The King’s Assassin [39] : A Night To Remember

ka

Author :: silentapathy
Link :: asianfanfiction
Indotrans :: dillatiffa

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~  

 

Setelah memeriksa area sekeliling dan memastikan bahwa sudah aman bagi mereka untuk pergi, Jiyong memerintahkan sebagian pasukannya untuk mengawal keluarga di dalam kereta ke klinik. Dia kemudian mengutus dua orang lainnya untuk melaporkan kejadian ini kepada Seunghwan agar Eunuch-nya itu segera membuat laporan tertulis. Namun Dara masih tidak sadar dan hari kian gelap. Harang lalu memutuskan untuk menawarkan rumah Master Wu di gunung jadi mereka bisa beristirahat sembari menunggu Dara siuman.

Jiyong teringat ketika dia harus tinggal di rumah itu. Siapa yang akan menyangka bahwa tempat itu akan menjadi tempat singgahnya untuk kedua kalinya.

“Makan dan istirahatlah. Kita akan segera pergi besok pagi-pagi sekali,” katanya kepada pasukan.

“Jeoha, saya akan merawat Komandan. Saya akan mengambil baskom dan kain.” Kata Harang, JIyong hanya mengangguk.

“Saya akan membantu Harang, Jeoha,” ucap Hong membuat alis Jiyong berkerut dan menatap tajam pria itu.

“Duduklah anak muda! Tetaplah di dalam tenda. Aku memilihmu untuk bertanggung jawab atas mereka. Aku pergi dulu,” katanya sebelum meninggalkan lapangan dan berjalan menuju ke dapur di mana Harang berada.

“Noona pasti merasa sangat kacau sampai dia pingsan. Jika Anda melihat bagaimana dia saat membunuh orang-orang itu, Anda pasti tidak akan berpikir itu noona. Saya bahkan sampai berpikir dia kesurupan,” Harang menggeleng-gelengkan kepalanya sambil mengisi baskom dengan air.

“Kalau begitu kenapa kau mengatakan padanya apa yang kaulihat?”

Harang mendesah sebelum menatap sang Pangeran. “Saya tidak ingin dia hancur jika sampai sesuatu terjadi pada Anda. Dia menyalahkan dirinya saat keluarganya terbunug. Dia berkata dia merasa sangat lemah hanya bisa menyaksikan keluarganya dibantai. Anda pikir… jika sesuatu terjadi pada Anda kali ini, dia akan memaafkan dirinya?”

“Aku baik-baik saja. tidak akan ada yang terjadi,”

“Jika kami tidak sampai Anda pasti sudah terluka sekarang. Atau lebih buruknya lagi… mati,” kata bocah itu membuat Jiyong merinding. Dia tidak pernah melihat Harang seserius ini.

“Aku tidak akan membiarkan hal itu terjadi. Aku tidak akan pernah meninggalkan Dara,”

“Anda tidak memiliki hidup Anda. Hanya langit yang tahu. Dan Anda bisa dengan mudahnya berkata seperti itu karena Anda tidak ada saat noona kacau. Master Wu… saya… khususnya Ilwoo hyung, dia ada. Noona berkali-kali mencoba bunuh diri dan jika bukan karena Ilwoo hyung yang menghentikannya, dia tidak akan ada bersama Anda sekarang.” Kata bocah itu.

“Kenapa Ilwoo tiba-tiba dibawa dalam pembicaraan ini?” bentaknya pada Harang.

“Karena dia pria baik. Dan saya tidak tahu apa yang membuatnya tiba-tiba berubah. Saya tidak mengenalnya lagi. Tapi yang saya tahu itu semua berawal sejak Anda membawa noona.” Bahu Harang melemas, dia mengusap setetes air mata yang mengalir turun di pipinya.

“Harang…”

“Saya sangat lelah, Jeoha. Berlari ke sana-ke mari. Mengitu perintah. Melihat apa yang akan terjadi dan melihatnya menjadi kenyataan. Saya tidak menginginkan kemampuan ini lagi. Ini justru kutukan.” Bocah itu mulai menangis. “Saya tidak tahu saya harus pergi ke mana lagi,”

“Harang…” Jiyong duduk di sebelah bocah itu dan menepuk bahunya. “Kau ini anak yang kuat. Kau orang yang baik. Dan jujur saja kukatakan padamu, saat pertama kali kita bertemu, aku langsung kesal padamu karena kau jauh lebih baik dariku dalam banyak hal.”

“Menurut Anda begitu?”

“Tentu saja…” sang Pangeran tersenyum. “Kuharap kau juga bisa melihatku sebegai seorang teman. Kuharap kau juga akan berada di sisiku sebagai salah seorang kepercayaanku. Kau adalah orang yang layak untuk dipertahankan, Harang. Meskipun aku tahu kesetiaanmu hanya untuk Master Wu, Ilwoo, dan Dara, tapi aku tahu suatu hari nanti aku juga pasti akan mendapatkannya. Aku akan berusaha keras,”

“Kita sudah berteman,” Harang meyakinkan. “Tapi kadang-kadang Anda bersikap tidak masuk akal dan tidak adil,”

“Haruskah kita berdebat soal ini sekarang, saat seharusnya kita merawat Dara?” cibir Jiyong.

“Anda saja yang merawatnya, Jeoha,” putus Harang kemudian berdiri. “Saya yakin kita akan benar-benar berdebat saat Anda melihat saya melepas pakaian noona.”

“Kau tidak mungkin berani melakukannya!!!” Jiyong mendelik pada Harang.

**

Berita segera dikirimkan oleh Seunghwan kepada Seunghyun dari Utara sampai ke Ibukota, dan begitu diterima, dia tidak membuang-buang waktu dan segera melaporkannya kepada Raja. Raja dan Ibu Suri kaget mendengarnya dan segera memerintahkan untuk menggulingkan Gubernur Provinsi Utara. Melalui Sekretariat Kerajaan, Seunghyun mengumumkan titah Raja agar tidak menerima perintah apa pun dari Gubernur Provinsi Utara. Seunghyun bekerja dalam waktu singkat dan membuat beberapa salinan pengumuman untuk diserahkan pada pasukan yang akan menyusul Pangeran ke Utara malam itu.

Menteri Kim memutuskan untuk menunggu Dara dan Pangeran tiba untuk menyampaikan maksud dan rencananya, namun dia tahu dia harus mulai lebih berhati-hati. Dia menyadari beberapa orang mengikutinya hari itu sehingga hampir tidak mungkin baginya untuk bisa berkomunikasi dengan Master Wu. Bahkan Lady Gong menerima tugas besar sehingga menyulitkannya datang ke Istana Selatan meskipun ada sang Putri di sana.

Namun yang paling parah dan tidak terduga justru terjadi pada Seungri. Hari itu, dia mulai menerima perlakuan dingin dari teman-temannya di Sungkyunkwan dan seniornya yang menjadi kepala siswa, Xin, mulai memperlakukannya dengan buruk. Untuk saja Profesor Kepala adalah teman dan mentor Profesor Choi serta Profesor Dong selalu ada untuk mendukungnya.

Saat itu sudah malam saat Seungri memutuskan untuk menemui Chaerin. Sudah berhari-hari lamanya. Hampir seminggu, sejak terakhir kali mereka bertemu. Dan Tuhan tahu pasti bertapa rindunya Seungri pada gadisnya itu. Dia memastikan semua orang sudah tertidur saat dia keluar secara diam-diam dari kamarnya di universitas.

Dia tengah dalam perjalanan ke Lotus Hoise saat dia merasakan kehadiran orang lain di sekitarnya, mengikuti langkahnya. Dia menoleh, tapi tidak ada siapa pun. Dia mulai waspada.

Seungri kembali melanjutkan langkah perlahan, menunggu seseorang menyerangnya namun tidak ada apa pun. Dia memutuskan untuk membuktikan firasatnya. Dia mempercepat langkahnya dan saat dia mendengar suara gesekan rumput, dia memejamkan matanya.

Dia telah diikuti. Dan dia tidak akan pernah rela membahayakan keselamatan Chaerin – siapa pun itu yang mengikutinya.

Akhirnya Seungri memutuskan untuk kembali, perasaannya masih merasa tidak nyaman, dingin menjalari tubuhnya, tenggorokannya serasa terganjal saat dia berbalik arah. Dia mulai berjalan cepat namun tiga orang pria muncul dari kegelapan, menghalangi jalannya dan hanya dengan sekali lihat, Seungri tahu mereka adalah budak.

Memakai pakaian compang-camping, potongan rambut pendek, mereka berjalan mendekati Seungri dengan bertelanjang kaki dengan sikap mengancam. Seungri menelan ludah berat.

“K-k-enapa… ini sudah larut. Apa yang kalian lakukan di sini?” dia mencoba terdengar berani.

“Apakah kami bisa menanyakan hal yang sama, Tuan?” salah satu dari mereka bertanya.

“Permisi, aku harus pergi ke suatu tempat,” katanya sambil mencoba melewati mereka, namun salah satu dari mereka dengan cepat memegang lengannya dan memutarnya ke belakang.

“AAAAAAH! SIAPA KALIAN SEBENARNYA? APA YANG KALIAN INGINKAN???” teriaknya kesakitan, merasa seolah lengannya mulai lepas.

“Maaf, Tuan Lee. Tapi Anda terlalu banyak ikut campur akhir-akhir ini. Terlalu banyak yang telah Anda lakukan untuk memuaskan rasa penasaran Anda, dan sekarang lihat apa akibatnya?”

“LEPASKAN AKU! KALIAN AKAN MEMBAYAR UNTUK HAL INI!”

“Tidak sampai Anda berjanji untuk menjaga sikap. Haruskah kami mematahkan tangan Anda sampai Anda tidak bisa menulis lagi? Atau… kami harus memotong lidah Anda sehingga Anda belajar bagaimana caranya menutup mulut?”

Seungri mulai gemetaran memikirkannya, namun seketika itu juga dia memahami sesuatu. Dia akhirnya mengetahui siapa yang ada di balik hal ini.

Siapa yang ingin menutup mulutnya?

Seungri menggertekkan gigi. Apakah Penasehat Choi sudah tahu tentang dirinya yang diam-diam melakukan penyelidikan?

“Penasehat Choi… dia yang ada di balik ini, bukan begitu?” Seungri melirik penyerangnya dan menyeringai. “Aku tahu itu. Dasar pria tua licik,”

“Sepertinya anak muda ini memiliki lidah yang tajam,” salah seorang dari mereka berkata pada temannya. “Sepertinya kita harus memilih pilihan kedua,” pria itu menyeringai pada Seungri yang langsung di dorong ke tanah dan pria itu mengeluarkan belatinya.

“Teman-teman Anda harus melihat keadaan Anda seperti ini. Dengan begitu mungkin mereka akan belajar… bagaimana menurut Anda?”

“Berapa banyak dia membayar kalian? Aku mengerti, kalian telah menjual jiwa kalian kepada iblis,” Seungri meringis namun dalah hatinya dia sebenarnya merasa takut. Benarkah hal ini terjadi padanya?

“Katakan saja apapun yang ingin Anda katakan, karena besok saya yakin Anda tidak akan bisa berani bicara seperti ini, Tuan Muda!”

Seungri memejamkan matanya, melawan orang-orang ini rasanya tidak mungkin. Sia-sia saja. Dia merasakan langkah pria itu mendekat, dia sudah bisa merasakan darahnya mengalir deras seiring dengan jantungnya yang berdebar keras dalam dadanya. Dia pun merasa bernafas juga adalah hal yang sia-sia. Tapi kemudian pria itu berhenti di tempat dan terdengar suara desing memecah hening malam. Seungri mendengar suara erangan dan merasakan pegangan pria di belakangnya mengendur dan kemudian dia terbebas.

Seungri membuka matanya dan dia hanya bisa terkesiap saat melihat pria di hadapannya muntah darah dengan luka tebasan di leher. Matanya melebar saat mendengar suara tarikan nafas bersamaan dengan pedang dicabut dari kulitnya.

Seungri ketakutan. Siapa itu? Siapa yang melakukannya?

Seungri menoleh ke kiri dan pria penyerangnya tadi sudah berlumuran darah dengan mata melebar, sekarat, sebuah belati masih tertancap di lehernya. Pria di belakangnya juga mengalami hal yang sama, dengan kaki lemas, Seungri melangkah mundur.

Dia kembali menoleh ke kiri dan menyadari seorang pria berpakaian serba hitam dan penutup wajah menatap tajam ke arahnya, pedangnya masih belum dimasukkan kedalam sarungnya, masih meneteskan darah segar.

“S-s-iapa kau?” Seungri mencengkeram dadanya. Dia serasa ingin pingsan melihat mayat-mayat di hadapannya, belum lagi rasa takut yang menggerogotinya pelan-pelan.

Namun pria itu tidak menjawab. Malahan dia memiringkan kepalanya ke arah lain, ke arah Sungkyunkwan sambil mengembalikan pedangnya ke dalam sarungnya. Seungri menelan ludah berat dan perlahan berjalan menyamping, tidak berani mengalihkan pandangan dari pria itu – yang entah teman atau musuhnya.

Dan begitu berhasil membuat jarak yang cukup aman, Seungri langsung berlari sekuat tenaga kembali ke universitas, berlari lebih cepat daripada seekor kuda.

Dan sejak saat itu, seperti yang terjadi tujuh tahun yang lalu, malam ini juga akan terus dia ingin sepanjang hidupnya.

**

*PERINGATAN: YANG DI BAWAH UMUR, MUNDUR. MBAK AUTHOR (dan jangan lupa yang ngetrans juga) MALU*

Merasakan udara dingin menyentuh kulitnya, Dara terkesiap dan matanya langsung terbuka lebar, yang langsung di sambut dengan pemandangan yang sudah sangat dia kenal.

Kamarnya di rumah Master Wu. Dia mencoba untuk bangun namun kepalanya mulai sakit dan seketika itu juga kilasan-kilasan dari pertarungannya tadi dengan para penyerang Pangeran bermunculan di matanya.

Lima… delapan… sepuluh… dua puluh… dia tidak ingat berapa banyak mayat-mayat yang mengelilinginya di bukit itu dan dia merinding memikirkannya.

Dia telah membunuh orang-orang itu.

Dia membunuh demi Jiyong.

Dan hanya dengan memikirkan itu, dia hampir merasakan jiwanya lepas dari tubuhnya lagi. Sejak kapan dirinya menjadi serumit ini?

Dara memeluk tubuhnya merasakan dingin yang dibawa oleh angin dan menyadari dia hanya berbalut pakaian dalamnya saja. Matanya melebar. Dia segera meraih selimut dan menutupi tubuhnya dan sebelum dia sempat menemukan pakaiannya yang berlumuran darah, pintunya bergeser dibuka.

Jiyong.

“Sepertinya… kau sudah bangun,” sang Pangeran menyipitkan matanya pada Dara sambil meletakkan baskom dan selembar kain di lantai. Dia duduk di sebelah Dara dan mendorong gadis itu kembali berbaring di kasur tipis dan sesaat itu Dara memiliki keinginan yang sangat besar untuk memeluk JIyong. Untuk memastikan bahwa pria itu ada di sana. Nyata. Selamat. Namun melihatnya tidak dalam kondisi perasaan yang baik, Dara mengurungkan niatnya. Jiyong terlihat tidak mau memaafkannya.

“B-b-bagaimana perasaan Anda? Apakah Anda baik-baik saja, J-j-eoha?” Dara memutuskan untuk bertanya namun dia hanya dibalas dengan kebisuan. Jiyong marah. Dara tahu itu. Jiyong benar-benar marah.

“Diamlah… biarkan aku membersihkanmu dari kotoran pria-pria menjijikkan itu.” perintahnya dengan wajah muram. Dara hanya bisa menurut.

“J-j-eoha… saya bertanya pada Anda. Apakah Anda baik-baik saja?”

“Bukankah harusnya aku bertanya seperti itu padamu? Demi Tuhan Dara. Kau hampir saja terbunuh di sana! Kenapa kau kembali membangkangku?” itulah. Jiyong marah kepadanya dan Dara hanya bisa mengerucutkan bibir dan mengerutkan alis seperti anak kecil. Dia mendengar umpatan sang Pangeran sebelum mengelap mukanya dengan kain basah.

“A-a-nda tidak harus melakukan ini,” katanya, memaksudkan pada membantunya membersihkan badan.

“Dan apa? Membiarkan pria-pria itu membersihkanmu??? Kau yang pilih,”

Dara tidak menjawab. Sakit rasanya mendengar Jiyong berkata seperti itu padanya. Namun dia hanya melihat kenyataannya. Di mana bisa ditemukan seorang Pangeran membersihkan badan orang lain?

“Aku akan menguncimu di dalam kamarmu begitu kita kembali ke Istana, Dara. Aku sudah memperingatkanmu tapi kau sepertinya tidak pernah mau mendengarkanku,” bentaknya marah, tanpa sengaja menggosokkan kain terlalu keras di bahu Dara.

“Aisht! Maafkan aku!” sang Pangeran menarik tubuhnya bangun untuk melihat kulitnya yang memerah. Dia meniup bahu Dara dan mengusapnya dengan kain basah tadi. “Maafkan aku,” katanya sambil mendesah dan berdesak lidah kemudian kembali mencelupkan kain ke dalam baskom.

“Apakah kau… apakah kau tahu betapa cemasnya aku saat melihatmu?” Jiyong menggigit bibir dan menggenggam tangan Dara. “Kupikir kau terluka. Kupikir kau tertusuk senjata. Aku tidak bisa menghilangkan bayangan tubuhmu berlumuran darah. Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan. Kau tidak mengerti betapa takutnya aku, Dara, kau tidak mengerti…”

“Maafkan saya…” hanya itu yang bisa Dara katakan. “Saya hanya ingin—,”

“Tidak akan ada yang terjadi padaku,” potong Jiyong. “Selama aku tahu kau di sana, menungguku kembali, aku akan melawan dalam pertempuran terpanjang sekali pun bahkan dengan kematian,” kataya akhirnya menatap manik mata Dara. Dara hanya bisa menatap tangannya yang digenggam oleh Jiyong.

“A-a-pakah ada yang selamat dari para penyerang itu?”

“Tidak ada yang dilaporkan padaku. Hentikah Dara. Jangan ungkit soal itu,”

“Saya membunuh mereka…” bibirnya mulai gemetaran.

“Kau tidak melakukannya dengan sengaja,”

“Saya membunuh mereka…”

“Dara, itu bukan kesalahanmu,” ucap sang Pangeran namun Dara menggeleng-gelengkan kepalanya, pemandangan mengerikan kembali bermunculan di matanya dan dia merasa lemah, jiwanya seolah kembali ingin meninggalkan tubuhnya.

“Berbaliklah,” perintah Jiyong dan Dara menurut. Dara merasakan Jiyong menyingkirkan rambutnya ke satu sisi dan kemudian dia bisa merasakan tiupan nafas Jiyong di bahunya. Jiyong menciumi bagian yang hampir dibuatnya lecet tadi, dan hal yang kemudian disadarinya adalah pakaian dalamnya yang bagian atas dilepas.

“Jangan salahkan dirimu, kumohon.”

“J-j-eoha…” Dara memegangi tangan Jiyong yang perlahan bergerak melepas kain yang menutupi tubuhnya. Dia menatap Jiyong dengan tatapan penuh tanya, namun pria itu tetap bergeming.

“A-a-pa yang Anda lakukan?”

“Membersihkanmu dari semua yang mengingatkanmu pada pengalaman mengerikan ini,”

“Jeoha… hentikan…” pinta Dara namun sudah terlambat. Dia memejamkan mata saat dirasakannya tangan Jiyong bergerak di bawah selimut, menyeka tubuhnya dari bagian leher sampai ke bagian sela payudaranya dengan kain basah.

“Ijinkan aku,” Jiyong meniup telinga Dara. “Lupakan tentang hari ini, Dara…”

“Jeoha…”

“Hanya ingat aku… dan kau… kita berdua selamat… kita ada di sini… bersama.”

Dara menyandarkan punggungnya di dada bidang Jiyong saat tangan pria itu kembali bergerak di bawah selimut, memijat ototnya yang lelah, menghangatkan kulitnya yang kedinginan, menghapus bekas darah terakhir yang mengingatkan Dara pada dosanya yang paling mengerikan. Nafasnya tercekat saat dia merasakan Jiyong menyesap telinganya dan tangannya segera bergerak untuk menyentuh wajah prianya itu.

“Kau selalu saja membangkan permintaanku, apa yang harus kulakukan padamu, Dara?” tanyanya membenamkan wajah di lekuk leher Dara, membuat nafas gadis itu kian jelas terdengar.

“Jeoha…” Dara semakin mendongakkan kepalanya di bahu Jiyong, memberikan akses lebih kepada pria itu pada lehernya – tangan Jiyong tidak berhenti dan kini tengah membersihkan lengan Dara. Jiyong melemparkan kain basah yang digunakannya ke sembarang arah begitu pekerjaannya selesai dan mengaitkan jemarinya dengan jemari Dara lalu melingkarkan lengannya di tubuh Dara erat saat mendengar gadis itu kembali berkata. “Jika saya harus kembali membunuh demi Anda, saya akan melakukannya…”

“Hentikan…” Jiyong meletakkan dagunya di bahu telanjang Dara dan mengerutkan alisnya. “Hentikan,”

“Anda juga membuat saya sangat cemas, Jeoha. Sangat cemas.” Kata Dara memiringkan kepala menatap Jiyong. Jiyong menatap lurus ke arah mata Dara dan tenggelam di dalamnya.

“Jangan pernah berpikir untuk melakukannya lagi… jangan… yang kau butuhkan adalah tetap aman. Dan mencintaiku. Dan mempercayaiku. Saat aku pergi, aku ingin melihatmu tersenyum dan menunggu kepulanganku. Lalu menjadi milikku. Sepenuhnya milikku,” katanya dan perlahan mendekatkan bibirnya pada Dara sebelum akhirnya mencium dengan penuh kelembutan. Jiyong menjauhkan diri sesaat dan menatap manik mata Dara.

“Lagi,” Dara terengah dan Jiyong segera mengabulkan permintaannya. Dia mencium Dara kuat dan kali ini tidak perlu mencari lidah Dara. Dara membalas ciumannya dengan perasaan sama. Sama panasnya. Bahkan lebih. Dara melenguh di mulut Jiyong saat tangan pria itu bergerak ke dadanya, perlahan bekerja di kulit Dara yang semakin memanas, menyukai rasa lembut di tangannya.

“J-j-eoha…” Dara melepaskan diri dari ciumanmereka dan menengadahkan kepalanya di bahu Jiyong. Jiyong menciumnya dari balik telinga turun ke leher membuat gadis itu kembali melenguh dan sungguh dia sangat menyukai suara lenguhan gadisnya. Dia ingin mendengar lebih. Merasakan lebih, sangat menikmati respon positif dari gadisnya.

“Cantik,” gumamnya di kulit Dara. “Benar-benar cantik… dan kau milikku sepenuhnya,”

“Ya,” Dara terkesiap merasakan jemari Jiyong bekerja di dadanya. “Tuhan… Jeoha…”

“Apa yang Tuan Putriku inginkan?”

“Lagi… Anda… lagi… oh Tuhan…” Dara menggigit bibirnya merasakan dirinya menjadi lebih basah dari sebelumnya karena Jiyong terus saja menyesap titik sensitive di lehernya sambil terus bermain dengan payudaranya – bahkan meremasnya perlahan.

“Seberapa lebih lagi?”

“Sangat-sangat lebih lagi,” kata Dara, sepenuhnya tenggelam dalam layanan yang diberikan oleh Jiyong.

“Dengan senang hati,” Jiyong memutar tubuh Dara sehingga gadis itu menghadapnya dan mendorongnya sampai berbaring di kasur, menempelkan bibir mereka dan Dara mengalungkan lengannya di leher Jiyong, menarik prianya lebih dekat.

“Aku mencintaimu,” gumam Jiyong di bibir Dara. “Sangat…”

Tangan Dara mulai bergerak di dalam jubah Jiyong, perlahan masuk untuk merasakan kulit pria itu. Sang Pangeran terkesiap saat Dara menarik lepas jubahnya, menampakkan tubuh bagian atasnya, mulut mereka saling bergerak seirama dan Dara menggerakkan tangannya di bagian samping tubuh Jiyong sampai ke bagian pinggang.

“Dara…” Jiyong sedikit menarik diri dan Dara langsung merindukan kehangatan yang tadi dirasakannya. Dara menatap Jiyong dengan penuh rasa penasaran, kembali menyentuh dada pria itu. Dia baru saja menemukan tempat teraman dan ternyaman di dunia, dalam pelukan Jiyong, dan kini dia sangat membutuhkannya.

“Kembalilah. Peluk saya…” dia menarik Jiyong kembali padanya, menghujani wajah tampannya dengan ciuman dan yang bisa dilakukan oleh pria itu hanyalah menahan berat tubuhnya dengan bertumpu pada lengan atasnya. Dara menggerakkan bibirnya di kulit JIyong, menciumi tenggorokan, leher, bahu bidang pria itu hingga membuat Jiyong melenguh saat Dara mulai menciuminya dengan mulut terbuka.

“Oh Dara… Tuhan.” Ucap Jiyong saat dirasakannya Dara semakin melebarkan kakinya, akhirnya bisa merasakan hangat inti tubuh Dara di batang kejantanannya.

“Tuhan… kau bisa mematahkan egoku sebagai seorang pria, dewi,” katanya dengan nafas yang semakin berat dan jelas terdengar. Jiyong mengagumi tubuh Dara saat memberikan sedikit jarak di antara mereka ketika tangannya bergerak untuk menelanjangi gadis itu.

Tidak butuh waktu lama sampai mereka berdua telanjang, tidak ada kata yang perlu diucapkan lagi. Hanya dengan hati, mata, dan bahasa tubuh mereka bisa berkomunikasi disertai dengan suara lenguhan dan rintihan mereka.

Dara terkesiap saat mulut Jiyong berada di dadanya namun dia semakin menarik Jiyong mendekat, melengkungkan tubuhnya ke atas penuh kenikmatan sambil menjambak rambut panjang Jiyong. Jiyong mengerang dan ciumannya turun ke bagian perut gadisnya. Dara seolah merasa tersesat, yang dia butuhkan hanyalah Jiyong. Dan ketika dia merasakan bibir Jiyong di pahanya bagian dalam, sudah terlambat baginya untuk membuka mata dan menghentikan pria itu.

“Aaaahh…” serunya saat merasakan lidah Jiyong menilatinya membuatnya mengejang penuh kenikmatan ketika sampai di puncaknya dan Jiyong dengan senang hati menerimanya dalam mulutnya. Dara terbaring lemas, berusaha menarik nafas dan bibir Jiyong kembali bergerak naik, tubuh Jiyong kembali menindihnya sampai tatapan mata mereka bertemu, saling berhadapan.

“Lebih manis dari yang kuduga. Sudah lebih baik sekarang, my lady?” Jiyong tersenyum penuh cinta pada Dara sambil mengusap peluh di kening gadis itu. Wajah Dara memerah saat menyadari kondisi mereka membuat Jiyong tertawa padanya.

“Kau benar-benar seorang dewi… Tuan Putriku… dan sebentar lagi akan menjadi Ratuku.” Katanya kemudian merunduk untuk mencium Dara. “Dan aku bisa melakukannya seumur hidupku. Membuatmu menggeliat di bawahku penuh kenikmatan. Membuatmu lupa akan segalanya. Membuatnya hanya fokus padaku. Tidak ada yang lain lagi, hanya aku,” kata Jiyong dan tangannya kembali bergerak ke bawah. Dara terkesiap saat merasakan jemari Jiyong mengelus bagian tubuhnya yang basah di bawah sana dan hampir kembali sampai di puncaknya hanya karena tatapan dan sentuhan pria itu.

“Jeoha… saya… saya merasakannya lagi,” Dara terengah.

“Oh… saku mencintaimu… biarkan saja,” Jiyong menyesap telinga Dara membuat lenguhan gadis itu semakin menjadi. Namun Dara menginginkan Jiyong. Dia ingin lebih.

“Jeoha…” dia menggigit bibirnya dan menangkup wajah Jiyong.

“Ya… aku di sini. Apa yang diinginkan oleh cintaku?” tanya Jiyong di bibir Dara yang terbuka. “Katakan padaku. Aku akan membuatmu merasa lebih baik,”

“Anda… oh Tuhan. Saya menginginkan Anda,” seru Dara membuat Jiyong harus memejamkan matanya. Dia ingin menginginkan gadis itu lebih lagi, pikirnya. Apakah mereka berdua sudah siap? Tanyanya dalam hati saat kembali menindih tubuh gadisnya.

“Tolong, kuharap kau tidak akan menyesali hal ini nantinya,”

“Tidak akan ada penyesalah jika itu tentang Anda. Ambil saya, saya mohon, saya membutuhkan Anda,”

“Aku mungkin akan menyakitimu, cintaku,” kata Jiyong sambil mulai menggerakkan pinggulnya membuat Dara harus memejamkan mata dan mengangguk.

“Aku mencintaimu…” Jiyong menyentuh bibir Dara sebelum perlahan memposisikan dirinya. Keduanya terkesiap dengan perasaan yang baru bagi mereka. Jiyong masuk, perlahan dan Dara hanya bisa berpegangan pada prianya. Jiyong meringis akan jalan Dara yang masih sempit, tahu gadis itu akan kesakitan ketika akhirnya dia merasakan selaput gadis itu.

“Apa kau baik-baik saja?”

“Ya…” Dara tersenyum pada Jiyong, air mata menggenang di matanya dan pemandangan itu membuat dada Jiyong sesak dengan bermacam perasaan.

“Oh dewiku…” Jiyong mendorong lebih dan berhasil merobek selaput milik Dara dan gadis itu gemetar. Mereka berdua tetap diam selama beberapa saat dan hanya saling tatap, air mata mengalir membasahi wajah mereka.

“Maafkan aku…” Jiyong menghujani wajah Dara dengan ciuman-ciuman kecil, dan butuh lebih dari sekedar pengendalian diri dari Jiyong agar tidak bergerak membabi buta dalam tubuh Dara. “Maaf…”

“Jangan meminta maaf. Saya menginginkan ini. Saya menginginkan Anda. Kita menjadi satu…” Dara meraih wajah Jiyong dan menghapus keringat di wajahnya.

“Ya kita menjadi satu… hanya kau dan aku malam ini, ingat itu. Tidak ada hal lainnya lagi.”

“Ya…” Dara mengalungkan lengannya di leher Jiyong. Dia mengaitkan kakinya ke pinggang Jiyong membuat pria itu bergerak.

“Oh sial…” seru Jiyong dan keduanya melenguh akan sensasi yang baru kali ini mereka rasakan. Dara mencakar kulit JIyong saat pria itu mulai bergerak keluar masuk dari tubuhnya, merasakan dan menikmati tubuh mereka yang bersatu.

“Aku akan membuat rasa sakitmu pergi, cintaku. Oh Tuhan. Kau benar-benar terasa nikmat… aku akan membuatmu merasa lebih baik,” bola mata Jiyong bergerak ke belakang, merasakan kehangatan yang menyelimuti kejantanannya.

“Ya, Jeoha! Tolong,” Dara menjatuhkan kepalanya ke belakang, melengkungkan tubuhnya saat rasa sakitnya mulai berkurang. “Tolong lagi,” dia terengah, tenggelam dalam adegan percintaan mereka.

“Seperti yang kau minta, cintaku,” gumamnya di leher Dara dan mulai bergerak lebih cepat, mendorong lebih dalam dan perasaan yang sama seperti tadi kembali Dara rasakan.

“Oh dewiku,” Jiyong menciumnya mesra, menelan lenguhan Dara dalam mulutnya dan mereka menikmati perasaan mereka satu sama lain. Hangat tubuh, payu dara gadis itu di dadanya, mereka telanjang, mulut mereka saling menempel satu sama lain, dan hampir tidak mungkin bagi Jiyong untuk bisa mengendalikan diri lagi.

“Jeoha!” Dara melepas ciuman mereka saat dirasakannya dirinya hampir sampai.

“Panggil namaku…” bisik Jiyong. “Namaku…”

“Oh Jiyong… Jiyong!” Dara merasa dirinya seolah semakin mendaki ke puncak dan dia bisa merasakan senyuman Jiyong di dadanya saat pria itu menyesap payudaranya, itulah akhir baginya. Sebelum menyedarinya, Dara telah merasakan kenikmatan surgawi. Butuh waktu beberapa saat bagi Jiyong untuk kemudian menyusul setelahnya dan menumpahkan seluruh isi air maninya ke dalam rahim Dara.

“Dara!” desis Jiyong sambil mengosongkan segala isi muatannya dalam tubuh Dara dan mereka masih bertahan seperti itu hingga beberapa saat. Jiyong menindih Dara, merasakan gerakan naik turun dada gadisnya saat mereka sama-sama mencapai nikmat surge.

“Apa kau tahu berapa besar rasa cintaku padamu?” tanyanya saat merasakan Dara mengelus rambutnya. Senyumannya terkembang. “Mungkin kau tidak tahu. Aku bahkan tidak bisa mengungkapkannya dengan kata-kata seberapa banyaknya,”

“Kenapa Anda harus mengatakannya, jika Anda bisa membuat saya merasakannya? Anda tidak pernah gagal membuktikan kepada saya betapa besar rasa cinta Anda kepada saya… dan Anda baru saja membuktikannya lagi malam ini.” ujar Dara dengan wajah memerah.

Jiyong tersenyum dan berguling ke samping Dara, menarik gadis itu ke dalam pelukannya. “Aku sangat bahagia Dara… sangat-sangat bahagia. Bagaimana bisa kau membutku merasa sebahagia ini setelah tadi membuatku marah? Kau benar-benar bisa merubahku menjadi seorang pria gila.”

“Anda memang sudah gila sejak awalnya,” Dara tersenyum dan memejamkan matanya lalu membenamkan wajahnya di lekuk leher Jiyong.

“Aigoo… beraninya kau menuduh seorang Putra Mahkota seperti itu.” dia terkekeh. “Bagaimana perasaanmu? Kuharap aku tidak membuatmu takut karena…”

“Sedikit sakit… tapi… saya merasa baik-baik saja,” wajah Dara merona saat mengakui kebenarannya. Apa lagi yang harus disembunyikan setelah dia melenguh keras seperti itu saat mereka bercinta?

“Bagus kalau begitu… kemari. Mendekatlah… ayo tidur,” ucap Jiyong menarik Dara lebih erat dalam pelukannya.

Namun meski didera rasa kantuk, sesuatu terasa janggal bagi Dara. Dia kemudian menatap Jiyong dengan pandangan bertanya-tanya membuat sang Pangeran merasa cemas. Dara menggigit bibirnya sambil terus menatap mata Jiyong, bertanya-tanya dari mana pria itu belajar caranya bercinta padahal katanya dia tidak berpengalaman mengenai hal seperti itu.

Apakah Jiyong telah berselingkuh darinya? Pernahkan Jiyong melakukannya dengan wanita lain? Dara merasakan satu cubitan kecil dalam hatinya dan tanpa disadari dia mengerucutkan bibir dan menutupi dadanya.

“K-k-kenapa? Apakah aku melakukan kesalahan?” Jiyong mulai merasa cemas.

“Tidak… saya hanya bertanya-tanya jika… jika saya adalah yang pertama bagi Anda karena tidak perlu diragukan lagi… Anda adalah yang pertama bagi saya,” akunya dengan wajah memerah.

“Oh Tuhan! Dara, tentu saja. Apa kau tahu betapa beratnya hal itu untukku?” Jiyong mengaku. “Aku… aku hanya… sedikit… melakukan penelitian… aku tidak ingin mengecewakanmu, kau tahu.” Jelasnya seperti anak kecil dan Dara merasa lega. Gadis itu meringis atas ekspresi Jiyong.

“Begitu. Aku sudah mengatakannya. Jika itu bisa membuatmu merasa lebih baik. Aisht, kau tidak pernah gagal mengacaukan suasana, Dara. Tsk. Apa yang harus kulakukan padamu?”

Dara menutupi wajahnya dan bergeser menjauh. Jiyong mempelajarinya? Apakah itu mungkin? Tanyanya dalam hati. Dan kemudian Dara mendengar suara tawa. Dia merasakan Jiyong menariknya kembali dalam pelukan pria itu. “Dan kau tahu apa? Aku sudah mempraktekkan pembelajaranku itu dengan baik malam ini. Tapi aku ini masih dalam proses belajar. Aku akan mulai menganggapmu sebagai subyek pembelajaranku. Aku ingin mempelajarimu…” katanya membuat mata Dara melotot lebar.

“J-jeoha,”

“Kenapa? Lebih baik aku belajar darimu daripada dari wanita lain. Lebih baik aku belajar hal-hal baru denganmu… kenapa? Apa kau ingin sebaliknya?”

“Tidak!” balas Dara segera. “Tidak boleh!”

“Bagus,” Jiyong tersenyum dan merangkak ke atas Dara. “Sekarang haruskah kita melanjutkannya?”

“L-l-agi?” Dara terkejut saat melihat Jiyong menggigit bibirnya dan mengangguk dengan semangat. Siapa dirinya bisa menolak Jiyong? Dara memutar bola matanya. “Apa yang terjadi dengan ‘ayo tidur’?”

“Oh tidur masih bisa menunggu. Tapi rasa rinduku padamu tidak bisa,”

“Jeoha… saya bersumpah ini adalah cara paling unik untuk ‘membersihkan’ yang pernah saya tahu. Dan pengertian belajar yang paling memalukan,” serunya namun hal itu membuat wajah Jiyong menjadi murung. Sangat serius hingga membuat dada Dara serasa diremas.

“Aku hanya ingin agar kau mengingat malam ini dan melupakan segala yang terjadi sebelumnya, Dara. Aku tidak ingin kau masih memikirkan tentang hal itu, kumohon.” Jiyong mengelus wajahnya. “Aku menginginkanmu, seluruh dirimu. Dan aku tidak peduli jika surga akan berpikir bahwa yang kita lakukan ini salah. Kau ada di sini, bersamaku… dan itu sudah cukup untuk membuat semuanya menjadi benar.”

Dara tersenyum mendengar perkataan Jiyong. Dia mulai mengelus wajah tampan kekasihnya, sangat tampan sampai membuatnya berpikir dia telah melakukan kesalahan hanya dengan memandangi wajah tampannya.

“Apakah Anda tahu?” Dara menaikkan kedua alisnya. “Sepertinya saya belum memberitahukan sesuatu kepada Anda,” ungkapnya membuat tubuh Jiyong tegang.

“A-a-pa itu?” Jiyong mencoba mengenyahkan segala pikiran yang bermunculan dalam kepalanya. Apakah Dara akan memberitahukan sebuah rahasia kelam padanya.

“Kenapa Anda terlihat takut…” Dara melingkarkan tangannya di pinggang Jiyong, merasakan tubuh telanjang pria itu menempel pada tubuhnya.

“Aku tidak… y-y-ah…”

“Jangan takut.” Gumam Dara di telinga Jiyong. “Jangan takut, Pangeran saya,” tubuh Jiyong gemetar mendengar perkataan Dara. “Saya hanya merasa Anda sudah selayaknya tahu… sudah sepantasnya Anda mendengar ini.” ucapnya dan Jiyong hanya bisa menatap mata gadisnya saat Dara menangkup wajahnya dengan sebelah tangan.

“Saya mencintai Anda, Jeoha… saya mohon, bercintalah dengan saya… lagi… dan lagi… dan lagi…”

“D-d-dara,” Jiyong tergagap saat melihat kesungguhan di mata Dara.

“Saya mencintai Anda…” ucap Dara, semakin mengejutkan Jiyong. “Buat saya mengingat malam ini,”

“Dara-ah… kau benar-benar sesuatu… kau tidak pernah gagal mengejutkanku,”

“Saya senang mengejutkan Anda sepanjang waktu, Jeoha. Jadikan saya milik Anda sepenuhnya malam ini sebelum saya berubah pikiran,” tantang Dara membuat Jiyong langsung menempelkan bagian tubuhnya yang paling merasa sangat membutuhkan; membuat Dara terkesiap merasakan gairah Jiyong di dekat inti tubuhnya.

“Dengan senang hati, sayangku.” Dia tesenyum di bibir Dara. “Kebahagiaan bagiku bisa memuaskan dewiku… lagi… dan lagi… dan lagi…”

**

<< Previous Next >>

35 thoughts on “The King’s Assassin [39] : A Night To Remember

  1. OMG!! Akhirnya dara mengakui nya kkkk finally mereka bersatu kkkkk^^ trs apa yg bakal terjadi sm seungri?? itu yg nolongin seungri kayaknya sanghyun ya.,.

Leave a comment