[FESTIVAL_PARADE] THE ONE AND ONLY — 08

the-one-and-only-copy

THE ONE AND ONLY :: P. S., NUGUJI?



Setelah menutup telepon yang barusan diterimanya, Sandara berteriak senang. Suaranya membuat Bom harus menjauh sampai batas aman untuk beberapa saat. Bom jelas tidak ingin Sandara merusak fungsi gendang telinganya dengan suaranya yang mungkin sampai menembus angka dua ratus decibel itu. Bom sama sekali tidak berkeinginan untuk menggunakan alat bantu dengar.

“Kau kenapa sih? Kau berencana membuat telingaku tuli?” protes Bom, menutupi kedua telinganya dengan kedua tangan.

Sandara tak menjawab pertanyaan Bom. Dia justru memeluk Bom sambil tertawa riang. Bom bingung, tidak tahu harus merespon apa dengan pelukan Sandara yang erat itu. Terlalu erat hingga membuatnya nyaris kesulitan bernafas.

“Kau kenapa?” Bom mengulangi pertanyaannya setelah merasa euforia Sandara mulai surut.

“Naskahku diterima!” pekik Sandara senang.

Naskah? Naskah apa? “Kau menulis naskah apa? Naskah untuk berpidato?”

Pertanyaan Bom diganjar dengan sebuah jitakan di kepala dari Sandara.

Dengan masih disertai cengiran lebar, Sandara bercerita pada Bom.

Satu kelebihan yang dimiliki Sandara – bukan menjerit ataupun lari dari serangga dan hewan melata, bukan itu, melainkan menulis. Kelebihan yang Bom sudah ketahui. Dan beberapa bulan terakhir, Sandara bekerja keras untuk menyelesaikan naskah cerita. Yang juga sudah Bom tahu. Yang belum Bom ketahui adalah bahwa tanpa sepengetahuannya, Sandara mengajukan tulisan karyanya ke penerbit. Dengan bantuan dari Rui, ada editor yang mau mempertimbangkan naskah Sandara untuk diterbitkan.

“Naskahmu diterima?!” tanya Bom, meyakinkan, yang dijawab Sandara dengan anggukan senang.

“Selamat!!” teriakan Bom jauh lebih keras dibandingkan teriakan Sandara tadi, membuat seluruh kepala di kelas tertuju kepada mereka.

“Kau harus segera memberitahukan kabar ini kepada Jiyong Sunbae!” pekik Bom girang.

**

Ada yang menarik perhatian Jiyong pada papan mading, menghentikan langkahnya dan maju mendekat, agar matanya bisa membaca tulisan yang tertempel di sana dengan nyaman. Tatapannya terpaku pada deretan kalimat yang dihiasi dengan gambar artistis. Gambar itulah yang sebenarnya menarik perhatian Jiyong tadi, namun deretan kalimat di sampingnya mengusik rasa penasarannya.

Sebuah puisi.

Sempurna

Sempurna…

Satu kata milik Yang Kuasa

Juga digunakan oleh manusia

Sempurna…

Harga mutlak untuk dipuja

Walau hanya jadi tanda

Sempurna…

Bukan abstrak tanpa makna

Karena memang nyada adanya

Sempurna…

Tampak jelas sudah semua

Setelah hadir di depan mata

Sempurna…

Rasa hari-hari yang tersisa

Sejak kita berdua bersama

-P. S.-

Puisi yang bagus. Sang penulis mampu mengikat emosinya ke dalam tulisan yang dia hasilkan. Jiyong yang langganan membaca buku sastra jelas tahu akan hal itu. menarik. Mengikutsertakan pikiran pembaca untuk memahami maksudnya.

Membaca inisial di bawah puisi, rasa penasarannya tergelitik. P. S.?

Tiba-tiba senyuman tersungging di wajahnya, memiliki tebakan jawaban akan pertanyaannya sendiri. Jiyong mengurungkan niatnya untuk ke perpustakaan dan justru kembali ke kelasnya.

**

Mata Sandara terbelalak tak percaya membaca berbaris kalimat yang jelas diingatnya dalam memori otak. Tangannya meremas keras pergelangan tangah Bom hingga sahabatnya itu mengeluh kesakitan. Sandara segera menarik Bom menjauhi papan mading. Tidak menghiraukan protes Bom yang belum selesai membaca apa yang tertulis di sana.

“Bagaimana bisa? Mana mungkin? Aku tidak percaya!” Sandara panik.

Bom yang bingung tidak mengerti dengan apa yang terjadi, berusaha menenangkan dengan menyuruh Sandara untuk duduk di bangku taman. Keduanya berada di taman belakang sekolah yang sepi. Jam istirahat seperti ini, kantin dan perpustakaan menjadi tempat paling favorit, jarang ada murid yang datang ke taman.

“Ada apa? Kenapa kau tiba-tiba panik begitu?” Bom pun ikut-ikutan panik.

Sandara menarik nafas panjang. Mencoba menenangkan hatinya dan menjelaskan perlahan pada  Bom apa yang telah membuatnya bersikap demikian.

“Jadi itu tadi puisi karanganmu?!” tanya Bom keras, Sandara terpaksa harus membekap mulut Bom yang terkadang kurang bisa mengontrol volume suaranya.

“Mianh…” Bom nyengir, mengecilkan volume suaranya.

Sandara kembali menarik nafas panjang, menganggukkan kepalanya membenarkan.

“Aku ingat betul puisi itu ada dalam naskah yang kukirimkan itu, jadi aku tahu pasti…” Sandara menjelaskan dengan lemas.

Bom mengelus punggung Sandara lembut, mencoba membantu menenangkan perasaan Sandara yang pasti sedang gundah.

Bagaimana rasanya jika tiba-tiba puisi yang telah susah payah dikarang bisa terpajang di mading tanpa sepengetahuannya. Tanpa pernah merasa menyerahkannya pada redaktur mading – bahkan sahabat dekatnya pun belum pernah diberitahu.

“Kau benar-benar tidak pernah menyerahkan untuk mading atau apa pun?” Bom kembali berusaha memastikan ingatan Sandara yang terkadang tidak nyambung.

Sandara menggeleng. Hanya Dayoung yang pernah tanpa sengaja membaca puisi itu saat dia mengetiknya di rumah. Oh, dan editor yang diberinya naskah tentu saja. Tapi mana mungkin kedua orang itu memiliki akses kepada redaktur mading SMA.

“P. S. itu inisialmu kan? Park Sandara…”

Sandara mengangkat bahu, “Tentu maksudku adalah inisialku, tapi aku tidak tahu…”



to be continue~



<< back next>>

13 thoughts on “[FESTIVAL_PARADE] THE ONE AND ONLY — 08

  1. Aku selalu negative thinking melulu sama park sora tapi aku punya firasat buruk kalo park sora itu ngejiplak ato orang lain sih gak tauuu.

Leave a comment