[DGI FESTIVAL 2016_PARADE] Selfish Bastard #5

SB Cover

Author : aitsil96

Category : PG15, Romance, Sad, Chapter

Main Cast : Kwon Ji Yong, Park Sandara

Author’s Note :

FF ini hasil remakedengan beberapa perubahan yang cukup besar di dalamnya dari judul FF yang sama dengan main cast yang berbeda yang sudah pernah saya post di blog lain. Kali ini saya juga menggunakan nama author baru. Main cast asli adalah Kwon Ji Yong dan Yong Na Ra. I’m not plagiator!

This is just my wild imagination. Don’t be a plagiator or reupload this FF without my permission. Don’t bash if you think my story isn’t perfect. Be a good reader, please. If you like to leave a comment, i really appreciate it. Thanks and happy reading all…

.

*perhatikan waktu karena alur maju mundur*

.

Summary         :

“Jika memang waktu bisa diulang, aku tak akan pernah hadir dalam kehidupannya. Aku terlalu tolol menyadari betapa berharganya gadis itu untuk aku rusak. Kini semua telah cacat, kehidupannya tak akan pernah sama lagi seperti dulu. Ini semua karena aku, karena jiwa bajingan egois sialan sepertiku yang terlalu pengecut untuk menghindarinya. Menghindari rasaku yang terlalu besar untuknya, gadisku.”

-Kwon Ji Yong-

“Luka yang ia torehkan sungguh sangat sempurna membekas bahkan hingga saat ini. Luka itu belum sembuh sepenuhnya, hanya mencoba untuk mengering walau aku telah bosan mengobatinya dengan segala cara yang memungkinkan. Rasa ini menyiksaku hingga ke dasar, menceburkanku menjadi manusia idiot yang tak pernah bisa melupakannya. Pria bajingan itu.”

-Park Sandara-

.

-PART 5-

 .

Seoul, December 2012

Masih di tempat ini, di salah satu sudut favorit mereka. Sepasang manusia saling duduk berhadapan seperti yang sering dilakukan berbulan-bulan lalu. Di luar, butiran padat berwarna putih itu telah turun serta menghasilkan tumpukan salju dimana-mana. Desember yang dingin, membuat dua orang ini kompak memakai mantel tebal sebagai pembungkus tubuh serta sepatu boots yang kiranya dapat menghangatkan. Jika biasanya suasana pertengkaran serta keakraban terlihat, maka lain halnya dengan hari ini. Mereka terdiam dengan pandangan tertunduk, membuat suasana yang sudah dingin bertambah dingin lagi, atau mungkin membeku?

 “Maaf mengganggu waktumu, Ji Yong-ssi.”

Pria itu mendongak dengan segera untuk melihat wajah gadis yang amat dirindukannya beberapa bulan terakhir. Ya, semenjak kejadian di club, mereka tak pernah bertemu atau pun berkomunikasi. Tepatnya Dara yang menghindari Ji Yong meskipun pria itu telah ribuan kali mencoba menghubungi serta menemuinya. Sekuat apa pun Ji Yong berusaha, gadisnya itu tak sudi untuk berhubungan lagi dengannya. Ia tahu, bahkan sangat sadar bahwa ia telah melakukan kesalahan fatal, namun hingga hari ini Dara tak pernah merespon permintaan maafnya.

Ji Yong tersenyum miris, apa kali ini pendengarannya yang bermasalah? Gadis itu memanggilnya dengan sapaan asing yang rasanya rancu untuk didengar. Apakah ini pertemuan mereka sebagai orang yang tak saling ‘mengenal’?

 “Dara-ya…”

 “Waktuku hanya sedikit, sebaiknya kau dengarkan dulu maksudku untuk memintamu datang ke tempat ini.”

Lihat? Bahkan pria itu tak diizinkan untuk menyelesaikan ucapannya. Suara Ji Yong mengalun khas yang biasanya Darasukai saat mengucapkan namanya bahkan sudah tak mampu lagi untuk membuat hatinya bergetar rindu bahkan terdengar pahit ketika menyapa telinganya. Ji Yong saat ini hanya bisa meraih cangkir kopi yang telah ia pesan, lalu meniupnya, menambah kepulan asap di udara. Sementara gadis di hadapannya terus tertunduk, menatap ujung kakinya yang jika diperhatikan tak ada menarik-menariknya untuk dipandangi.

Ada jeda yang cukup lama setelahnya, “Aku akan meneruskan pendidikan ke London.”

Ji Yong terdiam, bahkan kopi yang baru diseruputnya belum sampai pada kerongkongan. Sungguh, apakah ada yang salah dengan indera pendengarannya? Mengapa banyak sekali hal-hal yang tak terduga terdengar hari ini? Alih-alih tersedak karena keterkejutannya, Ji Yong meneguk lagi minumannya dengan santai dan pelan lalu menaruhnya di meja, “Kau sudah pertimbangkan semuanya?”

Dara mulai menatap lawan bicaranya, cukup kaget dengan responnya yang tenang itu, “Ya.”

“Kau memutuskan ini secara sepihak dan tak mendiskusikannya denganku? Kau bahkan takmengundangku di hari kelulusanmu.”

Ya, Dara memang telah menerima kelulusannya beberapa minggu yang lalu setelah menyelesaikan tugas akhir yang terbilang singkat. Setiap hari pekerjaannya adalah duduk berjam-jam di hadapan laptop dengan tumpukan buku referensi di sekeliling serta rajin menyambangi kampus dan perpustakaan. Karena kegigihannya itulah, tugas akhirnya rampung dan disetujui untuk dinyatakan lulus dengan nilai yang cukup memuaskan.

Mungkin bagi kau yang mendengarnya akan mengatakan bahwa waktu yang Dara lalui itu sangat singkat, tapi tidak bagi gadis itu. Ia melewati masa-masa itu dengan sulit seraya mencoba untuk menyingkirkan bayangan Ji Yong yang mengganggu dari pikirannya. Bagaimana kau bisa berkonsentrasi terhadap tugasmu jika pria yang kau rindukan sekaligus kau hindari menghubungimu hampir tiap waktu?

Bahkan gadis itu melakukan segala cara agar bisa menjauh dari Ji Yong. Menolak telepon, mengabaikan pesan, meminta Jun Hyung untuk mengusir pria itu, serta hal gila lainnya agar ia tak harus bertatap muka dengan Ji Yong. Dara hanya tidak siap. Dengan mengingat nama pria itu saja sudah menyesakkan dadanya, terlebih jika harus bertatap muka. Baginya itu sungguh hal yang memberatkan.

“Ini sudah menjadi keputusanku, dan seperti yang kau tanyakan, aku telah mempertimbangkan segala hal.”

Kali ini Ji Yong menatap langsung kedua mata Dara dengan intens, mencoba mengorek kebohongan walau hanya secuil, namun sayangnya semua itu tak tampak. Gadis itu sangat yakin dengan segala ucapannya, “Termasuk dengan meninggalkan aku di sini?”

Skak! Pertanyaan tak terduga Ji Yong membuat mata hazel itu hampir terlonjak dan berkaca-kaca. Bagaimana bisa gadis itu tidak sedih? Sungguh, jika ingin ia lebih memilih untuk tetap tinggal di Koreabersama pria itu. Memperbaiki lagi hubungannya yang telah terlanjur rumit. Namun kejadian beberapa bulan lalu membuatnya harus berpikir ratusan kali untuk tetap bertahan. Tak mungkin ia bisa terus berada di Korea dengan luka yang telah pria itu torehkan.

Bayangkan, kau menyaksikan sendiri ketika priamu bercumbu dengan wanita lain. Kekasih itu bahkan telah kau kenal baik selama bertahun-tahun dan selalu kau percayai, tapi ia tega melakukan hal tak waras hingga menyakiti hatimu. Ratusan kali Ji Yong berusaha menjelaskan dan berdalih, namun tak ada kata salah paham dalam masalah ini menurut Dara. Ia hanya tahu bahwa Ji Yong telah menyakitinya. Mengkhianati seluruh kepercayaannya.

Gadis itu sangat membenci pembohong. Sekali kau berbohong, maka tak ada lagi kesempatan untukmu untuk mendapat sebuah kepercayaan. Dara bahkan berpikir mungkin tak hanya kali ini saja ia tertipu. Mungkin jauh sebelum kejadian ini, pria itu sering mengelabuinya dengan mendatangi club malam dan memesan beberapa wanita murahan untuk ia sewa. Oh Tuhan,  Dara bahkan tak sanggup berpikir lebih jauh untuk menambah rasa nyeri di ulu hatinya.

“Kau tidak termasuk ke dalam pertimbanganku itu, Ji Yong-ssi.”

Ada getaran dalam suara Dara ketika mengucapkannya. Tak peduli bagaimana ia terlihat angkuh di hadapan Ji Yong saat ini, ia tetaplah gadis rapuh yang sedang mencoba untuk menutupi kesedihannya.Ji Yong bereaksi lain kali ini, tak ada raut ketenangan terukir di wajahnya lagi, yang ada hanyalah tatapan nyalang dengan rahang yang mengeras, menunjukkan emosi yang hampir meledak.

“Hentikan panggilan sialan itu! Jika aku tak penting lagi untukmu, untuk apa kau menemuiku?”

Desisan pria itu yang sarat akan kemurkaan membuat Dara mengatur napasnya untuk sekadar menenangkan diri. Ia harus menahan emosinya hingga ke dasar. Ji Yong pun hampir kalap jika saja ia tak menyadari bahwa mereka saat ini sedang berada di tempat umum. Apa Dara telah kehilangan kewarasannya? Gadis itu dengan mantap telah mengisyaratkan bahwa ia tak peduli lagi pada Ji Yong.

“Aku ingin memperjelas semuanya, kita tidak bisa lagi untukmelanjutkan hubungan seperti sedia kala.”

Manik Ji Yong melebar, “Apa maksudmu?”

“Bukankah sudah jelas? Hubungan kita berakhir.”

Ji Yong menganga. Sempurna kaget dengan pernyataan singkat tersebut. Kalimat terakhir yang terlontar dari bibir cheri gadisnya membuat ia harus berpikir ekstra keras untuk sekadar mencerna ucapan sinting itu. Jangan tanya kecerdasan yang dimilikinya saat ini, otaknya bahkan memproses dengan sangat lambat kata-kata pendek Dara barusan.

“Kita… berakhir?”

Ji Yong mengulangi ucapan terakhir Dara. Pria itu kemudian memutarkan manik matanya tak tentu arah, mencoba untuk memahami situasi tak waras macam apa yang terjadi di antara mereka saat ini. Ia kebingungan untuk mengambil sikap, namun yang jelas panas mulai merayapi tubuh pria itu, bara api amarah telah menyelimutinya.

“Hentikan semua omong kosongmu, Park Sandara!”

Ji Yong akhirnya memutuskan untuk tidak menahan lagi amarahnya dengan meneriaki Dara, membuat hampir seluruh pengunjung kafe memperhatikan mereka. Persetan dengan kenyataan bahwa saat ini mereka berada di tempat umum dan kini menjadi pusat perhatian!

Ia sungguh tidak peduli lagi bahkan jika ia diusir dari tempat ini karena mengundang keributan. Bagaikan sebilah pedang, gadis itu menusuk dirinya tepat di jantung dengan ucapannya.Berpisah? Jangan gila, ia sungguh tak menginginkan omong kosong itu terjadi. Oh ayolah, bahkan sampai saat ini Ji Yong sama sekali tak diberi sedikitpun kesempatan untuk menjelaskan duduk perkara serta kesalahpahaman yang terjadi di antara mereka.

“Berhentilah bersifat kekanakan, Ji Yong-ssi.”

Dara meredamvolume suaranya, mencoba menahan teriakan yang mungkin akan keluar jika saja ia tidak merasa terganggu dengan tatapan orang-orang di sekitarnya saat ini yang sungguh membuatnya luar biasa risih.

“Aku? Kekanakan? Bukannya itu kau, huh? Kau masih marah karena masalah di club, bukan? Baik, aku minta maaf jika memang itu maumu. Seharusnya kau angkat teleponku dan bicarakan masalah ini baik-baik. Aku telah mencoba segala cara untuk menemuimu, namun apa yang kau lakukan? Kau bahkan mengabaikanku. Lalu sekarang apa? Kau minta kita untuk berakhir dengan alasan pendidikan bodohmu itu? Kau gila! Sampai kapanpun aku tak akan pernah menyetujuinya.”

“Kau tak mempercayaiku, eoh? Jelas saja, kau bahkan tak pernah memberikanku waktu untuk menjelaskan semuanya padamu. Berhentilah bersifat egois, kau hanya terbawa amarah tak menentumu itu,” Ji Yong melanjutkan.

Manik hazel itu membulat, “Egois?”

Dara tertawa kali ini, tawa miris yang diiringi bulir air bening berasal dari pelupuk matanya. Ia juga sudah tak mempedulikan tatapan pengunjung kafe yang saat ini terarah sempurna pada mejanya. Ia sungguh tak menyangka Ji Yong akan mencecarnya seperti ini. Tak bisakah pria itu mengerti dirinya? Mengerti isi hatinya? Ia bahkan dimaki oleh pria itu di hadapan umum seolah-olah dirinya yang menyebabkan pertengkaran di antara mereka. Sebenarnya siapa yang salah di sini?

“Kau tak berkaca pada dirimu? Kau tidak merasa egois untuk membodohiku, huh? Kau tidak merasa ada yang salah jika membohongiku?”

Pertahanan yang sedari tadi ia bangun akhirnya rubuh juga, Dara menangis di hadapan Ji Yong. Isak tangisnya tak terbendung. Air mata sialan itu meleleh dan tak dapat disembunyikan lagi, membuktikan betapa remuk hatinya saat ini, “Jadi siapa yang sebenarnya egois?”

Ji Yong tak bisa berkata-kata saat ini, terlalu terkejut dengan pertanyaan Dara yang ia tak sangka-sangka. Ia baru menyadari betapa tolol dirinya yang telah menyakiti hati gadis itu, lagi dan lagi. Dan yang lebih parah, ia baru menyadari bahwa dirinyalah yang telah terbawa emosi hingga berteriak di hadapan gadis itu. Siapa yang sebenarnya egois? Tentu saja dirinya, pria bajingan yang tak sudi mengakui kesalahannya.

Dara menyeka air matanya asal, menghirup napas beberapa kali untuk mengatur emosinya agar tidak semakin membludak, “Keputusanku telah bulat, aku tak akan merubahnya.”

“Dara-ya…” Ji Yong melembut.

“Maaf, tapi ini adalah yang terbaik,” ia tersenyum tipis untuk menghibur dirinya sendiri, “Apapun yang kau pikirkan saat ini, aku minta maaf untuk segala kesalahan yang pernah ku lakukan padamu. Ku harap kau dapat hidup dengan baik. Terima kasih, Ji Yong-ssi. Aku pergi.”

Mereka berpandangan untuk terakhir kalinya sebelum Dara pergi menuju pintu keluar tanpa repot-repot menunggu Ji Yong mengeluarkan suara. Bahkan, pria itu tak sanggup untuk sekadar menahan tangan gadisnya itu, terlalu pengecut. Gadisnya? Dara memang telah menyatakan bahwa hubungan mereka berdua telah berakhir, namun bagi Ji Yong gadis itu tetaplah gadisnya. Gadis yang sangat dicintainya. Egois? Itu mungkin memang sudah menjadi wataknya.

Yang dapat Ji Yong lakukan saat ini adalah menunduk, mencoba mengingat senyuman tipis yangtersungging di bibir Dara sebelum ia meninggalkannya. Sangat manis, sekaligus menyakitkan. Ia juga tersenyum miris sekarang, dalam hatinya merapal sebuah kalimat.

‘Kau akan kembali lagi padaku, Dara-ya. Bagaimanapun caranya’.

*****

London, December 2014

Headphone biru safir itu kini menghiasi telinga gadis yang sedang tertidur dengan nyaman. Ditemani secangkir cappuccino yang telah menjadi dingin dan novel romantis tergeletak di sampingnya, ia tertelungkup memejamkan mata di atas meja belajar. Ia tertidur di salah satu ruangan penthouse dengan lebar yang tak seberapa itu. Sebut saja itu kamarnya.

Penthouse dengan biaya cukup murah ini terletak di jantung kota London, Bloomsbury. Ya, murah untuk ukuran orang Inggris dengan penghasilan rata-rata sebesar US$ 33.513 per tahun dengan London sebagai pusat pasar finansial terbesar setelah New York. Bisa kau bayangkan berapa harga ‘murah’ di kota besar ini?

Seseorang telah datang ke penthouse itu dengan suara boots mengetuk lantai yang cukup mengganggu. Itu Il Woo, pria teman dekat Dara yang juga berasal dari Korea Selatan. Mereka tinggal berdua di sana dengan dua kamar tidur, satu ruang tamu yang merangkap sebagai ruang TV, juga dapur kecil serta kamar mandi yang cukup nyaman. Bukan tanpa alasan mereka tinggal berdua di tempat yang sama. Il Woo dan Dara adalah teman masa kecil yang dipertemukan kembali di London saat menjalani kuliah untuk mengambil gelar master.

Pria tinggi berambut cokelat itu menuju kamar Dara. Saat tiba di tempat tujuan, ia hanya bisa menggelengkan kepalanya melihat gadis itu, selalu menjadi kebiasaan buruk Dara untuk membiarkan jendela kamarnya terbuka. Apakah ia tak dapat merasakan udara luar biasa dingin di sekitarnya? Hari sudah berganti menjadi malam disertai angin di luar yang sangat kencang menerbangkan butiran salju yang tak henti untuk turun. Sementara gadis itu bisa-bisanya tertidur tenang bahkan tanpa mengenakan baju hangat.

“Il Woo-ya?”

Dara terbangun merasakan hawa dingin yang sedari tadi tercipta karena kelakuannya tiba-tiba menghilang, tergantikan dengan udara hangat yang berasal dari penghangat ruangan yang baru dinyalakan Il Woo. Temannya itu juga tadi telah menutup jendela kamar dan saat ini sedang duduk di kasur seraya melepaskan mantel serta sarung tangannya.

“Berapa kali harus ku bilang bahwa kau tak seharusnya membiarkan tubuhmu tanpa pelindung dengan jendela yang terbuka?”

Dara tersenyum hangat, “Berapa kali juga harus ku bilang bahwa aku memang menyukai udara dingin itu, huh?”

Il Woo menanggapi dengan senyuman, sementara Daramulai tertawa renyah melihat ekspresi pria di hadapannya itu seraya melepaskan headphone dan mematikan musik yang mengalun pelan dari ponselnya.

“Untukmu,”Il Woo menyerahkan salah satu kantung belanjaannya pada Dara.

“Apa ini?”

“Kado tahun baru.”

Dara mengerutkan keningnya, lalu melihat kalender yang terpasang di meja belajarnya. Hari ini tepat tanggal 31 Desember. Astaga, ia terlalu malas bahkan untuk mengingat serta mempedulikan hari dimana orang-orang mempersiapkan perayaan tahun baru dengan gegap gempita yang akan digelar nanti malam. Dan jangan lupakan parade akhir tahun yang baru saja digelar secara meriah. Oh Dara, kau masih muda tapi kau sudah tak mempunyai semangatbagai orang tua renta.

“Oh bagaimana ini? Aku bahkan tak menyiapkan apapun untukmu. Sungguh, aku tak mengingatnya sama sekali. Ck, aku mungkin sudah pikun.”

Il Woo terkekeh maklum, “Tak apa, Dara-ya. Itu bukanlah sesuatu yang harus terlalu kau pikirkan.”

Dara menghela napas dan tersenyum canggung, “Mianhae.”

Il Woo menyimpulkan senyum tulus sebagai balasan.

“Terima kasih, Il Woo-ya. Kadomu sangat berkelas.”

Dara membuka kantung belanjaan yang terlihat mewah tersebut dengan pita merah sebagai hiasannya. Mantel merah dengan motif abstrak menjadi hadiah dari pria itu. Bukan sekedar mantelbiasa tentunya jika kau membeli barang itu dengan label yang sudah mendunia.

Jung Il Woo. Pria yang memiliki mata sipit itu berteman dengan Dara di University College London. Merekaberada di fakultas ilmu sosial. Jika kau tanyakan apa hubungan Dara dan Il Woo, sejauh ini mereka hanya berteman. Dekat, namun tak ada yang spesial di antaranya. Dengan pertemanan semasa kecil, bukankah itu menjadi alasan keduanya menjadi sangat dekat?

Jika mantel menjadi hadiahnya tahun ini, maka saat perayaan tahun lalukadonya adalah sebuah boneka panda, dan ukurannya bukan main, sangat besar bahkan hingga bisa menenggelamkan tubuh Dara dalam pelukannya. Boneka dengan paduan warna hitam putih itu kini sedang terbaring di sudut kasur Dara. Pria itu memang tak pernah perhitungan jika memberi sesuatu.

Tak bisa dipungkiri, Il Woojuga memiliki ketampanan berlebih. Ia memang rupawan. Bahkan mungkin bisa menjadi pria populer di kampus jika saja ia tak menutup diri dengan tumpukan buku tebal yang selalu ia bawa kemana-mana. Bisa ditebak, Il Woo memang gila membaca dan tergolong mahasiswa yang luar biasa jenius. Sangat pendiam jika kau tak menyapanya terlebih dulu.

Namun dibalik semua sikapnya yang tergolong introvert itu, Il Woo memiliki senyum tulus dan mata teduh yang dapat membuat lawan bicaranya merasa nyaman. Tipe pria ideal untuk menjadi sandaranmu ketika kau butuh pelukan hangat yang penuhkeromantisan. Ketika kau sudah mengenalnya lebih dekat, pria yang terlihat kaku itu ternyata memiliki sifat yang luar biasa hangat dan menyenangkan, bahkan terkadang membuat lelucon konyol.

“Lebih baik sekarang kau bantu aku untuk memasak. Aku telah membeli beberapa daging, sosis, juga sayuran untuk kita.”

Il Woo segera berdiri untuk menyeret Dara keluar dari kamarnya menuju tempat tujuan awal, dapur. Mereka akan mengadakan pesta barbeque kecil-kecilan untuk perayaan tahun baru di penthouse. Hanya berdua. Bukannya Il Woo tak ingin keluar dan pergi bersama Dara ke daerah sekitar sungai Thames untuk menyaksikan pesta kembang api yang biasa dilaksanakan di London Eye, sebuah kincir angin raksasa yang menyedot ribuan pengunjung setiap tahunnya.

Namun ia tahu bahwa temannya itu memang terbiasa untuk berdiam diri di rumah. Entah mengapa, gadis itu sanggup bertahan di kamarnya selama berjam-jam bahkan hingga 24 jam penuh menikmati kesendiriannya dengan nyaman. Ia terlalu malas mengangkat bokong indahnya untuk pergi apalagi ke tempat yang terlalu ramai. Gadis itu memang tidak terlalu menyukai dengan kebisingan yang tercipta dari lingkungan sekitarnya.

Dara dan Il Woo menyelesaikan masakannya tepat pukul sepuluh malam, waktu yang tergolong lama ketika mereka beberapa kali mendapatkan daging panggangan yang gosong serta potongan sayuran yang bentuknya tak sanggup untuk sekadar dideskripsikan, terlalu aneh. Kemampuan memasak mereka memang cukup payah, karena itulah selama tinggal di London keduanya lebih sering memasak makanan cepat saji atau membelinya di luar. Kali ini, dengan bumbu barbeque yang instan setidaknya rasa masakan mereka cukup dapat terselamatkan.

*****

Seoul, December 2014

Botol wine serta batang rokok berserakan di meja dengan jumlah yang cukup banyak. Meski minuman berwarna bening itu telah ia tenggak dengan begitu rakus, tetap saja kesadarannya belum sirna. Toleransinya terhadap alkohol sudah pulih, bahkan manik cokelat itu kini masih terlihat menatap nyalang dan tidak menampakan tanda-tanda mabuk sama sekali.

Saat ini pria itu sedang duduk di meja makan dengan penampilan yang sama sekali jauh dari kata rapi, ini bahkan lebih parah dari sekadar berantakan, melewati malam tahun baru dengan kesendirian di rumah megahnya yang bagai istana. Sungguh hanya seorang diri, bahkan pembantunya pun telah ia usir tadi sore. Ia hanya ingin menyepi, membiarkan rasa frustasi yang selama ini ditanggungnya terlupakan dengan beberapa botol wine walau hanya semalam. Namun jangankan semalam, sedetik pun ia rasanya tak akan pernah lupa dengan masalah yang selalu membebani hari-harinya.

Semenjak Dara pergi, Ji Yong kembali menjadi pria brengsek yang sering datang ke club malam, mencoba untuk memainkan beberapa wanita dengan jurus yang sudah lama ia tinggalkan. Setiap ia melakukannya, maka setiap itu pula ia teringat pada gadisnya, gadis yang telah lama tak ia ketahui kabarnya.

Bagaimana ia bisa lupa jika bahkan pangkal masalah yang membuat Dara pergi adalah kelakuannya di club bersama wanita murahan? Dan Ji Yong akan melupakan masalahnya itu dengan mengulangi hal yang persis sama? Sungguh, itu semua hanya membuang waktunya selama dua tahun terakhir.

Rokok dan minuman alkohol yang sempat ia buang jauh telah menjadi sahabat baiknya lagi. Jika kau berada di dekatnya, aroma yang menguar dari tubuh Ji Yong sudah tak dapat dibedakan karena bercampur dengan kedua jenis barang laknat itu.Kehidupannya telah berganti dengan siang hari yang digunakan untuk tidur hingga tanggung jawabnya sebagai CEO terbengkalai parah.

Ia sudah tak lagi gila kerja, namun gila mabuk. Semua urusan pekerjaan ia serahkan pada orang kepercayaan dan tidak perlu repot-repot lagi bangun pagi untuk berangkat ke kantor dengan setelan jas resminya.Media sudah tak mengitarinya, Dragon’s Company menjadi perusahaan dengan penghasilan dan pamor yang turun drastis.

Terakhir kali perusahaan itu masuk media ketika setahun lalu mengalami keanjlokan parah dan hampir gulung tikar. Namun untungnya dengan cepat terselamatkan karena orang-orang kepercayaan Ji Yong yang cukup handal. Hal itu membuat Ji Yong tak lagi dilabeli dengan gelar pengusaha sukses, namun saat ini ia dikenali sebagai pengusaha muda di yang hampir mengalami kebangkrutan.

Tangannya terangkat untuk mengisi lagi gelas yang entah sudah berapa kali ia lakukan selama tiga jam terakhir, lalu meneguk untuk membasahi kerongkongannya. Jam telah menunjukkan pukul sebelas malam, masih ada sisa satu jam sebelum tahun berganti. Sudut bibir Ji Yong terangkat, hari ini masih tanggal 31, bukan? Tanggal dimana seharusnya ia menghabiskan malam pergantian tahun bersama gadisnya seperti tahun-tahun sebelumnya.

Gadis itusampai detik ini tak sanggup Ji Yong lupakan. Ia sudah mencoba segala macam cara untuk mengenyahkan bayangan gadis itu yang selalu berseliweran dalam benaknya. Namun bayangan itu seolah enggan pergi, ia bahkan akhirnya menyerah. Tak sanggup untuk melupakannya walau sekejap. Gadis itu selalu dirindukannya. Gadis yang selalu memanggilnya dengan sebutan ahjussi. Dulu ia mati-matian untuk menutup mulut gadis itu karena panggilan yang menurutnya menyebalkan, namun kinialat pendengarannya merindukan kesejukan suarayang terlontar dari bibir tipis Dara lagi.

Pengecut. Kata yang tepat menggambarkan sosok pria yang kini terlihat semakin kurus itu. Ia tak memiliki keberanian bahkan untuk menghubungi atau menanyakan kabar gadis itu semenjak kepergiannya. Ji Yong telah menutup diri pada segala akses yang menghubungkannya pada Dara, termasuk dengan tidak berteman lagi dengan Jun Hyung. Pria ini sebatang kara dengan segala kesempurnaan yang dimiliki, tak ada keluarga, tak ada teman berbagi, tak ada kekasih, semuanya telah pergi menyisakan ia seorang diri. Ironis.

Segala harta kekayaan yang ia miliki sungguh tak ada artinya lagi sekarang, satu-satunya gadis yang ia percayai untuk menjaga hatinya telah ia lukai. Sifat bejadnya telah melukai segala yang ia punya, habis tak tersisa. Ia tak mempunyai pegangan hidup dan hanya bisa meratapi segala kesalahan bodoh yang telah ia lakukan. Ji Yong tertawa. Tawanya menggelegar, membuat telingamu berdenging apabila mendengarnya. Tawa itu sumbang, terdengar amat frustasi.

Wajahnya menunduk dengan kedua tangan di samping kepalanya, terlihat menahan sesuatu. Emosi. Alih-alih meredakannya, ia langsung berteriak dengan sisa tenaga yang ia miliki. Suara itu jelas serak, mengingat tubuhnya terlalu banyak ia racuni dengan sengaja. Tangannya terangkat untuk mengacak-acak helaian rambut yang memang sudah kusut. Rambut yang dulunya tertata rapi kini tak terlihat indah lagi, dibiarkan panjang tak terurus, sekilas bahkan tak ada bedanya dengan sapu. Bulu-bulu halus di sekitar wajahnya muncul, tak ada niat lagi untuk sekadar berkaca apalagi memegang alat cukur.

Di tengah ketidakwarasan tersebut, Ji Yong merogoh saku celana longgarnya, mengeluarkan sesuatu yang telah lama ia simpan. Sebuah kotak beludru berukuran kecil berwarna fuschia elegan. Dengan mudah, jarinya membuka kotak itu, menampakkan benda berkilau di dalamnya. Sebuah cincin emas putihbermahkotakan tiara kecil sederhana. Mata Ji Yong menatap takjub benda yang telah ia pesan khusus untuk diserahkan tepat pada perayaan tahun baru yang biasa mereka laksanakan dua tahun lalu.

Seharusnya saat itu benda ini telah berpindah tangan pada Dara sebagai tanda keseriusan Ji Yong. Ya, ini cincin lamarannya pada gadis itu. Ji Yong tak main-main dengan ucapannya pada Dara saat berada di acara Dragon’s Fashion saat itu. Namun sayang, niatnya itu belum sempat diutarakan hingga akhirnya gadis itu memutuskan untuk pergi menjauh darinya.

Lengkungan bibirnya muncul kembali, kali ini menampakkan seringaian menyeramkan. Demi alam dan seisinya, Ji Yong merindukan gadisnya, merindukan Dara untuk kembali di sampingnya. Lihat? Sekuat dan semenyeramkan apapun pria itu, ia juga manusia biasa yang dapat lemah karena hal terkutuk bernama cinta. Ia mengeratkan syalnya, syal rajutan berwarna putih yang sengaja Dara buatkan untuknya dua tahun lalu sebagai hadiah hari kelahirannya.

‘Aku merindukanmu, Dara-ya.’

*****

London, December 2014

“Wah, aku kenyang sekali.”

Tatapan Dara menyelidik pada pria yang kini sedang duduk di sampingnya, “Kau tidak merasakan sesuatu yang aneh saat memakan masakan ini?”

“Aneh? Tidak. Ini bahkan lezat, Dara-ya.”

“Jangan bercanda, Il Woo-ya. Kau lihat bentuknya? Sungguh makanan ini tak layak dan sangat aneh untuk disajikan.”

“Ya bentuknya memang tak terlalu bagus, tapi sungguh rasanya lezat. Bahkan aku menghabiskan masakan ini, bukan?”

“Ku rasa ada yang salah dengan lidahmu.”

Pria itu tertawa ringan sebagai balasan ucapan Dara, membuat suasana musim dingin malam ini di antara mereka bertambah hangat. Mereka telah menghabiskan waktu cukup lama mengobrol seraya menghabiskan masakan yang menurut Il Woo rasanya lezat itu. Padahal sungguh, lidah Dara mengecap rasanya biasa saja, cenderung aneh dengan rasa sedikit pahit karena ada beberapa bagian yang gosong. Dan Il Woo menyatakan masakan ini lezat? Oh, selain pendiam ia juga pandai berbohong ternyata.

“Sebentar lagi pukul dua belas, ayo kita keluar,” ajak Il Woo.

“Lebih baik kita melihat dari balkon saja.”

Pria itu hendak berdiri untuk beranjak keluar, namunlangkahnya segera berubah arah untuk mengikuti langkah Dara menuju balkon kecil yang terletak di belakang penthouse. Balkon itu dihiasi dengan dua buah kursi santai serta sebuah meja kecil di tengahnya tempat Dara dan Il Woo biasa bersantai seraya menjemur baju mereka. Dara dan Il Woo saat ini sedang berdiri berdampingan di batas tembok putih setinggi pinggang, mereka melihat ke arah langit kota yang mulai dihiasiletupan kecil kembang api.

“Apa permintaanmu di tahun ini?”

“Aku?” Dara masih menatap langit seraya berpikir, “Tak ada yang spesifik, hanya ingin menjadi manusia yang selalu bahagia.”

Il Woo tertawa renyah mendengar jawaban Dara.

“Ada yang lucu?”

“Tidak, tapi sungguh permintaanmu itu sangat sederhana. Bahkan sama sekali tak sempat terpikirkan olehku.”

“Tak ada salahnya, bukan? Memang apa permintaanmu?”

“Aku ingin pulang ke Korea segera mungkin,” jawab Il Woo mantap.

“Meneruskan perusahaan appa-mu yang sempat kau urus sebelum ke London itu?”

Pria itu mengangguk sebagai jawaban. Il Woo memang memiliki perusahaan otomotif warisan dari ayahnya. Tidak terlalu besar, namun cukup berkembang di pasar lokal. Ia bahkan pernah bekerja di perusahaan itu selama lima tahun untuk membantu ayahnya sebelum meneruskan pendidikannya di London. Namun karena cita-citanya yang memang sangat ingin untuk mendapatkan gelar master, ia terpaksa meninggalkan perusahaan untuk sementara.

Setelah menempuh pendidikan selama hampir dua tahun, akhirnya ia mendapatkan gelar yang selama ini ia inginkan. Sebulan lalu, ia dan Dara telah menggelar pesta kelulusan setelah menyelesaikan sidang thesisnya. Lebih cepat dari mahasiswa lainnya yang baru bisa menyusul ketika awal musim panas mendatang tiba. Il Woo dan Dara memang terkenal cukup pintar dan rajin, terlebih lagi Il Woo yang memang sudah punya label mahasiswa jenius di kampus.

“Kau juga akan pulang, bukan?”

Dara yang mendengar pertanyaan Il Woo kini mengalihkan tatapannya pada pria itu seraya tersenyum, “Entahlah.”

Wae? Tidakkah kau merindukan keluarga dan teman-temanmu di sana? Kau bahkan tak pernah mengunjungi mereka saat liburan.”

“Tentu saja aku rindu. Sangat,” Dara mendesah, “Namun ada beberapa hal yang harus aku pertimbangkan untuk pulang, Il Woo-ya. Alasannya tak dapat ku jelaskan, terlalu rumit untuk sekadar kau mengerti. Yang jelas, saat ini aku masih membutuhkan waktu untuk berpikir.”

“Sayang sekali, padahal aku ingin mengajakmu bersama-sama naik pesawat untuk pulang ke Korea.”

Gadis itu mengangkat sudut bibirnya lagi dengan manis, “Kau pulanglah segera seperti keinginanmu, ku harap kita bisa bertemu lagi nanti.”

“Di Korea?”

“Ya, mungkin saja.”

Kemeriahan menyelimuti mereka saat bertatapan sambil tertawa disertai suara ledakan besar yang menandakan bahwa tahun telah berganti. Pandangan keduanya kemudian teralihkan ke langit London, menatap takjub kota yang makin dipenuhi kembang api beraneka warna dan bentuk serta suara terompet nyaring yang menggaung dari segala arah. Pria yang sedang berdiri dengan hoodie biru tua itu mencuri pandang ke gadis yang masih betah menatap langit dengan pandangan berbinar. Tanpa disadari, sebuah doa telah berpilin seiring dengan pesta pergantian tahun yang makin menggila.

‘Ku harap kau akan bahagia. Selalu.’

*****

London, January 2015

 “Hot chocolate?”

Aku yang kini tengah melihat pemandangan dari kamar jendela, menolehkan kepala dan melihat Il Woo dengan dua buah cangkir yang di atasnya masih dihiasi asap mengepul di kedua tangannya. Pria itu kini duduk di kursi samping meja belajar seraya menaruh satu gelasnya di nakas sementara satu lainnya ia pegang untuk kemudian ia minum.Il Woo masih berada di London, ia menunda kepulangannya karena ada beberapa keperluan yang harus ia selesaikan dengan pihak universitas.

“Aku lebih ingin jus jeruk, Il Woo-ya.”

“Hari bahkan masih pagi, Dara-ya. Kau bisa membuat minuman asam itu nanti, setidaknya saat ini hargailah minuman yang sengaja aku buatkan untukmu.”

“Ya, akan ku minum nanti,” jawabku sambil tersenyum seraya mengalihkan lagi tatapanku pada objek asal, pepohonan yang tengah diselimuti salju di sekitar jalan.

“Kau tak akan menyimpan gelarmu untuk hanya kau kantungi, bukan?”

Aku mengerutkan kening heran, “Apa maksudmu?”

“Oh ayolah, kau bahkan telah menyelesaikan kuliahmu dan hingga saat ini kau masih mengurung diri di kamar sempit dengan status pengangguran? Kau bisa keluar untuk mencari pekerjaan dengan penghasilan lebih dari layak dengan nilai luar biasamu itu, Dara-ya.”

Aku mengedikkan bahu tak acuh, “Aku hanya ingin menghabiskan waktuku di tempat ini untuk sementara, Il Woo-ya. Menenangkan diri, mungkin?”

Il Woo mendengus kesal, “Sampai kapan? Sebenarnya apa yang membebanimu hingga seperti ini? Kau tahu? Kau bahkan terlihat lebih menyedihkan daripada mereka yang masih harus bersusah payah mengejar ketertinggalan.”

Menyedihkan? Astaga, apa saat ini aku terlihat sangat memprihatinkan? Selama sebulan terakhir ini aku memang hanya menghabiskan waktuku di penthouse serta sesekali keluar untuk berbelanja beberapa keperluan penting. Namun tentu saja yang lebih sering ku lakukan adalah berdiam diri di ruang menyesakkan berukuran kecil ini seperti bermeditasi dengan segala pikiranku yang mulai rumit.

Entah mengapa, aku tak mengalami euforia yang mungkin akan dirasakan oleh orang-orang yang telah lulus apalagi dengan nilai memuaskan. Aku hanya bingung dengan hal apa yang harus aku lakukan sekarang. Sebenarnya ada beberapa perusahaan di London yang menawariku untuk bekerja dengan jabatan yang tak main-main, namun entah mengapa hati ini masih tak yakin sehingga sampai saat ini aku masih belum menentukan keputusan apapun. Apakah aku harus memulai bekerja di London? Atau, harus pulang ke Korea?

Jangan lupakan banyak sekali telepon dan pesan yang aku terima dari eomma, appa, terlebih lagi pria menyebalkan yang berstatus sebagai saudara kandungku yang tak henti-hentinya untuk mengoceh. Mereka semua memintaku untuk pulang walau hanya beberapa hari saja. Wajar memang, selama di London aku bahkan tak pernah mengijakkan kaki lagi ke Korea. Seperti yang ku katakan pada Il Woo, aku rindu mereka, aku sangat merindukan tanah kelahiranku. Namun setiap aku memikirkan untuk pulang, selalu saja terselip perasaan ragu dan cemas yang menghambat.

Tidak bisa kupungkiri kejadian sebelum aku memutuskan untuk melanjutkan pendidikan ke London-lah yang membuat pikiranku selalu kacau apabila mengingat Korea. Pria itu. Pria yang sebenarnya tak ingin ku ingat lagi bahkan hanya untuk sekadar mengingat namanya. Namun dengan tololnya kini aku terus memikirkannya dengan jelas dalam setiap helaan nafas dan denyut nadi jantungku. Bahkan setelah aku meninggalkannya sekalipun.

Cukup berlebihan memang, namun inilah kenyataan yang terjadi. Katakanlah aku bodoh karena masih mengingat bajingan itu. Tapi percayalah, sekeras apapun aku berusaha untuk melenyapkannya walau hanya sedetik, bayangan serta ingatan tentang pria itu justru melekat bertambah erat dalam pikiranku.

Dua tahun lamanya aku telah mencoba untuk melupakan semua tentangnya, namun luka yang ia torehkan sungguh sangat sempurna membekas bahkan hingga saat ini. Luka itu belum sembuh sepenuhnya, hanya mencoba untuk mengering walau aku sering mengobatinya dengan segala cara yang memungkinkan. Rasa ini menyiksaku hingga ke dasar, mengubahku menjadi manusia idiot yang tak pernah bisa untuk melupakannya.

Setidaknya saat ini aku hanya bisa berharap rasa sialan ini enyah dari hatiku. Aku mencoba tak munafik, rasaku terhadap pria itu masih sama seperti beberapa tahun lalu saat aku masih bersamanya. Konyol, bukan? Tertawalah sepuas yang kau inginkan. Jauh di lubuk hatiku, aku masih menyimpan namanya di tempat tersendiri yang tak tergantikan hingga kini. Jika bisa aku sungguh ingin membencinya, namun percayalah aku telah bosan mencoba.

“Kau melamun lagi.”

Suara sinisIl Woo menyentakkan diriku ke alam sadar.

“Tidak, Il Woo-ya,” dustaku.

“Jangan mencoba membodohiku, kau telah sering melakukannya beberapa hari terakhir ini. Sebenarnya apa yang kau pikirkan?”

Aku mengabaikan pertanyaannya yang sedang mencoba untuk mengintimidasiku. Sungguh, aku hanya tak ingin Il Woo mengetahui semua masalahku. Aku tak ingin berbagi tentang perasaan bodoh ini padanya. Oh ayolah, ini terlalu konyol. Aku bahkan terlalu malu mengungkapkan kenyataan sebenarnya.

“Apa mungkin itu karena Ji Yong?”

Deg! Pertanyaan singkat darinya menyentakkan jantungku hingga aku hanya bisa terduduk dengan pandangan membeku ke arahnya. Bagaimana bisa ia tahu tentang pria itu sementara aku tak pernah bercerita sedikit pun tentangnya?

“Jangan pikir aku tak mengetahuinya, Dara-ya. Kau pikir aku tak melihat namamu dipampang besar-besar di media dua tahun lalu saat berada di Korea?”

Astaga, kejadian sialan itu!

“Aku tak tahu apa yang terjadi padamu dengannya hingga kalian bisa berakhir. Aku juga tak berniat untuk terlalu mencampuri urusan pribadimu. Maaf… maaf karena telah mengutarakan hal ini dengan lancang. Namun melihatmu hingga kini yang masih saja berada dalam bayang-bayangnya membuatku tak tahan untuk mengambil sikap. Entah untuk alasan apa, tapi aku yakin kau telah tersakiti.”

“Il Woo-ya… aku…”

“Berhenti berdusta di hadapanku,Dara-ya. Sudah cukup selama dua tahun kau menyembunyikan beban ini untuk dirimu sendiri. Berhentilah berpura-pura bahwa kau terlihat baik-baik saja tanpanya. Percaya atau tidak, aku bahkan masih bisa merasakan dengan jelas luka lama itu dari pancaran matamu.”

Mataku memanas, cairan bening sialan itu keluar sendirinya tanpa persetujuanku. Seberapa keras aku berusaha menyangkal, kenyataan itu tak dapat aku tampik. Il Woo benar, selama ini aku hanya terkungkung dalam bayangan masa lalu tentang pria itu. Pria yang dengan lancangnya menggores luka hingga menganga di hati ini. Aku terlalu naif. Berharap bisa baik-baik saja setelah meninggalkannya, namun nyatanya aku terbebani dengan ini.

Aku tersentak, tiba-tiba kini ia menghampiriku untukkemudian berlutut di hadapanku. Il Woo tersenyum. Tulus. Pria itu mengulurkan telapak tangannya yang lembut pada pipi kananku, “Kau tahu? Air matamu itu terlalu berharga untuk sekadarmenangisi seseorang yang telah menyakitimu.”

Aku hanya terpaku menatapnya kini, pandangan teduhnya membiusku hingga terdiam seribu bahasa. Jari-jari besarnya terulur untuk menghapus air mata di pipiku. Menenangkan. Senyumannya membawa kedamaian hingga kini aku tertular dengan membuat lengkungan juga di kedua ujung bibirku. Sungguh aku merasa bersyukur telah memiliki seseorang yang selalu menemaniku selama dua tahun di negeri orang.

Namun senyumku segera tergantikan dengan rasa kaget bukan main mendengar pernyataan Il Woo selanjutnya yang tak ku sangka akan terlontar dari bibirnya. Tubuhku membeku. Layaknya patung. Pandanganku tak lepas dari arahnya yang kini terus menyunggingkan senyuman tulus padaku. Kejadian tak waras apalagi ini? Apakah aku kini tengah bermimpi? Sadarkanlah aku, Tuhan!

“Menikahlah denganku, Park Sandara.”

*****

Seoul, March 2015

Semua pasang mata kini tertuju pada satu objek. Tak ada yang spesial sebenarnya dari objek itu, namun dengan mudahnya membuat semua karyawan tercengang karena melihat seseorang yang telah lama tak menginjakkan kakinya di kantor itu kini hadir kembali. Pria itu. Kwon Ji Yong. Ia baru saja menepikan mobil mewahnya di parkiran dan berjalan santai memasuki lobi.

Tidak ada satu pun orang yang berani untuk berbicara atau sekadar menyapa, sebagian memilih untuk menundukkan dalam kepalanya sebagai tanda hormat sekaligus rasa takut. Serta tentunya rasa kaget luar biasa. Sebagian lainnya hanya berdiri terpaku saking tak tahu lagi harus berbuat apa demi melihat kedatangan pemilik perusahaan yang sudah jauh berubah dari terakhir kali mereka lihat.

Bagaimana mereka tak tercengang? Kini Ji Yong tak lagi berpenampilan seperti biasanya. Ia masih mengenakan jas namun itu sungguh sangat tak mencerminkan kata rapi. Ujung kemejanya tidak ia masukkan dengan benar, dasi pun hanya menggantung di lehernya dengan posisi menyedihkan. Bahkan lengan jas sekaligus kemejanya ia gulung asal hingga siku. Sungguh, apa pria itu masih mabuk? Ini kantor, bukan pub malam yang berisikan minuman alkohol yang ia gilai setengah mati.

Ji Yong menuju lift khusus, tidak perlu repot-repot seperti para karyawan lainnya yangberjejer menunggu giliran dengan sabar untuk naik. Pria itu memiliki liftspesial untuk dirinya sendiri dan akan mengantarnya langsung ke lantai paling atas, ruangan kuasanya. Setelah tiba di dalam lift, tangannya bergerak untuk melepas kacamata hitam yang sedari tadi bertengger di hidung mancungnya. Bukan tanpa alasan ia mengenakan benda ini. Ji Yong harus menyembunyikan mata lelah yang dihiasi lingkaran hitam menyeramkan di sekitarnya.

Semalam memang ia bisa tertidur lelap dengan tenang. Namun tetap saja sebelum menyeret kakinya ke kamar, ia memutuskan untuk mengambil botol wine favorit yang belakangan ini telah menjadi koleksi di lemari antiknya. Berniat untuk meminum satu gelas, kerongkongan itu rasanya tak pernah puas. Ji Yong akhirnya menghabiskan satu botol penuh hingga tetes terakhir. Rasanya pemabuk adalah kata yang tepat untuk memanggil pria yang telah gila alkohol ini.

Lift berdenting menandakan ia telah sampai pada tujuannya. Ji Yong mengusap matanya dengan kasar lalu memakai kacamatanya kembali. Dengan langkah besar-besar, pria itu menuju ruangan yang telah lama tak pernah ia kunjungi. Merindukannya? Mungkin sedikit. Pintu terbuka dan menampakkan tatanan ruangan yang masih sama semenjak ia terakhir kali melihatnya. Baru saja ia menyecahkan pantatnya di kursi, seseorang telah masuk ke ruangannya dengan membawa beberapa berkas.

“Aku bahkan baru menduduki kursi ini dan kau sudah datang dengan membawa setumpuk pekerjaan padaku?”

Kim Soo In. Wanita berumur akhir 20-an yang menjabat sebagai sekretaris tersebut langsung membeku di tempat setelah mendapat ‘sapaan lembut’ dari atasannya tersebut, “Jeo… jeosonghamnida, Sajangnim.”

Ji Yong tak menggubris permintaan maaf dari wanita di hadapan meja kerjanya itu. Dengan sigap, ia menyibak lembar demi lembar kertas untuk meneliti berkas-berkas yang hampir tak pernah tersentuhnya dua tahun belakangan, “Atur jadwalku untuk bertemu dengan perusahaan otomotif yang berkasnya kau lampirkan di sini. Katakan pada mereka bahwa aku merencanakan kerja sama dengan perusahaannya. Sisanya akan ku beritahukan padamu nanti. Kau bisa keluar sekarang.”

Wanita itu mengangguk tegas, “Ne, Sajangnim.”

*****

Saat yang bersamaan di tempat lain, kacamata hitam besar bertengger manis di hidung gadis yang kini tengah menyeret kopernya. Menenggelamkan hampir separuh wajahnya yang telah banyak mengalami perubahan. Bukan perubahaan tak alami yang singkat, tentunya. Kini tak ada lagi pipi tembam yang menggemaskan, menghabiskan waktu hampir dua tahun di negeri orang membuatnya terlihat lebih anggun dan dewasa daripada sebelumnya. Rambut yang dulunya hanya sebatas bahu kini dibiarkan tergerai indah hampir menyentuh bokong dihiasi warna kemerahan yang menyilaukan apabila terpapar sinar matahari.

Dara baru saja keluar dari pesawat dan saat ini tengah menunggu Jun Hyung menjemputnya di bandara Incheon. Setelah beberapa minggu ia berpikir keras dibantu dengan omelan dari saudaranya yang sering menghubungi, akhirnya gadis itu sudi untuk memesan tiket pulang ke Korea. Keluarganya tentu saja menyambut berita ini dengan rasa luar biasa bahagia.

Gadis bungsu keluarga Park akan segera kembali setelah merantau beberapa tahun di London dengan membawa gelar master yang telah disandangnya. Terlebih lagi Jun Hyung, pria itu bahkan menjerit histeris saat mendengar kabar dari adiknya. Membuat gendang telinga Dara berdenging nyeri dan hampir pecah jika saja ia tak sigap untuk menjauhkan ponselnya dari telinga.

Ngomong-ngomong soal Jun Hyung, kemana pria itu? Dara telah menunggunya di depan bandara selama hampir setengah jam dan batang hidung kakaknya itu belum juga terlihat. Dara menghembuskan napasnya kesal, kalau tahu akan begini tak perlulah Jun Hyung repot-repot menawari untuk menjemputnya, lebih baik ia naik taksi saja.

“Sandara?”

Gadis itu menoleh ketika namanya dipanggil oleh suara bariton yang telah akrab di telinganya. Jun Hyung. Kakaknya itu kini berdiri terpaku berjarak beberapa langkah darinya dengan pandangan mengamati yang luar biasa membuat risih.

Jinjja? Kau… Sandara? Park Sandara?” ulang Jun Hyung yang masih tak percaya dengan penampilan adiknya yang sudah jauh berubah.

Dara mendecak, “Bisakah kau tak berlebihan? Ini aku adikmu, oppa.”

Dengan langkah lebar yang hampir berlari Jun Hyung menghampirinya. Ia mengamati lagi untuk kesekian kalinya seraya berdiri mematung sebelum memeluknya erat, “Bagaimana bisa kau berubah sebanyak ini, huh? Oh Tuhan, tinggal di London membuat kau kehilangan jati dirimu,Dara-ya.”

“Hentikan. Aku… tak bisa bernapas.”

Dekapan tangan Jun Hyung di leher Dara seperti cengkeraman yang membuat ia hampir kehabisan oksigen. Pria itu terlalu rindu sekaligus terkejut setelah melihat Dara berada dalam jarak pandangnya setelah sekian lama tak bertemu.

Mianhae, tapi sungguh kau telah berubah. Kau seperti bukan Dara yang aku kenali,” Jun Hyung melepaskan pelukannya, “Lihat, kau yang biasanya tak ingin repot sekarang membiarkan rambutmu terurai panjang. Astaga, bahkan warnanya saja sangat mencolok di keramaian sekalipun. Dan pakaianmu,oh my God!Western style! Kau berubah terlalu banyak.” Jun Hyung memperhatikan setiap detail perubahan Dara.

Dara mendengus, “Kau saja yang tak pernah berubah. Selalu berisik. Dari dulu hingga kini aku tetaplah adikmu.”

Jun Hyung terkekeh geli, “Ya, dan tinggimu juga tak pernah berubah sehingga ini menjadi satu-satunya ciri yang mudah untuk ku kenali.”

Oppa!”

“Oh Tuhan, kau merajuk. Terlalu rindu padaku membuatmu manja, eoh?”

“Berhenti menggodaku dan antarkan aku pulang. Duduk berjam-jam di pesawat membuatku ingin beristirahat seharian.”

Jun Hyung tiba-tiba mematung selama beberapa detik, “Nuguseyo?” perhatiannya teralihkan pada pria yang baru saja berhenti tepat di sebelah Dara dengan menyeret sebuah koper.

Annyeonghaseyo, Il Woo imnida.”

Jun Hyung menatap Dara dengan pandangan bertanya tanpa mengucapkan sepatah katapun. Merasa asing sekaligus cukup familiar dengan melihat tampang dari pria yang tiba-tiba saja ada di samping adiknya. Ia tak yakin jika pernah mengetahuinya, namun di saat yang bersamaan ia juga merasa telah mengenal pria itu. Tapi entah dimana. Ia sepertinya tak terlalu ingat. Ck, ingatannya memang cukup payah di usianya yang masih tergolong muda.

Pandangan Jun Hyung menyelidik, adiknya dan pria itu terlihat akrab satu sama lain. Bahkan saling melempar senyum manis. Apa-apaan ini? Ia seperti obat nyamuk yang hanya mengeluarkan asap tanpa dianggap oleh kedua orang di hadapannya. Kemudian manik Jun Hyung tertuju pada Dara yang kini juga tengah menatapnya. Mengisyaratkan penjelasan melalui tatapan tanpa repot-repot membuang suaranya.

“Dia tunanganku, oppa.”

.

 To be continued…

.

29 thoughts on “[DGI FESTIVAL 2016_PARADE] Selfish Bastard #5

  1. kasian abang gw idup nya jadi menderita karna kesalahafahaman, ayoo lah bang ji gg sepenuh nya salah kan :/
    dara nya terlalu emosi jdi aja gg peduli apa yg sbner nya terjadi , tapi ya mau gimana lg seh dara uda gg mau ya gg bisa dipaksa juga , dari pada abang stres depresi sendiri gtt mendingan am gw aja yuk bang dijamin puas , hahaha
    cih dasar cowok ada kesempatan langsung ngajak nimaj aigooo

  2. Aarrrghhhh >< kasian jiyong hiksss.. yah kok diterima sih lamarannya. cepet ketemu deh dara-jiyong. ga sabar nunggu chap selanjutnya.. hwaiting 😄😄

  3. Segitu depresikah jiyong ampe idup.y jadi berantakan kasian lyt.y ,, jujur jiyong emang salah udah bohong ama dara tapi kenpa dara gx mau denger penjelasan jiyong, jadi.y mereka berdua sakit kan,, N whaatttt dara nerima lamaran ilwoo gak rela ohhh nnoooooo Andweeee jangan lakukan itu thor kasihanilah Jiyong ,,, satukan daragon kembali….

  4. Waduhh tunangan??
    Nasib jiyong gmana??
    Aduhhh gak sad ending kan ya thor ini??
    Kasian jg liat jiyong..
    Smoga mereka balik lg deh ya..
    Dilanjut terus yaa thor..

  5. Meski sebel sama jiyong.. Tp kasihan jg liat dy kya gtu…
    Smp hampir bangkrutt…

    Dara tunangan sama il woo…???
    Bisa makin gila klo jiyong tauu…

  6. Hayooo sekarang Dara udah punya tunangan yaitu temen deketnya sendiri, Ill Woo. Sempet kesel banget sama Jiyong tapi ngeliat penampilan yang berubah drastis karena ditinggal Dara ngebuat aku sedikit mengurangi rasa kejengkelan hehe.

  7. I really hate dara 4never give chance 4jiyong,too selfish.poor jiyong,but he also at fault 4never b frank with her.all d blame to idiot n selfish seung hyun…:(((

Leave a comment