MEA CULPA [Chap. 15]

Author : Aitsil96

Aku memutuskan untuk menunggui Dong Hae di halaman depan setelah berpamitan pada Min Ri. Aku tak tahu perasaan aneh apa yang aku rasakan semenjak wanita paruh baya itu menatapku dengan pandangan sulit diartikan beberapa saat lalu. Mata teduhnya menatapku nanar, seolah menjadi penghubung antara sesuatu hal di masa lalu yang sama sekali tak bisa ku mengerti. Aku tahu bahwa sebelumnya Min Ri dan Hye Mi adalah teman dekat.

Mungkinkah… selama ini ada sesuatu hal yang tidak aku ketahui? Namun apa? Seberapa keras aku mencoba berpikir, namun perubahan besar yang terjadi pada Hye Mi dimulai semenjak empat tahun lalu. Semenjak appa sakit keras lalu meninggal. Saat di mana aku masih menjadi siswi di sekolah menengah atas dan sibuk dengan kegiatan sekolah hingga mengharuskan aku datang di pagi buta lalu pulang saat malam menjelang.

Mungkinkah ada hal lain yang tak sengaja aku lewatkan saat itu?

Aku hanya bisa menghela napas seraya mengeratkan sweter. Udara di Busan malam ini luar biasa dingin dengan angin malam yang berhembus cukup kencang. Percuma saja aku berpikir keras jika bahkan aku sama sekali tak memiliki jawaban untuk segala pertanyaan bodohku. Membuang-buang waktu saja.

Mataku mengedar, menatap sekeliling halaman yang cukup luas ini, namun kehadiran Dong Hae belum juga nampak. Lama sekali pria itu. Memangnya berapa banyak bahan makanan yang harus ia beli? Dan mengapa ia tak mengajakku? Aish, padahal aku juga ingin ikut untuk membeli beberapa camilan. Haruskah aku menunggunya di bangku yang berada di bawah lampu jalan itu?

Baru saja aku bergerak selangkah, namun tiba-tiba pergerakan lain menginterupsiku hingga membuat aku memekik tertahan. Mataku membelalak, menyadari bahwa orang yang menarikku bukanlah pria yang tengah ku tunggu.

“Dara-ssi?”

Deg!

Suara ini…?

“Ji Yong-ssi?”

Dengan satu gerakan cepat tangan pria itu menarikku, membawaku hingga berada dalam pelukannya. Astaga, apa-apaan ini?!

“Aku mungkin telah gila, namun… bisakah aku mengatakan bahwa aku merindukanmu?”

Pernyataan sinting!

Mataku membelalak lebar dengan tubuh yang luar biasa kaku. Sangat sulit bahkan untuk bergerak dalam dekapan hangatnya. Tunggu, hangat? Apa yang sebenarnya terjadi padamu, Park Sandara? Aku mungkin kini mulai gila karena secara tidak sadar mulai menikmati sentuhannya.

Setelah mengumpulkan kesadaran penuh aku baru menyadari bahwa Ji Yong makin mengeratkan lingkaran tangannya melingkupi tubuhku. Sebenarnya apa yang terjadi pada pria ini? Mungkinkah ia sedang mabuk?

Aku mencoba melepaskan pelukannya dengan meronta beberapa kali hingga memukuli dadanya, namun dengan sintingnya ia makin mendekapku erat. “Lepaskan aku, Ji Yong-ssi!”

“Jika aku melepasmu, maukah kau kembali padaku?”

“Kembali… apa yang kau maksudkan?”

“Kembali. Padaku. Tinggalkan kekasihmu.”

Deg!

“Kau gila!”

Dengan satu gerakan cepat aku menarik tubuhku saat Ji Yong lengah dan membuat pelukannya melonggar. Aku menatap pria sinting di hadapanku tersebut hingga pada akhirnya mata kami bersitemu. Ada kilatan tak biasa saat manik kelam itu memantulkan kilau cahaya terang bulan purnama. Kami terdiam beberapa saat dengan keheningan canggung yang menyelimuti.

“Kita bahkan tak pernah memulai suatu hubungan.”

“Aku tahu.” Dengan santainya pria itu berucap seraya meraih tanganku. Menggenggamnya erat dengan manik yang masih menatap lurus ke arahku. “Tapi aku tak ingin kau pergi dariku seperti ini. Bukankah telah aku katakan sebelumnya bahwa aku selalu ingin kau berada dalam jarak pandangku?”

“Hentikan pemikiran bodohmu, Ji Yong-ssi! Aku telah memiliki Dong Hae.”

“Persetan dengan kekasihmu!”

Pria itu tak segan-segan untuk membentak tepat di hadapan wajahku. Tangannya beralih pada bahuku dan meremasnya dengan cukup keras hingga membuat dahiku mengernyit, menahan rintihan akibat kelakuan tak terkendalinya.

“Aku hanya ingin kau selalu berada di dekatku, Dara-ssi.”

Aku hanya bisa menghela napas resah melihatnya yang mulai melembut. Emosinya saat ini sangat benar-benar tidak stabil. “Pulang dan beristirahatlah. Kau mungkin tengah mabuk.”

Ani. Aku sepenuhnya sadar saat ini.”

“Lalu pergilah. Kau hanya menyia-nyiakan waktumu di sini.”

Shireo!”

Mwo?”

“Aku tahu kau merasakan hal yang aku rasakan.”

Pria itu mendekat beberapa langkah ke arahku hingga membuatku otomatis mundur teratur. Aura di sekujur tubuh pria itu berbeda. Entah perasaanku yang salah dan mengada-ada, namun aku bisa merasakan hawa tak biasa saat ia makin mendekat ke arahku hingga membuatku ingin menjauh darinya dan…

“Aw!”

Grep!

Aku sempurna menahan napasku. Hampir terjatuh akibat sebongkah kerikil saat aku tengah mengupayakan diri untuk melarikan diri, namun Ji Yong dengan sigap menangkapku. Tangan kokoh pria itu kembali menyentuhku, melingkari pinggang dengan jarak yang tak berarti di antara kami.

Tubuh kami bersentuhan. Dari jarak pandangku, aku bahkan bisa melihat dan berhadapan langsung dengan wajah rupawannya. Sedikit saja aku bergerak maka ujung hidung kami akan bersentuhan. Deru napas hangat pria itu bahkan menyapa di permukaan wajahku.

Astaga, posisi sinting macam apa yang kini tengah terjadi?

“Ji… Ji Yong-ssi?”

“Kau bahkan tak menolak sentuhanku. Lalu untuk apa kau mengelak?”

Napasku makin tercekat saat menangkap adanya seringaian di ujung bibir penuhnya. Sedetik kemudian aku hanya bisa memejamkan mata. Tepat sesaat sebelum merasakan hembusan napas Ji Yong makin menerpa wajahku dengan pria itu yang memperkecil jarak di antara wajah kami.

Ya. Aku mungkin saat ini sudah gila, dan tololnya aku hanya ingin menikmati kegilaan ini.

“Dara-ya?”

Deg!

Suara lembut nan sangat familiar itu sempurna menginterupsi. Suara yang juga mampu membuat nyawaku seolah tertarik penuh meninggalkan ragaku yang masih mematung. Manikku membelalak lebar, dan kini aku hanya berharap bahwa pemandangan sesosok pria lain yang berjarak tak jauh dariku hanyalah sebuah ilusi belaka.

“Lee… aku…”

*****

“Bagaimana keadaanmu?”

Tangan ringkih itu bergerak pelan. Mengusap permukaan benda yang kini berada dalam genggaman. Benda kotak dengan keempat sudut lancip yang dikenal sebagai bingkai foto. Benda itu tak terjamah cukup lama, terlihat dari debu di permukaan yang kini tengah berusaha dihapus oleh sang pemilik. Choi Min Ri.

“Kau baik-baik saja, kan?”

Lengkungan senyum tulus mengembang di wajah yang tak lagi muda namun masih terlihat cantik itu. Ia terus betah bermonolog. Seolah seseorang dalam foto tersebut dapat menjawab segala ucapannya. Ada getar tak biasa di sana. Getar kesedihan yang setengah mati ditahan oleh wanita paruh baya itu. Cukup lama, bahkan mungkin terlalu lama untuk ia pendam seorang diri selama ini.

“Maaf bila aku tak pernah mengunjungi tempat peristirahatanmu.”

Pandangan yang selalu menyorotkan ketenangan itu kini mulai mengabur. Air mata menggenang tanpa seizinnya yang membuat ia hampir terisak lagi seperti saat itu. Ya. Saat-saat dimana ia tak bisa mengendalikan akal sehatnya demi sebuah perasaan bodoh yang sialannya masih dipendamnya hingga saat ini. Perasaan yang tak akan pernah tergantikan. Perasaan tulusnya yang hanya tertuju untuk satu orang pria dalam foto yang kini ia pandangi bagai orang dungu.

“Jika aku tahu kesalahan kita akan berakibat seperti ini, mungkin lebih baik jika aku terus mengalah.” Gemetar dalam suara paraunya tak bisa lagi dibendung. Min Ri sempurna terisak dan kembali larut pada kilasan memori beberapa tahun silam. “Maaf. Maafkan aku.”

Sejujurnya ia sudah lama tak menangis. Ia juga tak ingin seperti ini. Benar-benar terlihat menyedihkan. Bagaimana jika Dong Hae tahu? Terlebih kini di rumahnya juga tengah hadir seorang gadis yang amat dikasihi oleh putranya tersebut. Gadis yang kehadirannya beberapa saat lalu seakan mampu melemparnya lagi ke masa lalu dalam sekejap mata.

Selama ini ia telah mencoba menahan, menerima kenyataan, serta mengikhlaskan segala kenyataan keparat yang menimpanya, namun perasaan itu kembali menerpanya. Kali ini sebuah perasaan lain. Perasaan bersalah disertai dosa masa lalu yang ia pendam seakan memenjarakan dirinya dalam labirin yang tak ia mengerti kemana arah jalan keluarnya. Min Ri sempurna terjebak di sana. Seorang diri dengan segala penyesalan yang tak kunjung padam.

Seiring dengan ia yang larut dalam segala kilasan memori bersama hembusan angin malam yang masuk dari celah gorden kamarnya, dering ponsel berbunyi di detik berikutnya. Nama yang tertera di sana membuat maniknya tertegun cukup lama. Mungkinkah ada yang salah dengan indera penglihatannya?

*****

“Lee… aku…”

“Apa yang kau lakukan dengannya?”

Sandara kehilangan kata-katanya. Suara parau dengan getar kegugupan tak bisa lagi disembunyikannya. Dong Hae memergokinya. Melihat dengan mata kepalanya sendiri saat ia hampir terlena dan dengan pasrah menerima segala sentuhan serta perlakuan manis Ji Yong padanya.

Gila! Ini bahkan jauh lebih parah dibanding kata tak waras! Situasi sinting macam apa yang kini menimpanya?

“Apa yang kau lakukan… dengan pria ini?”

Ada nada mengancam dari suara yang biasanya menenangkan itu. Meminta jawaban yang tak kunjung didapat membuat derak menakutkan pada rahang pria itu. Giginya bergemeletuk dengan kedua tangan yang mengepal erat. Belanjaan yang telah terjatuh pada tanah bahkan telah ia hiraukan keberadaannya.

Dong Hae sempurna mematung dengan pandangan lurus terarah pada gadisnya. Gadis yang kini berada nyata di hadapannya, namun dengan seorang pria lain di sampingnya. Pria yang sama sekali tak dikenalnya. Sintingnya ia menyaksikan sendiri saat dua orang di hadapannya ini hampir… ah, sialan! Dong Hae bahkan tak sanggup membayangkan kejadian yang mungkin terjadi jika dirinya tidak segera datang.

“Lee, jangan salah paham. Aku…”

“Jawab pertanyaanku, Dara-ya.”

Dong Hae berucap pelan, namun menusuk. Sandara tahu emosi telah melingkupi prianya. Lalu… apa memangnya yang dapat ia lakukan jika ia sendiri bahkan yang menjadi sumber dari kemarahan Dong Hae?

Geurae. Tapi kau tenang dulu, Lee.”

“Jawab pertanyaanku, Park Sandara!”

Deg!

Sandara sempurna menghentikan pergerakannya yang hampir berjalan selangkah ke arah Dong Hae demi menenangkan pria itu. Hatinya mencelos. Mendengar bentakan Dong Hae membuat tubuhnya serasa kebas bukan main. Pria itu tak pernah meneriakinya. Sekalipun tidak pernah. Mendengar Dong Hae memanggil secara lengkap namanya membuat tubuhnya hampir limbung.

Ini pertama kali Dong Hae memanggilnya dengan cara seperti itu, dan Sandara benar-benar benci ketika mendengarnya.

“Siapa dia?”

“Berhenti meneriakinya dengan cara seperti itu! Kau membuatnya takut.”

Bukan Sandara, namun kini Ji Yong yang bersuara. Pria itu melangkah lebih dekat dan berakhir dengan melindungi tubuh Sandara di balik punggungnya. Gesture tangannya menyiratkan agar sang gadis tetap berdiri di sana. Ia tahu Sandara tengah merasa terguncang dan tak mungkin gadis itu bisa menjawab di saat situasi seperti ini. Manik hazel itu menyiratkan segalanya, dan Ji Yong mengerti.

“Kau siapa? Berani sekali kau berkata seperti itu padaku.”

“Tak penting aku ini siapa bagimu. Yang jelas jangan memperlakukan Dara dengan kasar seperti itu, Tuan Lee.”

Dong Hae makin menggertakan rahangnya dengan kerutan di keningnya yang menandakan kebingungan. Apa-apaan pria ini?! “Kau punya hak apa atas dirinya? Aku kekasihnya.”

“Lalu jika kau kekasihnya maka kau berhak memperlakukannya dengan cara tak pantas seperti itu?”

“Kau!”

“Aku kemari untuk menjemput Dara kembali ke Seoul.” Ji Yong berucap santai, memotong ucapan Dong Hae yang hampir mengumpat kasar padanya.

“Apa maksudmu?”

“Ibunya yang mengirimku.”

“Ibunya…?” Seolah bergerak lambat, otak Dong Hae bahkan tak mampu mencerna kalimat Ji Yong barusan. “Tapi… kau siapa? Apa hakmu membawa Dara?”

Kajja.”

Tanpa mempedulikan pertanyaan Dong Hae, Ji Yong dengan lancang segera bergerak dan menuntun Sandara agar mengikutinya. Sang gadis tentu saja hanya bisa menurut bak anak kucing saat seseorang menariknya tiba-tiba. Saat ini pikirannya benar-benar kalut sehingga ia tak bisa lagi untuk berpikir jernih. Ia terlalu kaget dengan situasi yang tengah terjadi.

“Berhenti di sana! Kau tak bisa membawa Dara seenaknya seperti itu.”

Ji Yong yang menghentikan langkahnya segera menoleh pada Dong Hae melewati bahunya. Menampilkan seulas senyum mengejek yang hampir membuat Dong Hae melayangkan tinjuan pada wajah menyebalkan itu sebelum ia berucap, “Meskipun kau kekasihnya, namun kau juga tak bisa membawanya semaumu kemari. Ibunya mengkhawatirkannya. Mereka harus segera bertemu.”

“Tahu apa kau tentang kehidupan Dara? Siapa kau sebenarnya?”

“Dong Hae-ya?”

Satu suara yang menginterupsi membuat ketiga orang di sana menolehkan kepalanya ke arah yang sama.

Eomma?”

“Ada ribut-ribut apa ini?” Min Ri bertanya seraya merapatkan mantelnya. Udara malam yang dingin membuat tubuh yang tak lagi bugar itu hampir menggigil hingga ke tulang.

“Pria ini…”

Annyeonghaseyo. Maaf jika kehadiranku membuat tak nyaman, namun aku kemari untuk menjemput Dara.” Ji Yong membungkuk hormat setelah memotong ucapan Dong Hae.

Eomma, ia bahkan bukan orang yang aku kenali.”

“Siapa namamu, Nak?”

Hampir mengantisipasi pergerakan Min Ri yang mendekat ke arahnya dan Sandara, namun kini Ji Yong hanya bisa tertegun selama beberapa detik sebelum berdeham dan berucap pelan, “Aku… Ji Yong. Kwon Ji Yong.”

“Ada urusan apa hingga kau harus menjemput Dara kemari? Ia bahkan baru tiba tadi sore. Mungkin Dara masih lelah.”

“Aku harus membawanya. Sekarang. Ibunya mengkhawatirkannya.”

“Benar Hye Mi yang mengutusmu kemari?”

Ji Yong menatap lurus pada Min Ri demi meyakinkan ucapannya. “Ne. Kau bisa menghubunginya jika tak percaya dengan ucapanku.”

Geurae. Tapi kau harus berjanji untuk mengantarkan Dara dengan selamat, Ji Yong-ssi.”

Eomma!”

Gwaenchanna. Dara mungkin akan mengalami banyak masalah jika terus di sini tanpa seizin ibunya.”

Min Ri menoleh pada putranya dan memberikan isyarat agar ia mengerti. Dong Hae ingin berbicara lebih jauh, menahan kepergian gadisnya yang saat ini akan dibawa oleh pria lain yang sama sekali tak dikenalnya. Benaknya dipenuhi pertanyaan berseliweran. Tentang siapa sebenarnya pria yang bernama Ji Yong itu, hubungannya dengan Sandara, lalu mengapa ibunya dengan mudah mengizinkan Sandara untuk dibawa pria sialan itu?

Namun sekeras apapun ia mencoba untuk berpikir, keputusannya untuk membawa Dara tanpa seizin Hye Mi juga tak bisa dibenarkan begitu saja. Pria itu hanya bisa menggeram tertahan dan mendengus kasar. Sialan! Benar-benar sialan! Ia benci jika dirinya sendiri bahkan tak berdaya untuk melindungi gadisnya seperti ini.

“Bukan aku tak ingin kau tinggal di sini lebih lama, tapi izin ibumu lebih penting dibanding apapun, Dara-ya.” Min Ri mendekat, tersenyum hangat ke arah Sandara seraya mengelus lembut pundak sang gadis. “Ku harap kau mengerti.”

Sandara yang sedari tadi diam seribu bahasa akhirnya hanya bisa menatap sendu pada Min Ri. Seolah setengah nyawanya masih berkeliaran di alam lain, gadis itu hanya bisa mengangguk patuh dengan senyum getir yang terkembang. “Arrasseo, Eommonim.”

“Biar Dong Hae yang ambilkan barang-barangmu, Dara-ya.”

Aniyo, gwaenchanna. Biar aku yang ambil sendiri.”

.
.
.

To be continued…

*****

Mian untuk menggantung cerita ini terlalu lama. Authornya lagi sok sibuk sama kuliah semester akhir dan baru beres kkn. Hope you still enjoy and leave an appreciation, guys!!

5 thoughts on “MEA CULPA [Chap. 15]

  1. Aaahh, si jiyong nekad amat sampe nyamperin dara segala dan pke peluk2 segala lg. Yg sabar ya donghae.
    Knpa ibunya doghae punya rasa bersalah? Apa ada sngkut pautnya sama ibubya dara atau keluarganya?
    Nxt chp ditunggu scptnya^^

  2. Ini kayanya Donghae sodara tirian sama Dara yaa? Kayanya dulu papanya Dara selingkuh sama Minri terus punya anak Donghae? Wkwk maafkan kesotoyankuuu 😅
    Pokonya seneng Dara dibawa Jiyong, biar makin lengket merekaaaa ehehe
    Fighting author! 💙

  3. Widiw boleh juga ni si jiyong smpe nyamperin dara ke rumah donghae, penasaran aku sma crita ibunya donghae psti ad suatu alasan yg smpe buat eomma dara kaya gituuu.

  4. Omo. Omo..
    Ada rahasia apa nih.. Tmbah penasaran..
    Kyaknya rahasia ny bersangkutan sma kelakuan omma nya dra sekarang deh.. Yg suka berondong itu..
    D tunggu chapt selanjutnya thor
    Fighting.. 🙌🙌

Leave a comment