Imperfect : Part #5

imperfect copy

multishot | daragon | angst

Sebenernya outline untuk cerita ini udah slese *ada hikmahnya saya ketinggalan kereta dan kudu nongkrong di stasiun lebih dari 3 jam.. LOL* cuman masalahnya, saya ini lagi males ngetik.. >.< ngetik apapun.. cerita saya sendiri, trans, bahkan sampe tugas pun malesnya bukan main~ >.<
Cuman berhubung saya galau gara2 lapdance dan sexy Dara, saya memaksakan diri buat nyelesein part ini dan update.. semoga bisa sedikit memberikan pencerahan.. T___T

~ Imperfect – Fight ~

 

“Dara-ah!” seru Jiyong melihat Dara merendahkan kepalanya sampai ke lantai – bersujud dihadapan Kang Johyun, ayah biologis Hayi. Mereka bertiga – dirinya, Dara, dan Kang Johyun – tengah berada di salah satu ruangan khusus yang ada di Penjara Seoul. Mereka meminta ijin khusus untuk tidak menggunakan ruang jenguk biasanya karena mereka butuh privasi.

“Aku benar-benar memohon kepadamu,” ucap Dara setelah menepis tangan Jiyong yang mencoba membantunya berdiri, dan bertahan pada posisinya. “Aku akan melakukan apapun agar kau bersedia mendonorkan ginjalmu.”

Jiyong mendesah frustasi, tapi tetap berlutut disebelah Dara, memegangi bahu wanita itu.

Tadi Jiyong telah menjelaskan situasinya kepada Kang Johyun, bahwa tindakan pemerkosaan yang dilakukannya bersama dengan teman-teman premannya dulu telah membuat Dara hamil. Dia pun tidak lupa menjelaskan kondisi Hayi, yang membuat mereka terpaksa menemuinya. “.. tadinya kami sama sekali tidak memiliki niat untuk melibatkanmu dalam kahidupan Hayi. Aku bersedia menjadi ayah baginya, tapi saat ini kaulah yang dibutuhkannya. Jika aku bisa, akan kuberikan kedua ginjalku, tapi dia tidak membutuhkan milikku.” Begitu perkataan Jiyong tadi.

“Katakan sesuatu, sial!” seru Jiyong, tak tahan melihat Kang Johyun masih saja diam meski Dara sudah hampir setengah jam bersujud.

“Dara-ah, bangunlah…” pinta Jiyong, namun wanita itu tidak bergeming.

Jiyong kembali menatap Kang Johyun. “Yah! Katakan sesuatu!!” kali ini suaranya lebih keras. Dia tidak suka melihat keadaan Dara saat ini. Seharusnya, Kang Johyun yang bersujud dihadapan Dara, bukan sebaliknya!

Kang Johyun yang belum hilang dari rasa kaget, menunduk menatap kepada dua orang dihadapannya. Wanita itu, wanita yang tengah bersujud kepadanya, adalah wanita yang sama yang menyebabkannya berada dalam penjara hingga kini. Tidak pernah – bahkan dalam imajinasi terliarnya sekali pun – dia membayangkan wanita ini akan mendatanginya. Bahkan saat persidangan dulu, wanita ini menolak untuk hadir. Hampir saja dia melupakan wajah cantik itu. Dan Kang Johyun lebih tidak bisa mempercayai pandangan matanya saat melihat wanita itu bersujud memohon kepadanya.

Dia sama sekali tidak tahu jika wanita itu hamil dan memiliki anak, lebih tidak tahu lagi jika sperma-nya lah yang membuat wanita itu hamil. Dan sekarang – setelah lima tahun membuatnya terkurung didalam penjara, wanita itu datang untuk meminta organ tubuhnya begitu saja! Walaupun wanita itu berkata demi anaknya – anak yang tidak pernah dia ketahui dan harapkan, tapi mungkin ini bisa menjadi kunci kebebasannya.

Kang Johyun bukan nama baru di Penjara Seoul, namun dia baru menjalani hidup dibalik jeruji selama 5 tahun, masih ada 20 tahun – itu sudah dikurangi dengan grasi dan remisi – dari hukumannya yang 30 tahun 11 bulan penjara. Lalu perkataan wanita itu kembali terngiang dalam telinganya. “.. apapun…”

Jiyong menatap pria berbaju tahanan dihadapannya. Dia tidak suka melihat seringai di wajah pria itu. Firasatnya bilang, bahwa pria itu merencanakan sesuatu.

“Baiklah…” kata Kang Johyun pada akhirnya, membuat Dara perlahan mengangkat kepalanya, meski belum sanggup menatap wajah pria itu. “Tapi aku punya syarat…” lanjutnya.

“Cepat katakan.” Sahut Jiyong, tidak sabar untuk segera membawa Dara keluar dari sini. Sebagian dari dirinya menyesali idenya ini.

“Aku ingin kalian mengeluarkan aku dari sini.” Katanya lambat dan jelas.

Mendengar hal itu tubuh Dara langsung membeku, sementara Jiyong langsung melompat berdiri dan bersiap meninju wajah pria tidak tahu diri itu.

Jiyong sudah memegangi kerah baju tahanan Kang Johyun saat telinganya mendengar Dara bersuara.

“Baiklah.”

“Mworago?!” Jiyong menolehkan kepalanya menatap Dara. “Dara-ah!”

Dara yang masih pucat pasi, menatap Jiyong – alih-alih menatap Kang Johyun, tajam. “Kubilang baiklah, aku akan memberikan jaminan untuk mengeluarkannya dari penjara.”

“Apa kau sudah gila?!” seru Jiyong, melepaskan kerah kemeja Kang Johyun, lalu menarik berdiri Dara melalui kedua lengannya.

“Ya, aku sudah gila!” balas Dara tak kalah keras. “Aku sudah gila, karena aku tidak tahu cara lain lagi untuk menyelamatkan Hayi! Jika dia hanya ingin bebas dari tempat ini maka aku akan melakukan segala cara untuk membuatnya bebas! Karena dia satu-satunya harapan Hayi!!” dia tidak sanggup lagi menahan air matanya. “Hayi tidak boleh menunggu terlalu lama, dia tidak boleh terus menderita…”

Mendengar itu, Jiyong langsung menarik Dara kedalam pelukannya, hatinya sakit kembali menjadi saksi hancurnya wanita itu.

Sementara itu, Kang Johyun sama sekali tidak peduli dengan drama yang terjadi didepan matanya. Yang dipedulikannya hanyalah bahwa dia akan segera keluar dari tempat terkutuk ini.

**

Hayi mengedipkan mata bulatnya pada Dara, cepat; tak lupa memasang senyumnya yang termanis. Melihat putrinya melakukan aegyo, Dara hanya bisa mendesah pasrah. Baru-baru ini semenjak dia kembali masuk rumah sakit, Hayi mempelajari bahwa ibunya itu tidak bisa menolak permintaannya jika dia mengedipkan mata cepat dan memasang senyum manis.

“Aegy-ah, Haejin akan mengganggu dokter ahjussi nanti…”

“Tapi omma, Hayi takut… omma dan appa tidak bisa menemani Hayi disana, jadi biarkan Haejin yang menemani Hayi.” Kali ini bocah itu memasang wajah mengiba.

Dara mengalihkan pandangannya kepada Jiyong, meminta bantuan. Jika terus seperti ini dia akan mengiyakan apapun permintaan Hayi, betapa konyolnya pun permintaan itu. Seperti membawa Haejin – boneka kelinci putih miliknya – masuk kedalam ruang operasi.

“Hayi-ah…” kata Jiyong, berdiri disebelah Dara dan meletakkan tangannya di bahu wanita itu. “Haejin bilang pada appa, sebenarnya Haejin takut melihat darah..” Dara menatap Jiyong, tak percaya pria itu datang dengan ide seperti ini – menjadikan Haejin si boneka kelinci putih sebagai alasan. Dalam hati dia memuji kemampuan pria itu dalam berkomunikasi, sungguh.

“Chincha?” Hayi kaget, menganggap bahwa Haejin-nya harusnya lebih dulu memberitahunya, bukan appa-nya. “Tapi Haejin selalu menemani Hayi saat cuci darah, appa…” jangan remehkan kemampuan berpikir anak-anak.

“Neh, karena Hayi tidak tidur saat cuci darah, dan ada omma yang juga ikut menemani. Tapi saat nanti operasi,  Hayi akan tertidur, dan Haejin akan takut didalam sana…”

Dan seperti yang diharapkan, si kecil Hayi memakan perkataan Jiyong dan merelakan sahabatnya dalam pengawasan Dara. Tak lama setelah Hayi meminta Dara berjanji untuk menjaga Haejin-nya dengan baik, perawat masuk kedalam kamarny, siap membawa Hayi ke ruang operasi..

“Hayi-yang sekarang sudah waktunya, kaja..” ajak sang perawat.

“Neh, perawat eonni.” Jawab Hayi.

Dara dan Jiyong menyingkir, memberikan ruang kepada perawat untuk bersiap.

Dara tak bisa menahan air matanya, seandainya mungkin dengan senang hati dia akan bertukar tempat dengan Hayi. Putrinya ini masih terlalu kecil…

“Omma…” panggil Hayi, menyadari ibunya kembali menangis. Selalu saja seperti ini, meski ibunya itu selalu menuruti apapun kemauan dan permintaannya setiap kali dia masuk rumah sakit, tapi Hayi lebih memilih ibunya yang keras dan tegas saat mereka di rumah. Karena Hayi tidak pernah suka melihat ibunya menangis. “Uljimayo…” katanya lembut.

Perawat mulai mendorong ranjang Hayi menuju ke ruang operasi, Dara dan Jiyong mengiringi dari samping.

“Aigoo, omma tidak menangis aegy-ah.. mata omma kemasukan debu.” Kilahnya, tidak mau terlihat lemah saat putrinya membutuhkannya kuat.

“Chincha?” Hayi yang tak mau percaya begitu saja memicingkan matanya curiga.

“Neh, chincha.” Sahut Dara berusaha agar suaranya tidak terdengar bergetar.

Hayi percaya saja dengan ucapan ommanya, namun untuk memastikan dia meminta Jiyong agar menjaga Dara agar jangan sampai menangis. Dengan tangannya dia memberi isyarat agar Jiyong mendekat kepadanya, hal itu membuat Dara heran.

“Appa, jangan biarkan omma menangis. Hayi tidak mau kalau omma menangis.” Bisik Hayi setelah Jiyong mendekatkan kepalanya.

“Aegy-ah…” Jiyong tercekat mendengarnya. Hayi sering memintanya untuk berjanji untuk menjaga Dara agar jangan sampai menangis. Namun kali ini, terasa ada yang lain.

“Appa…” desak Hayi tidak juga mendapatkan jawaban dari Jiyong.

Jiyong segera tersadar, lalu tersenyum kepada gadis kecil itu. “Neh, aegy-ah…”

Mata Hayi berbinar mendengarnya. “Yaksok?” dia mengulurkan jari kelingkingnya.

“Yaksok.” Jiyong menautkan jari kelingkingnya pada kelingking mungil Hayi.

“Apa yang kalian berdua bicarakan? Kenapa berbisik seperti itu?” Dara yang tidak tahan melihat kedua orang itu berbisik-bisik tanpa mengindahkan keberadaannya, akhirnya bersuara.

“Aniya…” jawab kedua orang itu kompak, membuat Dara mengerutkan keningnya. Namun dia tidak sempat bertanya lebih jauh, karena kini mereka telah sampai didepan ruang operasi.

“Hayi-ah, kau harus berani, neh? Appa dan omma selalu ada bersamamu.” Kata Jiyong, tersenyum lembut kepada putri kecilnya. “Kau tidak perlu khawatir, karena appa janji tidak akan membiarkan omma menangis lagi.” Tambahnya berbisik di telingan Hayi, membiarkan Dara menatapnya dengan tatapan bertanya.

Jiyong menyingkir, memberikan kesempatan kepada Dara untuk menyemangati gadis kecil itu.

“Omma,” panggil Haru, mengulurkan kedua lengannya kepada Dara, meminta sebuah pelukan – tidak peduli pada lengan kirinya yang terhubung dengan selang infus.

“Aegy-ah, jangan angkat tanganmu seperti itu, darahmu bisa mengalir kedalam selang infus nanti..” nasehat Dara, kemudian memeluk putrinya, erat. “Kau tahu kan, kau akan baik-baik saja, neh? Omma, appa, dan Haejin menunggumu disini, sayang..” ucapnya, kemudian mengecup puncak kepala Hayi.

“Neh..” ucapnya masih melingkarkan tangan di leher ibunya. Jiyong yang tak tahan melihat pemandangan itu memutuskan untuk bergabung dalam pelukan keluarga kecil mereka – ya, kedua orang itu adalah keluarganya.

Beberapa meter dari sana, sepasang mata menatap ketiga orang yang tengah berpelukan penuh kasih. Jantungnya berdebar keras, sedikit merasa rasa sakit yang tiba-tiba di dadanya tanpa sebab yang dia ketahui. Mungkin karena ini pertama kalinya dia masuk kedalam ruang operasi. Ya, pasti karena itu.

**

“Omo!” seru Hayi mendapati ada orang lain selain dirinya dan para petugas medis berada di ruangan ini. Bibir mungilnya membentuk senyuman manis melihat orang itu pun mengenakan pakaian yang sama dengannya, dan berada diatas meja operasi. Ada dua meja operasi di dalam ruangan ini, satunya telah dipakai oleh seseorang berpakaian sama sepertinya itu, sementara satunya – dirinya pasti akan segera dipindahkan kesana. Setidaknya dia memiliki teman disini.

“Ahjussi, annyeong..” sapa Hayi setelah dipindahkan keatas meja operasi; menoleh kesamping, tersenyum lebar menatap pria yang juga terbaring disampingnya.

Pria paruh baya itu – Kang Johyun – menatap bocah kecil kunci kebebasannya, yang kata mereka adalah putrinya. Jika tidak sedang sama-sama berada didalam ruang operasi, dia pasti akan sulit percaya bahwa anak itu menderita penyakit parah. Tidak tampak diwajah bulatnya jejak kesakitan. Matanya pun bersinar cerah, seolah menceritakan bahwa dia hidup bahagia dan dikelilingi banyak orang yang menyayanginya.

“Naneun Kwon Hayi imnida..” ucap Hayi memperkenalkan diri pada Kang Johyun, tidak mempermasalahkan tanggapan datar yang diberikan pria itu padanya. Hayi kemudian beralih pada perawat disampingnya. “Perawat unnie,” panggil gadis itu menghentikan kegiatan perawat.

“Neh, Hayi-ah?”

“Apakah ahjussi itu akan berada disini bersama kita?” tanya Hayi, dia mencoba memutar ingatan sederhananya – dan dia tidak ingat jika ada yang pernah mengatakan padanya akan ada yang menemaninya di ruang operasi ini.

“Neh,” perawat itu mengangguk, membawa kegembiraan tersendiri bagi Hayi. Gadis kecil itu akan punya teman!

Hayi terus saja menoleh kesamping, memamerkan senyumnya. Kang Johyun memperhatikan gadis kecil yang tengah tersenyum padanya. Masih belum percaya bahwa dirinyalah ayah biologis dari gadis kecil ini. Tidak pernah dia membayangkan dirinya akan menjadi seorang ayah, setidaknya selama lima tahun terakhir.

“.. appa selalu memberi Hayi mainan. Kata omma, Haejin juga appa yang memberikan untuk Hayi..” sementara para dokter dan perawat bersiap, Hayi sibuk bercerita kepada Kang Johyun mengenai dirinya, tidak begitu memikirkan apakah pria yang dianggapnya teman baru itu mendengarkan atau tidak. “.. omma sangat pintar memasak, Hayi dan appa sangat menyukai masakan omma..”

Tidak sekalipun Kang Johyun memotong cerita Hayi, dia hanya diam memandang wajah gadis kecil itu dan mendengarkan apapun yang terucap dari bibir mungilnya. Ada sesuatu yang melilit perutnya setiap kali dirinya mendengar Hayi menyebut kata “appa”. Karena tiba-tiba saja dalam hatinya muncul kerinduan yang tidak bisa dia jelaskan sebabnya.

“.. appa berjanji akan..” perkataan Hayi terpotong oleh dokter yang kini telah siap berdiri disamping meja operasi Hayi.

“Oh, annyeong dokter ahjussi.” Hayi tersenyum manis, seolah tidak terpengaruh dengan jarum suntik yang teracung di tangan sang dokter.

“Annyeong Hayi-ah, bagaimana perasaanmu hari ini?” tanya dokter itu sembari menyuntikkan cairan kedalam selang infus Hayi.

“Baik, dokter ahjussi.” Jawab Hayi tersenyum.

“Bagus sekali kalau begitu, sebentar lagi Hayi akan tertidur. Tapi jangan cemas, saat Hayi bangun semuanya sudah selesai dan Hayi bisa bersama dengan appa dan omma kembali, neh?” dokter itu berusaha menjelaskan dengan cara sesederhana mungkin kepada Hayi, sambil menunggu reaksi dari dosis anastesi[1] yang dimasukkan bersama cairan infus kedalam tubuh gadis kecil itu bekerja mengambil seluruh kesadarannya. Dokter lain juga melakukan hal yang sama kepada Kang Johyun.

“Neh.” Hayi menganggukkan kepalanya. “Dokter ahjussi, dokter teman appa kan?” tanya Hayi yang merasa matanya mulai berat.

“Neh, waeyo Hayi-ah?”

“Katakan pada appa, appa harus menepati janjinya. Hayi pasti akan tahu appa menapati janji appa atau tidak.” Ucap Hayi dengan suara yang semakin pelan. Rupanya obat biusnya sudah mulai bereaksi.

Hayi berusaha keras menahan matanya agar tidak terpejam, setidaknya sampai dia melihat dokter itu menganggukkan kepalanya. Dan gadis kecil itu sangat yakin sang dokter pasti tengah tersenyum dibalik maskernya.

Sementara itu, kesadaran Kang Johyun pun mulai terkikis perlahan tapi pasti. Dan hal terakhir yang didengarnya adalah pesan yang disampaikan Hayi untuk appa-nya – orang yang tidak memiliki hubungan darah dengannya, namun dianggapnya sebagai appa-nya.

**

Jiyong mengangsurkan coklat hangat kepada Dara. Dara yang sadar bahwa Jiyong telah kembali buru-buru menghapus air matanya, meskipun sia-sia karena pria itu sudah melihatnya.

“Kamsahamnida, Jiyong-ssi..” lirih Dara menerima gelas kertas dari tangan Jiyong, berusaha untuk menghindari tatapan mata pria itu.

“Dara-ah…” Jiyong duduk disebelah istrinya, mendesah.”Hayi pasti akan baik-baik saja..” kata Jiyong, mencoba menenangkan.

Dara menundukkan kepala, kedua tangannya menggenggam gelas kertas erat, mencoba menyerap kehangatan yang ditawarkan cairan didalamnya. “Chincha?”

Jiyong meletakkan gelas kertasnya di kursi kosong disampingnya, lalu memegang kedua bahu Dara, membuat wanita itu menatapnya. “Kau tahu Hayi adalah anak yang kuat, Dara-ah. Semuanya akan baik-baik saja.” kata Jiyong, memandang lurus mata Dara.

Dara menundukkan pandangannya. Tanpa dia sadari air matanya kembali mengalir.

“Hei, tidak perlu menangis..” Jiyong mengambil gelas cokelat dari tangan Dara dan meletakkannya disebelah gelas kopinya miliknya, lalu menarik wanita itu kedalam pelukannya. “Kau tahu apa yang Hayi bisikkan kepadaku tadi?” bisik Jiyong sambil mengelus kepala Dara.

Dara menggelengkan kepalanya, merasa sedikit lebih tenang setelah mencium wangi tubuh Jiyong. “Neh?”

“Dia memintaku untuk tidak membiarkanmu menangis,” kata Jiyong masih dalam nada berbisik. “Jadi sebaiknya jangan biarkan matamu itu bengkak, neh?” dia melanjutkan sebelum mencium puncak kepala Dara dengan lembut. “Atau kita berdua akan berada dalam masalah besar.” Tambahnya lagi dengan nada sedikit bercanda.

“Aku tahu, tapi aku tidak bisa berhenti khawatir.” Balas Dara dengan suara pelan. Semakin membenamkan kepalanya pada dada Jiyong. “Hayi adalah satu-satunya yang kumiliki…” ucapan Dara terhenti karena Jiyong menjauhkan tubuh mereka.

“Hei… apa yang kau bicarakan? Aku juga akan selalu ada untukmu…”

“Aniya, kau ada disini untuk Hayi.” Potong Dara, berusaha menyembunyikan nada pahit dalam suaranya. Hatinya menjerit ingin mempercayai ucapan pria itu.

Jiyong hendak memprotes, namun pintu ruang operasi telah terbuka, tepat setelah lampu merah diatasnya padam. Dara segera melepaskan diri dari pegangan tangan Jiyong dan mendekati dokter yang baru saja keluar dari ruang operasi. Jiyong mengikuti dibelakangnya.

“Dokter Kwon, Dara-ssi.. semuanya berjalan lancar. Kita hanya tinggal berdoa semoga tubuh Hayi mau menerima ginjal barunya. Jika Hayi sadar dalam 12 jam kedepan, maka kita bisa tenang.”

“Syukurlah… syukurlah…” ucap Dara berulang-ulang, kini dia sudah bisa bernafas lega.

“Terima kasih dokter Song,” kata Jiyong menepuk lengan rekan dokternya yang mengoperasi Hayi itu.

“Namun jika lebih dari 12 jam, maka kami akan menyatakan Hayi dalam keadaan koma. Dan akan kritis baginya jika belum sadar juga hingga 48 jam.”

Mendengar hal itu tangan Dara langsung menutupi mulut dan air matanya kembali mengalir. “Ya Tuhan… Hayi-ah…”

Jiyong langsung menarik tubuh Dara kedalam pelukannya. “Tenanglah, Hayi pasti baik-baik saja…” kemudian dia beralih kepada dokter Song yang masih berdiri dihadapan mereka. “Sekali lagi terima kasih dokter Song.”

“Neh, cheonma. Untuk sementara Hayi akan dipindahkan ke ICU agar lebih mudah memantau keadaannya.”

“Arasso, lakukan yang terbaik dokter Song, kami percaya padamu.” Jawab Jiyong.

“Dan mengenai Kang…”

Jiyong tidak menunggu dokter Song menyelesaikan perkataannya dan langsung memotong. “Lakukan apapun yang diperlukan untuk orang itu, tapi tolong sebisa mungkin jauhkan dia dari tempat Hayi berada.” Dia semakin mengeratkan pelukannya pada tubuh Dara saat merasakan tubuh wanita itu menegang.

“Arasso.” Jawab dokter Song, kemudian pamit pada pasangan itu.

“Kau dengar itu, Dara-ah… semuanya berjalan lancar. Hayi pasti akan baik-baik saja.” bisik Jiyong mengelus punggung Dara dengan sayang. Dara yang terlalu larut dalam emosi, tidak mampu mengatakan apapun dan hanya mengeratkan pelukannya pada tubuh Jiyong.

**


[1] Anastesi = pembiusan; obat bius

MahsyaAllah~ semoga nggak pada nuntut saya karena cerita ini.. apalagi part ini.. saya bener2 kehilangan mood buat ngetik.. T___T apakah terkesan maksa? ato brasa keburu? mianhe~~

Ah, tinggal  jeilovedaragon yang belum muncul dan cek postingan >> DGI Love Event << tolong di cek dulu ya.. ^^

<< 4 6 >>

54 thoughts on “Imperfect : Part #5

Leave a comment