan, masuk ke dalamnya tanpa peduli kemana bis itu akan membawaku.

Bis itu kosong. Hanya ada supir dan sepasang manula yang kelihatan menggigil di depan dan seorang gadis dengan wajah kusut dan rambut kumal di bagian belakang. Aku memutuskan untuk duduk di kursi belakang di seberang si gadis lusuh karena aku tak pernah tahan dengan bau para manula.

Aku mengempaskan diriku di kursi dan terhanyut dalam perjalanan di sepanjang jalanan Seoul yang mulai lengang. Aku mengambil sebatang rokok lagi dan menyulutnya. Ketika aku sedang menikmati saat-saat rileks-ku, aku mendengar suara isakan. Aku melirik ke sebelah kananku dan di seberangku, si gadis kumal sedang menangis dengan tissue yang basah di tangannya.

Aku berdecak kesal dan menyumbat telingaku dengan earphone lalu menyetel lagu keras-keras.

“Jangan merokok!” Kata seseorang sambil menarik earphoneku keras-keras hingga terasa sakit di telingaku. Aku mengaduh dan membentaknya. Ternyata ia adalah si gadis kumal tadi. “Merokok takkan membereskan masalah.”

“Begitu pula dengan menangis tersedu dan menganggu orang lain,” ujarku kesal sambil merebut earphoneku darinya.

“Ya, kau ada benarnya sih,” ujarnya dengan logat Busan yang begitu kentara. Ia menghela napas dan bersandar di kursi sebelahku dengan wajah murung dan bibir yang melengkung cemberut. Aku mendesis kesal dan berusaha menjaga jarak darinya. “Kau tahu bis ini menuju kemana?”

“Tidak, aku tidak tahu dan sebaiknya kau menyingkir dariku,” jawabku kasar.

“Aku juga tidak tahu,” ujarnya tanpa menggubris perkataanku tadi. “Aku pikir aku bisa pergi dari sini dan meninggalkan semua masalahku. Tapi bis ini berputar kan? Ia selalu kembali ke tempat semula. Yang artinya aku pun akan kembali pada masalahku.”

“Aku tak tahu ada apa dengan kau dan otak sintingmu itu tapi satu hal yang kutahu bahwa aku tak peduli masalahmu,” kataku sambil berpindah tempat duduk. Baru saja aku duduk satu bangku lebih depan dari bangku belakang, aku bisa mencium bau parfum nenek-nenek dan bau balsem kakek-kakek yang membuatku mual, jadi aku memutuskan untuk duduk di kursi yang tadi ditempati oleh gadis itu.

“Kau mau kemana?” Tanya gadis itu lagi dengan suara parau.

“Kemanapun asal kau berhenti menggangguku.”

“Ayolah,” katanya merajuk. Ia kembali duduk di sampingku. “Aku hanya butuh teman ngobrol.”

“Dan kurasa aku bukan teman yang cocok untuk diajak mengobrol,” timpalku sambil menyulut rokok yang tadi sempat padam dan menghisapnya dalam-dalam.

“Oke kalau begitu dengarkan saja,” katanya lagi. “Aku baru saja dipecat.”

“Wow,” ujarku. “Menyedihkan sekali. Kupikir kita harus membuat semacam papan pengumuman dan mengumandangkan berita ini di seluruh radio. Televisi juga tak apa jika kau mau,” tambahku dengan sedikit bumbu sarkasme.

“Padahal aku benar-benar mencintai pekerjaanku,” katanya, masih tidak menggubris ucapanku. “Aku kuliah mati-matian untuk menjadi seorang designer dan kini, setelah aku mendapatkan pekerjaan yang merupakan impianku sedari kecil, aku harus merelakannya pergi terhempas dari genggamanku begitu saja. Itu kan sangat tidak adil.”

“Tunggu—” potongku di sela-sela cerita yang sebenarnya tak ingin kudengar. “Kau designer? Kau?”

“Dulunya,” jawabnya dengan sedikit isakan.

Aku tertawa dan ia hanya memandangku dengan tatapan malas. “Oke, aku hanya merasa tertipu sekarang. Kalau kau hanya seorang kasir, pelayan, atau ya— sekertaris, kau tak perlu bohong padaku.”

“Kau tidak percaya aku seorang designer?”

“Ya—” jawabku masih geli. “Kau tidak terlihat seperti seorang designer. Bukan maksud menghina tapi kau jelas tidak modis. Dan kau—yah—pendek. Kurasa itu yang membuatmu dipecat.”

“Pengamatan yang cerdas tapi sayangnya kau salah. Aku membuat pakaian yang akan membuat gadis-gadis sosialita semampai itu terlihat modis. Dan aku bukan seorang model jadi aku tak perlu jadi tinggi,” jelasnya dengan sedikit campuran emosi. “Dan untuk informasimu, aku tidak dipecat karena aku tidak modis dan pendek. Aku dipecat karena mereka pikir—baju rancanganku—ya—”

“Jelek?” Tegasku.

“Bukan jelek! Maksudku, um, mereka bilang rancanganku sangat unik dan cenderung abstrak.”

“Ya, itu artinya jelek. Hanya saja mereka memperhalusnya.”

Perkataanku tadi jelas membuatnya marah. Ia melipat tangannya di bawah dada dan terkesiap tak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. Tarikan napasnya terasa begitu keras dan ia menatapku dengan ketus. “Kau, dan mulut beracunmu itu perlu diberi pelajaran,” katanya sambil menunjuk hidungku dengan gerakan tegas yang hiperbola.

Aku menepis jarinya dan memandang keluar jendela. Kini aku sudah tidak lagi melihat orang-orang yang berlalu lalang. Hanya segelintir pemabuk dan beberapa orang tua di sepanjang trotoar. Sebagian besar dari mereka menyantap ddeokbokki[4] atau hanya sekedar meminum segelas soju. Aku menghembuskan napas dan uap terbentuk di jendela bis itu. “Kurasa aku sudah mendapat pelajaran itu,” kataku pelan. Ucapan gadis itu tadi membangkitkan ingatanku akan Kiko dengan ciuman terakhirnya tadi.

Aku kembali menghisap rokok yang semakin memendek dan dari ujung mataku, aku bisa melihat gadis itu memandangku.

“Boleh aku mencoba rokokmu?” Tanyanya polos.

“Kau tidak terlihat seperti perokok,” jawabku asal.

“Apa susahnya memang?” Katanya lagi. Kali ini sambil merebut rokok dari tanganku. Ia menghisapnya sebelum aku berhasil melarangnya. Lalu, sedetik kemudian, ia terbatuk-batuk dan memuntahkan udara – atau dalam kasus ini asap. “Bagaimana bisa—uhuk—benda terkutuk ini menyebar di paru-parumu dan kau masih bisa—uhuk—benapas?!” Protesnya susah payah sambil menyerahkan lagi rokokku.

“Seperti bagaimana kau masih terus menggangguku meskipun aku sudah dengan kasar menyuruhmu berhenti,” jawabku sambil lalu. “Kau benar-benar tidak ada tujuan hah? Dimana kau akan turun? Karena jujur aku sudah tidak tahan bersamamu.”

“Aku tidak tahu harus kemana. Rumah bukan tujuanku karena aku pasti bisa melihat wajah terluka dan kecewa ibuku saat aku membuka pintunya. Kau sendiri?”

Aku memandangnya dengan tatapan kosong. Alasannya sama denganku. Hanya saja sepertinya masalahnya lebih besar. “Entahlah. Aku juga tidak begitu ingin pulang.”

“Apa masalahmu?” Tanyanya lugu. Di detik ini aku baru menyadari bahwa dibalik penampilan kumalnya, ia tak begitu buruk rupa. Wajahnya lembut dan aku suka bentuk bibirnya.

Aku berdehem dan mengerjap. “Aku tak akan memberitahukan masalahku pada orang yang tak kukenal.”

“Sandara Park,” katanya pelan. Aku mengerutkan kening dan memasang wajah bingung. “Namaku Sandara Park. Kini aku bukan orang asing bagimu.”

Entah ini karena efek cahaya lampu bis yang teramat membutakan, tapi ia, Sandara Park– noona kurasa, terlihat amat bersinar dan cantik.

Ia mengambil botol bir dari tanganku dan membukanya tutupnya dengan giginya seakan itu adalah perkara mudah. “Biasanya akan lebih mudah jika bercerita dalam keadaan mabuk,” katanya sambil menyodorkan botol bir itu padaku dan tersenyum mengajak.

Ia memang cantik. Atau mungkin aku yang mulai gila.

***

“Kau memang berengsek,” ujarnya saat aku bercerita tentang bagaimana Kiko memutuskanku tadi. Aku mencibir ke arahnya dan meneguk birku lagi. Rasanya menggigit lidah dan tenggorokanku seakan terbakar saat cairan itu mulai mencari jalan menuju saluran pencernaanku. Menyiksa memang, tapi justru itulah yang kunikmati. Bir dan alkoholnya benar-benar bisa membuatku seakan lupa. “Aku tak pernah bertemu dengan pria sejahat kau,” tambahnya sambil membetulkan letak dudukya yang semakin lama semakin menempel kepadaku.

Entah karena aku mulai mabuk atau apa, tapi aku cukup menikmati hangat tangannya yang menempel pada tanganku. Aku menghela napas dan berusaha lebih menempel padanya. “Hey, kau—”

“Aku suka caramu bernapas,” katanya memotong ucapanku.

“Maksudmu?” tanyaku bingung sambil menahan tawa.

“Ya caramu menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya keras-keras. Benar-benar menghangatkan,” jelasnya.

Aku mengerang kecil dan tertawa. “Oke, kau—memperhatikan caraku bernapas?”

Ia mendesah dan menyembunyikan wajahnya di telapak tangannya. “Aku tak tahu harus bicara apa untuk menenangkanmu. Kau tahu, aku seharusnya bilang ‘semua akan baik-baik saja’ tapi hanya kata-kata itu yang keluar. ‘Aku suka caramu bernapas.’Aku benar-benar tak jago untuk bicara dengan lawan jenis.”

“Mwo? Hampir satu jam kau meracau padaku menceritakan semua keluh kesahmu dan kau terus menggangguku dengan suara cemprengmu dan logat Busan-mu itu. Dan kau bilang kau tak pandai bicara pada pria? Aku benar-benar tidak mengerti.”

“Tadi itu—aku—sedang frustasi, oke?” bantahnya. Aku tertawa dan meneguk birku lagi. “Boleh aku minta birmu? Kau tampak begitu—bahagia saat meneguknya.”

“Andwae[5]. Kau tak bisa menerima minuman dari orang yang tak kau kenal. Dan kau bahkan tak tahu namaku,” kataku tajam sambil menghiraukan wajah kecewanya. Aku melihat ke luar jendela. Titik-titik basah menghiasi jendela bis dan kurasa hujan deras akan datang. Kedua manula yang tadi duduk di depan sudah berhenti di salah satu halte bis. Sebenarnya, jika aku mau, aku bisa saja duduk di depan dan menjauh dari Sandara Park ini. Tapi—kurasa aku mulai menyukai obrolan tak bermakna bersamanya. Aku tersenyum kecil dan melirik Sandara dari ujung mataku. Ia masih menatapku dengan mata bundarnya yang besar, dengan bibir di tekuk dan wajah memohon. Aku mengerang dan berbalik ke arahnya. “Kwon Ji-Yong. Namaku Kwon Ji-Yong. Jadi sekarang berhenti menatapku dengan wajah anak anjingmu itu, oke? Ini birmu, dan jangan muntah!” kataku sambil menyerahkan botol bir padanya. Ia tampak gembira dan matanya berkelit nakal.

“Aku tak mau tahu namamu. Aku hanya ingin birmu,” ujarnya sambil lalu. Aku mendesis ke arahnya dan ia tertawa. Aku memperhatikannya saat ia meneguk minuman beralkohol itu. Matanya terpejam dan tenggorokannya naik turun. Lalu sedetik kemudian ia menjerit dan mengulurkan lidahnya. “Ini sangat tidak enak! Tenggorokanku terbakar!” katanya heboh sambil berusaha menelan ludah.

Aku tertawa terbahak-bahak lalu mengambil birku lagi. “Kau sangat bodoh,” kataku di sela-sela tawaku.

Ia cemberut memandangku lalu mendesah kesal. “Aku tidak bisa merokok, tidak tahan minum bir, dan tak pandai berbicara pada pria. Ya, aku sangat bodoh.”

Aku berhenti tertawa dan menatapnya lurus. “Mungkin bodoh bukan kata yang tepat. Kau hanya gadis baik dan aku pria nakal,” ujarku. Ia tak menggubris ucapanku dn pandangannya masih menerawang. Aku berdehem dan berkata, “kau seharusnya memberiku nasihat. Berkomentar tentang masalahku atau apalah. Seperti yang kulakukan tadi. Meskipun caraku mungkin sedikit—kasar.”

“Sudah kubilang aku tidak tahu harus bicara apa,” katanya parau. Bir tadi ternyata membakarnya cukup parah. Aku merengkuh wajahnya dan melihat matanya. Terlihat berat dan sangat capek. Pipinya merah dan terasa panas. Ia mabuk. Tapi dibalik semua itu, ia memang cantik. “Aku tak pernah punya pacar. Jadi aku tak tahu harus—”

“Kau bohong,” kataku. Aku merasa pusing di kepalaku dan kupikir aku juga mabuk. Sialan, ternyata hanya dengan satu botol bir bisa membuatku mabuk seperti ini hingga aku berpikir Sandara Park, dengan pakaian kumal dan wajah kusutnya, amat begitu cantik.

Sandara tersenyum lemah. “Berapa umurmu?” tanyanya.

“24 tahun,” jawabku sambil terus merengkuh wajahnya.

“Kau beruntung. Kau masih muda dan kau sudah merasakan banyak cinta. Umurku 28 tahun dan kau pria pertama yang menyentuh pipiku. Selain ayahku, tentu.” Aku terpaku mendengar ucapannya dan mengelus pipinya dengan senyum di wajahku. “Kau tidak terlalu buruk ternyata. Tanganmu hangat sekali.”

“Aku takkan memanggilmu noona,” kataku.

“Aku juga tidak mengharapkan makhluk kasar sepertimu akan bicara sopan padaku.”

Aku melepaskan tanganku dari pipinya dan memijit pelipisku untuk meringankan pusing di kepalaku.

“Aku benci wajahmu. Kau jelek,” kataku.

Ia mendengus lalu berkata, “aku juga.”

“Kau pendek.”

“Kau juga.”

“Aku benci suaramu.”

“Aku juga benci suaramu.”

“Kau menyebalkan.”

“Kau juga.”

“Tapi kurasa aku menyukaimu,” kataku dengan sedikit nada bingung di suaraku.

Ia mendengus lalu tertawa lemah. Ia merosot di kursi dan wajahnya sangat lelah. “Kurasa itu karena kita sedang mabuk. Karena sepertinya aku juga menyukaimu.”

Aku tertawa dan meneguk birku lagi. “Ya, jelas karena mabuk.”

Sandara menguap dan matanya terlihat semakin berat. Lalu tak lama kemudian aku bisa mendengar napasnya yang teratur dan telapak tangannya yang berkedut di samping tanganku. Aku mengelus rambutnya dan merapikannya. Ia membuka sedikit matanya dan tersenyum begitu melihat wajahku. Dan aku berani sumpah ini pertama kalinya seorang gadis terlihat begitu bahagia saat membuka matanya dari tidurdan melihatku berada di sampingnya. Dan ia bahkan hanya orang asing. “Tidur dipangkuanku, supaya pusingnya segera hilang,” kataku lembut sambil mengelus rambutnya. Ia mengangguk lalu menaruh kepalanya di pangkuanku.

Di luar, hujan turun sangat deras dan aku merasa sangat hangat dengan melihatnya tertidur tenang di pangkuanku. Seakan dia miliku. Aku tersenyum dan tak kurasa, aku pun tertidur.

***

Sebuah suara menyusup ke dalam telingaku dan menggema dalam otakku. Suara bising yang abstrak seperti bunyi logam yang dibentur-benturkan dan bunyi sesuatu yg menggeram. Aku menghirup napas dalam-dalam dan menghembuskannya keras-keras. Tercium bau asap dan aspal dan bau alkohol. Aku hendak menggerakkan tubuhku saat aku sadar bahwa tubuhku amat sangat berat. Seperti habis ditimpa gajah. Menggerakkan leher sedikit saja, pening langsung menyerangku dan rasanya amat sangat tidak enak. Jadi benar semalam aku mabuk, pikirku. Aku mengerang dan mulai mencoba membuka mataku. Cahaya yang menyerbu masuk secara buru-buru ke mataku membuatku buta. Aku memicingkan mataku dan berusaha menyesuaikan diri. Betapa kagetnya aku saat aku sadar bahwa aku masih ada di dalam bis yang sudah penuh sesak. Dengan Sandara Park di pangkuanku.

Aku berteriak panik dan mendorong kepala Sandara agar menjauh dariku. “Ya! Kau tidur bersamaku semalam?” Bentakku.

Sandara hanya mengerang dan memijat pelipisnya. “Aduh, aku sangat pusing,” katanya lemah.

Lima detik aku memperhatikan wajahnya, berusaha mengingat apa yang semalam terjadi. Aku tidak menyentuhnya kan? Aku tidak melakukan apa-apa padanya kan? Tanyaku dalam hati. Lalu, bayangan-bayangan tentang tadi malam menyerbu masuk ke dalam otakku.

“Oke, biarkan aku berpikir,” kataku sambil berusaha menenangkan diriku sendiri. “Aku naik ke bis ini dan kau sudah ada di dalamnya. Kau menggangguku dan akhirnya kita berdua mabuk. Dan—”

“Kau menyukaiku,” kata Sandara sambil tersenyum jahil. “Kau menyukai seorang noona berwajah kusut yang jelek dan pendek yang baru saja kau kenal.”

“Kau juga menyukaiku,” kataku dengan wajah yang panas. “Kau menyukai seorang dongsaeng perokok dan pemabuk berengsek yang baru saja kau kenal.”

Ia lalu tertawa dan menghempaskan dirinya di sampingku, membiarkan aroma alkohol dan parfumnya bercampur di hidungku. “Kukira itu karena aku mabuk,” ujarnya santai. Aku mengerutkan alisku dan ia tersenyum. “Ternyata perasaanku sama saja, ketika aku mabuk dan tidak. Aku menyukaimu.”

Aku menghela napas dan memandang keluar jendela. Namsan Tower terlihat dari kejauhan. Sangat tinggi dan terlihat agung. Kejadian itu baru kemarin, namun rasanya sudah sangat lama sekali terjadi. Seakan aku tak pernah mengenal seorang gadis tinggi semampai dengan rambut pendek yang bernama Mizuhara Kiko. Seakan hanya Sandara Park yang selama ini ada bersamaku. “Sepertinya aku juga,” kataku tanpa memandangnya, namun aku tahu ia tersipu malu.

Saat aku memandangnya, ia sedang tertawa. “Kau bau,” katanya riang.

“Seperti kau tidak bau saja!” Bentakku.

“Kapan kau mau turun dari bis ini dan pergi mandi?” Tanyanya.

“Entahlah. Sepertinya aku tak mau meninggalkan bis ini. Rasanya seperti, aku sedang berada di rumah.”

“Karena ada aku?” Tanya Sandara jahil.

“Ya. Mungkin. Aku tak tahu,” jawabku.

“Ini aneh. Disaat aku sedang gencar-gencarnya mencari cinta, aku selalu gagal. Tapi sekarang– saat aku berpikir untuk menyerah, kau datang.”

Aku menyentuh tangannya dan ia memandangku dengan sedikit rona merah di pipinya. Kemudian, aku menggenggam tangannya dan berkata, “kau tak perlu mencari cinta karena cinta akan datang sendiri padamu. Dan terkadang, cinta sejati bisa datang dari tempat yang tak terduga.”

Saat mendengarkan ucapanku, ia hanya merekahkan bibirnya dan tersenyum. “Aku tahu kau tidak seberengsek itu.”

Aku mendekatkan wajahku padanya dan melihatnya menutup matanya. Dengan tangan saling bertautan, aku mencium bibirnya. Rasanya manis dan berbau alkohol. Tapi aku menyukai rasa canggung di bibirnya dan tangannya yang terpaku di tanganku. Ini ciuman pertamanya, aku bisa tahu itu. Jantungku berdetak kencang dan aliran darahku berdesir di sekujur tubuhku.

***

Lalu, sebuah suara dentuman besar terdengar, tanganku dan tangan Sandara terpisah dan rasanya aku ingin mati. Kemudian, aku merasakan kepalaku terbentur sesuatu. Rasanya sangat sakit dan ketika aku membuka mataku, bis ini berputar dan terjungkal. Dengan panik mataku mencari sebuah sosok gadis mungil di antara orang-orang yang menjerit ketakutan dan meregang nyawa.

“Sandara!” Teriakku. Sesuatu yang hangat mengalir dari keningku dan aku tahu aku berdarah. Lalu, aku melihatnya, terbaring di seberangku dengan darah di kepalanya.

Aku berusaha berdiri dan menggapainya. Namun, saat sebuah hantaman besar terdengar lagi, aku terlontar dan titik-titik hitam mulai menghalangi pandanganku. Aku akan mati, pikirku.

Ada tiga hal yang terlintas di kepalaku saat titik-titik gelap mulai memenuhi mataku. Bir, rokok, dan.. Kau.

Dan meregang nyawa tidak pernah seindah ini.

***


[1] Aku mengerti

[2] Selamat datang

[3] Panggilan untuk kakak kelas

[4] Makanan Korea dari kue beras yang diberi bumbu pedas

[5] Jangan / tidak boleh

 

PS. cover merupakan juara II dalam cover contest DGI Love Event 2014 by Annejiyongi
 

19 thoughts on “[Finalis FF] BEER, CIGARETTE, AND YOU CHAPTER 1

Leave a comment