SWEET REVENGE [CHAPTER 10]

page-11

Author : saikounolady (@saikounolady)
Main Cast : Sandara Park, Kwon Jiyong, Choi Seunghyun, Jung Yonghwa
Support Cast : Dong Youngbae, Seungri, Kang Daesung, and find out yourself
Genre : Romance, AU, Angst
Length : Chaptered
Rating : General

“Terlalu sulit mengungkapkan perasaan dengan kalimat biasa..
Aku harap alunan nada ini mampu meraih hatimu..” – Dara

Chapter10: It seems the end of us, isn’t it?

Kami sudah sampai di halaman kampus besar ini, Seoul Musical Arts Academy. Aku berhasil menepati janjiku untuk kuliah di sini, walau cukup terlambat. Setidaknya aku bahagia bisa menemui Jiyong di sini dalam keadaan yang hampir mustahil. Takdir membawaku kembali.

Hari ini Kampus terlihat begitu ramai. Aku baru ingat, ujian kali ini dibarengi dengan acara rutin kampus. Tentu saja banyak masyarakat luar berdatangan kemari. Dekorasi di tiap sudut kampus juga sedikit berbeda. Dihiasi pita-pita cantik, dengan stand-stand unik berjejer di sepanjang lahan ini membentuk lorong-lorong.

Suasana ini sedikit membantuku merasa lebih baik. Aku bisa melihat stand beberapa permainan dengan hadiah-hadiah unik. Selain itu ada photo booth, uniknya hasil foto adalah buatan tangan dari mahasiswa di sini. Aku berjalan menghampiri booth itu. Sudah kuduga, gadis itu ada di sini. Baru saja aku akan memanggilnya yang sedang sibuk melukis seseorang, aku terkejut bukan main melihat sosok yang tengah dia lukis. Seunghyun!? si bodoh  itu datang ke sini ternyata! Aku berniat menghampiri mereka berdua tapi, seseorang menghentikan langkahku.

“Dara, aku harus bersiap-siap ke ruanganku. Aku tinggalkan kau bersama Jiyong, aku lihat kalian juga sudah saling mengenal. Teehee. Giliranku tampil masih 1 jam lagi. Sampai jumpa di aula.”

“Apa yang kau bicarakan?! Aku akan menemanimu, babo! Untuk apa meninggalkanku bersama dia-“

“Jiyong! dia masih lemah. Jaga dia untukku!”

“Kau juga semalaman tidak tidur, kau lebih lemah! Sudah jangan banyak bicara aku akan menemanimu.”

Tiffany berdebat dengan tunangannya, Jiyong. Aku merasa sedikit tidak enak, menjadi pengganggu bagi mereka. Aku memutuskan untuk pergi meninggalkan mereka. Tapi Tiffany tiba-tiba memukul punggung Jiyong, membuat namja itu jatuh terhuyung. Sementara Tiffany dengan cepat berlari. Meninggalkan aku, meninggalkan Jiyong yang kesakitan.

“Yah! Aku titipkan Dara padamu, Jagiya! Hehe. Lihatlah penampilanku satu jam lagi, arasseo! Awas kalau kau tidak datang!”

Selepas kaburnya Tiffany, Hanya keheningan yang menyelimuti kami berdua, aku dan Jiyong. Jiyong masih terduduk kesakitan. Aku memutuskan  membantunya berdiri tapi seperti dugaanku dia menepis tanganku mentah-mentah.

“Jangan sentuh aku, bit*h!”

“Ah, mian. Aku hanya ingin membantumu-“

“Aku tak membutuhkan bantuanmu!”

Dengan cepat dia berdiri, membersihkan celananya kemudian berjalan santai meninggalkanku. Aku sama sekali tak ingin dan tak punya keberanian untuk mengikutinya, aku juga harus mempersiapkan penampilanku. Ujianku dijadwalkan jam 4 nanti. Tersisa 2 jam untuk aku berlatih dan mempersiapkan diri. Ditambah lagi penampilanku sudah sekacau ini, aku melihat dress lusuh yang aku kenakan. Sudah sejak kemarin aku mengenakannya.

Aku membiarkan Jiyong berjalan meninggalkanku. Seharusnya itu yang kulakukan. Tapi kaki-ku seakan bergerak dengan sendirinya berlari mengejar Jiyong. Aku memang tak pernah bisa membohongi perasaanku. Aku hanya ingin menjelaskan semua padanya. Keinginan untuk memperbaiki kesalahanku terlalu besar atau keinginan memilikinya yang membuat aku bersikap seperti ini. Entahlah. Aku terus berlari mencoba menyusul sosok itu, dia berjalan terlalu cepat. Aku terus berlari dan terhenti saat dia tiba-tiba menghentikan langkahnya.

“Untuk apa mengikutiku! Kau ini apa tak punya kehidupan! Berhenti mengganggu hidupku!”

Jiyong berhenti mendadak, tanpa membalikkan tubuhnya. Dia berteriak emosi padaku untuk kesekian kalinya. Aku tak tahu sampai kapan aku bisa bertahan menghadapi situasi seperti ini.

“Aku tak pernah berniat mengganggu hidupmu, aku hanya ingin mengembalikan ikatan kita. Jiyong, kau harus tahu aku melakukan hal itu.. aku menyakitimu, meninggalkanmu, membuatmu menderita hanya karena satu hal, karena aku amnesia. Keadaan yang memaksaku melakukan itu.“

“Aku tak peduli! Kau pikir aku percaya hal konyol itu!”

“Aku tak meminta kau mempercayaiku sepenuhnya tapi, aku mohon percayalah.. aku melakukan itu benar-benar di luar keinginanku, di luar kendaliku. Aku tak pernah menginginkan semua itu Jiyong, karena kau juga tahu.. aku.. menyayangimu.”

“DIAM! Aku tak ingin mendengar apapun dari mulutmu.”

“Aku tak akan diam sampai kau mempercayaiku-“

“DIAAMM!!”

Aku terkejut bukan main saat dia berteriak hebat kemudian berbalik dengan tatapan kebencian dan perih yang luar biasa. Dia berjalan menghampiriku. Air mata menetes perlahan dari mata mungilnya. Dada-nya turun naik menahan isakan yang mencoba keluar sekuat mungkin. Tapi tetap saja suara isakan itu mampu kudengar jelas.

Aku bisa merasakan rasa sakit, perih, putus asa dari isakan dan tangisannya. Melihat dia seperti itu menambah rasa bersalahku, rasa berdosaku. Mungkin Jiyong benar, Youngbae benar. Aku memang tak pantas hidup bahagia setelah apa yang aku perbuat.

“Percuma Dara percuma! Kau amnesia atau tidak Dami sudah pergi! Appa sudah pergi! Saat itu  kau meninggalkanku sendiri, kau juga yang membuat mereka meninggalkanku. Kau takkan pernah tahu bagaimana rasa sakit yang aku hadapi selama ini!! Enyah dari hidupku!!”

Jiyong berteriak dalam tangisannya, jatuh terduduk di tanah. Menelungkupkan wajah di dalam telapak tangannya. Tubuhnya bergetar menahan kepedihan itu.. menyaksikan dirinya seperti ini, aku hanya bisa menangis sesenggukkan. Menangisi kesalahanku yang takkan pernah termaafkan. Di tengah kepedihan ini, lagi-lagi hatiku tercabik mendengar teriakan itu.

“ENYAH!! PERGI DARI HIDUPKU!!”

Teriakan seseorang yang begitu aku cintai ini.. berhasil menampar keras hatiku, hatiku yang mencoba bertahan. Memang aku tak pantas muncul di hadapannya, semua memang salahku. Semua penderitaan yang dialami Jiyong karena kesalahanku. Aku harus menghentikan ini. Aku akan melakukan apapun untuk membuat dia bahagia walau aku harus menghilang atau bahkan mati.

“Baiklah, Jiyongie. Aku akan pergi. Aku takkan muncul di hadapanmu lagi. Saranghaeyo.”

Aku berusaha keras menghentikan tangisanku.. mengatakan hal itu tapi airmata ini tak mau mengikuti perintahku, terus menetes satu persatu dari ujung mata. Aku hanya diam tak ada kekuatan untuk menghapusnya. Rasa sakit di hati ini membuatku tak mampu bergerak. Tak ada jawaban darinya. Aku memang tak menunggu jawaban apapun.

“Jangan pernah kembali.”

Ucapannya hanya menambah luka di hatiku, sekuat tenaga aku berbalik dengan beribu rasa sakit. Rasa sakit yang mengalahkan keterkejutanku melihat sosok di hadapanku saat ini. Seakan tahu aku membutuhkan bahu seseorang, dia mendekatiku. Sosok ini memelukku. Sekali dalam seumur hidupku aku dipeluk oleh namja ini meski sudah lama aku bersamanya. Aku menangis di dadanya, menumpahkan semua rasa sakit ini. Membiarkan dia menenangkanku.

“Se..seunghyun. Suruh dia mem..bunuh.. aku sekarang. huhuhu.”

“Baiklah. Tapi, sebelum dia membunuh nona, dia harus membunuhku dulu.”

“Bo..doh!. Kau saja yang bunuh.. aku kalau begitu..huhuhu.”

“Jika itu mau nona, nona harus membunuhku terlebih dahulu.”

“Baboyaa..huhuhu.”

Seunghyun memeluk erat tubuhku, mengelus pelan punggungku yang bergetar menahan semua rasa sakit, pedih ini. Aku memang pantas mendapat perlakuan ini tapi ijinkan aku untuk menangis karena aku tak cukup kuat.. hatiku tak cukup kuat untuk menyerah pada Jiyong dan meninggalkannya. Aku mengeluarkan semua kesedihan di dada Seunghyun. Dada yang terasa begitu hangat.

***

 

JIYONG’S POV

Gadis itu menangis di pelukan seseorang. Aku tak mengenalnya. Sudahlah aku tak peduli. Setidaknya dia sudah berjanji untuk meninggalkanku. Aku bisa menjalani hidup dengan tenang. Aku merasa lega. Ah, aku rasa hatiku akhir-akhir ini selalu mengkhianatiku. Seharusnya aku lega tapi, aku merasa sangat gelisah. Apa yang terjadi padaku. Aku membenci dia. Aku akan bahagia bila dia menghilang apalagi mati. Untuk apa perasaan gelisah seperti ini. Dengan rasa sakit yang luar biasa di dalam hatiku karena kenangan pahit yang menguap tadi. Aku melangkah pergi. Secret Cafe. Aku terus berjalan menyusuri taman ini, aku ingin menenangkan diriku di sana, aku ingin menemui sahabat-sahabatku.

Kosong. Tak ada satupun orang di kafetaria ini. Aku membenamkan tubuhku berbaring di atas sofa. Masih ada 45 menit lagi sebelum penampilan Tiffany. Aku ingin menenangkan diriku sejenak di sini.

Pikiranku terus melayang dan berhenti di perkataan itu, Amnesia. Benarkah itu? Kalau memang benar apa pengaruhnya dengan hidupku. Aku sudah kehilangan semuanya. Cinta, Dami, Appa. Aku juga menghabiskan 3 tahun di dalam penjara meski aku sama sekali tak bersalah. Aku tak bisa memaafkan dia hanya dengan alasan amnesia. Dia tak sepantasnya memberi kesaksian palsu seperti itu bila tak mengingat apapun. Pikiranku dengan sendirinya membuka kenangan-kenangan pahit itu, tak bisa kuhentikan..

Flashback

Dunia seakan terhenti saat mendengar hal itu. Dia akan meninggalkanku. Aku terdiam memikirkan apa yang harus kukatakan. Aku hanya ingin dia mengetahui bahwa aku akan selalu menantinya sampai kapanpun. Aku ingin dia menepati janjinya. Aku terlalu mencintai gadis ini. Baru kali ini aku menangis karena.. cinta. Aku mencoba membuka suara di tengah tangisanku.

“Kau harus janji.. *sob* pasti akan kembali.. *sob* dan menemui aku.. *sob* aku percaya.. *sob* kau lah pengantinku kelak.. *sob* Sandara….. huhuhu.”

Tak ada jawaban di seberang sana. Jujur saja, aku merasa janggal. Bukankah dia mengaku sudah berada di rumah tapi aku mendengar suara kendaraan besar seperti melintas sesekali. Firasatku sudah bisa merasakan suatu yang buruk tapi, aku terus mencoba mengalihkan kecurigaanku. Melupakan kecurigaan itu. Aku diam menunggu jawaban darinya sampai akhirnya dia membuka suara, membuatku lega, ah bukan membuatku panik.

“Aku…jan-“

*CIIIITT* *BRAAAK*

Aku mendengar jelas sesuatu menghantam dirinya. Ponsel terjatuh dan telpon terputus. Aku kehilangan nafasku, aku kehilangan detak jantungku. Rasa takut yang luar biasa memenuhi rongga tubuh dan hatiku. Tanpa memikirkan apapun aku mengayuh sepeda sekuat tenaga, menyusuri setiap jalan yang bisa kulihat. Aku hanya mengandalkan perasaanku, cintaku padanya, aku sama sekali tak tau harus mencarinya kemana. Aku menangis hebat mencari sosok itu. Aku terus mengayuh kencang sepeda ini membuat angin menusuk tubuhku yang hanya terbalut kaos tipis ini. Di pikiranku hanya ada dia, hanya ada wajahnya, aku ingin melindunginya.

Aku seakan tak pernah lelah mengayuh menyusuri semua jalan yang bisa aku gapai masih belum tau aku harus kemana, masih belum bisa menemukan tujuanku. Hingga sampai di jalan perbukitan ini dengan sendirinya, jalan pintas menuju sebuah taman bermain, taman bermain yang biasa aku datangi bersama Dara, taman bermain tempat ayunan ‘milik’ kami berada. Sudah aku putuskan taman bermain itu tujuanku. Aku hanya merasa Dara mungkin dalam perjalanan ke sana. Aku harus bersyukur angin membawaku ke jalan pintas perbukitan ini padahal aku sangat jarang melewatinya. Mungkin inilah yang disebut takdir. Dengan nafas terengah-engah aku mengeluarkan semua tenagaku mengayuh dan terus mengayuh.

Aku melewati sebuah jalan yang sama saja seperti jalan lainnya, namun ada sesuatu tertangkap oleh mataku. Aku menghentikan sepeda ini dan turun secepat mungkin. Menghampiri sesuatu yang berkilat itu. Sebuah ponsel setengah hancur tergeletak di pinggir jalan nyaris jatuh. Meski dengan bentuk kacau aku masih.. mengenali ponsel di genggamanku ini.

Darahku berhenti mengalir membayangkan apa yang terjadi sebenarnya. Aku melempar pandangan ke semua penjuru jalan. Tak ada apapun. Kosong. Takut-takut aku menjulurkan kepalaku melihat jauh ke bawah sana. Jurang landai. Entah dorongan dari mana aku turun ke bawah mencari-cari sosoknya. Aku hanya merasa dia di dalam sana. Sepertinya perasaanku mampu meraih hatinya.

Firasatku memang tak pernah salah, aku melihat jaketku tergeletak cukup jauh di bawah sana, sedikit harapan muncul. Aku berlari ke arah jaketku yang tergeletak. Sesuatu mengejutkan aku, sesuatu yang berada tak jauh dari jaket ini. Aku berharap pandanganku salah. Aku berharap airmata ini mampu menghapus sosok di hadapanku ini. Aku berharap ini hanya halusinasi. Percuma, dia memang disana. Dara terbaring tak sadarkan diri bersimbah darah. Tanpa pikir panjang aku menutupi luka di kepalanya dengan jaketku. Aku menggendongnya, tanganku bergetar hebat. Aku berlari dengan sisa-sisa tenagaku berharap aku belum terlambat.

Aku terus menangis sambil memanggil namanya. Aku tak peduli selelah apa kaki dan tubuhku aku hanya mampu berlari menembus angin dan kekelaman malam ini. Aku hanya bisa memikirkan rumah sakit. Aku harus ke sana secepat mungkin.

***

Semua usahaku tak sia-sia, Dara masih bisa di selamatkan. Aku terus menjaganya, menggenggam tangannya membisikkan apapun agar dia tahu aku selalu di sampingnya. Beberapa saat kemudian keluarganya datang. Mereka menyerangku, menyalahkanku bahkan mengusirku. Aku tak ingin melawan aku hanya mengalah tak mau mengganggu ketenangan Dara. Dengan berat hati akhirnya aku meninggalkan dia yang masih koma. Aku membisikkan kalimat terakhirku dan menggenggam tangannya. Mungkin ini terakhir kalinya aku bisa melakukan itu. Aku menahan tangisanku.

“Dara-ah.. saat kau sudah sadar dan sudah berada di Itali nanti, bila merasa sepi.. atau sedih.. sebut namaku dalam hatimu.. aku akan datang.. meski hanya dalam mimpimu.”

***

Ternyata ini awal dari penderitaan panjangku. Entah darimana datangnya aku dijadikan tersangka perencanaan pembunuhan terhadap Dara. Sesuatu yang benar-benar konyol. Tanpa bisa berkutik aku dibawa ke kantor polisi bahkan ditahan di sana selama menunggu serangkaian persidangan yang harus aku lewati meninggalkan Appa dan Dami. Aku masih mampu bertahan dalam keadaan ini, aku yakin kebenaran akan terungkap. Aku terus menanti Dara yang akan membelaku. Dia akan memberitahu pada mereka hal yang sebenarnya. Aku mencoba menghibur diriku sendiri.

Tapi semua harapanku berakhir kosong saat melihat Dara melakukan semua ini padaku. Dia berbicara dengan sangat meyakinkan tanpa rasa takut. Terlihat begitu natural. Apa yang sebenarnya terjadi. Aku mencoba tak percaya tapi semua memang nyata.

“Aku disini tak ingin banyak bicara. Seperti yang anda lihat, luka di sekujur tubuhku ini karena dia! Dia yang mendorongku! Dia yang menjatuhkanku ke dalam jurang itu! Semua karena dia! Saat itu aku sedang berjalan dengannya dan tiba-tiba  tanpa alasan yang jelas dia mendorongku! Setelah memastikan aku sudah kritis dia berpura-pura membawaku ke Rumah Sakit! Meski terluka aku mengingatnya! Aku bisa merasakannya!”

Aku menahan tangisan-ku sekuat tenaga. Mendengar dia, gadis yang aku cinta mengeluarkan semua kesaksian seperti itu. Sorot mata-nya seakan ingin aku lenyap. Aku hanya diam, diam sampai dia mengucapkan hal itu. Airmata yang sudah bertumpuk jatuh dengan sendirinya. Mengalir perlahan menambah luka dalam hatiku. Aku menangis di tengah persidangan ini. Aku terluka.

“Tolong penjarakan dia! Aku tak ingin melihat dia lagi! Maaf aku belum pulih benar, aku harus pergi.”

Hari ini aku melihat dia untuk terakhir kalinya. Dia pergi perlahan menggunakan kursi roda, bersama orang itu. Sejak kapan Dara menerima orang itu? Dia benar-benar sudah meninggalkanku. Aku tetap menangis. Tak ada keinginan untuk membela diri. Meski, sahabat dan keluarga-ku mati-matian membelaku.

Semua berlalu begitu cepat, sidang terakhir ini menjawab segalanya. Aku tak pernah tahu semua akan berakhir menyerangku. Aku tahu benar bagaimana bencinya keluarga Dara padaku tapi, aku tak pernah mengira. Aku tak pernah mengira dia juga membenciku seperti ini. Aku merasa ada sesuatu yang terjadi di balik semua ini. Entah apa.

Keputusan telah diambil, tak bisa dibantah. Aku akan menghabiskan hari-hariku di sini. Aku tak pernah melakukannya, Dara. Mengapa kau melakukan ini padaku? Aku bisa terima bila aku harus menanggung semua ini asal kau tetap di sana, di sana sebagai sahabatku. Mengapa kau meninggalkanku dalam keadaan seperti ini? Apa yang harus kulakukan? Menangisi semua ini? Sosok Dara semakin menjauh dari pandangan-ku. Tidak, aku tak boleh menyerah sebelum semua terlambat.

“DARA!! TUNGGU! JANGAN TINGGALKAN AKU SEPERTI INI!“

Aku berteriak putus asa, berharap dia kembali. Yonghwa mencoba menghalangi pandangan Dara. Dia Memeluknya. Bangs*t! Aku tak bisa diam di sini. Aku mencoba melepas borgol ini, menghentakkan tangan-ku berkali-kali. Sia-sia.

Appa, Dami, dan Youngbae terus menangis di atas sana, aku sangat ingin memeluk mereka. Tapi, orang-orang ini begitu kejam. Mereka menyeretku tanpa rasa kasihan meski aku memohon untuk bertemu dengan keluargaku dulu. Sekarang aku menyesal tak memberontak saat itu untuk memeluk Dami, Appa. Aku menyesal tak bisa melakukan apapun membiarkan tangisan di wajah gadis kecil itu menjadi kenangan terakhir yang terus berbekas di ingatanku. Aku menyesal tak mampu menghentikan Youngbae dan Dami yang berjalan ke luar saat itu.

Yang aku tahu selanjutnya, aku di penjara diikuti dengan banyak penderitaan lainnya. Beberapa jam kemudian seseorang memberi kabar Youngbae, Sahabatku itu dalam keadaan kritis.. dan Dami.. pergi untuk selamanya karena gadis itu. Tak sampai satu tahun aku dipenjara, ayahku meninggal karena serangan jantung. Ayah terlalu memaksakan diri ditengah tekanan yang luar biasa itu. Sesaat setelah aku di penjara, ayah dipecat dari perusahaan Park itu. Di usia serenta itu ayah berkerja serabutan untuk memenuhi kebutuhan hidup, membayar hutang perusahaan kami yang sudah lama bangkrut. Hingga harus meninggal tanpa aku di sisinya. Semua hal itu sudah lebih dari cukup membuat aku membenci gadis itu.  Aku dibutakan oleh dendam dan kebencian. Aku tak mengenal lagi sahabat itu.

End Of Flashback

Setelah semua kejadian itu aku sama sekali tak berniat melanjutkan hidupku. Tapi Youngbae membantuku melewati masa kelam itu. Dia membuka pintu rumahnya untukku. Membiarkan aku hidup di sana bersama keluarganya. Keluarga sederhana yang dipenuhi cinta. Sampai akhirnya kami berdua diterima kuliah di kampus ini karena beasiswa.

Aku bisa seperti ini karena Youngbae. Dia membantuku kembali menjadi Jiyong dengan semangat hidup, membantuku kembali pada mimpiku dan aku berhasil berdiri di sini. Menjadi pianist terkenal. Aku mampu meraih mimpiku. Kami meraih kesuksesan, menghasilkan uang sendiri berkat kemampuan kami. Aku bersyukur atas semua ini. Aku juga memiliki seorang gadis luar biasa. Gadis yang juga membantuku melewati masa-masa sulit itu. Dia teman dekat Youngbae juga tunanganku, Tiffany.

Aku mulai menata hidupku hingga sekarang hidupku sudah berjalan normal kembali. Aku membiarkan Appa dan Dami tenang di surga bersama Eomma. Aku akan selalu mendoakan mereka dan tetap melanjutkan hidupku dengan kekuatan yang tersisa dalam diriku. Aku akhirnya bisa merasakan lagi kebahagiaan. Namun, tak disangka penghancur hidupku muncul lagi dihadapanku. Tuhan seperti ingin memberi aku kesempatan membalas kejadian menyakitkan itu padanya. Hal yang sudah sejak dulu aku inginkan, membunuhnya. Sebenarnya aku sudah diberi banyak kesempatan untuk membalaskan dendam-ku tapi entah kenapa aku seakan tak punya kekuatan untuk melukai, menyakiti apalagi membunuh gadis itu. Tanpa kusadari perasaanku padanya mungkin masih tersimpan rapat jauh di dasar hatiku. Bahkan setelah kejadian itu.

***

“Jiyong hyung apa yang kau lakukan di sini?! Aku mencarimu kemana-mana! Tiffany tampil setelah penampilan ini, bodoh! Cepat hyung bisa-bisa kau dihajarnya!”

Seungri masuk dan berteriak saat menyadari aku berada di sini. Aku hampir terjatuh dari sofa mendengar lengkingan suaranya. Ah, aku hampir melupakan Tiffany. Tanpa basa basi aku segera berlari keluar diikuti Seungri yang tertinggal di belakangku. Jarak aula dari kafetaria ini cukup jauh. Aku berlari sambil mengumpat kesal.

<BRAK!>

Seseorang terjatuh tepat di belakangku. Ah bocah ini menghambat saja! Aku mundur berniat membantu Seungri berdiri. Aku baru menyadari seorang gadis juga terduduk ikut terjatuh. Ah, bagus Seungri bodoh ini tampaknya menabrak seorang gadis. Oh, aku rasa aku mengenal gadis ini, Suzy.

“YAH! Kau ini lari pakai mata dong!”

Suzy berbicara sambil melotot kesal pada Seungri, mencoba berdiri. Tanpa diminta, tiba-tiba Seungri berdiri dengan cepat membantu Suzy, memegang pinggang dan meraih tangan gadis manis itu. Mereka berdua seperti membeku pada posisi itu sambil memandang satu sama lain. Pandangan yang tak biasa. Aish, secepat itu mereka jatuh cinta? Aku menggelengkan kepala tak percaya.

“Seungri! Sampai kapan kau mau memegang pinggang Suzy? Babo! Ah, aku duluan saja. Dasar penghambat!”

“Ee..eh apa hyung? Suzy? Nama gadis ini Suzy?”

“Tanyakan saja sendiri!”

Aku menjawabnya sambil meneruskan lariku. Tentu saja aku tak ingin melewatkan penampilan gadis-ku. Tampaknya akan ada pasangan baru di kampus ini. Haha. Aku melirik ke belakang melihat mereka berdua sekarang sudah berjalan bersama terlihat begitu menikmati obrolan itu. Aku tersenyum kecil.

***

DARA’S POV

Setelah merasa jauh lebih tenang aku kembali menjadi diriku aku akan menyerah tapi aku ingin melakukan ini sebagai usaha terakhirku. Aku berjanji akan menjauh dari Jiyong bila aku gagal. Ditemani Seunghyun aku mengelilingi beragam stand untuk mencari sesuatu, tak disangka aku berhasil menemukan kostum yang cocok dengan temaku. Aku mengambil uang di dompetku dan segera membayar kostum ini.

“No..nona, untuk apa itu?”

“Ah, kau akan tahu nanti.”

Aku tersenyum tipis membayangkan rencana-ku. Aku yakin, ini keputusan yang terbaik.

“Dara-ssi, Seunghyun-ssi!”

Aku menoleh ke belakang mencari asal suara itu. Suara yang sudah kukenal. Ah, aku merindukan gadis ini. Aku berlari menghampirinya kemudian memeluknya. Aku memeluk erat dirinya seakan ini terkahir kalinya aku bisa melihat dia, bisa memeluknya.

“Dara? Kau baik-baik saja?”

“Ne, aku baik-baik saja. Aku hanya rindu padamu, Bom.”

Aku mencubit pipi tembamnya. Dia terkejut dengan apa yang aku lakukan. Aku hanya ingin meninggalkan kesan menyenangkan bersamanya. Kalau kali ini aku memang gagal.

“Nona, sudah hampir waktunya nona tampil. Lebih baik kita ke aula sekarang.”

“Ah, iya benar Dara! Ayo kita harus cepat ke aula, ayo~ ayo~ aku tak sabar melihat penampilanmu!”

Bom menyelinap di antara aku dan Seunghyun kemudian menggandeng kedua tangan kami. Kami berjalan bersama dengan lengan saling bertautan menuju aula memercikkan kehangatan di hatiku yang perih ini. Aku merasa terlalu beruntung mempunyai orang-orang sebaik mereka di sisiku sementara, hidup seseorang hancur karena aku.

***

Sebelum memulai ujian ini, aku menemui Daesung memastikan satu hal. Ternyata rencanaku tak menjadi halangan. Hasil ujian ini tidak ditentukan dari lagu apa yang dibawakan, selama itu mengandung musik klasik. Aku juga meminta satu hal pada Daesung dan aku sangat senang saat dia mengijinkanku. Aku bahkan memeluk dirinya refleks.

“A..h, maaf.. aku terlalu senang.”

Aku melepaskan pelukanku dengan cepat melihat wajah terkejut Daesung. Aku refleks melakukan itu. Lagipula sebelum aku pergi, mungkin. Aku setidaknya pernah merasa dekat seperti sekarang dengan mentorku yang sangat aku kagumi ini. Dia mengibaskan tangannya dan tersenyum, bahkan meraih bahuku pelan. Memelukku. Pelukan seorang guru terhadap muridnya.

“Uhm.. ah, aniyo, tak masalah. Nah, berjuanglah Sandara! Tunjukkan kemampuanmu.”

Kali ini dia memaksa kedua bahuku untuk berdiri tegap.  Menyemangatiku. Kehadiran Daesung memberi kekuatan tersendiri padaku setelah tadi mendapat kekuatan dari Seunghyun dan Bom. Aku tersenyum percaya diri mencoba melupakan kegelisahan di hatiku, hari ini aku harus melakukan yang terbaik. Hwaiting!.

Jadwalku maju 1 jam, Aku tampil tepat sehabis Tiffany. Penampilan gadis itu saat ini benar-benar luar biasa. Tak heran, dia bisa memiliki Jiyong. Dengan sendirinya aku tertunduk sedih, tak sengaja mengamati kostum yang aku kenakan. Aku terlihat seperti orang bodoh meski kuakui, aku benar-benar cantik dan terlihat seperti malaikat.

Aku masih ingin menjadi malaikat untuk Jiyong, aku ingin memberinya kebahagiaan walau aku harus meninggalkan dia. Menyerah pada mimpiku. Tapi aku masih berharap lagu yang aku bawakan nanti bisa mengetuk hatinya. Menghancurkan kebenciannya padaku. Aku ingin dia meninggalkan kegelapan itu meraih cahaya kecil milikku. Aku ingin menerangi hatinya. Semoga dia masih disana, melihat penampilanku.

Permainan Tiffany sudah selesai. Dia membawakan Rachmaninoff 30 1st movement. Sangat indah. Berhasil membuat penonton berdiri untuk bertepuk tangan. Aku merasa sangat gugup sekarang. Aku berjalan beberapa langkah, melihat ke barisan penuh penonton mencari beberapa orang yang aku harapkan kehadirannya. Aku melihat Seunghyun dan Bom di atas sana, tersenyum sedikit membuat perasaanku tenang. Tak jauh dari posisi mereka, aku melihat Seungri duduk bersama Suzy, ah mereka saling mengenal rupanya aku tersenyum kecil, mereka terlihat sangat serasi. Aku kembali mengedarkan pandanganku, belum behasil menemukan sosok itu. Jantungku seakan melompat terkejut ditengah pencarianku saat namaku dipanggil “SANDARA PARK”. Aku berjalan grogi menyusuri stage mewah ini sambil tetap mencari sosok itu tapi sama saja, aku tak menemukannya. Hanya ada Youngbae di atas sana. Melihatku malas.

Aku mendengar penonton berbisik-bisik sambil menunjukku. Aku tersadar, pasti karena kostum bersayap ini. Aku memang konyol. Tapi Jiyong, Jiyong pasti mengerti maksudku. Ini mimpiku sejak kecil yang hanya aku ceritakan padanya. Aku ingin menjadi malaikat. Sebulir airmata menetes mengingat masa itu.

Sekarang aku sudah duduk di sini, bersiap memulai memainkan sebuah musik sederhana. Aku menguatkan hatiku dan mulai memainkan musik indah ini dengan semua perasaanku, aku hanya ingin perasaan tulus ini bisa mencapai hatinya melalui musik yang aku mainkan sekarang.

Selesai membawakan Mozart Variations on Twinkle Twinkle Little Star. Tak disangka tepuk tangan membahana di seisi ruangan. Aku belum selesai, masih ada satu hal yang ingin kulakukan.

Aku kembali mengedarkan pandanganku, masih mencari sosoknya. Akhirnya aku menemukan sosok itu. Dia di sana, berdiri di depan pintu menatapku terpaku. Jiyong, kau lihat aku kan? Aku harap aku bisa membuka hatimu, bila kali ini gagal, aku akan benar-benar pergi dari kehidupanmu.

Aku mulai menekan tuts piano ini perlahan menghasilkan musik yang membuatku tak mampu menahan airmata ini lagi. Aku menyanyi, tak peduli seberapa buruknya suaraku. Aku ingin menyampaikan perasaanku pada Jiyong. Aku terus bernyanyi dan memainkan piano ini dengan airmata yang jatuh tanpa henti.

“It seems that we’re already too late.. has our love already ended?

Please at least say anything to me..

We truly loved each other, can’t turn back? I’m the only one hurting tonight..

Have you changed? Am i no longer in your heart now?

When I, I think about you.. It hurts, hurts, hurts so much..

Are we already too late? Is our love over?

Even if it’s a lie, please tell me it isn’t so I can do better now, though we can’t meet again..

You’re no longer your old self..

Because the you I loved And the you now are so different..

I just stood and cried watching you become further away..

No way, I can’t recognize You’re not mine anymore..”

Aku sudah selesai. Terdiam dan tertunduk sebentar, menghapus airmata-ku. Aku melihat beberapa penonton terharu dan ikut menangis termasuk Bom dan Seunghyun. Aku melempar pandanganku ke arah pintu, dia sudah tak di sana. Dia pergi. Aku tak berhasil? Yah, aku harus pulang sekarang. Aku mencoba menahan perih di hatiku dan berjalan lemah ke backstage.

***

 

JIYONG’S POV

Aku tak bisa membohongi perasaanku sendiri, aku terkejut melihat dia mengenakan pakaian itu, layaknya seorang malaikat. Dengan satu hal itu dia berhasil menyentuh hatiku. Aku berkali-kali mencoba memalingkan perhatianku padanya, selalu gagal. Aku masih mengingat itu, Dara. Bagaimana bisa aku melupakan mimpimu untuk menjadi malaikatku yang selalu menjagaku. Aku sudah mengubur hal itu tapi tetap tak bisa lepas dari ingatanku. Mimpi tulusmu itu. Sebulir airmata di wajahmu, aku bisa melihatnya. Untuk apa kau menangis? Apa kau hanya ingin menarik perhatianku sehingga bisa menghancurkan hidupku untuk kedua kalinya?

Tanpa kusadari aku menunggu permainannya. Aku terus berdiri di sini, tak beranjak. Aku tak mau dia menyadari keberadaanku. Hatiku terenyuh saat mendengar alunan nada ringan itu. Hentikan. Hentikan. Aku takut aku tak bisa menahan kehangatan ini untuk menghancurkan dinding pertahananku selama ini. Lagi-lagi aku tak pernah bisa membohongi perasaanku, aku merasakan sesuatu yang begitu tulus dan hangat menyelimuti hatiku. Permainan dia benar-benar tulus. Tak berubah seperti yang kukenal dulu. Aku terpaku memandangnya, aku tak peduli akhirnya dia menemukan aku yang sedang mencoba bersembunyi di sini. Dia menatapku dengan sorot mata penuh kepedihan itu. Mengapa dia bersikap seakan dia yang terluka? Aku.. Aku.. Aku yang terluka di sini!

Baru saja aku akan beranjak, dia memulai lagi. Serangkaian nada lirih nan indah. Aku tak pernah mendengar lagu ini. Aku mendengar satu persatu nada itu tapi tetap tak mengenalnya. Aku terlonjak saat mendengar nyanyian seorang gadis. Aku melangkah sedikit ke depan, ingin memastikan suara indah siapa yang kudengar saat ini. Aku hanya bisa menganga. Di..dia tak pernah mau menyanyi dimanapun, di depanku apalagi di depan orang banyak.

Meski aku selalu mengatakan gadis idealku adalah yang bersuara indah, dia tetap menolak. Aku takjub melihat perubahannya dan jauh lebih takjub mendengar suaranya. Suara malaikat. Aku rasa aku tak berlebihan, dia memang seperti malaikat. Malaikat yang menyanyi dengan sepenuh jiwa, meneteskan air mata di setiap nada yang dia mainkan di setiap kata yang dia ucapkan. Aku terbawa ke dalam lagu itu, aku tahu itu untukku. Sebelum airmata membanjiri wajahku, aku memutuskan keluar dari aula ini. Aku tak mau jatuh untuk kedua kalinya.

“Jagiya, bagaimana penampilanku tadi?”

Tiffany tiba-tiba datang melempar tubuhnya ke dalam pelukanku begitu melihat aku. Aku menyambutnya, mengelus kepala dan punggungnya dengan pikiran melayang pada gadis lain. Ah, apa yang kulakukan. Aku menghapus pikiran itu, kembali pada gadis-ku.

“Kau bermain paling indah tentu saja-“

Belum selesai aku berbicara dia melepaskan dirinya dari pelukanku. Menatap dalam mataku.

“Apa yang membuatmu sedih? Ada apa?”

Aku tak menyangka dia bisa melihat mataku yang menahan kuat airmata ini.

“Apa hubunganmu dengan Sandara itu? Mengapa kau terus berdiri di sana melihat penampilan dia?! Awalnya aku pikir kalian hanya teman lama. Jiyong, ingat aku tunanganmu! Aku tak suka kau memikirkan gadis lain saat bersamaku.”

Ucapannya tepat sasaran, gadis ini terlalu pintar membaca diriku. Aku menyerah, dia benar.. aku tak boleh memikirkan gadis lain saat bersamanya. Aku masih terdiam, tak mampu mengucapkan apapun.

“Wahh.. penampilan barusan yang terbaik! Aku kira skill gadis itu jauh di atas peserta-peserta sebelumnya, tak bisa dipercaya dia baru level 1. Aku benar-benar mengaggumi dia. Ah, siapa namanya tadi?”

Pembicaraan dua orang gadis yang baru saja keluar dari aula itu berhasil membawaku keluar dari situasi tidak nyaman dengan Tiffany.

“Benar-benar, aku sangat mengantuk menonton permainan datar sampai gadis itu mengubah total suasana. Dia luar biasa. Aku juga tak tahu siapa nama gadis cantik itu-“

“Sandara. Nama gadis itu Sandara Park.”

Refleks aku menyahut, menjawab pertanyaan dua gadis itu. Mereka menatapku terkejut. Tentu saja sesuatu yang langka bisa berbicara denganku bagi mereka yang berada di level selain VIP dan VVIP. Mereka tiba-tiba berteriak histeris menghampiriku. Mereka mulai menarik-narik tanganku. Aish.

“Hentikan! Kalian tak melihat ada siapa di sini?! Lepaskan dia!”

Tiffany menyelamatkanku dan menarikku menjauh dari gadis-gadis itu, syukurlah. Beberapa langkah menjauh Tiffany memulai lagi mengungkap kecurigaannya padaku.

“Jiyong! Berhenti memikirkan Sandara! Aku tak suka itu. Jangan membuat aku seperti ini. Aku tak suka. Aku cemburu. Aku takut kau meninggalkan aku karena dia.”

“Jagiya, apa yang kau bicarakan? Aku akan selalu berada di sisimu. Sudahlah ayo aku antar kau pulang, kau pasti lelah. Besok kita akan fitting untuk dress dan tuxedo-ku. Ayo.”

Aku menggenggam tangan mungilnya disambut dengan senyuman lega di wajahnya. Aku tak tahu sejak kapan aku merasa terpaksa melakukan hal seperti ini, hal yang tadinya membuat hatiku selalu berbunga-bunga. Apa yang terjadi padaku?

***

Selesai mengantar Tiffany pulang ke rumahnya seharusnya aku juga pulang. Tapi, ada sesuatu yang menarikku untuk kembali ke kampus. Aku hanya mengikuti panggilan hatiku ini. Sesampainya di kampus, keramaian itu masih tetap ada. Bahkan bertambah ramai. Ah, aku baru ingat malam ini acara ditutup dengan pesta kembang api.

Seharusnya aku bersama Tiffany. Aku menyesal menyuruhnya pulang tadi, ah setidaknya sahabat-sahabatku pasti masih di sini. Aku mengambil ponselku berniat menghubungi Youngbae. Belum sempat aku menekan nomornya, aku sudah melihat rambut mohawknya dari kejauhan. Aku segera berlari menghampirinya namun langkahku tiba-tiba terhenti melihat sosok lain bersama Youngbae, aku bersembunyi di balik pohon di depanku dengan jarak yang cukup dekat untuk bisa melihat mereka berdua tapi, cukup jauh sehingga mereka tidak akan menyadari keberadaanku.

“Youngbae, hanya itu yang bisa aku jelaskan, aku harap kau percaya padaku. Aku.. ah.. aku memang tak pantas untuk meminta maaf pada kalian. Kalian berhak membenciku. Tapi aku akan tetap menyayangimu, menyayanginya sampai kapan pun. Terima kasih sudah bersedia mendengarkan aku. Aku berjanji ini terakhir kalinya aku menemuimu. Besok siang aku akan.. aku akan kembali ke Itali.”

Aku benar-benar syok mendengar hal itu. Dia ingin meninggalkan aku lagi? Apa sebenarnya yang ada di otak gadis ini? Tunggu! Bukankah aku yang menginginkan dia pergi. Untuk apa aku bersikap seperti ini.

“Dara, jaga dirimu. Aku memahami keadaanmu tapi Jiyong.. aku yakin dia tak akan pernah mau mengerti keadaanmu saat itu. Aku menyaksikan sendiri bagaimana rapuhnya Jiyong karena dirimu. Ini keputusan terbaik. Tinggalkan kami dan jangan pernah kembali.”

Youngbae mengucapkan hal itu dengan sangat dingin, kemudian berjalan meninggalkan gadis itu, gadis yang aku tahu benar sedang menahan tangisannya. Gadis itu kemudian berlari tertatih menyusul Youngbae. Kepanikan dan kekhawatiran tergambar jelas di wajah pucatnya.

“Youngbae, tu..tunggu! ijinkan aku.. memelukmu. Aku.. huhuhu.. mianhaeyo.. mianhaeyo.. huhuhu. Jangan membenciku lagi.. huhuhu menyakitkan.. Youngbae.. sungguh menyakitkan. Ijinkan aku.. memeluk sahabatku.. huhuhu.. untuk terakhir kalinya-”

Belum sempat mengakhiri kalimatnya, gadis itu terjatuh lemah. Isakan tak pernah lepas dari suaranya, airmata tak berhenti berjatuhan melintasi wajahnya. Aku bisa melihat kesedihan dan luka dalam dirinya walau dia terus tertunduk. Youngbae berjalan mendekati gadis rapuh itu, membungkuk kemudian meraih bahu mungil miliknya, membiarkan gadis itu menangis di pelukan hangatnya. Airmata menetes perlahan dari mata sahabatku itu, Youngbae ikut menangis. Hatiku terenyuh melihat pemandangan ini. Kami bertiga seakan kembali pada masa itu.

Airmata yang tertahan di pelupuk mataku akhirnya tak kuat untuk menunjukkan wujudnya. Dengan sendirinya mengalir dari kedua mata ini, menambah perih di hatiku. Begitu sakit melihat tangisan-tangisan itu. Apa gadis di hadapanku ini pantas mendapat perlakuan dingin seperti yang selalu aku berikan padanya. Apa aku terlalu egois hingga tak memikirkan bagaimana menderitanya dia menghadapi semua ini? Apa aku akan melanjutkan keinginanku untuk membunuhnya? Atau aku harus berhenti di sini?

To be continued~

 Maaf yak updatenya lama, yang ngepost lagi banyak tugas, mian *bow … Komennya mulai kurang nih, sedih kan jadinya keke ;’) .. tetep komen yaaaahhh ^^ . Gomawo

16 thoughts on “SWEET REVENGE [CHAPTER 10]

  1. aku sampe nangis baca chapter ini…..ini bener2 nyesek.
    kesalah pahaman yg membuat ini semua terjadi……semoga pada akhirnya semuanya akan jelas dan baik2 saja.

  2. Nggak bisa ngebayangin gimana jadi dara unnie di ff ini, dara unnie tegar banget deh, salut sama dara unnie. Kuharap jiyong oppa sama youngbae oppa mau maafin dara unnie

Leave a comment