Imperfect : Part #6

imperfect copy

multishot | daragon | angst

Beneran part#5 kemaren nggak maksa? >.> *lirik tajem* <.< LOL
Ehem, ada yang tanya itu Kang Johyun kaya apa wajahnya… >.< waaaaah~ saya nggak tau, saking itu cuman karangan saya aja.. :3 jadi kalopun ternyata ada orang beneran namanya Kang Johyun di belahan bumi manapun dan ngebaca cerita ini – saya minta maaf sebesar2nya.. _ _”
Aaah~ kalo soal kelanjutan gimana nanti Kang Johyun sama Hayi disini, sabar yaak~ tinggal dikit lagi kok, pasti bakal tau… kkkk
Anyhow, selamat membaca.. ^^/

~ Imperfect – Part ~

 

Kang Johyun menatap wanita yang bediri dihadapannya. Pandangan wanita itu tertuju kearah lain, meskipun jelas sekali bahwa sang wanita tengah berbicara kepadanya. Disamping wanita itu berdiri seorang pria yang menyatakan diri sebagai suaminya.

“Aku sudah meminta seorang pengacara untuk mengurus masalah kebebasanmu, jadi kuharap kau menepati janjimu untuk tidak menampakkan diri lagi dihadapan kami.”

“Aku tidak bisa percaya bahwa ternyata aku telah memiliki seorang anak.” Rupanya Kang Johyun tidak menanggapi perkataan dari wanita dihadapannya dan malah mengatakan apa beberapa hari ini terus dia pikirkan.

“Hayi sudah memiliki ayah.” Balas Jiyong tajam, rahangnya mengeras. Dia tidak suka memikirkan bahwa sekarang Kang Johyun tertarik berbicara tentang Hayi, putri kecilnya, walau dia sendiri tidak bisa mengesampingkan kenyataan bahwa pria itulah yang telah menghadirkan Hayi baginya – mempertemukannya dengan Dara.

“Ya, ya, aku tahu. Kwon Hayi, bukan Kang Hayi.” Mata Kang Johyun menerawang. Dan Jiyong seolah memendam hasrat untuk meninju muka lelaki itu. Mengusir pikiran apapun yang saat ini terlintas di kepalanya, jika itu menyangkut tentang merebut Dara dan Hayi dari dirinya.

Dara tidak menyukai arah pembicaraan mereka ini. Nafasnya mulai terasa sesak semakin lama berada di ruangan yang sama dengan salah seorang monster yang paling tidak ingin dia temui seumur hidupnya. Namun lagi-lagi otakknya mengingatkan, semua ini demi Hayi. Seolah mencari kekuatan, tangannya menggapai ujung kemeja Jiyong dan menggenggamnya erat. Jiyong yang merasakan ujung kemejanya ditarik, membuka genggaman tangan Dara dan menggantinya dengan tangannya sendiri. Dia kemudian menarik tubuh wanita itu semakin dekat kepadanya, lalu memeluk pinggangnya dengan sebelah tangan. Tangan yang satunya lagi digunakan untuk menggenggam tangan Dara yang mulai berkeringat dingin.

“Kita sudah sepakat tidak akan membawa-bawa tentang Hayi lagi, jadi kami mohon penuhi janjimu. Kami sudah menepati bagian kami.” Kata Jiyong tegas.

Kang Johyun tidak menatap mata Jiyong, pandangannya menerawang. “Dia bercerita padaku, tentang kalian, tentang ayah dan ibunya..”

Jiyong merasakan tangan Dara meremas tangannya kuat. Dan sekarang adalah saatnya dia menggambil sikap tegas.

“Kang Johyun!” Jiyong memotong perkataan Kang Johyun keras, memaksa pria itu untuk sekali ini memperhatikannya. “Kuharap kita tidak pernah bertemu lagi, dan gunakan kesempatan kebebasanmu ini untuk menjadi orang yang lebih baik. Kami permisi.”

Dengan begitu Jiyong setengah menyeret Dara keluar dari kamar rawat Kang Johyun. Seminggu telah berlalu sejak operasi transplantasi ginjal untuk Hayi, dan sore nanti Kang Johyun sudah diijinkan keluar dari rumah sakit.

Kang Johyun mengikuti kedua orang itu dengan tatapan matanya hingga mereka menghilang dibalik pintu. Dia mengeluarkan desah. “Arasso.. arasso.” Matanya kembali menerawang, kali ini menatap keluar jendela.

**

Dara mengelus kepala Hayi, matanya menatap tubuh putrinya yang ditanami berbagai macam kabel dan selang. Sudah lewat satu minggu sejak transplantasi dilakukan, namun Hayi belum juga membuka matanya.

“Dara-ah, kau harus makan..” suara Jiyong tidak membuat Dara mengalihkan pandangan matanya dari Hayi.

“Aku tidak lapar.” Jawab Dara singkat.

Jiyong mendesah lemah. Selalu saja seperti ini, Dara enggan beranjak dari sisi Hayi meski hanya demi kebutuhan tubuhnya sendiri.

“Aku tahu, tapi kau butuh makan.” Tanpa menunggu persetujuan Dara, Jiyong mulai menyiapkan makanan yang sudah sengaja dibelinya untuk wanita itu. Jika tidak begini, Dara tidak akan mungkin ada makanan yang masuk kedalam tubuh Dara. “Hayi akan marah saat dia bangun nanti jika tahu omma-nya tidak mau makan.”

*

“Omma..” Hayi mengucek matanya, mencoba memperjelas pandangan matanya setelah bangun dari tidur.

Hayi tertidur di sofa ruang tamu saat Dara tengah mempersiapkan makan siang. Tidak tega membangunkan putrinya, Dara memilih memindahkan Hayi ke kamar, dan memutuskan untuk berbaring bersama Hayi, meninggalkan makanan yang telah siap di meja.

“Neh?” balas Dara masih berbaring miring menghadap kearah Hayi. Sudah tiga jam dia berada dalam posisi seperti itu namun tidak sedetik pun dia merasa perlu untuk berubah posisi.

“Jam berapa sekarang? Hayi lapar..” suara Hayi parau, suara khas seseorang yang baru bangun tidur.

“Sudah hampir jam empat, sebentar lagi appa pulang.” Jawab Dara. Dia hafal jadwal Jiyong, ini adalah hari Selasa, biasanya dia akan tiba di rumah sekitar pukul empat.

“Chincha?” mata Hayi melebar, senang mendengar pria kebanggaannya itu akan segera datang.

Dara bangun dari posisinya semula, lalu mengangguk mengiyakan. “Kaja, kita makan sambil menunggu appa datang. Hayi pasti lapar karena tadi tidur sebelum sempat makan siang.” Ajaknya, mengabaikan pegal yang dirasakannya karena berjam-jam tidak bergerak.

Dengan satu tangan menenteng Haejin – boneka kelinci putih miliknya, Hayi mengerutkan kening menatap hidangan yang tersaji diatas meja makan. Semuanya masih lengkap, sama sekali belum tersentuh. Tadi ommanya bilang, dia tertidur sebelum makan siang, berarti sekarang sudah lewat dari waktu makan siang..

“Omma, apa omma sudah makan siang?” tanya Hayi, masih dengan kening berkerut. Jangan anggap remeh gadis kecil itu, usianya mungkin memang baru empat tahun, tapi dia berhati besar – dia sangat peka dan peduli, khususnya pada orang-orang yang disayanginya.

Dara tersenyum dan menggelengkan kepalanya kepada Hayi. “Aniyo, omma ingin makan bersama Hayi..” jawabnya.

Bibir kecil Hayi mengerucut, tidak berusaha menutupi rasa tidak sukanya atas jawaban sang ibu.

“Omma harus makan, Hayi tidak mau omma sakit karena tidak makan.” Dia ingat betul bahwa  Dara pernah berkata hal serupa padanya.

Dara berlutut menyejajarkan tubuhnya dengan tinggi Hayi, lalu memeluk putrinya itu. “Arasso, omma tidak akan mengulanginya lagi. Mianhe..” dirasakannya Hayi membalas pelukannya. “Aigoo, uri aegy sangat perhatian pada omma..”

Seperti yang dikatakan Dara, tak lama kemudian Jiyong tiba di rumah saat keduanya sudah mulai makan. Akhirnya keluarga kecil itu menghabiskan sore mereka hari itu di meja makan, dengan Hayi tak hentinya meminta Dara berjanji untuk tidak pernah lagi melupakan makan.

*

Dara menyuapkan makanan kedalam mulutnya secara membabi buta. Lidahnya tidak merasakan apapun, semua makanan yang masuk kedalam mulutnya terasa hambar.

“Dara-ah, pelan-pelan..” tepat setelah Jiyong berkata demikian, Dara tersedak makanannya. Jiyong buru-buru bangkit dari tempatnya dan berpindah kesisi Dara. Diusapnya punggung wanita itu setelah sebelumnya memberikan air minum. “Tidak perlu terburu-buru.” Nasehat Jiyong.

“Hayi bilang aku tidak boleh melupakan makan, dia tidak mau aku jatuh sakit.” kata Dara tanpa sadar mengeluarkan air mata. Dia kembali memasukkan sesuap besar makanan kedalam mulutnya, menambah muatan bahkan sebelum yang sebelumnya tertelan habis.

“Dara-ah…”

 “.. aku harus makan..” air mata Dara kian mengalir deras, kini ditambah dengan isakan.

Tidak tahan dengan apa yang dilihatnya, Jiyong serta merta menarik mangkuk makanan Dara lalu setelah meletakkannya diatas meja, dia menarik Dara kedalam pelukannya. Isakan Dara bertambah hebat, tubuhnya sampai bergetar dalam pelukan Jiyong.

“Shhh… tidak apa-apa, tidak apa-apa… Hayi akan segera baik-baik saja.” ujar Jiyong mencoba menenangkan Dara dan dirinya sendiri.

**

“Omma…” Hayi menarik ujung baju Dara yang tengah memasak di dapur.

“Neh?” jawab Dara tanpa memandang putrinya.

Tidak ada jawaban dari Hayi, namun gadis kecil itu masih menarik-narik ujung baju ibunya. Dara mendesah, menghentikan kegiatannya dan beralih menatap putrinya.

“Waeyo?” Dara merunduk, menyejajarkan tingginya dengan Hayi. Dilepaskannya tangan kecil Hayi dari ujung bajunya. Gadis kecil itu menundukkan kepalanya. Dara memegang dagu Hayi, meminta putrinya menatapnya dan mengatakan apa yang dia inginkan.

“Omma, Hayi ingin ke kebun binatang…” lirih Hayi takut-takut.

Dara kembali mendesah. Tidak tahu apa yang harus dikatakannya kepada Hayi. Ditariknya tubuh kecil itu kearahnya lalu mendekapnya erat. Dara mengerti perasaan Hayi yang hanya mengenal dua tempat – rumah dan rumah sakit. Kondisi tubuh Hayi tidak mengijinkan gadis itu untuk bepergian kemanapun, tidak ingin mengambil resiko untuk membuat gadis kecil itu lelah.

“Aegy-ah…” ucap Dara pelan.

Dara yang tidak tega dengan permintaan putrinya, mencoba meminta pendapat Jiyong, apakah memungkinkan bagi Hayi untuk bepergian ke kebun binatang. Jiyong tahu dengan pasti aktivitas diluar ruangan tidak baik bagi kondisi Hayi. Esok harinya, dia pulang ke rumah dengan membawa puluhan boneka berbagai macam hewan untuk sedikit mengobati kekecewaan Hayi.

**

Jiyong terbangun oleh sinar matahari pagi yang menembus masuk melalui jendela kaca, lurus menyilaukan matanya yang masih ingin terpejam. Tidak banyak waktu yang dihabiskannya untuk tidur, malahan sebenarnya dia tidak ingin tidur. Inginnya dia terus terjaga menatap wajah cantik wanita yang berbaring kelelahan disebelahnya. Dalam remang cahaya bulan semalam tak hentinya dia terpesona menatap Dara – wanita yang telah lima tahun dia nikahi.

Ingatannya kembali pada kejadian semalam, Jiyong merasa emosinya membuncah. Berbagai macam perasaan campur aduk dalam hatinya, gembira, bahagia, haru… dia tidak tahu apa lagi nama-nama perasaan yang dia rasakan…

Karena semalam, untuk pertama kalinya dalam lima tahun pernikahan mereka Dara mau sepenuhnya bersandar padanya. Membiarkan Jiyong memeluknya, menenangkannya, membuatnya lupa sejenak akan kesedihan yang wanita itu rasakan. Sebentuk senyuman tersungging pada bibir Jiyong. Dara mulai bisa lebih melihat keberadaannya.

Hingga fajar, Jiyong masih mencoba meyakinkan hatinya bahwa apa yang dialaminya adalah nyata. Bahwa Dara tertidur dalam pelukannya. Untuk lebih meyakinkan dirinya, Jiyong bahkan menolak memejamkan mata – terus menatap wajah cantik istrinya, mengelus bahu polosnya – memastikan bahwa wanita itu tidak akan kedinginan.

Tangan Jiyong bergerak ke sisi samping kananya, namun tidak menemukan apapun – tidak menemukan siapapun. Dengan kening berkerut, dia memaksa kelopak matanya terbuka, dan benar dia menemukan dirinya sendirian di tempat tidur. Seketika itu juga kesadarannya langsung datang, hilang sudah kantuk yang menderanya.

“Dara-ah..” panggil Jiyong, bangun dari tempat tidur. Tidak ada tanda-tanda orang di kamar mandi, tapi mencoba memastikan, dia membuka pintu kamar mandi dan tidak menemukan siapapun.

Jiyong beranjak ke lemari pakaian, menarik selembar kaos putih dan segera memakainya – dia hanya mengenakan celana piyamanya saja. Dia keluar dari kamar, dan mendapati tidak ada suara yang terdengar dari seluruh penjuru rumah kecilnya. Tidak dari arah dapur, tidak dari halaman, tidak dari manapun. Dan benar, setelah memeriksa seisi rumah, hanya ada dirinya seorang disana.

Kemana Dara pergi? Pertanyaan itu menghantui pikiran Jiyong. Mungkinkah..

**

Firasat Jiyong benar. Seperti dugaannya dia menemukan Dara di tempat itu. Tempat yang sama seperti yang dikunjungi wanita itu selama hampir sebulan belakangan ini.

Tidak mempedulikan penampilannya yang hanya mengenakan selembar kaos putih dan celana piyama, Jiyong bersiri diam. Cukup jauh dari tempat Dara berada hingga tidak bisa mendengar apa yang istrinya itu katakan, namun masih bisa melihatnya dengan jelas jika terjadi sesuatu.

Pagi ini bukan kali pertama Jiyong kehilangan Dara di rumah dan akan menemukan istrinya itu di tempat ini. Semua kebahagiaan yang Jiyong rasakan tadi hancur berkeping menyadari punggung Dara bergetar, tidak butuh seorang jenius untuk mengatakan bahwa wanita itu sedang menangis. Padahal tadinya dia mengira Dara akan bangun dari keterpurukannya. Padahal tadinya dia mengira dia bisa mengobati sedikit luka wanita itu. Namun ternyata keberadaannya belum cukup.

Jiyong merasa seperti seorang bodoh mengira bahwa kali ini dia  akan mampu membantu menyembuhkan wanita itu – wanita yang perlahan tapi pasti memiliki arti penting baginya. Bodoh. Sejak awal Jiyong tidak memiliki peranan apapun pada kehidupan Dara. Sejak awal bukan dirinya yang menjadi malaikat penyelamat Dara.

“Hayi-ah… apa yang harus apa lakukan?” lirih Jiyong.

**

 “Aegy-ah.. omma minta maaf.” Isak Dara. “Omma terlalu serakah sampai lupa tempat omma sebenarnya.” Ingatannya kembali pada sebuah bangunan kecil yang selama ini disebutnya sebagai rumah – tepatnya pada beberapa jam yang lalu. Dia terlalu terlena pada perhatian yang JIyong berikan padanya, hingga lupa akan posisi dirinya yang sebenarnya.

 “Omma janji, omma tidak akan serakah lagi,” Dara menarik nafas dalam, mencoba menghapus perasaan hangat yang mulai dirasakannya. Tidak. Dia tidak berhak akan hal itu. Tidak seharusnya dia merasakan hal itu.

Dara menghapus air mata terakhirnya. Sudah cukup. Air matanya untuk hari ini sudah cukup. “Aegy-ah, omma harus pulang sekarang. Omma janji besok omma akan kembali datang kemari.” Ucap Dara, lalu dia tersenyum. “Arasso, omma tidak akan menangis lagi hari ini.”

Dara bangkit dari posisinya dan berbalik. Seketika itu juga tubuhnya kaku, mengesampingkan perintah dari otaknya untuk tidak menangis, setetes air mata jatuh dari pelupuk matanya. Disana, dikejauhan namun masih bisa dikenali matanya dengan sangat baik, pria itu berdiri. Jiyong. Hanya menggunakan celana piyamanya dan kaos putih berlengan pendek, dia berdiri disana. Seperti yang selalu pria itu lakukan selama sebulan belakangan ini.

Jiyong tersenyum.

Hati Dara menjerit. Ini terlalu sulit baginya. Sangat sulit baginya. Sulit jika pria itu sendiri yang terus memupuk harapannya. Membuat Dara lupa akan tempatnya berpijak. “Hayi-ah, tolong beri omma kekuatan.” Bisik Dara lirih.

**

Diam. Jiyong terus bergerak dalam diam. Tidak sepatah kata pun terucap dari bibirnya maupun dari Dara sejak mereka tiba di rumah. Ditatapnya wajah Dara dengan seksama. Jiyong tidak bisa membawa air muka wanita itu sekarang.

Tangan Jiyong kembali bergerak, menyuapkan sesendok sup kupada Dara. Wanita itu membuka mulutnya dengan patuh, menerima suapan dari Jiyong.

Sudah sebulan selalu saja seperti ini kejadiannya. Saat membuka mata, Jiyong tidak bisa menemukan Dara di rumah. Wanita itu sudah bisa dipastikan berada di tempat itu. Setiap pagi, pada jam yang sama. Dan Jiyong akan datang menjemputnya, hanya berdiri diam, memandang dari kejauhan. Membiarkan Dara menikmati waktunya disana, sampai dia sendiri yang memutuskan untuk pergi. Lalu setelah mereka tiba di rumah, Jiyong akan menyiapkan makanan untuk Dara, menyuapinya sampai wanita itu meminta berhenti. Tidak sepatah kata pun mereka ucapkan selama proses itu.

“Dara-ah…” Jiyong yang pertama memecah kesunyian diantara mereka.

Dara hanya menatap kosong tanpa menanggapi suaminya. Namun pelan, rahangnya masih bergerak mengunyah makanan dalam mulutnya.

Jiyong mendesah. Angannya luruh.

Semalam, hatinya kembali berani berharap. Berharap bahwa akhirnya Dara mau membuka diri padanya. Tapi rutinitas pagi mereka kembali terulang dan dirinya sadar, angannya itu jauh dari kenyataan.

Dara masih duduk diam di tempatnya, meski kini Jiyong telah berpindah kedepan tempat cucian piring. Mencuci peralatan makan yang baru saja mereka gunakan. Dipandanginya punggung tegap Jiyong. Pria itu selalu ada untuknya, dia selalu ada disaat-saat terburuk dalam hidupnya. Meminjamkan bahunya sebagai tempatnya bersandar. Namun itu bukan tempatnya. Tidak seharusnya dia membiasakan diri dengan keberadaan Jiyong. Tidak setelah…

“Jiyong-ssi…” panggilan Dara membuat bulu roma Jiyong bergidik. Semalam, semalam Jiyong memberanikan diri untuk berharap Dara tidak akan memanggilnya seperti itu. Dan lagi-lagi sepertinya harapannya kandas.

“Neh?” Jiyong mencoba mengenyahkan perasaan sesak dalam dadanya, masih memunggungi Dara, meski dia sudah selesai mencuci semua peralatan makan mereka.

“Bisakah kita hentikan semua ini?” tanya Dara dalam suara pelan.

Jantung Jiyong berhenti berdetak sejenak, telinganya pasti salah mendengar. Perlahan dia berbalik dan mendapati Dara tengah menatap kearahnya. Raut muka wanita itu masih sulit untuk dibaca.

“A-apa?”

“Bisakah kita hentikan semua ini?” ulang Dara, menatap langsung ke manik mata Jiyong.

Jiyong tidak mengerti maksud perkataan Dara, namun hatinya sangat yakin dirinya tidak akan menyukai hal itu. “A-apa maksudmu?”

Dara menghela nafas, masih menatap Jiyong.

“Kita hentikan semua ini.” lagi-lagi Dara mengatakan hal yang tidak bisa dipahami Jiyong.

“A-aku tidak bisa mengerti perkataanmu, Dara-ah. Jelaskan padaku.” Desah Jiyong frustasi, dirinya kini sudah berlutut dihadapan Dara, memegang kedua tangan wanita itu.

Dara yang masih terus menatap lurus ke mata Jiyong, tidak menyadari air matanya telah mengalir. “Kita harus mengakhiri semuanya. Kau sudah tidak punya alasan lagi untuk terus bersamaku.”

Jiyong tersentak. Tidak mempercayai apa yang didengarnya keluar dari mulut Dara. Mulutnya terbuka namun tidak ada perkataan apapun yang keluar.

“Kau hanya ingin menjadi ayah Hayi, dan kini… dan kini Hayi telah pergi. Jadi kau sudah tidak punya kewajiban untuk menemaniku..” pandangan mata Dara kabur. Wajah Jiyong tidak bisa dilihatnya dengan jelas karena air matanya terus mengalir keluar.

“Dara-ah, apa maksudmu?! Kau tidak serius, kan?! Kau pasti bercanda?! Apa maksudmu?!” panik Jiyong.

“Aku serius. Kau hanya ingin menjadi ayah bagi Hayi… jadi tidak adil rasanya jika aku terus bersandar padamu. Kau hanya menginginkan Hayi, tapi kau harus juga menerimaku sebagai paket tambahan…” Dara tertawa kecil, pahit. “Jadi… jadi sudah seharusnya aku… aku sadar dimana tempatku. Aku tidak pantas untukmu,”

“Yah! Dara-ah! Apa yang kau bicarakan, hah?!” seru Jiyong, meremas tangan Dara kuat, dia juga ikut menangis. “Jangan bicara sembarangan!!”

“Aku tidak bicara sembarangan, aku bicara yang sebenarnya.” Jawab Dara, menarik lepas tangannya dari genggaman tangan Jiyong.

Jiyong masih terpaku di posisinya. Otaknya mendadak lumpuh, tidak tahu apa yang harus dilakukan.

“Dara-ah, katakan padaku kau hanya bercanda!”

“Tidak.” Jawab Dara. “Aku tidak bercanda. Memang sudah sejak awal aku tidak membiarkan diriku bersandar pada rasa empatimu, Jiyong-ssi.” Dia berdiri dari duduknya dan mulai beranjak meninggalkan Jiyong.

“Lalu apa alasanmu untuk kejadian semalam?!” seru Jiyong frustasi.

Langkah Dara terhenti. Semalam? “Semalam?” Jiyong menggigit bibir bawahnya, mencoba menahan isakannya agar tidak keluar. “Semalam kau hanya ingin menghiburku.” Jawabnya dan melanjutkan langkahnya meninggalkan Jiyong yang terpuruk hancur.

**

Waaah~ part ini brasa parah banget nggak sih?? kok saya berkali2 baca ulang agak gimana gitu.. >.< alurnya makin nggak jelas aja di part ini..
Tapi tenang aja, tinggal satu part lagi.. semoga di part lagi dan tutup lapak buat Imperfect.. :3
So, hang on there for a moment, please~

<< 5 7 >>

66 thoughts on “Imperfect : Part #6

  1. hayi meninggal kah???
    Trus gmna sma klanjutan hubungan dara ma jiyong,dara pliisss buka hatimu buat jiyong,,
    Dtunggu lanjutan’a,,,

  2. Ehh..
    ternyatta akk melewatkan 1 part iini..
    Pas baca part7 kok Hayi udh nggak ada ajja..huhuu..

    Ngenes bgt chap iini ,, sepertinya Jiyong lebiih mnderita yya ,, udh ditinggal Hayi ehh Dara malah ikut2 ninggalin Dia ,, Poor Jiyongie oppa .. 😦

  3. Wah dara jgn ninggalin jiyong dong..
    Jiyong bener-bener tulus, semoga aja dara sadar kalo jiyong bener-bener tulus dan dara bisa membuka hatinya..
    Kasihan jiyong hayi udh ga ada, trus ditinggal ama dara lagi..
    Ayo jiyong kamu harus buktikan kpd dara..

  4. Akuuuu gangerti sm chapt iniiiii T^T tadi dara masih dirumah sakit, pelukan sama jiyong..eh tau tau besoknya bangun Hayi udah meninggal T^T kenapaaaaa thooorrr???:'( dan… semalam???apa yang mereka lakukan semalaaammm???knp jiyong bangun gak pake bajuuu??:’|

  5. Apa hayi meninggal? Terus tempat yg di kunjugi dara setiap pagi itu apakah makamnya hayi?

    Sumpah ini nyesek banget thor…apa lagi pas dara bilang ingin mengakhiri semua ini, dan jiyong nangis.

    Next…chap

  6. So much love & sacrifices that jiyong had done still never appreciated by Dara make heart break.sad,why must dara so cruel in dis story?😭😭😭😭

Leave a comment