The Admirer [5. The End]

 



Woman, sebaiknya kau tidak mengatakan sepatah kata pun sekarang, karena aku sedang sangat kesal.” Ancam Jiyong dengan nafas terengah. Dia sampai harus meminggirkan mobil yang dikendarainya ke tepi jalan atau mereka bisa-bisa kecelakaan.

“Tapi,”

“Kubilang tidak sepatah kata pun.” potongnya.

Dara mengerucutkan bibir dan menggigit mulutnya bagian dalam. Dia tidak mengerti kenapa tiba-tiba Jiyong kesal padanya.

Keduanya akan pergi berbelanja bahan-bahan untuk pembukaan kafe besok lusa. Atau sebaiknya bilang saja, Dara yang akan berbelanja sementara fungsi Jiyong di sini hanyalah sebagai supir. Dan Dara membuka percakapan dengan menanyakan tentang bagaimana caranya dia bisa membayar atas apa yang telah pria itu lakukan (mari kita tutup mulut soal agunan dan sembunyikan hal itu dari Dara semuanya!)

Lima menit yang mencekam, Dara menunggu dan terus bertanya-tanya kepada dirinya sendiri kenapa, kenapa, kenapa, dan kenapa.

“Kenapa?” akhirnya Jiyong memecah kesunyian.

“Apa?”

“Kenapa kau pikir aku ingin agar kau membayarku?”

Dara berkedip dan terlambat untuk menghentikan mulutnya berkata, “Bukankah kau sedang memberiku hutang?” dengan kalimat ini, dilihatnya Jiyong memukul roda kemudi keras. Dara melonjak kaget, tapi tertahan oleh sabuk pengaman.

“Sialan!” desis Jiyong keras, membuat Dara gemetaran di tempatnya. “Kenapa kau berpikir aku memberikan piutang?! Sial! Sial! Sial!”

Jika sebelumnya Dara gemetaran dan bingung dengan amarah Jiyong, sekarang dia merasa takut. Tidak pernah, dia melihat Jiyong marah, apalagi sampai seperti ini. Dan jujur saja, itu sangat menakutkan.

Diam di antara keduanya.

“Jawab aku,” katanya. Dara masih terlonjak kaget meski Jiyong mengatakannya dengan nada yang lebih rendah dan suara yang lebih halus.

“Ka-karena… kau adalah teman yang baik…?” katanya, mengakhiri nada kalimatnya dengan pertanyaan. Sebenarnya, dengan reaksi Jiyong barusan, Dara jadi semakin merasa bingung. Apakah dia salah membaca keadaan? Tapi… Jiyong tidak pernah mengatakan apa pun padanya…

“Sial!” seru Jiyong mengacak rambutnya dengan kedua tangan.

Lalu tiba-tiba saja, tanpa diduga, wajah Jiyong sudah berada tepat di hadapannya dan mereka hanya berjarak beberapa inci. Dara bahkan tidak menyadari bagaimana dan kapan pria itu melepas sabuk pengamannya serta bergerak secepat itu.

“A-aku m-mi-inta maaf…” ucapnya gugup.

Jiyong menangkup wajah Dara dengan kedua tangan dan mengelus pipinya dengan  ibu jarinya. Desah nafas pria itu menjadi lebih pelan dan amarah sudah hilang dari matanya.

“Untuk apa kau minta maaf?” tanya Jiyong.

“Karena entah bagaimana, aku sudah membuatmu marah,” ungkapnya. “Padaku,” tambahnya.

Jiyong menggelengkan kepalanya dan tersenyum. Senyumannya, yang tidak pernah Dara pikirkan sebelumnya, adalah sebuah keajaiban. Senyumannya secara ajaib menghapus semua rasa ketakutannya dan menenangkan debaran jantungnya ke ritme normal.

“Kenapa kau pikir aku marah?” tanya Jiyong lebih jauh.

Diam.

Sebenarnya, untuk pertanyaan yang satu itu, Dara sendiri tidak tahu jawabannya. Dia pun sudah menanyakan pertanyaan itu di dalam otaknya tadi. Lalu, kenapa?

“Aku tidak tahu, aku ingin bertanya padamu, kenapa kau marah?” ia berhasil memberikan jawaban, meskipun dalam bentuk pertanyaan.

Warna coklat mata Jiyong menghipnotisnya, menenggelamkannya dalam. Hingga dirasakannya sebuah sentuhan lembut di bibirnya, dan saat dia sudah kembali tersadar, mereka sudah tak lagi berjarak – dalam arti yang nyata.

Dara berkedip dan tidak bisa memikirkan respon yang tepat.

“Nah, sekarang kau mengerti,” ucap Jiyong, masih sempat memberikan beberapa kecupan.

Otak Dara masih dalam keadaan membeku saat ini.

“Untuk memperjelas saja, aku tidak pernah bermaksud untuk menjadi temanmu. Kuharap itu tadi bisa membuat semuanya menjadi lebih jelas,” ungkap Jiyong ringan, tersenyum penuh kemenangan pada Dara.

Tunggu. Ada yang bisa memberitahukan siapakah dia sekarang?

**

“Aku harus berada bersamamu saat kau mempostingnya, dan kau harus berada dalam foto itu,” Jiyong memberikan Dara ultimatum. Keduanya tengah berada di kantor kafe Dara, membiacarakan apa yang telah dilakukan gadis itu tadi. Dara telah memposting beberapa foto Jiyong dalam berbagai kesempatan – di akun Instagramnya.

“Apa?” mulut Dara ternganga. “T-tapi…” dia tergagap.

Dara sama sekali tidak merasa perlu berpikir ulang saat memutuskan untuk memposting foto kekasihnya tadi. Dia hanyalah seorang gadis normal yang tengah dimabuk cinta kepada kekasihnya yang tampan. Dan jika kekasih yang dimaksud adalah seperti Jiyong, siapa yang tidak akan melakukan apa yang telah dilakukannya?

“Hanya itu syarat dariku, terima atau tidak.”

“Ji…”

“Terima atau tidak, Babe. Kau tahu aku tidak suka memposting fotoku, tapi karena kau bilang kau ingin ‘membagi’-ku, aku akan berkompromi.”

“Tapi…”

“Terima atau tidak.”

Oppa…”

“Tidak akan berhasil. Terima atau tidak.” Jiyong tetap pada pendiriannya.

Well. Dara sebenarnya sudah tahu, tapi tidak ada salahnya mencoba, kan?

“Kenapa kau sangat sulit sekali?” keluhnya, meletakkan kepalanya di bahu Jiyong dan mengeratkan pelukannya. Jiyong memangkunya.

“Babe…” Jiyong menarik nafas dalam-dalam.

Dara gagal menyadari tubuh Jiyong yang menegang, kedua tangan yang berada di pinggulnya berubah kaku.

Neh?” Dara sedikit bergerak, masih dengan kepala bersandar pada bahu Jiyong, tanpa sadar membuat gerakan lebih – lebih dari yang telah dilakukannya tadi.

“Tetap diam,” desis Jiyong, memejamkan matanya.

“Ji… aku merasakan sesuatu…” lirihnya, merasakan ada sesuatu yang menyentuhnya di bawah sana.

“Tetap diam,” ulang Jiyong, kali ini lebih tegas.

Punggung Dara langsung tegak seketika itu juga, membuat gerakan lain di atas pangkuan Jiyong.

“Kubilang tetap diam. Jangan bergerak!” katanya keras.

Omo! Aku… aku akan…”

“Kumohon,” iba Jiyong, sekarang gilirannya yang membenamkan wajahnya di lekuk leher Dara. “Tetaplah diam. Jangan bergerak.” Diendusnya aroma tubuh gadisnya.

Lalu setelah beberapa saat, Dara membeku di tempat saat merasakan bibir Jiyong menyentuh kulitnya di sana.

**

Bulan berganti dan hubungan mereka masih sekuat yang bisa diharapkan. Kafe Dara semakin ramai, tidak ada hal buruk lain yang terjadi. Dara mempekerjakan lebih banyak orang, seorang barista untuk bertukar shift dengan Seungyoon, dua orang pelayan yang langsung bisa akrab dengan Hayi dan Suhyun, dan seorang tukang masak. Ya, karena Jiyong kini telah menjadi bagian permanen dari kafe, Dara memutuskan untuk menambah menu – makanan asli, itu yang Jiyong bilang; jadi sekarang mereka juga menawarkan beberapa jenis pasta dan makanan Italia.

Sementara itu, buku ketiga Jiyong juga menjadi best seller – Uptight, buku pertama dari trilogi. Jika sebelumnya Jiyong sudah terkenal, maka sekarang dia lebih lagi. Saat Uptight sedang dalam proses rilis, akun media sosialnya menjadi trend baru dan mendapatkan lebih banyak followers. Twitter dan Instagram memverifikasi akunnya dan dia harus merelakan akun Facebooknya kepada pihak publisher untuk diurus. Hal lain yang harus direlakannya adalah waktunya di Butterfly Café – yang menjadi kian ramai dengan kostumer baru yang separuhnya adalah fans yang berharap bisa bertemu dengannya – padahal dia membutuhkan suasana tenang untuk menulis skenario untuk Hidden. Oh, ya lagi, buku pertamanya akan difilmkan dengan dirinya ditunjuk sebagai penulis skenario.

Tahun beranjak menuju ke penghujung akhir dan ulang tahun Jiyong semakin dekat. Dia lahir pada hari pertama bulan Januari. Karena Butterfly Café tetap buka pada hari natal, dia berharap bisa merayakan tahun baru dengan Dara, hanya berdua, sebagai pasangan. Tapi harapannya itu terhalang oleh pernyataan dari gadis itu.

“Biasanya aku merayakan tahun baru dengan keluargaku,” jawabnya saat ditanya apakah mereka berdua bisa merayakan tahun baru bersama.

Jiyong pasrah mendengar jawaban dari kekasihnya. Dia tidak ingin membesar-besarkan, tapi dalam lubuk hati, dia sungguh sangat berharap mereka bisa merayakannya berdua.

“Mungkin aku akan meminta izin jika aku bisa absen kali ini,” meskipun tawaran itu sungguh sangat menggoda, tapi Jiyong langsung menggelengkan kepala. Dia tidak ingin menjadi penghalang antara Dara dan keluarganya sendiri. Lebih lagi, dia perlu mendapatkan cap baik dari mereka. Tentu saja, dirinya memiliki harapan untuk membawa hubungan mereka ke level selanjutnya.

“Tidak, tidak… kau tidak boleh absen dari acara keluargamu, dan ngomong-ngomong soal keluarga,”

“Oh!” seru Dara, memotong perkataan Jiyong. “Kenapa kau tidak ikut datang saja?” tanyanya.

Mwo?!” Jiyong lupa akan apa yang ingin diucapkannya tadi.

“Ya, itu pasti akan sangat menyenangkan!” dan Dara mulai menyusun rencana mengenai hal itu. Dan jujur diakui, itu akan mempermudah semuanya. Tapi tetap saja…

“Tapi, babe…” tiba-tiba saja Jiyong merasakan dingin di tengkuknya dan keningnya berkeringat.

Mendengar nada penolakan Jiyong, senyuman di wajah Dara terhapus. “Kau pasti tidak ingin bertemu dengan keluargaku,”

“Tentu saja tidak!” bantah Jiyong langsung, merasa tidak berdaya jika berpikir dirinya telah mengecewakan kekasihnya. Dia menarik Dara mendekat, memeluk gadis itu. “Bukan begitu, hanya saja aku tidak tahu apa yang harus kukatakan kepada keluargamu. Bagaimana jika orang tuamu tidak menyukaiku? Bagaimana jika adik laki-lakimu berpikir aku tidak cukup keren untuk bersamamu? Bagaimana jika adik perempuanmu menganggapku tidak baik untukmu?”

Perasaan Dara membuncah mendengar apa yang dikatakan oleh kekasihnya. Oh, Jiyong dan kata-kata manisnya selalu saja menang.

“Ji…” bisik Dara, dan sebelum dia bisa memikirkan tindakannya, dia berjinjit dan menyentuh bibir Jiyong dengan bibirnya sendiri. Rencananya, dia hanya ingin memberikan sebuah kecupan singkat, tapi Jiyong memutuskan hal lain.

Jiyong meletakkan tangannya di bagian belakang kepala Dara dan menciumnya. Dan seperti para gadis yang tengah kasmaran, Dara tak mampu menolek pria seperti Jiyong. Dia membalas ciuman kekasihnya. Ciuman mereka menjadi semakin intens, terkadang lebih pelan dan terkadang memanas, jika mereka tidak butuh untuk bernafas, Dara tidak akan membiarkan saat Jiyong manarik diri menjauh.

“Sial,” gumam Jiyong, terus menciumi bibir Dara, ketika sebuah ketukan menginterupsi. Dara ingin berkata dia setuju dengan tanggapan Jiyong, tapi dia tidak mampu menemukan suaranya.

Unnie… kami sudah selesai.” Suara Hayi terdengar dari sisi lain pintu. Mereka berada di dalam kantor dan (untungnya) mereka tidak lupa untuk menutup pintu.

“Tunggu sebentar!” jawab Dara di sela-sela hujan kecupan dari Jiyong.

Neh!” terdengar balasan, tapi kemudian diam.

“Ji…” Dara mencoba menjauhkan dirinya dari Jiyong, tapi kekasihnya itu enggan untuk melepaskannya. “Aku harus pergi, mereka sudah menungguku.” Katanya.

“Aku tahu, tapi bibirmu benar-benar membuatku ketagihan. Itu harusnya masuk dalam daftar barang ilegal!” protesnya, membuat Dara tersenyum mendengarnya.

“Oke, hanya sekali lagi,” katanya dan mencium Jiyong, sedikit lebih lama dari ciuman kasual mereka barusan. “Sekarang lepaskan aku,” dia melerai lengan Jiyong yang melingkari tubuhnya.

Ketika Jiyong sudah tidak merasakan hangan tubuh Dara lagi, dia langsung mengingat percakapan mereka sebelum sesi ciuman panas barusan. Dan rasa panik langsung menyerangnya, tapi Dara sudah terlanjut mencapai pintu dan menariknya terbuka.

“Sial,” gumamnya pada dirinya sendiri menatap punggung kekasihnya yang menjauh.

**

“Tapi Ji…” Dara memelas, mencoba untuk menawar keputusan Jiyong.

Semalam, tepat di depan pintu unit apartemen Dara saat pria itu mengantarnya pulang seperti biasa, Jiyong menyatakan bahwa tepat setelah mereka merayakan malam tahun baru bersama dengan keluarga Dara, mereka gantian akan merayakannya di rumah Jiyong. Pria itu tidak memberikan Dara cukup waktu untuk memproses ucapannya dan ketika otaknya berhasil mencerna, Jiyong sudah pergi.

“Baby, itu ultimatum dari Omma saat aku memberitahukan bahwa aku akan menghabiskan malam tahun baru dengan keluargamu. Kukutip kata-katanya, ‘Bagaimana bisa kau bertemu dengan orangtua kekasihmu tapi kau belum mengenalkannya pada orangtuamu sendiri?!’ Omma berkeinginan agar aku membawamu menemui mereka lebih dulu, dan jika kau setuju ak bisa membawamu sekarang juga. Rumah orangtuaku hanya berjarak tiga puluh menit dari sini. Tapi makan malam pada tanggal satu Januari masih tetap terlaksana.” Jelas Jiyong, meraih tangan Dara di atas meja dan menggenggamnya.

“Jangan berani-berani!” bentak Dara. Dan entah bagaimana dia jadi sesak nafas.

Saat itu adalah pagi hari di Butterfly Café dan belum ada pelanggan yang datang. Keduanya menempati salah satu meja di sudut ruangan, jauh dari jendela. Para pagawai pun tahu diri dan tidak ada yang mengganggu mereka.

“Tenanglah, baby. Aku tahu kau sibuk dengan kafe saat ini, jadi aku katakan kepada Omma bahwa kita akan datang pada tanggal satu Januari saja.” Jiyong mengelus punggung tangan Dara dengan ibu jarinya.

“Rasanya jadi sangat serius,” gumam Dara, menghindari tatapan mata Jiyong dan memilih untuk menatap jalinan tangan mereka.

Jiyong menegang mendengar apa yang gadisnya ucapkan. “Baby, tolong katakan padaku kau bercanda dengan apa yang kau ucapkan barusan,”

“Huh?” Dara mengangkat kepalanya, menatap pria itu. Mulutnya sedikit terbuka. “Apa?”

“Apa yang kau katakan tadi?!” tanya Jiyong setengah tak percaya. “Tentu saja kita ini serius, Dara, seserius-seriusnya untuk bersamamu selama waktu mengizinkan kita.” ungkapnya.

Giliran Dara yang terkejut mendengar perkataan Jiyong. Oke, dia tahu pria itu serius dalam menjalin hubungan dengannya – seperti yang selalu ditunjukkan setiap kali ada kesempatan. Tapi ini adalah pertama kalinya dia mendengar pernyataan itu langsung. Dengan kenyataan bahwa dirinya tiga tahun lebih tua daripada Jiyong, dia sungguh tidak ingin berharap.

“Aku tahu,” lirihnya, menundukkan kepalanya perlahan.

Jiyong mempererat genggaman tangannya, seolah ingin meyakinkannya. Ia kemudian mengulangi pertanyaannya tadi.

“Jadi kau mau datang bersamaku, kan?”

Saat dia melihat sebuah anggukan singkat dari gadisnya, bibir Jiyong melengkung membentuk senyuman.

**

Malam Tahun Baru, Kediaman Orangtua Dara

Tidak sesulit yang Jiyong bayangkan. Orangtua Dara tidak mengatakan hal-hal aneh, tidak meletakkan sesuatu dalam makanannya, tidak menakut-nakutinya, dan tidak pula memintanya untuk meninggalkan putri mereka. Keduanya cukup sopan dan hangat, tapi tidak sampai bersikap berlebihan. Mereka sudah tahu tentang pekerjaannya, tahu tentang buku-bukunya, dan bahkan tahu tentang apa yang dilakukannya untuk kafe Dara beberapa bulan yang lalu. Dara menjelaskan kepada mereka bahwa Jiyong hanya memberinya pinjaman dan dirinya berkewajiban untuk membayar. Yang tidak Dara tahu adalah bahwa Jiyong memasukkan uang yang diterimanya dari Dara di akun baru dan jika saatnya tiba dia akan kembali memberikannya untuk Dara.

“Kami akan membersihkan meja, kalian berdua bisa pindah ke ruang tengah.” Sin Hana, ibu dara, berkata kepada suaminya dan Jiyong. Secara tidak langsung memerintahkan ketiga anaknya untuk bergerak dan melakukan apa yang diinginkannya.

Mendengar hal itu, ketenangan yang tadi Jiyong rasakan seketika sirna. Ia telah mempersiapkan jiwa dan raganya untuk berhadapan dengan ayah Dara, sendirian, namun ketika saatnya datang seperti sekarang, ia tak bisa mencegah jantungnya berdetak lebih keras. Keringat dingin mengucur di keningnya dan tangannya pun basah.

“Ayo, Jiyong-kun. Sang Ratu sudah memberikan perintah, dan bisa berbahaya jadinya jika kita tidak melakukan seperti yang diperintahkannya.” Sang ayah, Park Junsu, berkata dan berdiri bangkit dari kursinya, lalu beralih kepada anak sulungnya. “Dara-ah, bawakan soju untuk kami,”

“Oh, kita tidak memiliki soju,” cetus Hana kepada suaminya, lalu berpaling kepada putrinya. “Dara, kau beli dulu, ya,” perintahnya.

Secara refleks, Jiyong berdiri dan menawarkan dirinya untuk mengantarkan kekasihnya. Tapi Junsu melambaikan tangannya, mengabaikan permintaan Jiyong. “Tidak perlu,” lalu menambahkan saat melihat Jiyong akan membantah. “Biar Sanghyun yang menemaninya, kau adalah tamu di sini, kau tidak seharusnya melakukan apa pun.” tanpa langsung memberikan perintah kepada putra bungsunya.

Jiyong tak lagi bisa membantah, meskipun dalam hati dia curiga ini hanyalah skenario untuk membuatnya sendirian bersama dengan ayah Park. Dara yang memang jarang sekali bisa menyadari jika ada sesuatu yang aneh, hanya mengangkat bahu dan mengikuti adik laki-lakinya yang sudah terlebih dahulu beranjak pergi.

**

“Kau seharusnya menginap saja,” kata Dara saat mengantarkan Jiyong ke mobilnya.

Sudah hampir pukul dua dini hari, semuanya berjalan dengan baik dan bahkan ia diberi kejutan saat keluarga Dara justru merayakan ulang tahunnya. Dia tidak tahu jika gadis itu tahu kalau dirinya berulang tahun, hingga Dara membawa kue berhiaskan lilin menyala keluar sembari melantunkan lagu ulang tahun. Jiyong dan Sanghyun sudah berada di luar saat itu, mempersiapkan kembang api, sementara kedua orangtua Dara hanya duduk-duduk di teras samping. Rupanya saat Dara mengatakan bahwa dia dan Durami – adik perempuannya – tengah mempersiapkan makanan ringan lalu memintanya untuk keluar terlebih dahulu bersama Sanghyun, mereka justru mempersiapkan kue untuknya. Jiyong tak bisa menahan rasa bahagia yang dirasakannya. Kekasihnya tahu jika dirinya berulang tahun!

“Durami sudah mempersiapkan kamar tamu untukmu.” Katanya, menyebutkan bahwa adik perempuannya memang benar-benar mempersiapkan kamar tamu, di bawah perintah sang ibu. Mungkin itu adalah cara untuk mencegah Jiyong tidur di kamar yang sama dengan putri sulungnya. Meskipun Dara sudah menginjak usia tiga puluh tahun, tapi di rumah ini dia tetaplah seorang gadis kecil bagi kedua orangtuanya. Pikiran tentang gadis mereka tidur sekamar dengan seseorang yang belum menjadi suaminya pasti merupakan pikiran mengerikan untuk mereka.

Dan Jiyong memahami hal itu sepenuhnya. Itulah kenapa ia memutuskan untuk pulang saja meski hari telah larut, ia tidak ingin membuat kedua orangtua Dara mencurigainya mengendap-endap ke kamar putri mereka – bukan berarti dia berani melakukan hal itu di bawah atap mereka. Jiyong hanya menjaga agar keduanya tidak perlu khawatir.

Dara mendesah, tahu sepenuhnya bahwa ia tidak bisa mengubah keputusan Jiyong. “Ini sudah sangat larut,”

“Tidak apa-apa,” balas Jiyong, tersenyum menenangkan. “Aku akan menjemputmu besok sekitar jam dua, neh?”

Neh,” Dara mengangguk.

Jiyong meraih tangan Dara dan menarik tubuhnya mendekat, dan tanpa peringatan mendaratkan sebuah ciuman di bibir gadisnya.

“Aku sudah memintakan izin dari ayahmu, jadi kau hanya perlu sudah siap saat aku menjemputmu besok,” katanya, disambut suara tawa dari Dara.

“Menurutmu aku ini masih lima tahu? Sampai perlu orang lain untuk membuatkan alasan untukku?”

Jiyong hanya tersenyum mendengar suara tawa kekasihnya. Suara tawa Dara terdengar manis di telinganya. Ia tersenyum dan menyelipkan rambut Dara di balik telinganya, tubuh mereka masih berdekatan.

“Tidak, aku hanya ingin menyampaikan bahwa aku adalah pria baik-baik dan aku pantas untukmu,” dia mengedikkan bahu. Dan Jiyong memang berkata jujur, ia langsung meminta izin kepada ayah Dara saat mereka ditinggal berdua. Secara tidak langsung ia ingin meyakinkan bahwa dirinya cukup baik untuk putri mereka. Dan ia pun mengatakan kepada lelaki paruh baya itu bahwa ia merius menjalin hubungan dengan Dara dan berencana untuk membawa Dara menemui keluarganya esok hari.

Dara berdecak, tapi tidak bisa menahan senyumannya. “Iya, iya… kau dan mulut manismu itu…”

Jiyong menggeleng-gelengkan kepala, meringis kepada kekasihnya. “Masuklah,” katanya, mencium kening Dara.

“Tidak, aku ingin melihatmu pergi,”

“Babe, sekarang sudah larut. Masuklah lebih dulu.”

“Tapi, aku ingin–,”

“Babe, kita akan tetap berdiri di sini sampai besok jika kau tidak mau mendengarkanku. Tidak mungkin aku meninggalkanmu berdiri sendirian di luar jam seperti ini terlebih saat suhu udara dingin begini,”

Ekspresi wajah Dara melembut mendengar apa yang dikatakan jiyong, dan secara mengejutkan, gadis itu menurut.

“Oke,” katanya tanpa ada argumentasi lain. Dara kemudian berjinjit untuk mencium kekasihnya di bibir sebelum melangkah mundur perlahan. “Hati-hatilah,” tambahnya kemudian berbalik dan masuk ke dalam rumah.

Jiyong menunggu beberapa saat sampai tubuh Dara menghilang di balik pintu dan melihat sesosok siluet mengintip dari balik tirai jendela di lantai dua. Dia melambaikan tangan sebelum masuk ke dalam mobil. Sebelum menginjak pedal gas, dia melempar pandangan terakhir ke arah gadisnya yang masih menunggu hingga mobilnya pergi.

**

**

“Dara-ah, tolong bawa kue ini ke meja,” kata Kang Sinkyung, ibunda Jiyong, kepadanya. “Dan tolong panggil mereka semua, bilang makan malam sudah siap,” perintahnya.

“Neh, Omonim.” Jawab Dara, menerima kue yang disodorkan padanya dan membawanya ke meja makan sebelum memberitahukan kepada yang lain seperti yang diperintahkan padanya.

Beberapa jam terakhir, dirinya ada di bawah kuasa ibu Jiyong. Dia mendapatkan tatapan tajam setiap kali lidahnya terpeleset dan mengucapkan kata ‘bibi’ dan bukannya ‘Omonim’ seperti yang diinstruksikan saat Jiyong memperkenalkan Dara kepada keluarganya.

“Panggil aku Omonim,” kata Sinkyung, mendapatkan gelak tawa dari suami dan anak-anaknya. Dara jelas merasa kaget.

Kakak perempuan Jiyong bahkan menggodanya dan meminta untuk dipanggil Hyungsu. “Karena Omma dipanggil Omonim, kau harusnya memanggilku Hyungsu.” Mata Dara membulat lebar mendengarnya, membuat Dami, kakak Jiyong , tertawa geli.

“Tidak bisakah aku memanggil ‘Unnie’ saja?” Dara panik, namun malah disambut oleh gelak tawa dari para Kwon. Dia bisa merasakan lengan Jiyong melinkari punggungnya, bentuk dukungan kecil itu sedikit menenangkan hatinya. Dan ketika ia melirik ke arah pria itu, bibir Jiyong membentuk sebuah senyuman yang ditujukan untuknya.

Para lelaki, seperti yang Sinkyung sebutkan tadi, tengah berada di ruang tengah. Jiyong dan Kwon Hangeum, suami Dami yang kebetulah juga memiliki nama marga Kwon, sedang bermain video game (milik Hangeum, yang sengaja membawa PS4 terbarunya), sementara Kwon Daji – ayah Dami dan Jiyong – tampak duduk di belakang mereka berdua sembari membaca.

“Makan malam suda siap,” Dara mengumumkan, dua kepala menoleh ke arahnya, sedangkan satu sisanya tetap tertuju ke layar.

“Akhirnya,”

“Oke,”

“Tunggu, tinggal sedikit lagi dan aku bisa memenangkan permainan ini,”

Jawaban pertama berasal dari sang ayah, jawaban kedua adalah milik Jiyong, dan jawaban terakhir adalah dari Hangeum yang mengatakannya tanpa mengalihkan pandangan dari layar.

“Kita sudah selesai,” timpal Jiyong kemudian melakukan sesuatu dengan joystick di tangannya dan tidak sampai semenit kemudian erangan kekalahan Hangeum terdengar.

“Yah! Bagaimana bisa?! Baru sesaat yang lalu aku sangat yakin aku bisa memenangkan ini! Apa yang telah kau lakukan?! Kau pasti curang!!”

Daji hanya menggeleng-gelengkan kepalanya dan berdiri, meninggalkan kedua pria yang seharusnya sudah bersikap dewasa namun malah bertingkah kekanakan. “Ayo,” katanya, membimbing Dara keluar dari medan perang. Pilihan bagus, aku Dara dalam hati, karena kini telinganya bisa mendengar Jiyong dan Hangeum tengah beradu pendapat.

“Tinggalkan saja mereka, mereka berdua tidak pernah lelah,” kata Daji, masih mendengar pertengkaran yang terjadi di ruang tengah.

Neh,” Dara mengangguk patuh, mengikuti pria paruh baya itu ke ruang tamu.

Sinkyung dan Dami telah selesai menghidangkan semua makanan di atas meja, sup rumput laut untuk dan semua makanan kegemaran Jiyong yang berulang tahun. Sinkyung dan Dami sudah memberi tahu Dara mengenai semua resep semua masakan yang tersaji di meja makan, untuk berjaga-jaga kata mereka, namun sayangnya kemampuan memasak Dara tidak sebanding dengan kemampuannya membuat kue. Sinkyung mendeklarkan bahwa dirinya akan mengajari Dara, yang hanya bisa mengangguk pasrah meskipun tidak yakin, karena ibunya sendiri pun telah menyerah dalam mengajarinya.

“Jangan kaget, kedua orang itu adalah anak-anak yang terperangkap dalam tubuh orang dewasa,” kata Dami sambil menarik sebuah kursi dan mengisyaratkan agar Dara duduk di sana. Lalu ia kemudian menempati kursi di sebelahnya. Dara hanya tersenyum geli, tidak pernah dilihatnya sisi Jiyong yang ini, dan itu menghangatkan hatinya untuk mengetahui tentang kekasihnya itu lebih baik.

Keempat orang itu telah menempatkan diri melingkari meja makan, menanti dua orang pria dewasa yang tengah bertengkar, yang akhirnya kemudian ingat soal makan malam. Jiyong duduk sisi Dara yang lain dan Hangeum di sisi Dami yang lain.

Makan malam berjalan lancar, jika pertengkaran Jiyong dan Hangeum mengenai game mereka tadi diabaikan. Dara bisa merasakan semua orang menerimanya, dan itu rasanya menyenangkan. Rasa takut akan ditolak oleh keluarga Jiyong membuatnya tidak bisa tidur semalam. Namun ketakutannya itu sama sekali tidak terjadi, malahan sang ibu Kwon terus-terusan mengisyaratkan soal pernikahan, membuatnya nyaris tersedak hingga beberapa kali. Wajah Dara pasti memanas merah setiap kali wanita paruh baya itu menyebutkan preferensinya bagaimana pernikahan keduanya akan digelar, yang jujur Dara sendiri pun tak tahu. Demi Tuhan, dirinya dan Jiyong belum pernah membahas soal pernikahan – dia bahkan tidak seyakin itu jika Jiyong seserius-serius itu.

“Maafkan aku,” kata Jiyong padanya ketika mereka sampai di depan pintu apartemen, mengacak rambutnya. Mereka baru saja pulang dari rumah kediaman orang tua Jiyong.

“Untuk apa?” tangan Dara yang akan bergerak untuk memasukkan kunci ke lubangnya berhenti di tengah jalan.

Omma memang agak suka ngotot, aku menyadari itu.” balas pria itu, enggan menatap mata Dara.

Ada sesuatu yang terjatuh. Dara tidak yakin apa itu, tapi rasa dingin tiba-tiba menjalar di dasar perutnya. Ia ingin mencoba untuk mengatakan sesuatu, tapi hanya sanggup menggumamkan, “Tidak masalah. Aku tahu,”

“Kau beristirahatlah, aku juga harus segera pulang.” Kata Jiyong, menegakkan tubuhnya sambil memasukkan kedua tangannya di saku celana.

Rasa kecewa menyelimuti Dara. “Kau tidak ingin masuk?” tanyanya, mencoba untuk menata suaranya. Untungnya, Jiyong sama sekali tidak menyadari.

“Tidak, kau harus beristirahat,” jawab Jiyong. “Aku akan datang besok,” janjinya, lalu mengecup puncak kepala Dara. Di bawah pengawasan Jiyong, Dara akhirnya berhasil memasukkan kunci apartemennya ke lubang, agak kasar.

“Tidur yang nyenyak, sampai ketemu besok,” pamitnya.

Entah kenapa, jauh dalam lubuk hatinya, Dara tahu keesokan harinya mereka tidak akan bertemu. Atau esoknya lagi. Dan masih esoknya lagi. Dan bahkan seminggu kemudian.

**

Jiyong memeras otak. Sudah beberapa hari ini dia menghindari kekasihnya dan dia tahu, kebohongannya tidak akan bisa bertahan lama. Sejak makan malam dengan keluarganya tempo hari, dirinya merasa malu saat ibunya menyebutkan soal pernikahan padahal ia belum melamar Dara. Ya, dia memang telah mendapatkan izin dari ayah Dara, tapi bagaimana jika gadis itu enggan menerima Jiyong sebagai suami. Bagaimana jika Dara melihat banyak kekurangan pada diri Jiyong dan memutuskan bahwa dia bukanlah pria yang tepat. Banyak sekali skenario ‘bagaimana jika’ bermunculan di dalam kepalanya hingga membuatnya merasa lelah.

Hari ini adalah hari pertama Butterfly Café kembali buka setelah liburan tahun baru. Dan lagi, Jiyong tidak bisa datang menemui Dara seperti yang dijanjikannya beberapa hari yang lalu. Untuk kali ini, untungnya dia tidak perlu berbohong. Ia memang benar-benar tidak bisa datang karena dirinya diperlukan pada pembacaan naskah pertama dari Hidden. Jiyong sama sekali tidak tahu bagaimana sistem di industri film, tapi biarpun dirinya masihlah seorang amatur, ia pun bisa merasakan bahwa produksi filmnya ini tergolong sangat cepat. Baru sebulan lalu ia mengirimkan skenario final, lalu minggu berikutnya jajaran aktor dan aktris yang akan ikut bermain dalam film sudah diumumkan. Dari yang Seunghyun katakan padanya, produser utama film ini adalah fansnya dan ingin agar produksi berlangsung secepat mungkin.

Jiyong bukannya memprotes. Tentu saja dia tidak akan berani, bukankah begitu.

“Aku benar-benar minta maaf, baby…” kembali ia mengucapkan kata-kata itu lagi. Selama beberapa hari terakhir tak terhitung sudah berapa kali kata maaf untuk Dara terucap dari bibirnya.

“Aku mengerti. Tidak apa-apa,” dan mendengar jawaban yang keluar dari kekasihnya, ia semakin merasa bersalah. Ditambah lagi dengan beban dari benda kecil yang tiga hari terakhir menjadi penghuni tetap kantongnya serasa berton-ton.

Acara pembacaan naskah pertama berjalan lancar, hanya ada beberapa kesalahan kecil. Para aktor dan aktris yang terlibat terlihat antusias dengan kegiatan produksi film ini.

Hari sudah gelap saat akhirnya mereka selesai dengan pembacaan naskah. Jiyong buru-buru berkemas agar dia bisa menjemput Dara dari kafe. Gadisnya itu pasti sangat lelah dan tidak mungkin Jiyong membiarkannya pulang sendirian. Terserah apa yang akan terjadi nanti, meskipun dia harus merasa gelisah jika berada di dekat Dara karena belum ada rencana tepat terpikir olehnya.

Akan tetapi, ketika akan berjalan keluar, sang produser yang juga ikut datang untuk mengamati proses kegiatan menghentikannya.

“Selamat malam, Cha Taejun taepyonim,” Jiyong balas menyapa setelah pria paruh baya itu menyapanya, menjabat tangannya.

“Suatu kehormatan akhirnya bisa bertemu langsung denganmu, Kwon Jiyong-ssi,” kata Cha Taejun, sebuah senyuman lebar tersungging di wajahnya. “Sebelum-sebelumnya, aku selalu saja memiliki kesibukan lain,”

Apakah itu hanya ada dalam imajinasi Jiyong, atau pria itu sedikit mengerucutkan bibirnya?

“Saya pun merasa menyesal, taepyonim,” jawab Jiyong, berusaha menghapus pikirannya barusan dan tersenyum kepada pria itu. “Saya sangat senang akhirnya kita bisa bertemu langsung. Saya ingin mengucapkan rasa terima kasih saya karena sudah memberi kesempatan untuk mengangkan buku saya menjadi sebuah film, bahkan lebih jauh lagi sampai meminta saya menjadi penulis skenarionya. Saya sangat merasa tersanjung.” Tuturnya.

“Ah,” Cha Taejun melambaikan tangannya menyuruh Jiyong melupakan hal itu. “Itu bukan masalah besar. Saya ini adalah fans yang merasa senang di sini. Sejak membaca buku Anda untuk pertama kalinya, saya sudah bisa membayangkan bagaimana cerita itu akan tampak di layar, siapa saja yang akan memerankannya. Anda mungkin berpikir bahwa produksi film ini terkesan terburu-buru, tapi sebenarnya proyek ini sudah berjalan selama beberapa tahun – tepat setelah saya membaca buku Anda dan memaksa tim saya untuk juga ikut membacanya. Mereka pun setuju dengan saya, bahwa buku Anda layak untuk mendapatkan sebuah kesempatan agar bisa diceritakan kepada lebih banyak orang lagi dengan format berbeda. Setelah semua urusan pendanaan selesai, saat itulah ketika akhirnya kami menghubungi pihak publisher Anda. Saya tidak ingin membuat berita apa pun sampai semuanya sudah siap.” Ceritanya.

Itu adalah pertama kalinya Jiyong mendengar cerita itu. Reaksi pertamanya adalah jelas kaget, tapi detik berikutnya, kebahagiaan menyelimutinya. “Terima kasih, terima kasih banyak, taepyonim!” Seru Jiyong senang, tersenyum lebar.

“Sama-sama, sama-sama.” jawab pria itu, masih tersenyum. “Anak remaja saya juga sebenarnya adalah fans Anda, dia tidak pernah lupa mengabarkan kepada saya tentang update terbaru dari Anda dan kekasih Anda dari sosial media. Dia sangat senang saat tahu tentang produksi film ini dan untuk pertama kalinya dia bahkan merasa tertarik dengan produksi film…” Cha Taejun terus bercerita. Tapi otak Jiyong memproses sesuatu yang lain. Dia baru saja mendapatkan sebuah ide cemerlang.

**

Dara menatap refleksinya di cermin. Matanya mencermati garis wajahnya, apa yang Jiyong lihat di sana sekarang? Apakah Jiyong melihat Dara sudah terlalu tua untuknya? Apakah akhirnya Jiyong menyesali keputusannya telah membawa Dara menemui keluarganya? Atau apakah keluarga Jiyong tidak menyukainya, tapi baru memberitahukan kepada pria itu dibalik sepengetahuan Dara karena mereka terlalu baik dan menjaga perasaannya?

Bukankah Dara sudah memperingatkan hatinya sejak awal untuk selalu siap? Karena pria itu terlalu baik untuk gadis sepertinya? Kenapa rasanya sangat sakit? Jiyong memulai semuanya hanya karena rasa penasaran. Jiyong merasa penasaran pada gadis yang tanpa sengaja terpotret dalam lensa kameranya. Jiyong merasa penasaran karena Dara terus saja acuh sejak pertemuan pertama mereka.

Seharusnya hatinya sudah mempersiapkan diri.

Ketika Jiyong tidak ingin mereka bertemu lagi, harusnya dia sudah siap.

Ketika Jiyong tidak ingin menemuinya lagi, harusnya dia sudah siap.

Ketika…

Bunyi dering ponsel menghentikan otak Dara dalam menyusun berbagai skenario. Ia meraih ponselnya dan mendesah saat melihat identitas peneleponnya. Jiyong.

Yoboseyo,” bisik Dara ke bagian speaker setelah menerima telepon yang masuk.

“Hai,” didengarnya suara dari seberang. “Aku berada di kafe tapi sepertinya aku sudah terlambat.”

Dara duduk di tepi tempat tidur, menarik nafas panjang dan menjawab. “Ya, kami sudah tutup.” Dia mendongakkan kepalanya dan melihat ke langit-langit. Membiarkan gravitasi bekerja pada tubuhnya, Dara diam saja saat tubuhnya jatuh terbaring di atas kasur. Matanya masih menatap langit-langit kamar, mencoba mencari cacat pada warna putih di atas sana.

“Bagaimana caranya kau pulang?” tanya Jiyong.

“Jalan kaki.” Jawab Dara pendek. Dia sedang tidak merasa ingin untuk mengatakan pada Jiyong bahwa dirinya sempat menunggu hingga sejam lamanya karena Jiyong sudah berkata padanya akan datang menjemput. Tapi setelah satu jam berlalu dan masih belum ada bayangan dari kekasihnya itu, dia memutuskan untuk pergi.

“Maafkan aku,” Jiyong terdengar sangat menyesal. Tapi sebuah suara kecil dalam dirinya menyuarakan rasa curiga. “Aku dicegat oleh produser dan kami ngobrol beberapa saat sampai lupa waktu.”

“Aku mengerti. Tidak apa-apa,” tidak, jelas itu bukannya tidak apa-apa. Ingin sekali ia berkata demikian, tapi ditahan.

Diam beberapa saat.

“Apa kau mau aku datang?” Jiyong memecah kesunyian.

Dara mendesah. Ia tidak mungkin menemui Jiyong dalam keadaan seperti ini. Tidak setelah pria itu mengacuhkannya selama beberapa hari. Ia menggelengkan kepalanya meskipun Jiyong tidak bisa melihat.

“Tidak, aku ingin istrirahat. Aku merasa sangat lelah,” jawab Dara jujur. Tapi bukan rasa lelah dari apa pun alasan yang dipikirkan Jiyong saat ini.

“Baiklah kalau begitu. Aku akan menutup teleponnya. Selamat malam, tidurlah yang nyenyak.”

“Ya,” jawab Dara. Sebelum Jiyong bisa memutuskan sambungan, dia melakukannya terlebih dahulu.

Dara kembali mendesah dan pikirannya berjalan-jalan memikirkan banyak hal sampai akhirnya tidur datang menjemput.

Keesokan paginya, Dara melakukan segala kegiatan paginya dan bersiap-siap untuk berangkat ke kafe. Dia tengah menikmati secangkir cokelat hangat sambil menimbang haruskan dia menghubungi Jiyong atau tidak. Pria itu belum menghubunginya lagi.

Saat batinnya tengah dalam konflik mengenai harus menelepon atau tidak, badannya seolah punya pengendali lain dan bergerak untuk mengambil ponsel. Tapi sesuatu menarik perhatiannya terlebih dahulu sebelum dia sempat masuk ke daftar panggilan. Sejak pencarian yang dilakukan oleh Jiyong terhadap dirinya beberapa bulan yang lalu melalui Instagram, bukan hal baru lagi untuk mendapati banyak pemberitahuan masuk ke dalam ponselnya. Akan tetapi, kali ini dia merasakan ada sesuatu yang familiar. Dejavu.

Jarinya bergerak dengan sendirinya tanpa perintah dari otak dan mengklik ponselnya. Apa yang dilihatnya membuat jantungnya berhenti berdetak. Pada saat bersamaan, telinganya samar mendengar suara bell pintu bordering.

Masih bergerak dalam mode otomatis, kakinya melangkah menuju pintu. Tangannya bergerak membuka kunci, lalu menarik pintu terayun terbuka.

Di sana, Jiyong berdiri tegap, membawa sekeranjang bunga Daisi dengan senyuman tersungging di wajah.

“Jadi, aku hanya mau menerima jawaban ‘ya’.” Katanya, menunjukkan tangannya yang lain yang membawa sebuah kotak beludru. Kotak itu terbuka dan menampakkan sebentuk cincin berlian sederhana.

Tangan Dara terangkat naik menutupi mulutnya, air matanya mengalir, dan tanpa berpikir panjang dia menghamburkan kedua lengannya, melompat ke arah Jiyong yang langsung menangkapnya tepat waktu. Dara terisak.

**



 

Ini adalah chapter terpanjang yang pernah saya tulis…. OTL

Makasih untuk Zhie, yang udah maksa saya buat ‘nulis ulang’ dan posting di sini…

Makasih untuk Rara, yang udah mau bantuin translet separo cerita…. ehem..good luck untuk proyeknya… kkkkk XD *senengnyaaaaa~~~~~*

Makasih untuk yang udah mau bersedia baca….dan ninggalin komen2 nyenengin… hihihi… maaf, saya ini selalu jadi author manja yang selalu rewel dan minta macem2.. >.<

Chiao di cerita yang lainnya~ :*

p.s. maaf soal dua editan gambar terakhir… OTL saya terlalu males untuk edit ulang…jadi tolong abaikan soal jamnya yaa… pas bikin manip dan pas nulis, otak saya agak nggak sinkron kayaknya… OTL maaf yaaa…. T_T

 

<< Back Next >>

39 thoughts on “The Admirer [5. The End]

  1. Aigoo stiap kata2nya sweet smuaa. Akhirnya rasa lelah dars trgantikan dgn rasa bhagia dan terharu. Akhirnya jiyong ngelamar dara. Pasti yes dong kan dara , kagak mngkin lu blg no. Hahaha sweet bgt

  2. hahahahaahha…gilaaaaa… seriussss sweet bgt ide nglamar ni. wkekekekekeke… ngbaca sj udah klepek” apalg nyata ny trjd bnran. haha

Leave a comment