How to Save a Life [Part #12] : Sinner [M]

Untitled-2

Untitled-1

Author      : mbie07

Link          : HtSaL on AFF

Indotrans : dillatiffa

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

Waaah~ maaf yaa, buat yang sempet kecewa gara2 keteledoran saya kemaren.. yang ini beneran ada isinya.. hehe,

Selamat membaca… ^^

12

~ Sinner ~

 

Tidak peduli seberapa berat kita mencoba mengatakan semua yang membuat dada kita berdebar kencang, tidak akan ada kosa kata yang tepat. Kita tidak akan pernah sanggup mengatakan betapa cintanya kita pada seseorang, kita tidak akan pernah bisa mengungkapkan seberapa dalam rasa rindu kita kepada seseorang – meski orang itu hanya duduk sejangkauan dari kita. Behkan pun masih sulit, walau kulit kita saling bersentuhan dengan orang itu.

 

 

 

Dara tidak menyadari waktu yang berlalu, dia hilang arah menghitungnya, hingga tanpa sadar rupanya dia sudah duduk di kelas itu selama satu jam setengah. Dia berdiri sambil menyelipkan helaian rambutnya di balik telinga. Dia merapikan barang-barangnya. Lalu dia kemudian menyelempangkan tali tasnya ke bahu dan berjalan keluar dari kelas. Melirik kearah jam tangan, sudah jam 4.30 sore. Dia mendesah. Harusnya dia sudah sampai rumah sejak satu jam yang lalu tapi yang dia lakukan hanya melamun.

Dara sedang berjalan menuju ke ruang fakultas, saat ponselnya bergetar. Dia mengambil teleponnya merasa aneh, karena hanya sedikir orang yang tahu nomor ponselnya. Dia melihat id peneleponnya. Tubuhnya langsung membeku di tempat melihat nama Jiyong berkerlap-kerlip di layar ponsel, terus bergetar di tangannya. Dia menggigit bibirnya, memaksa dirinya untuk menekan tombol ‘answer’ lalu menempelkan ponselnya ke telinga.

“Halo,” sapanya hampir berupa bisikan, jantungnya berdebar keras. “Halo,” Jiyong balik menyapa. Keduanya diam selama entah berapa lama. “Kamu dimana?” akhirnya JIyong memecah kebisuan yang tercipta diantara mereka. Dara berdiri diam mencengkeram erat ponselnya karena bisa mendengar kerinduan tersirat jelas dalam suaranya, Jiyong mendesah menanti Dara menjawab pertanyaannya.

Dara menelan ludah. “Rumah,” dia berbohong, pandangan matanya tertuju pada langit yang terlihat jelas dari jendela di koridor. Dia menatap langit yang perlahan mulai berubah warna menjadi prange. Sekali lagi keduanya diam dan Dara merasa dirinya bisa remuk jika hal itu tidak segera dihentikan.

“Bohong,” balas Jiyong membuat mata Dara terbelalak dan tak berapa lama gadis itu mendengar suara langkah kaki datang dari arah belakangnya, tubuhnya langsung menegang. “Kenapa kamu menghindariku?” akhirnya Jiyong bertanya, tidak tahan dengan kesunyian diantara mereka serta segala yang terjadi hari ini, Dara telah benar-benar membuatnya gila, dan hal terakhir yang dibutuhkannya adalah kebisuan ini – dia bisa benar-benar hilang kewarasan.

Mereka diam disana, di koridor berlatar belakang sunset. Dara masih memunggungi Jiyong dengan ponsel masih menempel di telinganya – sama seperti Jiyong sendiri.

Bagaimana mungkin kita bisa merasakan begitu banyak perasaan untuk seseorang? Bagaimana bisa setiap gerakan, desahan, diam, hingga segala hal kecil yang dilakukan memberikan berjuta perasaan hingga membuat dada kita hampir meledak sampai-sampai butuh waktu untuk beristirahan sejanak? Bagiamana bisa seseorang membuat kita gila secepat itu dan tak lama kemudian kita akan menemukan diri kita tidak bisa berpikir dengan benar.

Bagaimana bisa Dara membuat Jiyong merasakan banyak hal sekaligus? Bagaimana bisa Dara membuat Jiyong merasakan segala hal gila itu?

“Apa itu karena hal yang kemarin?” tanya Jiyong. “Atau karena kejadian pagi ini?” tanya Jiyong, namun kata-katanya hanya dibalas oleh kebisuan dari Dara. Jiyong menjambak ramuynya. “Tolong jawab aku, katakan saja, aku hampir gila,” katanya lirih, tidak, dia memohon.

Dara menelan ludah kemudian perlahan berbalik menatap Jiyong. Dia membiarkan lengannya jatuh begitu saja disisi tubuhnya sambil menekan tombol ‘end’ pada ponselnya. Suara ‘beeb’ yang terdengan kembali membuat Jiyong menjambak rambutnya kemudian memasukkan ponselnya kedalam saku. “Kwon,” panggil Dara dengan nada tajam, Jiyong menatapnya.

“Kamu harusnya tahu dimana kamu menempatkan diri. Aku ini dosenmu,” katanya menatap langsung ke mata Jiyong yang hanya berdiri diam. “Aku ini lebih tua darimu dan kamu harusnya bisa menghormatiku,” tambahnya. “Kamu ini hanya salah satu dari mahasiswaku. Kumohon. Inat itu baik-baik,”

“Ada garis yang memisahkan kita,” Dara mengakhiri perkataannya. Jiyong hanya berdiri diam merasakan perasaan yang selama ini belum pernah dia rasakan sebelumnya – tubuhnya kebas. Dia masih diam selama beberapa saat mencoba memahami semua yang coba Dara sampaikan. Dia mendesah dan memaksa dirinya untuk menganggukkan kepala. “Baiklah,” katanya lalu memaksakan sebuah senyuman.

:Maafkan saya karena sudah melewati batas Ms. Park,” katanyanya sambil membungkukkan badan didepan Dara yang menatapnya dengan penuh keterkejutan hingga nafasnya berhenti sesaat. “Jangan khawatir, saya tidak akan pernah membiarkan diri saya kembali melewati batas,” katanya menatap langsung ke mata Dara. “Jika itu adalah yang Anda harapkan, maka mulai dari sekarang saya akan menjaga jarak diantara kita,” lanjutnya memaksa setiap kata itu keluar dari tenggorokannya.

Jiyong selama ini mencoba menjembatani jarak diantara mereka. Tentu saja dia tidaklah bodoh; dia sangat mengerti hanya dengan Dara merupakan dosennya adalah sebuah perbedaan besar yang terlalu sulit untuk dilewati.

Jiyong kembali membungkukkan badan. “Saya harus segera pergi,” kaanya lalu membalikkan badan dan berjalan menjauh dari Dara, di setiap langkah yang dia paksakan, dirinya rasanya hancur berkeping. Jiyong berhenti melangkah sejenak, mata Dara masih terpaku pada Jiyong. Pria itu mendesah dan menyimpan kedua tangannya didalam saku dan kembali melanjutkan langkah.

Dia sudah berada diujung koridor dan baru akan menuruni tanga saat ponselnya mulai bordering, membuatnya berhenti di tempat. Dia mengeluarkan ponselnya tanpa mau repot melihat identitas peneleponnya, dia merasa sangat lelah saat itu. “Jangan,” suara Dara terdengar dari ujung sana, suaranya sangat pelan. Seolah dia membutuhkan seluruh tenaganya untuk mengatakan hal itu. “Aku tidak ingin ada jarak diantara kita,” lanjutnya, Jiyong langsung berbalik menatap Dara.

Dara berdiri di tengah koridor, barang-barangnya berserakan di lantai di sekitarna, kepalanya tertunduk dengan telepon digemnggam erat menempel di telinganya. Gadis itu menggigit bibirnya keras bisa merasakan darahnya bercampur dengan ludahnya.

Apa yang sedang kulakukan? Tanyanya kepada dirinya sendiri lagi dan lagi dengan tangan terkepal erat. A[a yang sebenarnya kulakukan? Teriaknya dalam hati, perlahan tubuhnya bergetar. Bagaimana bisa dia selalu membiarkan dirinya lemah dihadapan Jiyong? Semua orang tahu dia suah berusia 28 tahun namun lihat dirinya sekarang, menahan seorang pria yang baru berusia 19 tahun.

Pria 19 tahun yang bersikap layaknya anak SD, yang disebut sebagai seorang pelukis jenius, seseorang yang sangat innocent dan kekanakan.

Tapi pria itu cukup dewasa untuk memahami dirinya.

Meskipun orang itu adalah mahasiswanya.

Dan orang itu sangat mirip dengan Seunghyun, dan itulah yang sangat menyakitkan baginya.

Jiyong mengembalikan ponselnya kedalam saku lalu berjalan kembali ke tempat Dara, perjalanan yang rasanya selamanya, dia lalu berlari dan langsung mengunci Dara dalam pelukannya, memeluknya erat. Menariknya lebih dekat, menahannya seolah tidak akan pernah melepaskannya.

Dara tahu hal ini adalah salah, tidak peduli dari mana dilihat, selalu saja hal ini akan menjadi salah. Dan mungkin dia baru saja membuat kesalahan terbesar dalam hidupnya yang sudah tidak ada artinya ini.

Kesalahan yang perlahan dipercayai, yang mungkin entah dimana dalam rasa sakit ini, dalam cerita ini Jiyong bisa menyelamatkannya.

*

“Ayo kita jalan besok!” kata Bom saat mereka sedang berjalan keluar dari kelas. “Besok hari sabtu,” katanya tersenyum, yang lain mengangguk setuju. “Kemana kita akan pergi?” tanya Minzy, mereka mulai memberikan usulan satu per satu. “Aku pilih taman hiburan!” kata Jiyong sambil mengangkat sebelah tangannya, membuat yang lain menatapnya tak percaya.

“Apa? Taman hiburan bukan hanya untuk anak-anak!” rengeknya membela diri yang tidak diindahkan oleh teman-temannya. Daesung mengusap wajahnya dengan telapak tangan. Mereka sudah hampir saling kenal selama tiga bulan, namun masih saja sulit bagi mereka untuk menerima keanehan dan sifat kekanakan Jiyong. “Bisakah kamu mengusulkan hal lain?” tanyanya. “Ahmmm…” kata Jiyong, berhenti sejenak untuk berpikir. “Toko mainan?” tanyanya polos, membuatnya mendapat tatapan ngeri dari teman-temannya yang hanya dia tanggapi dengan tawa – dan langsung mendapat pukulan di kepala.

“Wah! Aku tidak pernah tahu kalau teman-temannya ternyata tukang bully!” rengeknya sambil mengelus bagian belakang kepalanya. “Bersikaplah dewasa bodoh!” desis Bom padanya. “Aku tidak mau berdebat dengan burung hantu tua cerewet sepertimu!” balas Jiyong, Bom sudah siap mengangkat kepalan tangannya untuk memukul Jiyong lagi namun dicegah oleh Hyunseung dan Daesung. Bom protes keras yang dibalas Jiyong dengan juluran lidah. “Burung hantu tua cerewet,”

“Tunggu oppa, apa kamu tidak bekerja hari ini?” tanya Minzy dan mereka semua langsung diam menatap Jiyong. “Yeah, sebenarnya agak kaget karena kamu masih disini bersama dengan kami semua,” kata Hyunseung menertawakan wajah merana Jiyong. Jiyong sebenarnya sedang mencoba melupakan bahwa Dara sedang pergi menghadiri sebuah seminar pada hari itu, dan bagusnya teman-temannya yang baik itu justru malah mengingatkannya.

Jiyong sudah bekerja selama beberapa minggu sebagai asisten dosen Dara. Dia akan membawakan tumpukan sketchpad serta merapikan barang-barang gadis itu, kadang malah dia ikut menyusun agenda harian hingga mengantarkan barang sampai ke rumah Dara. Meski begitu, Jiyong tidak pernah protes, bersama dengan Dara itu rasanya seperti naik rollercoaster – perubahan mood-nya bisa membuat sakit kepala.

Jiyong sangat bahagia bisa bekerja bersama dengan Dara, mengesampingkan semua hal itu. Hanya dengan tahu bahwa dirinya sedang melakukan sesuatu untuk Dara, cukup untuk mengombangi segala perubahan mood Dara.

“Kalau diingat-ingat, seharian ini kamu bersama dengan kami,” komentar Daesung. “Jangan bilang Ms. Park sudah memecatmu,” kata Bom sambil menyilangkan lengan di dada, menyipitkan mata menatap Jiyong. “Tutup mulutmu! Dia tidak akan pernah memecatku!” seru Jiyong membela diri. “Dia sedang menghadiri sebuah seminar, oke?” kata Jiyong dengan bibir cemberut lalu memutar bola matanya.

Dia sangat merindukan Dara. Dia sampai menyumpahi semua jenis seminar yang ada membusuk di neraka.

“Oooh,” jawab teman-temannya serempak. “Aishh,” desis Jiyong sambil menggaruk kepalanya. “Putuskan saja kemana kita akan pergi besok, jika kalian tidak ada yang mau pergi ke taman hiburan,” tambahnya membuat teman-temannya yang lain melompat senang, dan langsung berhenti begitu melihat direktur universitas sudah berdiri didepan mereka. Mereka semua langsung menundukkan kepala hormat.

“Bisakan aku meminta waktumu sebentar, Mr. G-Dragon?” tanyanya membuat Jiyong langsung mengangguk lalu berpamitan kepada teman-temannya. Mereka berdua berjalan menuju ke ruangan, kebisuan menyelimuti mereka berdua selama beberapa saat. “Ahmm, pak, apa yang ingin Anda bicarakan?” tanya Jiyong sopan ingin segera tahu alasan direktur memanggilnya. Hyunsuk menoleh menatap kearah Jiyong. “Apa kamu ingat permintaan yang kusampaikan padamu?” ranyanya perlahan, wajahnya langsung memerah. “Lukisan nudis itu?” tanya Jiyong lirih. Hyunsuk tersenyum padanya dan mengangguk.

*

Jiyong berguling kekanan dan kekiri diatas tempat tidurnya, lalu berbaring diam dengan kedua tangan merentang lebar. Matanya tertuju pada langit-langit kamar, kemudian beralih pada jam dinding Mickey Mouse-nya yang glow in the dark. Jam 3.00 pagi, begitu kata si jam, dan Jiyong menendang lepas selimut dari tubuhnya lalu mengacak rambutnya frustasi.

Dia berdiri menatap kosong kamarnya yang gelap. Dia menjerit pelan. “Aku ingin tidur,” rengeknya dan mulai memukuli tempat tidurnya. Dia lalu kembali berbaring dan langsung teringat pada permintaan direktur kepadanya.

Pipinya merona merah, tubuhnya langsung kaku, dan tangannya langsung mengambil bantar yang dia tutupkan pada wajahnya. “Kumohon biarkan aku tidur,” pintanya siap menangis. Dia mendesah dan turun dari tempat tidur, berjalan keluar dari kamarnya setelah tidak lupa mengambil jaket. Dia beranjak menuju pintu dengan membawa kunci duplikat miliknya.

Angin dingin menyambutnya, menyentuh wajahnya, seketika itu juga tubuhnya langsung menggigil. Dia kemudian menutup pintu dan tanpa berkata apa-apa mulai berlari, ingin menjernihkan kepalanya.

Dia bersumpah bahwa dia sungguh-sungguh gila sekarang.

*

Jiyong duduk diam hampir tidak berani bernafas, jantung berdetak keras, aliran darah dua kali lebih cepat dari pada saat normal – rasanya sedetik lebih lama lagi dan dia positif gila. Besoj, jam 5 sore temui dia di rumahnya. Dia ingat perkataan sang direktur saat dia menepukkan kedua tangannya mendesah.

Dia berada di rumah-nya sekarang, duduk di ruang tamu dengan segala perlengkapan yang dia butuhkan didekatnya, sketchpad di pangguan, dan tangannya menggenggam pensil. Dia memejamkan matanya erat dan mencoba untuk fokus, mencoba rileks namun tidak peduli apapun yang dia lakukan sama sekali tidak bekerja. Semakin dia berusaha semakin jantungnya berdetak keras di dalam dada, dan semakin darahnya mengalir deras ke otak.

Jiyong mendengar suara pintu terbuka, matanya langsung terbuka dan keringat dingin muncul di keningnya karena hal itu. Dia menghembuskan nafas sebelum menelan ludah. Dia kemudian mendengar suara langkah kaki datang dan tak berapa lama hatinya berhenti saat melihat-nya duduk dihadapannya, mata mereka bertemu. Dia mengenakan jubah sutra berwarna biru, rambutnya disatukan dengan cantik dengan sebuah aksesoris berbentuk kupu-kupu.

Siapa yang menyangka bahwa anak angkat direktur adalah dia, Sandara Park?

Jiyong merasa kepalanya pusing karena terlalu banyak hal yang dia rasakan didalam dadanya. Dara kemudian perlahan melonggarkan ikatan jubahnya dan udara langsung keluar dari seluruh sistem di tubuh Jiyong – masih menatap Dara.

Dara kemudian melepas jubah dari tubuhnya dan meletakkannya diatas meja terdekat darina. Kemudian dia duduk didepan Jiyong, telanjang.

Jiyong menatap Dara, jantungnya berhenti berdetak. Jiyong menatap tubuh Dara, kulitnya yang bersinar, lekukan tubuhnya, serta bekas luka dalam yang tertoreh disana. Separuh tubuhnya tertutup oleh bekas luka. Bekas luka yang dia dapatkan saat dia mencoba menyelamatkan diri. Bekas luka yang terus mengingatkannya pada momen saat dima adia kehilangan Seunghyun tepat didepan matanya. Bekas luka yang terus mengatakan padanya bahwa dirinyalah yang membunuh Seunghyun.

Bahwa dirinyalah yang harus disalahkan.

Suara pensil yang jatuh menggelinding di lantai kayu menggema dalam kebisuan diantara mereka berdua, Jiyong memungutnya, merasa malu. “Kelihatannya kamu tidak bisa melakukan hal ini,” kata Dara membuat Jiyong menatapnya, matanya melebar. Jiyong menggelengkan kepalanya menarik paksa sebuah senyum. “A-aku bi-bisa melakukan ini ,” jawabnya tergagap dibawah tatapan mata Dara. Tubunya gemetaran, tangannya bergetar hebat, sementara dia sedang berusaha menguatkan hati.

“Apa kamu yakin?” tanya Dara, Jiyong mengangkat kepalanya dan pandangan mata mereka bertemu. Dia memejamkan matanya erat dan menarik nafas dalam. “Ya,” jawabnya, Dara sejenak menatapnya. Dara kemudian menganggukkan kepalanya pelan, lalu dia menghadap kesisi kanan, kakinya ditekuk didepan dada. Dia menyandarkan kepalanya di lututnya, dengan wajah dia hadapkan kearah Jiyong dan tangannya memeluk kakinya. Matanya lalu terpejam dan saat itu juga Jiyong menatap Dara dengan penuh kekaguman lebih dari segala hal lain.

Mata Jiyong memeriksa seluruh detail Dara. Kulitnya, kakinya, lekuk tubuhnya, dan bekas luka yang menyelimuti seluruh punggung dan separuh perutnya, separuh paha kanannya, tengkuknya serta punggung kanannya.

Dia catik. Dia sangat-sangat cantik.

Dan tanpa disadari Jiyong menggenggam pensilnya erat. Detak jantungnya melambat, lebih releks, nafasnya lebih teratur. Dia memejamkan mata dan menarik nafas dalam. Dia membuka mata dan sesaat kemudian dia mulai menggambar Dara di sketchpad-nya. Setiap goresan bergerak dalam harmoni bersama dengan detak jantungnya.

Jiyong menggambar sketsa Dara tidak hanya di sketchpad-nya, melainkan juga didalam hatinya. Tidak, dia membakar gambaran diri Dara dalam hatinya; dia membakarnya perlahan, membakarnya dalam.

Dara memiringkan kepalanya, merentangkan tubuhnya yang terasa mati rasa. Jiyong berdiri, mengemasi barang-barangnya kedalam tas sambil memandangi pemandangan diluar. Sekarang sudah gelap. Dia melihat jam tangannya, 6.32, kemudian perlahan berjalan menghampiri Dara tahu benar bahwa menjadi model benar-benar membuat mati rasa.

Dara mencoba bangun berdiri namun gagal. Jiyong langsung menyambar jubahnya dan menyelimutkannya pada tubuhnya. “Jangan memaksakan diri,” katanyanya cemas sambil berjongkok dihadapan Dara. Mata mereka bertemu dan mereka diam, Jiyong tanpa sadar menyentuh pipi Dara dengan punggung jemarinya, mata mereka masih saling menatap satu sama lain.

Dara mengalihkan pandangannya. “Bagaimana menurutmu?” tanya Dara pelan dibawah tatapan mata Jiyong. Dia tidak tahu kenapa dirinya menanyakan hal itu pada Jiyong dan kenapa pula dia harus repot-repot bertanya. Tangannya mencengkeram jubahnya erat. “Maksudku,” katanya sambil menghembuskan nafas berat, kembali menolehkan kepalanya sehingga matanya langsung menatap mata Jiyong. “Tubuhku, jelek kan?”

Jiyong dia beberapa saat, masih menatap Dara. Dara menggigit bibirnya saat mencoba bangun perlahan. Dia berhasil berdiri, namun kembali kehilangan keseimbangan. Jiyong dengan cepat memeluknya dan mata mereka sekali lagi bertemu.

Ada kebisuan diantata mereka seolah dunia berhenti berputar.

“Kamu cantik,” bisik Jiyong membuat jantung Dara berdetak cepat. “Kamu jauh lebih cantik dari yang kukira,” tambahnya, nafasnya menyentuh bibir Dara mengingat betapa dekatnya jarak mereka. Jiyong menunduk sampai bibirnya menyentuh bibir Dara. Dara ingin mendorongnya menjauh dan suara dalam kepalanya menyuruhnya melakukan hal itu. Namun saat bibir Jiyong yang hangat menyentuh lembut bibirnya, dia memejamkan matanya perlahan.

(T/N >> MINORS BACK OUT)

Jiyong melingkarkan lengannya di pinggang Dara, menariknya semakin dekat, mengklaim bibir gadis itu. dia mulai menciumnya merasa mendapat ijin. Dara bisa merasakan ketidaktahuan dari setiap gerakan bibir Jiyong, dari caranya menciumnya. Ciuman itu manis, hanyat, murni, dan sepenuhnya lugu.

 

Dara perlahan mengalungkan lengannya pada Jiyong, semakin memperdalam ciuman mereka, menempelkan tubuhnya semakin dekat dan mulai membalas ciuman-ciuman Jiyong. Dan mereka berdiri di ruang yang temaram, saling berciuman. Jiyong lalu melepas jubah yang menutupi tubuh Dara, membiarkannya jatuh di lantai begitu saja, tangannya mulai menjelajah ke seluruh tubuh Dara. Dara memiringkan kepalanya, semakin menuntut dalam ciuman mereka, Jiyong menyusupkan lidahnya pada mulut Dara dan ingin merasakan keseluruhan Dara. Tak berapa lama, Dara menemukan dirinya merespon semua yang dilakukan Jiyong, lidahnya berdansa dengan lidah Jiyong dan bisa merasakan dengan jelas tangan Jiyong yang menyentuh tubuhnya.

 

Jiyong lalu melepas bibir Dara yang sudah membengkak dan mulai menciumi rahang bergerak turun sampai ke lehernya dan detik berikutnya dia sudah menciumi seluruh bekas luka Dara. Dia menciuminya seolah berharap dengan begitu dia bisa menyembuhkan gadis itu. “Kamu sangat cantik,” bisiknya sambil terus menciumi tubuhnya, punggungnya, semuanya. Dia menciumi bekas luka Dara. Bibirnya yang basah menyentuh kulitnya. “Kamu sangat cantik,” bisiknya lagi dan lagi.

 

Dara merasa dirinya dibawa lari dari kenyataan, seolah dia dilimpahi berkah yang dibawa oleh bibir dan sentuhan Jiyong.

 

Dara merasa diirnya terbakar, terbakar karena merasa dimanjakan oleh sesuatu yang terlarang, sesuatu yang dia tahu akan dia sesali.

 

Dara sudah melewati batasan, tidak, mereka berdua sudah melewati batas.

 

Jiyong lalu kembali mengklaim bibir Dara sekali lagi dan menggendong tubuh gadis itu di lengannya, membawanya ke kamarnya. Begitu Jiyong sampai di tujuannya, dia membaringkan Dara perlahan di ranjang. Tak berapa lama, Dara lalu meraih kaos Jiyong, menariknya, memintanya untuk melepaskan. Jiyon melempar kaosnya ke lantai dan detik berikutnya dia sudah telanjang. Tubuh Jiyong menekan tubuh Dara hingga gadis itu bisa merasakan mereka bersentuhan dari kulit ke kulit, dan hal itu membuat Jiyong hilang kesadaran. Dara semakin menarik Jiyong mendekat, lebih dekat, kulit mereka bersentuhan, lalu kemudian mulai menyadari bahwa Jiyong bukanlah anak-anak seperti yang selama ini dipikirnya.

 

Jiyong adalah seorang pria yang sekarang sedang bercinta dengannya. Dia merasa ganjalan dalam tenggorokannya saat kesadaran akan hal itu memukulnya keras. Dia bukannya sedang bercinta dengan Jiyong. Dia sedang berhubungan seks dengan Jiyong.

 

Mereka berhubungan seks.

 

Dan Dara tahu hal itu sangatlah salah! Hal itu tidak seharusnya terjadi. Dia harusnya bisa lebih pintar. Dia harusnya tidak membiarkan hal ini terjado. Dia harusnya menghentukan hal ini agar tidak terjadi, tapi semakin dia ingin menghentikan semuanya dia justru semakin menginginkannya.

 

Dara tidak  bisa menghentikan dirinya. Dia tidak bisa meminta Jiyong untuk berhenti.

 

Dara menginginkannya, dia menginginkan hal ini. Dia sangat haus akan hal ini. Dan ya, dia adalah pendosa.

 

Dara menjelajah tubuh Jiyong dengan tangannya saat pria itu menciumi lehernya, menghisapnya, bibir Jiyong bergerak pada tulang selangkanya dan kemudian mengklaim buah dadanya. Dara melengkungkan tubuhnya dan menjerit dalam kepuasan saat Jiyong menghisapnya, merasakan dan bermain dengan tubuhnya. Jiyong merasa semakin terbakar mendengar lenguhan Dara, membuatnya gila.

 

Dara sudah membuatnya gila.

 

Jiyong menggenggam tangan Dara, menautkan jemari mereka berdua saat perlahan dia memasukkan tubuhnya kedalam tubuh Dara. Dia mengeram merasakan betapa sempitnya gadis itu diantaranya dan rasanya nafasnya semakin sesak. Nafsu dan kenikmatan bercampur membuatnya semakin gila. Itu sepenuhnya adalah kegilaan yang mengendalikannya. Dia menginginkan Dara lebih. Dia membutuhkan Dara lebih. “Dara…” bisiknya dan hal ini rasanya sangat benar. Dia merasa seperti sudah menanti seumur hidup untuk bisa memanggil nama gadis itu. Seolah suaranya sudah sekarat ingin segera memanggil namanya, bibirnya sekarat ingin mengucapkan nama itu lagi dan lagi.

 

Jiyong menggigit bibirnya begitu dia mulai bergerak, Dara bergerak bersamanya. “Dara!” gumamnya mendorong dirinya semakin dalam. Jantungnya berdetak keras didalam dada. “Dara…” rintihnya. Mereka sedang menjadi satu dan rasanya dunia Jiyong perlahan menjadi lengkap. Pada saat itu Dara adalah miliknya. “Dara…”

 

Dara tercekat merasakan Jiyong didalam tubuhnya, dalam. Pikirannya mulai kabur dari kenyataan dan tubuhnya gemetaran saking banyaknya kenikmatan yang dia rasakan, terbakar dalam dosa.

 

“Seunghyun…” katanya pelan.

Tepat pada saat itu dirinya sangat dekat dengan kita, kita menciumnya, kita berpikir bahwa dia adalah milik kita namun saat itu juga kita disadarkan bahwa dia tidak pernah menjadi milik kita dan tidak akan pernah menjadi milik kita.

Dan itu adalah kerinduan yang paling menyakitkan.

 ~ TBC ~

{author’s blah} lol i bet you cringed on how ugly this was written lol. sorry peeps if you expected so much from this haha this is really the storyline.
haha. that’s it. dara’s bitchy here and well honestly this is a lighter version of in heaven. that’s it.
how can jiyong knows about this love making things guys he’s just childish okay? he’s still a guy lmao

HTSAL

Saya masih belum bisa beranjak dari ekspresi mereka berdua, walopun mata Jiyong rada nyeremin (ada yang pernah nonton ‘The Covenant’? mata Ji mirip sama mas2nya yang disitu kalo mereka lagi make kekuatan~ >.<) Jadi, maaf sekali lagi buat yang bosen… :p

Ehem, ada yang penasaran kenapa rated M ini nggak saya PW kaya di TCND?? Ada yang tahu??

Saya sendiri juga sebenernya bingung, mungkin karena adegan diatas lebih menyedihkan dibanding bikin orang horny siang bolong begini.. hmms, who now?

Salah satu alasan saya sih, karena pas TCND itu kita ‘melihat’ eksperimen mereka; sementara disini kita ‘diberitahu’ tentang perasaan mereka.. ada yang paham maksud saya?? LOL

Kapan saya bisa update lagi, kapaan??? >.<

Prolog 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 Epilog FN

73 thoughts on “How to Save a Life [Part #12] : Sinner [M]

  1. Aku harus komen apaa yaa? ehm, kok dilanjutin sih kan seharusnya dara unnie menghentikan jiyong. Yah mudah mudahan aja gara gara kejadian itu mereka nggak jauh jauhan

  2. Semoga jiyong gak denger dara nyebut nama seunghyun,,
    Klau denger pasti perasaan jiyong sangat hancur,,
    Bener kata authornya,,bacanya bukannya horni malah sedih

  3. Sumpah … ini nyesek …
    Knp dara mnggil seunghyun.. oh God ..gmn dgn prsaan jiyong nnti .. Tuhan klo jiyong dnger ‘seunghyun’ ntu psti sngat sangaattt menyakitkan …
    Aahhhh nyeseekkkk

  4. Oow .akhirnya ,,meraka menuju puncak asmara …,tp ko dara malah manggil seunghyun …kan lg ma jiyong ..aduh.. knp..dara ..sampai segitunya…

  5. Oow .akhirnya ,,meraka menuju puncak asmara …,tp..tp,, ko dara malah manggil seunghyun …kan lg ma jiyong ..aduh.. knp..dara ..sampai segitunya…

  6. Kayknya semua cowo itu memang menjadi dewasa ketika berhubungan dengan itu….
    Masih inget deh… saya baca prt ini pas umur 15, dan jujur waktu itu bener-bener gak maksud bgt… tapi sekrang udah.. .kekekek

  7. Kok aku jadi sakit hati waktu dara manggil seunghyun.. semoga daddy ga denger 😭😭. Wah jiyong bisa perkasa jg ya wahahaha

Leave a comment