How to Save a Life [Part #1] : Connected

Untitled-2

Untitled-1

Author      : mbie07

Link          : HtSaL on AFF

Indotrans : dillatiffa

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

tumblr_m8zlu8LWdK1rnfw9so1_500

~ Connected ~

 

Dua anak manusia terlahir pada tempat yang berbeda, pada waktu yang berbeda. Keduanya hidup di dunia ini tanpa mengenal satu sama lain, tapi keduanya terhubung oleh sebuah benang merah tak kasat mata. Benang merah itu diikatkan pada jari kelingking mereka melewati batasan ruang dan waktu tanpa diketahui telah menghubungkan keduanya. Terbentang jarak waktu diantara keduanya, bahkan dalam bilangan tahun; sementara si anak lelaki baru belajar langkah pertamanya, si anak perempuan sudah berjalan ke sekolah. Ketika si anak lelaki bermain bersama dengan anak-anak seusianya, si anak perempuan yang tumbuh menjadi remaja mulai menyadari penampilannya karena sudah mulai mengenal yang namanya cinta. Ketika si anak lelaki itu kelelahan karena bermain basket, si gadis remaja pulang terlambat karena berkencan dengan seorang pria.

Mereka berdua memandangi langit yang sama, menghirup udara yang sama, dan sama-sama mengagumi bintang yang sama.. namun mereka tidak mengenal satu sama lain.

 

 

Bocah itu bersiul sambil melompat turun dari bus. Ini adalah study tour terakhirnya, dimana sebentar lagi dia akan segera lulus dan melanjutkan ke perguruan tinggi. Sebuah senyum nakal tersungging di bibirnya sambil berjalan berjingkat kearah seorang gadis, dalam hitungan ketiga, dia menarik kepangan rambut gadis itu membuat si gadis berteriak kesakitan. “Kwon Jiyong!” gadis itu mendelik marah tapi Jiyong malah tertawa terbahak sambil berlari menghindari amukan Chaerin.

Kwon Jiyong, sebuah nama yang mungkin saja tidak dikenal namun sosoknya akan selalu diingat. Dia berparas tampan dengan badan kurus namun berisi. Cerdas, berbakat, namun sangat nakal. Dia adalah jelmaan dari Peter Pan, sang makhluk mortal lawan dari Loki. Dia lebih memilih tertawa daripada berbicara, seseorang yang mebih memilih untuk tidur dibandingkan merasakan. Tubuhnya mungkin terus tumbuh namun mentalnya berhenti di usia sepuluh tahun. Jiwa sederhana yang hanya memikirkan tentang bersenang-senang  dan yang menolak perubahan dan tumbuh.

Dunia boleh saja berputar, semuanya mungkin saja berubah namun dia tetaplah sama, tidak bergerak, tidak pernah berubah. Dia benci bila berurusan dengan perasaan karena dia tidak suka menjadikan sesuatu menjadi ‘rumit’. Dia hanya ingin bersenang-senang dan bebas; sama sekali tidak punya beban tentang apapun. Katakan saja semuanya mungkin terjadi tapi dia memilih untuk tetap seperti ini. Mungkin dia adalah yang ketiga dari hal-hal konstan yang ada di bumi, setelah kematian dan perubahan.

“Uggh!! Seriuslah, bersikaplah dewasa Ji!” seru Chaerin menghentak-hentakkan kakinya karena kesal dan merasa kesal. “Coba saja, kamu tidak bisa memaksaku!” balas Jiyong sambil menjulurkan lidah. Dia kembali menarik rambut Chaerin membuat gadis itu berteriak kesakitan dan Jiyong tertawa sepenuh hati. Seungri atau Lee Seunghyun berjalan menghampiri mereka dan merangkul gadisnya, Chaerin, menenangkannya.

Jiyong meringis melihat pemandangan menjijikkan dihadapannya. Dia memutar bola matanya. “Menjijikkan,” ujarnya sambil menghembuskan nafas. Seungri terkekeh membuat temannya itu semakin mengernyit. “Kenapa kamu tidak mencari gadis dan jatuh cinta. Aku hampir berpikir kamu menyukai Chaerin,” Seungri menertawakan Jiyong yang mulutnya ternganga lebar. Kemudian dia pura-pura muntah. “Oh please,” desahnya. Dia kemudian melompat kearah bangku besi untuk mulai berpidato melodrama atau harus dikatakan keluhan – tentang cinta dan dirinya, dua hal yang tidak akan pernah bisa disatukan.

“Aku? Jatuh cinta?” tanyanya sambil memegangi dadanya dan pasangan dihadapannya hanya bisa memutar bola mata tahu apa yang akan dia katakan. “Aku, Kwon Jiyong, tidak akan pernah jatuh cinta!” dia mendeklarasikan sambil mendengus dengan penuh percaya diri, seolah sedang mengumumkan bahwa dunia ini adalah miliknya. Dia melompat turun dari angku dan kemudian merangkul teman-temannya. “Perasaan, emosi, dan sebut apapun itu sesuka kalian,” katanya dalam bisikan. “Kukatakan pada kalian, itu adalah hal yang paling mengerikan, menjijikkan dan belum lagi hal yang paling bisa menghancurkan yang pernah terjadi dalam sejarah umat manusia!” terusnya menjalaskan dengan tangannya bergerak-gerak penuh semangat. Dia tersenyum bangga sambil menyilangkan lengannya di dada dan menganggukkan kepala menyerujui apapun yang diucapkan mulutnya tadi tanpa mau berpikir apakah dia mengucapkan hal yang benar atau tidak.

Baik Seungri maupun Chaerin hanya bisa mendesah dan memutar bola mata mereka. “Dia tidak mengerti apa yang dia katakan,” Chaerin mendesah frustasi dan Seungri langsung mengangguk setuju. “Dia ini idiot,” timpal Seungri sementara Jiyong masih dalam tahapan mendramatisir isi khutbahnya tadi dan pasangan itu hanya bisa menggelengkan kepala mendengar apapun yang Jiyong ucapkan. Tanpa mereka sadari, Dong Yongbae, salah seorang teman mereka yang lain muncul disebelah Seungri, merangkulkan lengannya ke bahu pria itu, malas. “Jangan katakan padaku dia berpidato lagi tentang cinta yang menghancurkan,” katanya memperoleh tawa dari pasangan itu dan Jiyong mendelik padanya – Yongbae langsung mengangkat tangannya menyerah. Jiyong mengernyit. “Seriuslah Ji, jangan sembarangan berpidato di tempat umum, karena mungkin akan ada orang yang melompat dari gedung,” Yongbae menggeleng-gelengkan kepalanya dan langsung ditanggapi dengan gelak tawa.

“Dan aku sedang berbaik hati, memperingatkan kalian semua akan kemungkinan itu dan justru inilah yang aku peroleh,” gumam Jiyong kesal menyilangkan tangan. “Betapa hebatnya teman-temanku.” Racaunya. Ketiganya malah semakin tertawa. “Memperingatkan kami tentang apa?” tanya Seungri. “Tentang bahaya yang bisa ditimbulkan oleh perasaan, oleh jatuh cinta,” jawab Chaerin dalam nada mengejek membuat Yongbae tertawa. “Woooh! Takut!” kata Yongbae sambil mendecakkan lidah. Jiyong memutar bola matanya. “Terserah,” desisinya dan berbalik, lalu berjalan menuju pintu masuk sebuah galeri besar dihadapan mereka, tujuan terakhir mereka di perjalan kali ini, Edelweiss Gallery.

Jiyong menatap detail arsitektur galeri yang menakjubkan. Bangunan itu terbuat dari kaca dengan sebagian besar dinding dilapisi oleh marmer. Itu adalah perpaduan sederhana antara arsitektural modern dan klasik dan justru itulah yang membuatnya tampak semakin indah. Bangunan itu indah karena kesederhanaannya. Sebentuk senyuman tersungging di wajahnya dan dia menyimpan kedua tangannya di saku dan berjalan memasuki galeri. Pintunya otomatis terbuka dan pemandangan yang lebih menakjubkan menyambutnya. Lukisan-lukisan dan berbagai karya seni lain menyambutnya. Itu adalah surga bagi orang sepertinya, seorang pelukis hebat yang melukis dari hati.

Dia mulai menjelajah memandangi setiap karya seni, mengaguminya, menghirup aromanya. Dia mungkin saja tidak pernah serius tentanghidupnya namun selalu saja ada pengecualian. Dan bagi Kwon Jiyong satu-satunya hal yang dia seriusi adalah tentang melukis. Kali pertama dia memegang kuas lukis dan menggambar garis pertamanya dia langsung tahu, meski tanpa alasan yang jelas, bahwa dia dilahirkan untuk menjadi seorang pelukis.

“Kamu sangat mencintai lukisan, iya kan?” Chaerin bertanya setelah akhirnya bisa menyejajari langkahnya bersama dengan yang lain. Jiyong mengangguk masih memerhatikan setiap lukisan sampai ke detailnya. Yongbae mengambil salah satu pamphlet dan membacanya. “Edelweiss Gallery didirikan pada tahun 2000 yang medirancang oleh Park Sandara, seorang mahasiswa yang memenangkan lomba desain pada tahun yang sama,” dia memulai lalu membaca semua keterangan tentang galeri itu, mendapat berbagai reaksi berbeda dari teman-temannya atas setiap detail yang dia bacakan, kecuali dari Jiyong yang sepertinya berada pada dimensi yang berbeda – dia masih tenggelam dalam dunianya sendiri.

“Oooh, ini menarik,” kata Yongbae sambil terus membaca pamphlet. “Galeri ini dibeli oleh Leonardo da Vinci Korea,” katanya menyeringai bangga karena berhasil memperoleh perhatian Jiyong. “Leonardo da Vinci Korea?” tanyanya bingung pada teman-temannya yang balik menatapnya tanpa berkedip. “Apa kamu belum pernah mendengarnya?” tanya Seungri pada Jiyong yang menganggukkan kepalanya. “Kamu belum pernah mendengar tentang Choi Seunghyun?” tanya Chaerin mengkonfirmasi dan sekali lagi Jiyong mengangguk. Teman-temannya memandangnya tidak percaya, karena bagi seseorang yang bercita-cita untuk menjadi seorang pelukis, bagaimana mungkin dia tidak tahu tentang pelukis paling terkenal di Negara mereka.

“Belum pernah mendengar tentangnya,” kata Jiyong sambil mengedikkan bahu. “Serius? Apa kamu tidak pernah menonton TV?” tanya Yongbae. “Tentu saja aku menonton TV! Aku mencintai Spongebob!” bela Jiyong dan teman-temannya hanya bisa menepuk dahi mereka, “Apa? Toh hidup kami tidak berhubungan atau bagaimana, toh dia tidak akan mempengaruhi hidupku,” kata Jiyong mendecakkan lidah lalu berbalik dan meneruskan kegiatannya yang tadi tertunda – mengamati lukisan-lukisan yang ada di galeri. Ketiga temannya hanya bisa saling lirik sebelum akhirnya mengedikkan bahu dan mengikutinya berjalan ke eskalator.

Ada saatnya dimana jalan mereka hampir bertemu tapi mereka berjalan kearah yang sama, keduanya sama-sama memandang kedepan, tidak sabar akan masa depan. Mereka berjalan saling bersebelahan di jalan yang sama, seolah mereka tidak akan pernah bertemu, karena memang takdir belum menunjukkan jalannya.

 

 

 

Gadis itu menekan bibirnya menahan senyum kesenangan terkembang di bibirnya. Dia mengusap tangan prianya, membuat pria itu menghentikan kegiatannya dan itu membuat sang gadis semakin kesenangan. Pria itu melirik dengan tersenyum sambil mengelus tangan gadisnya – melupakan direktur galeri yang berjalan didepan mereka sedang mengatakan tentang urusan bisnis dan laporan statistik. Mereka berdua mencoba menekan tawa mereka begitu mereka naik eskalator. Dara melirik kesisi kirinya karena mendengar para siswa yang berdiri di eskalator lain berbicara bahwa mereka akan naik ke lantai dua galeri.

Seunghyun kembali mengelus tangan Dara sambil mengeluarkan tawa senang membuat gadis itu melirik pada tunangannya yang tampan. Mata Dara membulat meminta pria itu menghentikan apa yang sedang dia lakukan sekarang namun Seunghyun hanya mengedikkan bahu dan malah mengecup bibir gadis itu – membuatnya terkikik senang. Tangan Dara langsung menutupi mulutnya begitu direktur galeri menoleh pada mereka, mendelik kesal. Mereka berdua langsung berdiri membeku seperti murid sekolah yang sedang kena detensi. Begitu sang direktur berbalik, keduanya langsung tertawa pelan.

Seunghyun kemudian merangkulkan lengannya pada Dara dan menarik gadis itu semakin dekat padanya.

Jika orang-orang yang mengenal mereka ditanya, mereka pasti akan langsung mengatakan bahwa mereka berdua adalah pasangan yang sempurna, gambaran akan cinta sejati yang pasti membuat semua orang merasa iri. Choi Seunghyun dan Sandara Park selalu bersama sejak mereka bisa mengingat kisah mereka yang dimulai dari cerita sederhana. Seunghyun bertemu dengan Dara, Dara bertemu dengan Seunghyun, Seunghyun jatuh cinta pada Dara dan begitu juga Dara yang jatuh cinta pada Seunghyun dan mereka tetap saling mencintai setelah bertahun-tahun lamanya. Itu adalah hubungan yang sempurnya dan jika ditanya, Dara akan menjawab hidupnya seumpama kisah-kisah dongeng. Seunghyun adalah lelaki yang paling sempurna yang bisa gadis manapun harapkan. Bagi Dara mereka lebih dari sekedar kekasih, lebih dari sekedar belahan jiwa, dan tidak ada kata yang tepat untuk bisa mengungkapkan cinta mereka berdua bagi satu sama lain.

Sebuah senyum terbentuk di bibir Dara saat tanpa sengaja menyentuh cincin berlian yang tersemat di jarinya. Hanya dalam dua minggu lagi mereka akan menikah. Dia merasa hatinya dipenuhi kebahagiaan dan kadang hal itu membuanya sulit bernafas. Seunghyun menyadari tunangannya yang terdiam dan dia melirik cemas. Dara menggelengkan kepalanya sambil tersenyum lemah. “Aku mencintaimu,” ucapnya tanpa suara membuat Seunghyun tersenyum dan mengecup puncak kepala gadisnya. “Aku mencintaimu lebih lagi,” jawabnya. “Lebih dari yang kamu tahu,” tambahnya membuat bibir gadis itu mengembangkan sebuah senyuman.

“Saya mendengar tentang pernikahan Anda berdua Mr. Choi dan Ms. Park dan kami bermaksud menyelenggakan pesta untuk itu dan kami harap kalian bersedia datang,” kata sang direktur menatap keduanya. Dara tersenyum dan sejenak melirik kearah Seunghyun. “Tentu saja kami akan datang, dan kami sangat berterima kasih untuk hal itu,” kata Dara tersenyum dan dibalas oleh sang direktur sebelum dia berbalik dan melanjutkan menjelaskan tentang laporan statistik. Sebuah senyum terpatri di bibirnya merasa bangga akan kedua pasangan itu. Dia sudah mengenal mereka sejak Dara memenangkan lomba desain galeri ini dan Seunghyun membelinya pada anniversary mereka yang ketujuh. Dia menjadi saksi akan jalannya hubungan mereka yang tidak pernah gagal membuatnya percaya bahwa hubungan yang sempurna itu nyata adanya, bahwa cinta adalah hal teragung yang bisa dirasakan.

Mereka mungkin terlihat seperti tidak akan pernah saling bertemu, namun takdir memiliki caranya sendiri untuk mempertemukan mereka; dengan perlahan tapi pasti merajut jalan untuk mempertemukan mereka pada waktu yang tepat.

 

 

 

Para guru memanggili setiap murid karena mereka sudah akan meninggalkan tempat itu namun Jiyong masih saja berdiri didepan sebuah lukisan yang paling besar di galeri dan ditempatkan di tengah-tengah lantai dua – seolah lukisan itu merupakan jantung dari galeri. “Jiyong! Ayo pergi, kita bisa ketinggalan bis!” teriak Yongbae dan menghampirinya bersama dengan Seungri dan Chaerin. Jiyong tidak menyahut dan tetap diam ditempat, masih menatap lukisan raksasa didepannya.

“Jiyong ayo pergi, sebelu kami menyeretmu dari sini,” Chaerin memperingatkan, namun tidak ada tanggapan apapun karena Jiyong masih terus menatap lukisan seolah tidak mendengar apapun membuat gadis itu meringis. Jiyong menoleh kepada teman-temannya dengan cengiran lebar di bibir – persis seperti idiot.

“Aku jatuh cinta,” katanya masih menyengir bodoh. Teman-temannya memandangnya dengan tatapan ‘what-the-hell’ dan mulut menganga. Mereka jadi berpikir bahwa Armageddon dimulai – tanda-tanda kiamat sudah dekat. “Apa kamu sudah gila?!” cetus Yongbae histeris sambil mengacak rambutnya frustasi. “Apa kamu barusan kepalamu terbentur?!” Chaerin juga jadi histeris seperti Yongbae. “Jadi dimana gadis ini, kami akan berterima kasih padanya karena sudah membuatmu menelan kembali semua khutbah menjijikanmu itu?” tanya Seungri menoleh kekanan dan kekiri mencari gadis yang akhirnya menggugah kesadaran teman idiotnya ini.

Jiyong hanya tersenyum dan pandangannya kembali pada lukisan raksasa dihadapannya. Dia kemudian mengangkat tangannya dan menujuk pada lukisan. Teman-temannya saling pandang satu sama lain sebelum mengedikkan bahu, kemudian menoleh menatap lukisan raksasa yang ditunjuk Jiyong – yang masih saja tersenyum lebar. Yongbae memutar bola matanya sambil memukul keras kepala Jiyong. “Ouch!” rintih Jiyong mendelik marah pada Yongbae. “Kenapa kamu memukulku?!” semburnya sambil megelus kepalanya.

“Aku baru mau merayakan kamu menjadi akhirnya bisa menjadi normal setelah bertahun-tahun!” dengus Yongbae. “Apa? Aku normal!!” bela Jiyong. Yongbae yang kesal langsung merangsek maju menghampiri Jiyong, untungnya Seungri dan Chaerin cukup cepat menahannya sebelum dia bisa mnyentuh Jiyong.

“Katakan padaku, siapa orang waras yang akan jatuh cinta pada objek lukisan?!” sembur Yongbae pada Jiyong yang mengangkat tangan menyerah. “Apa? Sia cantik!” balas Jiyong. “Heck iya memang! Dia ini bidadari,” Yongbae mencoba membebaskan diri dari pegangan kedua pasangan itu. “For Pete’s sake, tenanglah!” teriak Chaerin membuat Yongbae berhenti memberontak dan menarik nafas panjang mencoba menenangkan dirinya. Dia menoleh pada gadis di lukisan yang berhasil menjerat Jiyong.

Dia memandangnya. Dan dia tidak bisa tidak mengagumi pelukis yang melukis lukisan raksasa nan cantik ini. Itu adalah lukisan seorang gadis yang sedang tertawa, lukisan bidadari yang sedang tertawa lebih tepatnya. Ada lingkaran emas di atas kepalanya, dengan tubuh dipenuhi ornamen berwarna emas. Dia mengenakan gaun putih cantik berenda, dengan sayap yang terkembang sempurna. Matanya mempesona, senyumnya bersinar, dan wajahnya adalah jelmaan sempurna dari kepolosan, kebahagiaan, dan kecantikan yang sesungguhnya. Dia duduk di tengah padang bunga, dengan kupu-kupu berwarna biru cerah mengelilinginya.

Jiyong benar, gadis dalam lukisan itu sungguh cantik, dia sanggup membuat jantung berhenti berdegup sesaat – itu jika dia memang nyata adanya. Yongbae memejamkan mata erat dan mengatakan pada dirinya untuk tetap tenang dan tidak membunuh pria bodoh yang berdiri disebelahnya – karena jujur saja, kesabarannya tidak lebih dari sejengkal.

“Tolong… tolong seret si bodoh ini dari sini sebelum dia bisa melamar lukisan ini.,” kata Yongbae frustasi dengan wajah tertutup telapak tangan. “Aku sama sekali tidak tahu apa masalahmu! Dia ini cantik! Dia sempurna! Siapa yang bisa menolaknya?! Aku bahkan terjatuh dalam mantranya!” teriak Jiyong – yang sebenarnya malah mempercepat proses kematiannya. “Kalau begitu minta si pelukis untuk mengeluarkan gadis ini dari imajinasinya, jadi kamu bisa diam,” balas Yongbae sarkastik membuat Jiyong memutar bola matanya.

“Yah! Kenapa kamu tidan meng–,” perkataan Jiyong terpotong oleh suara panggilan dari guru mereka. Mereka kemudian mulai berjalan menuju ke pintu keluar galeri – dengan Yongbae mengapit kepala Jiyong di ketiaknya, mencoba menyadarkan otak temannya yang sudah rusak itu, karena Jiyong malah menertawakannya meskipun perkataannya tadi itu serius. Dia jatuh cinta pada gadis dalam lukisan itu. Mungkin terdengar gila, namun dia sungguh jatuh cinta pada gadis itu dan dia memilih untuk berpikir bahwa dia bukan hanya sekedar lukisan – karena entah bagaimana dia bisa merasakan bahwa gadis itu nyata. Dia mungkin sama sekali belum punya bukti, namun intuisinya mengatakan gadis itu lebih dari sekedar lukisan.

“Apa menurutmu murid-murid itu menikmati kunjungan mereka ke galeri?” tanya Seunghyun menyandarkan punggungnya pada mobil hitamnya sambil menatap para murid yang sedang menaiki bus. “Tentu saja,” jawab Dara sambil tersenyum memeluk pinggang prianya dengan sebelah tangan. “Lukisanmu punya kekuatan magis, itu membuat orang-orang jadi bahagia,” tambahnya menatap langsung ke mata pria itu, tersenyum. Seunghyun mendaratkan sebuah kecupan singkat di bibir gadisnya membuat gadis itu tertawa senang. “Mereka tidak mendapatkan magis dari lukisan itu. Mereka mendapatkan cinta. Mereka mendapatkan kamu,” dia tertawa membuat gadis itu ikut tertawa. “Oh yeah, aku ingat. Kamu ini penguntitku, penguntitku yang sangat tampan,” balasnya sambil tertawa.

“Bagaimana kalau kita pergi sekarang, kita masih harus menemui planner atau sebaiknya kita langsung pergi ke gereja dan menikah?” Seunghyun tertawa sambil menyerahkan kunci mobil kepada Dara. “Yah!” protes Dara. “Kamu tahu kan, aku masih belum bisa menyetir dengan baik? Apa kamu ingin kita mati?” tanyanya cemberut. Seunghyun hanya mengacak rambut gadisnya lalu menarik tubuhnya mendekat untuk mencium bibirnya. “Kamu butuh latihan, lagi pula aku akan mendampingimu, jadi jangan terlalu cemas,” jawabnya sambil membukakan pintu mobil untuk gadisnya. “Serius?” tanya Dara ragu. Seunghyun mengangguk mengiyakan. “Dan lagi, aku akan selalu melindungimu… Aku tidak akan pernah membiarkanmu mati, meskipun aku harus mengorbankan nyawaku,” dia tersenyum manis membuat gadis itu membalas senyumnya dan mencium bibirnya. “Manis,” bisiknya sebelum masuk kedalam mobil.

“Bam! Sial, macet! Gara-gara ini aku akan ketinggalan kartun favoritku! Dasar macet bodoh, benar-benar bodoh,” gumam Jiyong mendengus kesal, menatap keluar jendela bus. Lengannya menyandar pada bingkai jendela dengan dagunya diletakkan di telapak tangannya, hanya bisa menunggu bus mereka bergerak – yang rasanya tidak mungkin sekarang. Dia mendesah saat merentangkan tangannya keatas menyandar pada sandaran tempat duduknya. Dia baru akan memejamkan mata saat sebuah suara ledakan terdengar, membuat seisi bus panik. “Tenang!” teriak guru mereka menenangkan semua orang.

Membutuhkan waktu hampir dua jam sebelum akhirnya mereka bisa bergerak dari tempat mereka. Jiyong masih mengarahkan matanya keluar jendela memandang salah satu kecelakaan paling tragis terjadi didepan matanya saat bus bergerak perlahan melewati penyebab macet. Dia menatap semuanya, media, garis polisi, reuk pemadam kebakaran, dan juga mobil yang terbakar – juga kerumunan orang.

Matanya menatap mobil yang terbakar. Dia merasakan dadanya sesak. Nafasnya berhenti tanpa sebab dan merasakan berton-ton emosi yang tidak bisa dijelaskan dalam dadanya. Dia mencengkeram dadanya dan merasakan jantungnya yang berdebar keras. Mungkin Yongbae benar, mungkin dia akan jadi hila karena sekarang air matanya mengalir dengan sendirinya karena rasa kehilangan yang nyata dihadapannya.

Dia menghapus air matanya dan tertawa. “Bodoh, kamu bahkan tidak mengenal mereka,” bisiknya pada dirinya sendiri sambil menyandarkan tubuhnya dan memejamkan mata.

Mereka berdua terhubung oleh benang yang tidak akan bisa dirusak. Takdir mereka saling terjalin. Jiwa mereka terhubung dan sekarang takdir memutuskan bahwa tinggal menunggu waktu hingga akhirnya mereka bertemu.

 

 

~ TBC ~

Prolog 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 Epilog FN

65 thoughts on “How to Save a Life [Part #1] : Connected

  1. Klakuan jiyong ngbkin senyum2 ndri hahaha ampun dah..Kekekeke
    Tp sukaaa …
    Jiyong ma dara udh trikat , takdir mreka unt brsma.. betewe cp yg kcelakaan bang tabi kah?? ugghh tabisan sweet tp klo bner dia kcelakaan ..jd syediihhhh
    Next ahhh..

Leave a comment