How to Save a Life [Part #19] : Falling

Untitled-2

Untitled-1

Author      : mbie07
Link          : HtSaL on AFF
Indotrans : dillatiffa

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

19

~ Falling ~

  

 

Kadang bukannya kita tidak mencoba untuk berhenti merasakan sakit, bukannya kita tidak pernah mencoba untuk menghindari rasa sakit, luka, air mata, dan juga keraguan. Akan selalu saat-saat dimana kita ingin diri kita menjauh dari luka-luka itu.

 

 

“Dara,” panggil Jiyong membuat Dara berhenti melangkah. Dara memutar tubuhnya menghadap kearah Jiyong. “Kenapa kamu tidak mengatakan padaku bahwa kamu sudah punya pacar?!” tanya gadis itu kesal. Jiyong mengusap rambutnya sambil berjalan menghampiri Dara kemudian menarik gadis itu dalam pelukannya – namun tentu saja gadis itu mendorongnya. Dara mengerahkan segenap kemampuannya – persis seperti anak kecil yang ingin minta dilepaskan. Jiyong memeluk Dara lebih erat hingga tubuhnya mendapatkan cakaran dan pukulan dari Dara dan saat itulah dia menyadari bau nafas Dara bercampur dengan aroma whiskey.

Tak lama kemudian Dara terisak sambil terus mendorong tubuh Jiyong – tanaganya semakin melemah. “Harusnya kamu tahu aku tidak pernah ingin menjadi bagian dari pengkhianatanmu! Aku sudah menghadapi masalahku sendiri! Kenapa kamu melakukan ini padaku?” Dara menangis, lututnya sudah merasa lemas dan jika bukan karena Jiyong dia pasti sudah terjatuh di lantai. “Kenapa kamu melakukan semua ini?” tanya Dara mencengkeram kuat kemeja Jiyong.

Mata mereka bertemu dan Dara hanya membiarkan saat Jiyong menempelkan kening mereka. “Kenapa kamu melakukan ini padaku?” tanya Dara, Jiyong memeluknya erat. “Percayalah padaku,” bisik Jiyong. “Aku tidak punya pacar,” katanya. Dara mendorong tubuh Jiyong menjauh, dia lalu mengacak rambutnya dan berbalik memunggungi Jiyong. “Kumohon berhentilah berbohong!” seru Dara sambil menutupi telinganya, kepalanya dia gelengkan kuat-kuat. “Berhentilah berbohong…” bisiknya.

“Dara kamu harus percaya kepadaku,” bisik Jiyong melingkarkan lengannya pada tubuh Dara, gadis itu mencoba melepaskan namun gagal. “Hanya kamu satu-satunya yang aku cintai,” bisik Jiyong, nafasnya menyentuh tengkuk Dara, gadis itu lalu berdiri dan membenamkan wajahnya ditelapak tangannya. Mungkin dirinya sudah gila, mungkin dia sudah bertindak egois. Mungkin dia sedang menghukum dirinya sendiri. Mungkin. Mungkin.

Dara sudah tidak tahu lagi. Dia sudah lelah untuk berpikir. Dia sudah lelah untuk merasakan. Dia ingin berhenti merasakan dan mungkin itulah bagian yang paling membuatnya merasa kesepian dalam hidupnya – karena dia telah menyerah untuk semuanya.

Dara lalu berbalik menatap Jiyong, melemparkan dirinya dalam pelukan Jiyong, memeluk pria itu erat. “Kamu tidak boleh meninggalkanku,” bisik Dara. “Kau tidak akan pernah meninggalkanku,” tambahnya, Jiyong melingkarkan lengannya di tubuh Dara. “Aku tidak akan pernah meninggalkanmu,” bisik Jiyong diatas rambut Dara. Dara menangkup wajah Jiyong lalu mengklaim bibir pria itu dan menciumnya – kasar dan lapar, Jiyong bisa merasakan asin dari air mata Dara dalam ciuman liar mereka.

Dara menarik Jiyong untuk semakin memperdalam ciuman mereka. Lidah mereka bergerak liar, bergumul saling berusaha mendominasi. Mereka berada di ruang tamu yang memiliki penerangan temaram ditemani oleh suara aliran air yang terlupakan – serta suara ciuman lapar mereka. Jiyong melepas kemejanya – membiarkan pakaiannya itu jatuh dilantai, kemudian tangan Dara bergerak menjelajah tubuh prianya.

Tak lama mereka berdua sudah telanjang diatas sofa, dengan Jiyong berada diatas Dara, menciumi setiap jengkal tubuh gadis itu – membuat Dara menggerakkan kepalanya kekanan dan kekiri, menjerit tertahan karena dia menggigit bibir bawahnya, mencoba menahan rintihan kepuasan yang baginya terdengar sangat memalukan keluar dari bibirnya. Jeritan yang menandakan bahwa dia sangat menginginkan merasakan tubuh Jiyong, merasakannya dari kulit ke kulit. Rintihan yang mengisyaratkan bahwa dia ingin merasakan bahwa dia tidak lagi sendirian, bahwa dia memiliki Jiyong, bahwa Jiyong akan selalu ada untuknya.

Dara membenci dirinya sendiri. Dia membenci dirinya kerena terlalu membutuhkan Jiyong, terlalu menginginkan Jiyong, terlalu memenjarakan Jiyong.

Dara hanya ingin memiliki seseorang yang menahannya, seseorang yang mau menerima dirinya dan membuatnya merasa bahwa masih ada yang menginginkannya. Emosi yang menunggu untuk dirasakan dan disadari. Bahwa masih banyak waktu untuk ciuman dan tawa – siang dan malam, yang harus dijalani. Bahwa masih banyak jalan yang harus dilalui, dan masih banyak hal di dunia ini yang ingin ia ketahui.

Mungkin Dara telah meminta terlalu banyak. Mungkin semuanya ini terlalu berlebihan untuknya. Mungkin dia meminta Jiyong untuk menyembuhkannya. Mungkin dia telah meminta Jiyong untuk mencintainya tanpa syarat, untuk menerimanya apa adanya. Untuk mencintainya lukanya, untuk mencintai rasa sakitnya, untuk mencintai semua yang ada pada dirinya, dirinya yang telah hancur berkeping.

Tapi yang tidak Dara ketahui adalah bahwa Jiyong mencintainya lebih dari yang gadis itu minta. Jiyong telah memberikan semua cinta yang ada dalam dirinya untuk Dara, bahkan cinta yang seharusnya untuk dirinya sendiri.

Jiyong telah memberikan semuanya tanpa mengharapkan apapun.

*

Mata Jiyong perlahan terbuka, dan kegelapan ruangan menyambutnya, dia bangun dan menatap kosong. Dipandanginya sekeliling ruangan kemudian berdiri dan memunguti pakaiannya lalu memakainya. Dia lalu berjalan mencari Dara – dan menemukan seberkas cahaya dari satu ruangan yang tidak seorang pun selain gadis itu berani bahkan hanya untuk menyentuh pintunya.

Jantung Jiyong berdebar keras didalam dada saat dia berjalan mendekati ruangan itu. Setiap langkah yang dia ambil menambah rasa sakit di hatinya. Jiyong menelan ludah berat sebelum mengintip kedalam ruangan melalui pintu yang sedikit terbuka. Dia melihat Dara duduk ditengah ruangan sambil memeluk lututnya, menangis sendirian.

Jiyong mendesah, rasanya hatinya diremas kuat. Saat itulah dia akhirnya tahu bahwa air mata yang dikeluarkan oleh orang dicintai jauh lebih menyakitkan dari pada air mata dirinya sendiri. Mengatakannya sebagai sebuah rasa sakit hati tetap saja tidak cukup.

“Seunghyun,” tangis Dara mendongak menatap kanvas dihadapannya. “Katakan padaku bahwa apa yang kulakukan ini salah… kumohon katakan padaku,” pintanya diantara isak tangis dan dia kembali mulai menangis dan Jiyong yang melihatnya merasa dirinya sekarat. Jiyong menyandarkan tubuhnya di dinding, menggigit bibirnya keras. Tubuhnya melorot ke lantai dan dia menangis pelan mendengar kepedihan Dara.

“Aku akan menukarkan apapun,” katanya. “Tapi tolong kembalilah kepadaku,” tambahnya dan rasanya Jiyong luruh lantak. “Kembalilah padaku…” pinta Dara. “ Aku membutuhkanmu…” tangis Dara – Jiyong menyandarkan kepalanya di dinding, matanya menatap langit-langit membiarkan air matanya turun ke pipinya, sebentuk senyuman pahit terlukis di bibirnya.

Aku tidak memintamu untuk mengatakan bahwa kau juga mencintaiku… aku hanyaingin kamu tahu, aku hanya perlu kamu tahu bahwa aku mencintaimu.

 

Jiyong mengusap air matanya lalu menarik lututnya kearah dada dan memeluknya – suara tangisan Dara memenuhi telinganya, menghancurkannya hingga berkeping-keping. Tuhan tahu seberapa besar keinginannya untuk menerobos masuk dan menarik gadis itu kedalam pelukannya. Mencium air matanya hingga hilang tak berbekas. Mencium setiap luka yang ada pada dirinya hingga menghilang. Atau dia akan membawa Dara pergi jauh, dan mereka akan meninggalkan semuanya – masa lalu, masa sekarang, dan berlari menuju masa depan.

Aku mencintaimu tanpa syarat. Aku akan selalu mencintaimu.

 

Jiyong mulai bertanya kepada dirinya sendiri. Apakah semuanya masih belum cukup? Apakah mencintai Dara dengan rasa cinta sebesar yang dia miliki masih belum cukup? Apakah yang diperolehnya sudah cukup? Dia hanya ingin mencintai Dara. Dia hanya ingin membahagiakan Dara. Dia hanya ingin melihat Dara tersenyum. Dia hanya ingin membebaskan Dara.

Aku akan mencintaimu disaat kamu sakit… disaat kamu bersedih dan disaat kamu tidak bisa berpikiran lurus.

 

Aku akan mencintaimu – melupakan sikapmu yang angin-anginan dan dalam setiap masa sulitmu.

 

Mungkin menyembuhkan Dara terlalu berat untuk Jiyong. Mungkin Jiyong juga ingin merasa dihargai atas apa yang telah dia lakukan. Dia hanya ingin merasa dianggap. Dia hanya ingin Dara tahu bahwa dirinya tidak akan pernah menyerah.

Aku mencintaimu meskipun kamu tidak mencintaiku.

 

Dan mungkin – entah dimana dalam dirinya mengharapkan agar Dara juga mencintainya. Jiyong ingin Dara mencintainya sama seperti dirinya mencintai gadis itu.

Apakah dia egois jika meminta hal itu? Apakah meminta agar Dara mencintainya juga adalah tindakan yang egois? Apakah itu terlalu berlebihan? Apakah itu salah?

 

*

Dara terbangun dari tidurnya karena mendengar suara tawa tertahan – Jiyong, tentu saja. Dia membuka matanya dan berbalik menatap pria itu. Jiyong sedang duduk disebelahnya diatas ranjang, tengah menatap sesuatu. Jiyong menggigit bibirnya. Dara bangun dari posisinya dan duduk memandang Jiyong. Pria itu memegang kamera di tangannya dan melihat foto-foto dirinya yang sedang tidur – wajah Dara langsung memerah.

Jiyong kemudian berbalik, bermaksud untuk mengambil foto-foto lagi, namun dikagetkan oleh Dara yang sedang menatapnya – membuatnya panik dan langsung mencoba menyembunyikan kamera dibelakang tubuhnya. Sesaat dia menyelimuti keduanya dan mereka hanya saling menatap. Jiyong cemberut lalu mengerang karena Dara masih terus saja menatapnya.

Jiyong lalu tersenyum lebar dan menjepretkan kameranya kearah Dara kemudian tertawa saat melihat hasilnya. Dara mendengus dan Jiyong kembali mengambil gambarnya. Jiyong tertawa. Pria itu kemudian bergeser mendekat kearah Dara dan menunjukkan kameranya. “Lihat,” katanya tersenyum. “Kamu terlihat sangat mengagumkan saat alismu bertemu di tengah begini,” katanya tertawa sementara Dara hanya menatap kearah kamera.

“Darimana kamu mendapatkan ini?” tanya Dara menatap Jiyong. Jiyong kembali melihat-lihat hasil fotonya untuk kesekian kali dengan menggigit bibir untuk menagan tawanya. “Aku mendapatkan ini dari ibuku,” jawabnya tersenyum lalu mengalihkan matanya menatap Dara. “Aku bertanya padanya, bagaimana caranya menyimpan memori saat semuanya terjadi hanya dalam hitungan detik,”

Dara menatap Jiyong yang kini tersenyum kepada kamera. “Dan dia memberiku ini,” Jiyong tersenyum. “Dia bilang ini akan menyimpan memori, jadi jika ingin kembali kemasa itu karena hanya dengan mengingatnya saja tidak akan pernah cukup,” dia tertawa. Dara menatap Jiyong lalu bergerak mendekat kearah pria itu dan menyandarkan kepalanya di bahu telanjang Jiyong dan ikut menatap foto-foto yang ada didalam kamera.

 “Dimana fotomu?” tanya Dara begitu menyadari semua itu adalah foto dirinya. “Oh itu,” gumam Jiyong. “Aku tidak pernah merasa pentng jadi aku tidak memfoto diriku,” dia tertawa membuat Dara langsung dihantam rasa sakit. Jiyong melupakan dirinya sendiri dan hal itu membuat Dara dibebani rasa bersalah. Dara lalu meraih kamera itu. “Jangan bilang begitu,” bisiknya, Jiyong menoleh menatapnya – hidung mereka hampir bersentuhan.

“Kumohon cintai dirimu sendiri,” bisik Dara. Jiyong tersenyum. “Aku mencintaimu… itu sudah cukup, aku tidak perlu mencintai diriku sendiri,” bisiknya membuat tubuh Dara menegang. Dara mencondongkan kepalanya dan mencium bibir Jiyong. “Bagaimana kalau begini,” katanya tahu betapa keras kepalanya pria ini jika dia menginginkan sesuatu dan akan memaksakannya sampai dapat. “Mulai dari sekarang ambil foto kita berdua,” lanjutnya sambil menyandarkan dagunya di bahu Jiyong.

“Benarkah? Aku boleh melakukannya?” tanya Jiyong penuh rasa tak percaya. Dara mengangguk. “Tentu saja,” bisiknya membuat senyuman lebar tersungging di bibir Jiyong. Jiyong lalu menjauhkan kamera dari mereka sejauh rentangan lengannya. “Satu… dua… tiga… senyum!” katanya sambil menekan tombol. Dia bersemangat mengecek hasil gambar mereka. Jiyong tersenyum dan Dara ikut melihat kearah kamera. Gadis itu mungkin tidak tersenyum, namun itu sudah lebih dari cukup.

“Terima kasih,” ungkap Jiyong mendaratkan kecupan di kening Dara. Gadis itu mengangguk. “Sudah hampir jam tujuh, ayo kita makan,” kata Jiyong manarik Dara turun dari tempat tidur.

*

Ruang kelas sedang ramai seperti biasa saat JIyong berjalan masuk – bibirnya terkatup rapat dan dia berjalan langsung menuju tempat duduk Bom dalam diam, membuat semua orang menatapnya.

“Kenapa kamu berkata seperti itu kepadanya?” gertak Jiyong, Bom hanya menatapnya. “Apa?” tanya Bom. “Jangan berpura-pura bodoh dihadapanku Park Bom,” katanya tajam, semua orang menatap mereka dengan cemas. “Apa yang sebenarnya terjadi disini?” tanya Hyunseung. “Jangan ikut campur dalam masalah ini Hyunseung,” kata Bom tanpa menatapnya, matanya masih terarah pada Jiyong.

“Aku tidak percaya dia akan mempercaiku,” kata Bom tertawa. “Aku hanya bercanda,” tambahnya. “Itu lucu Bom,” desis Jiyong. “Sangat lucu,” tambahnya. Bom mendesah tak percaya membuang pandangannya kearah lain, kemudian kembali menatap pria itu. “Kamu tahu? Kupikir dia itu cerdas,” desis Bom.

“Ternyata dia hanyalah seorang p—,” Bom tidak sempat menyelesaikan ucapannya karena Jiyong terlanjur menggebrakkan tangannya ke meja, membuat Bom menatapnya kaget. “Katakan satu kata lagi tentangnya,” Jiyong memperingatkan. “Dan kamu akan tahu apa yang akan kulakukan padamu.”

“Apa-apaan ini?” seru Bom berdiri dengan tangan terkepal. “Hanya mengingatkanmu Jiyong, aku ini temanmu!” tambahnya. “Kalau begitu camkan ini dalam pikiranmu, dia itu pacarku!” teriak Jiyong padanya – Bom merasakan kesunyian menyelimuti seluruh ruangan. Setelah itu tangan Bom langsung gemetaran. Bom memaksakan sebuah tawa. “Apa dia bahkan mencintaimu? Aku ragu,” katanya tertawa. “Aku bertaruh dengan hidupku, bahwa pacarmu pasti masih mencintai orang itu!”

“Aku tidak tahu ada apa denganmu! Harusnya kamu itu menjadi seorang jenius! Tapi kenapa kamu malah jatuh cinta pada seseorang seperti dia!” semburnya – suasana kelas masih sunyi. Nafas Bom memburu, air matanya mulai mengembang di pelupuk mata, dia menggigit bibirnya keras.

Jiyong tersenyum membuat tubuh Bom menegang. Itu bukanlah senyumannya yang biasa, Bom berharap senyumnya itu adalah senyuman mengejek, tapi tidak. Senyumannya penuh dengan rasa sakit membuat Bom tanpa sadar melangkah mundur. “Bagaimana kamu biasanya mengatakan itu?” tanya Jiyong mendesah. “Oh yeah, aku ingat,” katanya.

“F*ck you,” kata Jiyong mendorong meja Bom lalu berbalik dan melangkah pergi meninggalkan ruangan, tidak lupa meninju pintu pintu keras, membuat semua orang tersentak. Air mata Bom langsung jatuh begitu dia duduk – cepat atau lambat dia akan jatuh. Bom membenamkan wajahnya di tangan. “Idiot!” katanya geram, Minzy beranjak ke sisinya dan mengelus punggungnya.

“Dia benar-benar sangat bodoh!” seru Bom.

*

Saat itu adalah sabtu sore dan mereka berada didalam studio dengan Jiyong sedang melukis lukisan kelimanya untuk ekshibisi. Dara duduk memandang Jiyong – matanya menmandang pekerjaan Jiyong yang telah selesai dan dia tahu bahwa mereka tidak membuat kesalahan memilih Jiyong sebagai pelukis dalam ekshibisi kali ini. Ini sudah sebulan sejak mereka tinggal bersama. Ada masa-masa naik dan turun namun Dara hampir tidak bisa percaya bagaimana Jiyong bisa tetap fokus pada lukisannya.

Hal ini membuat Dara menaruh segan pada Jiyong.

Dara berdiri lalu berjalan kearah barang-barang Jiyong dan membuka tasnya. Dia bukanlah orang yang suka melihat atau peduli dengan barang-barang orang lain. Mungkin saat ini dia hanya sedang bosan. Dara melihat-lihat isi tas Jiyong lalu mengeluarkan sebuah sketchpad yang kelihatan sudah sangat tua.

Dara duduk di lantai dan mulai membuka sketchpad. Dia memandang gambar-gambar jelek yang ada disana. “Yah!” seru Jiyong lalu beranjak mendekati Dara, merebut sketchpadnya dari tangan gadis itu, Dara menatapnya tanpa berkedip. “Kenapa kamu melihat ini?” tanya Jiyong dengan wajah memerah.

Dara berdiri. “Biarkan aku melihatnya. Itu sangat menarik,” katanya yang justru membuat wajah Jiyong semakin merah. “Tidak boleh!” Jiyong menggeleng-gelengkan kepalanya sementara Dara mencoba merebut kembali sketchpad dari tangan Jiyong, namun gagal. “Biarkan aku melihatnya!” seru Dara dan kemudian mereka mulai berlari-lari mengelilingi studio – Dara mencoba mengambil sketchpad dari Jiyong sementara Jiyong mencoba kabur dari Dara.

“Ouch,” rintih Dara berlutut dan memegangi pergelangan kakinya. “Apa kamu baik-baik saja?” tanya Jiyong sigap, sudah berada didepan Dara. “Biar kulihat,” bisiknya lembut, tapi Dara malah melemparkan dirinya kearah Jiyong membuat mereka berdua jatuh ke lantai dengan Dara berada diatas tubuh Jiyong sambil memegang sketchpad. “Aishh!!” desis Jiyong keras sambil tertawa. “Dasar curang,” gumamnya – Dara hanya menatapnya.

Jiyong lalu bangun dari posisinya dan mereka duduk di lantai dengan Dara duduk diantara kakinya menyandarkan punggung pada badan Jiyong dan mulai membuka-buka sketchpad. “Ini adalah sketchpad pertamaku,” kata Jiyong bangga membuat Dara menganggukkan kepala. Hal itu menjelaskan gambarnya yang menyedihkan ini. “Berapa usiamu waktu menggambar ini?” tanya Dara membuka halaman selanjutnya.

“Tiga tahun,” jawab Jiyong – tersirat nada bangga dalam suaranya, Dara menjauhkan diri dan berbalik menatap Jiyong. Pria ini benar-benar seorang jenius. Gambarnya mungkin memang jelek, tapi itu sangat bagus untuk dilakukan oleh anak berumur tiga tahun, heck bahkan gambarnya itu terlihat seperti dilakukan oleh anak umur tujuh tahun.

Dara berhenti di salah satu halaman, mencoba menerka gambar apa itu. “Apa ini?” tanyanya memandang gambar, mendekatkan kewajahnya agar terlihat lebih jelas. “Oh itu,” kata Jiyong sambil mengelus tengkuknya merasa malu. “Itu adalah kuda,” gumamnya. Dara menatap Jiyong tidak berkedip. Gadis itu mendengus membuat Jiyong menatapnya. Tak lama Dara mulai tertawa.

Jiyong menatap Dara yang sedang tertawa keras dengan menahan nafas. Dia merasa hatinya melompat-lompat senang didalam dada. Rasanya dia sudah menunggu sangat lama untuk mendengar suara tawa itu. Dia sudah sekarat saban harinya hanya untuk mendengar suara tawa Dara. Dan sekarang gadis itu tertawa dihadapan Jiyong – dia tentu saja bahagia melihatnya, hatinya merasakan campuran berbagai emosi.

Tanpa disadari, air mata Jiyong jatuh saat dia menatap gadis itu. Dara berhenti tertawa menyadari diamnya Jiyong kemudian menatapnya. Tubuh Jiyong dalam posisi tegak, menangis. Dara lalu perlahan menghapus air mata Jiyong dengan jemarinya. Jiyong menggenggam tangan Dara. Pria itu tertawa pelan dan Dara menertawakannya.

Dara tidak tahu kenapa dirinya tertawa. Dia tidak tahu apa yang lucu dengan gambar Jiyong. Dia tidak mengerti kenapa dia tersenyum, kenapa dia tertawa. Dia tidak mengerti apapun. Tubuhnya sendiri yang bertindak, bibirnya membentuk senyuman tanpa dia tahu alasannya dan tawanya keluar begitu saja tanpa sebab.

Dara selalu berpikir bahwa dirinya tidak mungkin bisa tersenyum lagi, dia tidak mungkin bisa tertawa lagi. Bahwa dia telah lupa caranya tersenyum, bagaimana caranya tertawa, dan lupa akan perasaan saat melakukan hal itu. Dia lupa rasanya saat senang, bagaimana bahagia itu dan bagaimana rasanya hidup.

Mungkin Dara telah lelah untuk bersedih. Mungkin dia telah lelah menyalahkan dirinya sendiri, mengunci dirinya dalam rasa sakit.

Mungkin sendirian dan menyendiri terlalu melelahkan.

Atau mungkin dia hanya ingin sedikit membalas apa yang telah Jiyong lakukan karena tidak menyerah menghadapinya. Dan mungkin Dara ingin menyembuhkan dirinya sendiri, dia ingin memaafkan dirinya sendiri, memaafkan keadaan, dan menerima bahwa memang beginilah hidup.

Terjatuh tujuh kali, dan bangun untuk kedelapan kalinya. Menangis agar bisa tertawa keras nantinya. Merasa rindu sehingga memeluk seseorang dengan erat. Merasaksan sakit lalu bisa merasakan kebahagiaan dengan lebih kuat.

Dan mungkin tanpa disadari Dara mulai bergerak maju, selangkah demi selangkah. Dia akhirnya bisa menerima bahwa dia harus hidup dengan kehidupan yang telah diberikan Seunghyun, hidup pria itu telah dikorbankan demi memperpanjang hidupnya.

Mungkin sekaranglah saat bagi Dara untuk menyembuhkan luka.

“Kamu cengeng,” bisik Dara saat Jiyong menarik gadia itu dan mencium keningnya, menciumi wajahnya. “Bicara pada dirimu sendiri,” bisik Jiyong pada Dara membuat gadis itu merengut – membuatnya semakin terlihat imut. Jiyong sudah merasakan banyak hal dalam waktu singkat – dia telah terluka, dia telah merasakan sakit hati. Dan heck, Tuhan tahu bahwa dia hampir tidak bisa menahan itu semua. Namun hanya dengan tawa dari Dara – yang hanya dalam hitungan detik – segala yang dia rasakan seolah langsung lenyap.

Semuanya layak dia rasakan.

Jiyong lalu mulai menciumi Dara dari sisi kepalanya, turun ke pipi, lalu ke leher. “Aku mencintaimu,” bisik Jiyong menatap langsung mata Dara. Entah kenapa Dara ingin menjawab Jiyong. Jika saja dia bisa, dia akan melakukannya. Tapi dia tidak bisa mengatakan apapun – tidak terima kasih, tidak juga maaf. Dia merasa dirinta tidak berhak.

Dara melingkarkan lengannya pada tubuh Jiyong lalu mencondongkan tubuhnya. Bibir mereka sudah hampir bersentuhan dan mata mereka terpejam, nafas saling menyentuh, namun mereka dihentikan oleh suara bel – mereka ditarik kembali kedalam dunia nyata. Dara cepat-cepat berdiri membuat Jiyong mengerang frustasi menatap Dara berjalan keluar dari ruangan. Dia mengacak rambut dan berdiri lalu mengikuti gadis itu.

Dara membuka pintu rumahnya dan berjalan menuju ke gerbang. Dia membuka gerbang dan matanya melebar. “Dongwook oppa…” bisiknya tidak percaya. “Kenapa kamu kemari?” tanyanya dan pria itu hanya menatapnya tak percaya.

“Dara siapa itu?” tanya Jiyong dan bergerak cepat kearah Dara. Dongwook menatap Jiyong tak percaya lalu pandangannya tertuju pada Dara. Giginya  menggertak kuat dan tangannya terkepal. “Oppa… biar kujelaskan,” bisik Dara sambil berjalan mendekat dan mencoba menyentuh tangan pria itu, namun ditepis dan Dara terdorong – untung saja Jiyong segera menangkapnya. “Apa-apaan —,”

“Diam!” seru Dara membuat Jiyong terpaku. “Oppa,” panggil Dara, Dongwook menatapnya dengan penuh kejijikan dan itu menghancurkan hati Dara. “Aku datang kemari karena berpikir mungkin kamu sakit, jadi itu sebabnya kenapa kamu tidak datang kesana, tapi kurasa aku salah karena ternyata kamu sedang sibuk dengan pria barumu,” Dongwook menggertakkan giginya dan ucapannya itu menusuk Dara – dalam dan sakit.

Dara menggelengkan kepalanya, air matanya mulai berjatuhan. “Kamu salah oppa,” bisiknya pelan. Jiyong hanya berdiri diam disana, memandang kejadian dihadapannya, bingung. Tatapannya berpindah-pindah dari Dara ke Dongwook.

“Apa? Kamu masih mencoba meyangkal ini?!” teriak Dongwook padanya. “Jangan berteriak padanya!” Kata Jiyong instingtif membuat Dara mendorongnya menjauh. “Tidak oppa, kamu salah memahami ini!” seru Dara meraih tangan Dongwook, namun pria itu menarik lepas tangannya membuat Dara terjatuh dan mendarat dalam pelukan Jiyong. Dara berdiri menghampiri Dongwook, namun dia sudah membuka pintu mobilnya.

“Apa kamu tahu hari apa ini?” tanyanya, Dara hanya berdiri diam tidak sanggup menjawab. “Dongwook tertawa. “Kutebak kamu tidak tahu,” katanya pahit. “Ini adalah hari kematiannya,” katanya membuat air mata Dara mengalir deras di pipinya menghadapi kenyataan yang menghantam. “Hari ini adalah hari kematian Seunghyun,” desis Dongwook lalu masuk kedalam mobilnya dan membanting pintunya hingga tertutup dan detik berikutnya mobilnya sudah melaju kencang.

Tangan Dara menutupi mulutnya. Untuk pertama kalinya dalam hidupnya Jiyong hanya berdiri diam tidak tahu harus berbuat atau berkata apa – hanya menatap Dara dari dekat saat gadis itu semakin hancur perlahan.

Lalu saat kita pikir bahwa kita semakin membaik, bahwa air mata sudah mulai mongering, bahwa rasa sakit mulai berkurang, bahwa lukanya perlahan sembuh – saat itulah kita sadar bahwa semua itu tidaklah terjadi, karena yang sebenarnya adalah semuanya sudah digariskan semakin dalam hingga ke tulang.

Semua itu telah menjadi bagian dari kita.

  

~ TBC ~

Bertanya-tanya kenapa saya males update akhir-akhir ini?? Naah, chapter ini adalah alasannya.. >.<
Biasanya saya hanya akan menangis jika membaca, namun dalam proses menterjemahkan, setting perasaan saya lain lagi.. Tapi pas di chapter ini… !@#$%^&*() BARELY CAN SAY ANYTHING!!! T____T

 HTSAL-KJ

 

Prolog 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 Epilog FN

60 thoughts on “How to Save a Life [Part #19] : Falling

  1. Hatinya jiyong oppa emang kebuat dari besi deh soalnya kuat banget nahan sakit hatinya karena dara unnie😫 sedih sih liat dara unnie masih mengharapkan seunghyun oppa, apalagi jiyong oppa denger kalo dara unnie butuhin seunghyun oppa disampingnya😭

  2. Sedih banget
    baru aja dara mulai menerima jiyong, malah muncul masalah baru
    Yang sabar ya jiyong
    Yang sabar ya dara
    Badai pasti berlalu

Leave a comment