MEA CULPA [Chap. 16]

Author : Aitsil96

Long part. Hope you still enjoy it!

“Mau kemana kau?”

“Bukan urusanmu!”

Sandara menghempaskan tangan Ji Yong yang menahan lengannya untuk segera pergi, namun baru beberapa detik ia melepaskan diri, pergerakan cepat Ji Yong yang kini beralih untuk mencengkeram bahunya membuat gadis itu kembali terhalangi.

“Tentu saja itu urusanku.”

Sandara mendelik tajam seraya mengatupkan rapat rahangnya. Sekeras apapun ia mencoba, kekuatan Ji Yong bukanlah tandingannya. Sialan!

“Berhenti mencampuri urusanku, Kwon Ji Yong!”

“Mulai saat ini segala urusanmu menjadi urusanku juga.”

Ada gurat kebingungan yang terpatri dari wajah sang gadis yang tengah dilingkupi emosi tersebut. Ini hidupnya. Lalu apa urusan Ji Yong hingga harus repot-repot mengurusi dirinya? Bukankah mereka bahkan tak memiliki hubungan apapun untuk mencampuri hidup satu sama lain? Kehadiran pria ini bahkan sama sekali tak pernah diduganya untuk datang ke Busan dan menjemputnya.

Pria itu bilang akan mengantarnya ke rumah untuk bertemu Hye Mi? Omong kosong! Kini bahkan mereka tengah berdebat di depan pelataran penginapan setelah Ji Yong menepikan mobilnya beberapa saat lalu. Mereka akan bermalam di sini? Astaga! Jangan gila!

“Ibumu sendiri yang menyuruhku untuk membawamu.”

“Membawaku untuk menginap? Denganmu? Jadi kini wanita itu tengah mengumpankan diriku padamu?” rahang Sandara terperangah lebar dengan tawa mengejek yang tertuju pada dirinya sendiri. Memprihatinkan!

“Astaga! Bukan seperti itu!”

“Lalu seperti apa?” Sandara memberontak hingga membuat Ji Yong lengah dan melonggarkan cengkeramannya. “Aku bahkan tak tahu alasanmu datang kemari dan menemuiku. Jika itu ada kaitannya dengan wanita sialan itu, lebih baik kau pergi detik ini juga! Aku tak akan sudi untuk bertemu dengannya lagi!”

“Hati-hati dengan ucapanmu, Nona.”

Sandara mengerutkan dahinya dengan rahang terkatup rapat. Saat ini kedua orang itu tengah menatap satu sama lain dengan pandangan tajam. Terutama sang gadis yang masih geram sekaligus bingung dengan segala tingkah laku pria rumit di hadapannya. Jadi kini Ji Yong membela Hye Mi? Ck, bagus! Hubungan mereka mungkin telah berkembang terlalu jauh dari yang ia kira.

“Kau yang seharusnya berhati-hati dengan segala tingkah lakumu! Sebaiknya kini kau pergi dari hadapanku, Tuan. Wanita sialan itu kini mungkin—”

“Wanita sialan itu ibu kandungmu, Park Sandara!”

Deg!

“—dan ia mengkhawatirkanmu!”

Pergerakan Sandara terhenti seketika. Gadis itu tertegun selama beberapa detik dengan pandangan yang sulit diartikan. Bentakan Ji Yong sempurna membuatnya tergugu di tempat. Ini adalah kali pertama pria yang bahkan tak dikenalnya dengan baik itu meneriakan nada tinggi tepat di hadapan wajahnya. Benar-benar lancang!

Lalu apa yang Ji Yong katakan barusan? Hye Mi… mengkhawatirkannya? Mungkinkah ia terlalu hebat dalam berakting? Jika ya, maka pria itu patut dianugerahi gelar pembual ulung karena Sandara hampir saja percaya akibat terbuai dengan manik kelam yang kini tengah menatapnya penuh kesungguhan tersebut.

Oh, ayolah! Sang gadis bahkan telah lupa rasanya dikhawatirkan oleh wanita yang seharusnya ia hormati tersebut. Ia tak seharusnya terlalu bodoh untuk percaya akan kata-kata yang terlontar dari bibir pria sialan di hadapannya.

“Bisakah kita berhenti membicarakan hal bodoh ini? Kau hanya membuatku tambah muak. Jika kau memang berpihak padanya, temani ia dan jangan tunjukkan wajahmu lagi di hadapanku!”

“Berhenti di sana!”

Dengan lugunya gadis itu menghentikan langkahnya yang akan segera menjauh dari hadapan sang pria. Entah terlalu bodoh akibat situasi rumit yang terus-menerus menimpanya, namun ucapan Ji Yong tersebut seolah menjadi sihir bagi Sandara. Hukum mutlak yang seakan mampu membiusnya untuk menuruti. Gila! Ini benar-benar tak waras!

Ji Yong bergerak beberapa langkah hingga kini mereka berhadapan dalam jarak yang tak terlalu berarti. Tangan kokoh pria itu terulur dan meraih rahang sang gadis agar mereka menatap satu sama lain. “Aku peduli padamu.”

Deg!

Lagi-lagi Sandara terdiam dalam ekspresi tak terkendalinya. Apa-apaan pria itu?

Sandara mendecih, berusaha melepaskan tangan Ji Yong dari wajahnya namun tetap saja pria itu bersikeras untuk bertahan. Ji Yong tak tergoyahkan meski dengan manik hazel favoritnya yang kini tengah menatap nyalang ke arahnya.

“Kau hanya memihaknya karena uang yang ia tawarkan padamu, bukan? Jadi berapa yang telah kau dapatkan darinya?”

“Aku memang mendapatkan uang darinya, tapi ini sama sekali tak ada hubungannya dengan itu.” Ji Yong hanya berusaha untuk jujur kini. Ia sudah tak peduli lagi dengan pandangan Sandara terhadapnya. Pria itu sadar bahwa ia sudah terlanjur menjadi pria hina di mata sang gadis. “Sekarang beristirahatlah. Aku akan mengantarmu besok.”

Sandara kembali meronta. Namun semakin ia meronta, sialnya kekuatan Ji Yong untuk menahannya juga semakin besar.

“Besok hari peringatan kematian ayahmu, bukan? Ku rasa kau selalu mengunjunginya setiap tahun.”

Deg!

Manik hazel itu membulat kaget. Sistem syaraf di otaknya serasa bekerja lambat hingga membuat Sandara sulit menggerakan seluruh persendian tubuh yang tiba-tiba terasa kaku. “Darimana… kau tahu?”

Ji Yong menatap lekat sang gadis dengan binar tak biasa dari manik kelamnya. Sudut bibirnya tertarik membentuk senyuman simpul. “Masuklah dulu, maka akan ku jelaskan. Semuanya.”

*****

Eomma, kenapa kau membiarkan Dara pergi begitu saja?”

Manik yang biasanya meneduhkan itu kini terlihat nyalang. Dong Hae melesat, bergerak cepat untuk menyusul ibunya yang mulai memasuki rumah dengan pergerakan tak terkendali. Mendapati Min Ri yang membiarkan Sandara pergi dari hadapannya benar-benar membuatnya seolah kebakaran jenggot.

Pria itu kalang kabut. Bagaimana mungkin Min Ri tega membiarkan pria yang sama sekali tak dikenalnya membawa kekasihnya pergi? Pria lancang yang bahkan baru kali pertama dilihatnya namun telah membuat sekujur tubuhnya diliputi hawa panas akibat rasa amarah. Dong Hae benar-benar tak habis pikir!

Eomma, jawab aku!”

Min Ri yang masih juga bergeming di tempatnya membuat Dong Hae tak segan untuk menaikkan nada bicaranya. Pria itu berada hampir di batas kesabarannya. Ia bahkan seakan tak peduli lagi jika telah berlaku lancang terhadap ibu kandungnya sendiri. Yang ia butuhkan kini hanyalah sebuah penjelasan.

Eomma!”

“Lepaskan Dara.”

Deg!

Dong Hae menghentikan seluruh pergerakannya dengan riak wajah tak terkendali. Tak ada yang salah dengan indera pendengarannya, bukan?

Mwo?”

“Jauhi Dara.” Min Ri berbalik, menatap nanar putranya. “Untuk kali ini saja, ku mohon dengarkan aku, Dong Hae-ya.”

Sekali lagi. Dong Hae benar-benar tak mengerti. Hal sinting apa yang kini coba Min Ri ungkapkan padanya? Situasi ini benar-benar tak waras!

“Ini demi kebaikanmu dan juga dirinya.”

“Apa… maksudmu, Eomma?” tanya Dong Hae, masih mencoba untuk mengendalikan dirinya.

“Maafkan aku, Nak.”

Kening pria itu berkerut samar dengan beribu pertanyaan yang mulai berkelabat dalam benaknya. Kini apalagi? Untuk apa ibunya meminta maaf? Astaga! Sebenarnya hal apa yang tak ia mengerti di sini? Mengapa semuanya terasa membingungkan? Mengapa ia merasa bahwa hanya dirinya yang tampak dungu?

“Kesalahanku di masa lalu pada akhirnya membuat kalian harus menanggungnya.”

Dong Hae bergerak perlahan, menghampiri Min Ri yang tanpa disadarinya kini tertunduk dengan bulir bening di sudut matanya. Wanita itu menangis dalam diam dan lagi-lagi membuat Dong Hae tergugu untuk yang kesekian kalinya.

Eomma, wae geurae? Kesalahan apa yang kau maksud?”

Min Ri terisak dengan bahu yang berguncang pelan. “Mianhae. Mianhae, Dong Hae-ya.”

*****

Ne. Arrasseo.”

Ji Yong memutus sambungan telepon itu sebelum mengusap kasar wajah lelahnya. Sejujurnya ia pun hampir menyerah. Menghadapi Sandara dengan segala emosinya yang tak terkendali sama sekali bukan hal yang mudah hingga membuat sang pria hanya bisa menghela napas panjangnya.

Sang pria menyandarkan tubuhnya ke balkon penginapan lantai dua itu seraya memijit pelipisnya. Kepalanya tiba-tiba pening. Ia bahkan tak ingat kapan terakhir kali mengurus dirinya sendiri sebelum terlalu jauh ikut campur ke dalam hidup sang gadis yang rumit untuk sekadar ia mengerti.

Ia tak pernah menyangka akan sejauh ini untuk masuk ke dalam hidup seseorang, mencampuri urusan yang bahkan ia sendiri tak mengerti, lalu larut di dalamnya hingga ia sendiri pun merasa sulit untuk keluar, seolah terjebak di sana. Ji Yong benar-benar tak mengerti. Mengapa hidupnya sekacau ini semenjak bertemu dengan gadis itu?

“Ah, kau belum tidur? Ini sudah larut.” Ji Yong menengadah, mendapati Sandara yang kini tengah berdiri tak jauh darinya.

“Siapa yang baru menghubungimu?”

“Bukan siapa-siapa.”

Sang gadis mencebik. Tahu betul bahwa pria di hadapannya tersebut tengah berbohong. Ia yakin bahwa seseorang yang baru saja menghubungi Ji Yong adalah Hye Mi. “Sebenarnya apa yang terjadi? Rencana apa yang telah kalian siapkan di belakangku? Selama ini apa yang tidak aku ketahui?”

Rentetan pertanyaan sang gadis hanya membuat Ji Yong melengkungkan senyum miris di sudut bibirnya. “Aku… tidak tahu.”

Sandara tertegun beberapa saat sebelum mengendalikan dirinya agar tidak melemparkan sepatunya ke wajah pria sialan di hadapannya. Kali ini ia harus menahan gejolak emosinya. Ia masih butuh penjelasan. Banyak penjelasan. “Lalu untuk apa kau jauh-jauh kemari dan membawaku untuk ikut bersamamu?”

“Hye Mi memintanya. Ah, maksudku ibumu.” Ji Yong bergerak beberapa langkah untuk tiba di hadapan sang gadis. “Ia yang memintaku untuk membawamu malam ini dan mengantarmu untuk hadir di acara peringatan kematian ayahmu esok hari.”

“Kenapa… harus kau?”

Ji Yong mengedikkan bahunya.

Sandara kembali larut dalam lamunannya. Apa yang tengah Hye Mi rencanakan? Mengapa ia harus repot-repot meminta Ji Yong untuk mengantarnya pada acara peringatan kematian ayahnya? Bukankah setiap tahun ia memang selalu mengunjunginya sendiri, bahkan tanpa sepengetahuan Hye Mi?

Oh, ayolah! Sandara bahkan sudah tak peduli dengan Hye Mi semenjak kematian ayahnya hingga membuat wanita itu berubah menjadi orang yang menjijikkan di matanya. Rasa kebencian itu terus menggunung dari hari ke hari, membuatnya bahkan tak sudi jika wanita itu menginjakkan kakinya untuk mengunjungi tempat abu ayahnya disemayamkan.

“Mungkinkah… ini semua ada kaitannya dengan Dong Hae?” tanya Sandara tiba-tiba. Pikirannya tiba-tiba mengingat pernyataan Hye Mi beberapa waktu lalu saat ia memutuskan untuk keluar dari rumah. Mungkinkah wanita itu berencana untuk memisahkan dirinya dengan Dong Hae? Namun apa alasannya?

“Entahlah, namun ibumu memang menyuruhku agar membawamu menjauh darinya. Ia bilang tak ingin lagi kehilangan sesuatu yang berharga akibat wanita itu.”

“Wanita?”

Ji Yong mengangguk. Ia ingat betul dengan perkataan yang Hye Mi ucapkan saat membuat kesepakatan dengannya sebelum menemui Sandara. “Ya. Itulah yang aku dengar darinya. Aku juga sama sekali tak mengerti siapa maksudnya.”

Ada jeda sesaat setelahnya dengan pikiran Ji Yong yang berkelana tak tentu arah. Jika dipikir ulang wanita yang mungkin ada kaitannya dengan semua ini dan dimaksud Hye Mi adalah…?

“Tunggu! Itu tidak mungkin… Ah! Aniya. Lupakan.” Ji Yong mengibaskan satu tangan di hadapan wajahnya, menepis berbagai pikiran aneh yang mulai berseliweran dalam benaknya. “Kau lapar?”

Sandara terkesiap dengan pertanyaan tiba-tiba itu. “Tidak. Aku ingin tidur.”

“Duduklah, Nona. Aku tahu kau lapar.”

Ji Yong menahan laju pergerakan sang gadis dan menggiringnya ke kursi yang berada di depan meja pantry. Sandara yang telah kehilangan hampir seluruh tenaganya hanya pasrah mengikuti. Ia sudah terlalu lelah untuk meronta dan memberikan perlawanan yang tak berarti terhadap Ji Yong.

“Jika kau ingin membuatkanku ramyeon lagi, lebih baik aku tidur sekarang.”

Ji Yong yang tengah membuka kulkas untuk mencari bahan makanan kini memandang sang gadis yang tengah cemberut dengan menopangkan wajahnya dengan kedua tangan. Senyum terukir di wajah pria itu sesaat kemudian dengan kedut geli di sudut bibirnya. “Rupanya kau menyimpan dendam, huh? Hanya karena ramyeon yang bahkan saat itu tak kau habiskan?”

Sandara hanya mendengus untuk menanggapi, meniup helai rambut yang menutupi wajahnya dengan cara lucu.

“Tenang saja. Kali ini akan ku buatkan pancake untukmu. Kau suka?”

“Kedengarannya boleh juga.”

Ji Yong membawa beberapa bahan makanan sebelum menutup kembali pintu kulkas. Pria itu menjentikkan jarinya setelah mengenakan apron tepat di hadapan wajah Sandara, tanda bersiap untuk memasak. “Duduk yang manis dan jangan mengoceh terlalu banyak.”

*****

“Terima kasih untuk pancake-nya.”

Sandara berucap riang seraya beranjak, berniat merapikan alat makan yang baru saja dipakainya sebelum satu suara menginterupsi.

“Taruh saja di sini. Biar aku yang cuci.” Ji Yong yang baru saja membilas wajan serta seperangkat alat masak lain yang baru dipergunakannya berujar. Dagunya mengisyaratkan Sandara untuk menaruh piringnya di wastafel.

“Bukankah aku terlihat tak tahu diri?”

Ji Yong mengernyitkan alisnya samar. “Wae?”

“Kau yang memasak, setidaknya biarkan aku yang mencuci.”

Seulas senyum segaris tampak dari sang pria yang kini merebut pelan alat makan sang gadis yang masih dipegangnya untuk kemudian ia taruh di wastafel. Ji Yong melakukannya dengan cepat hingga Sandara hanya bisa termangu bak gadis idiot tanpa sanggup mencegah. Sempat memberengut, namun Sandara berusaha tak peduli.

Bukankah itu memang keinginan Ji Yong? Sandara berbalik lalu melangkah cuek, merasa tak perlu untuk tak enak hati karena merepotkan sang pria.

“Kau akan langsung tidur?”

Tungkai mungil itu terhenti demi menoleh pada sang pria. “Sepertinya ya. Wae?”

“Bukankah makananmu belum tercerna sempurna? Duduklah dulu, kau bisa menonton televisi selagi menungguku membuatkan hot cappuccino. Bagaimana?”

Kini giliran sang gadis yang mengernyitkan dahi, menatap sangsi pria yang baru saja berucap seraya masih disibukkan dengan agenda cuci piringnya. Tak ada yang terucap dari bibir Sandara setelahnya, gadis itu lebih memilih untuk memperhatikan Ji Yong yang sekilas kini tampak tak ada bedanya dengan ibu rumah tangga —mengenakan apron dan sarung tangan.

Wae? Kenapa melihatku seperti itu?” tanya Ji Yong setelah merasa keheningan canggung kini menyergap berasal dari manik hazel yang memperhatikannya tak beralasan.

“Bukankah kau kini terlihat… aneh?”

“Maksudmu?”

“Mengapa harus bersikap baik padaku?”

Ji Yong dengan santai membilas pisau yang menjadi penutup agendanya sebelum kemudian menyimpan rapi di rak. Sandara yang memperhatikan tanpa sadar menahan ringisan ngeri saat jemari pria itu bergerak lincah bak seorang pro. Seketika bulu kuduknya meremang dengan pikiran yang mulai berfantasi liar.

“Salahkah?”

“Kau tidak merencanakan sesuatu yang buruk padaku, kan?”

Sebelah alis Ji Yong terangkat seraya melepaskan sarung tangan lalu menanggalkan apron. Pria itu bergerak beberapa langkah, menumpukan kedua tangannya di konter dapur. Kini kedua orang itu berhadapan dengan meja bar panjang yang membatasi. “Seperti?”

“Memperlakukanku secara manis untuk kemudian kau racuni.”

Manik kelam itu membulat seketika. Hampir tergelak, namun kedut geli di sudut bibirnya sengaja Ji Yong sembunyikan demi melihat reaksi lebih jauh sang gadis. “Haruskah?”

Sandara menyedekapkan tangannya di depan dada seraya berdecak tak percaya. Manik hazel itu bergerak memutar lalu berakhir pada manik kelam yang kini juga tengah menatap lurus padanya. “Bukankah aku kini sanderamu? Ck! Seharusnya aku bersikap lebih waspada denganmu.”

“Kau pikir aku pembunuh bayaran sewaan ibumu?”

“Bisakah kau tidak menjawabku dengan pertanyaan lain?”

Ji Yong mengedikkan bahunya tak acuh seraya mengangkat kedua tangannya —mengisyaratkan persetujuan dengan sedikit perdamaian. “Geurae.”

“Dan, mungkin saja,” ujar Sandara terdengar pongah.

Mwo?”

“Kau menjadi pembunuh bayaran untuk melenyapkanku.”

Kali ini Ji Yong tak bisa menahan ledakan tawanya hingga menggema membelah malam. Pria itu hampir saja tersedak dengan tawanya yang membahana. Pemikiran gadis ajaib itu membuatnya tak habis pikir, benar-benar tak bisa diduga.

“Jika aku memang berniat macam-macam padamu, mengapa tak ku bawa saja kau ke hutan terdekat lalu mencekikmu? Jika beruntung menemukan jurang, aku pun dapat membuang mayatmu dan melenyapkan bukti.”

Sandara sempurna terperangah dengan denyut nyeri di belakang kepalanya yang mendera seketika. “Pikiranmu benar-benar seperti psikopat!”

“Kau yang memulai. Jangan salahkan aku.”

“Terserahmulah!”

Sandara mengibaskan tangannya dan beranjak pergi dengan kaki terhentak. Bukan memilih kamar sebagai tujuannya, namun entah setan apa yang merasuki gadis itu hingga tungkai mungilnya lebih memilih menuruti titah Ji Yong beberapa saat lalu. Duduk manis di hadapan televisi yang menyala dan kini mulai memilih-milih beberapa koleksi film berbentuk CD yang disediakan pemilik penginapan yang berupa flat itu.

Ji Yong yang memperhatikan setiap pergerakan sang gadis ikut tersenyum seraya kembali mempersiapkan beberapa bahan demi menepati janjinya —menyajikan dua cangkir hot cappuccino— bagi Sandara juga dirinya.

Tak perlu waktu lama untuk menyelesaikan minuman itu dengan segala keahliannya. Ji Yong segera bergerak untuk menghampiri Sandara, menaruh satu gelas di meja, sementara satu gelas lain di genggaman. Pria itu duduk di sofa sementara Sandara yang telah memilih filmnya secara acak baru saja memasukkan piringan CD ke pemutar film.

“Dee?”

Sandara yang baru saja menyecahkan diri di sebelah Ji Yong menoleh cepat. “Kau memanggilku?”

“Bisakah aku memanggilmu dengan panggilan itu?”

Wae?”

“Bukankah Bom juga memanggilmu demikian?”

“Lalu mengapa kau harus mengikutinya?”

“Hanya… ingin? Terdengar lucu saja,” jawab Ji Yong terdengar ragu, seolah ditujukan pada dirinya sendiri.

“Aku bukan lelucon!”

Seringaian menghiasi sudut bibir sang pria mendengar jawaban ketus itu sebelum menyeruput perlahan minumannya. “Ku rasa tak usah ada lagi sapaan formal di antara kita.”

“Memangnya sedekat apa hubungan kita hingga harus berbicara santai?”

“Kenapa tak kita mulai saja dari sekarang—”

Sandara masih memperhatikan Ji Yong tanpa berkedip dengan hot cappuccino di genggaman. Ia bahkan lupa sejenak dengan film yang baru saja ia putar. Entah apa judulnya, yang jelas ia hanya tertarik dengan cover yang tersaji pada kasetnya.

“—kedekatan itu?”

Mereka? Dekat? Oh, bukankah pria itu terdengar mabuk dengan ucapan melanturnya? Sandara hanya mampu mendecih lalu menampilkan tawa meledeknya.

“Sesukamu, Tuan Kwon!” ucap Sandara tak acuh lalu memalingkan wajahnya, memfokuskan diri pada awal film yang menampilkan pemandangan senja hari di pedesaan.

“Tanpa tuan.”

“Hm?”

“Kau bisa memanggilku dengan nama depanku saja.”

Decihan kecil kembali terdengar dari Sandara setelahnya. Selanjutnya ia lebih memilih untuk menumpahkan seluruh fokusnya pada film seraya menyeruput hot cappuccino-nya lambat-lambat. Sang gadis bahkan tak peduli dengan sebutan macam apa yang Ji Yong lontarkan demi memanggilnya. Untuk apa? Bahkan setelah esok hari ia tak yakin akan bertemu dengan pria itu lagi.

Waktu berlalu cepat dengan keheningan yang menyelimuti. Kedua insan itu terlarut dalam alur film yang mulai mereka nikmati —atau mungkin karena memang tak ada pilihan lain. Ji Yong berdeham sebentar kemudian melirik jam dinding yang tergantung di tengah ruangan. Pria itu cukup kaget karena kini waktu menunjukkan tengah malam dengan matanya yang mulai memberat.

Manik kelam itu kemudian bergerak lagi ke lain arah, memperhatikan Sandara di sampingnya yang sedari tadi telah menyamankan diri di lengan kursi. Tak ada pergerakan yang berarti dari sang gadis. Mungkinkah ia tidur?

Dan, tebakannya benar.

Entah untuk alasan apa Ji Yong tersenyum, meregangkan otot-ototnya yang terasa pegal seraya beranjak demi berjongkok di hadapan Sandara yang kini tengah mendengkur halus. Wajah mereka sejajar. Hal itu membuat Ji Yong mampu menatap lekat sang gadis dengan waktu yang cukup lama, secara mendetail.

Pria itu bahkan dengan lucu menopangkan dagunya pada telapak tangan dengan senyum bodoh yang terus tersungging di bibirnya. Rasa kantuk menguap seketika saat mendapati wajah itu terlihat berbeda saat tertidur. Masih cantik, tentu saja, namun Ji Yong merasakan getaran lain dengan wajah yang terlelap dalam damai itu.

Wajah mulus bak porselen hidup itu tanpa sadar memenuhi benaknya dalam beberapa hari terakhir, membuatnya seakan hampir gila. Wajah yang sekaligus membuatnya lega beriringan dengan datangnya gemuruh tak menentu yang meletup dalam hatinya. Sekalipun tatapan tajam dan riak tak bersahabat selalu tergambar jelas pada wajah sang gadis saat berada dalam jarak pandangnya.

Ji Yong terbuai. Lagi dan lagi. Memandangi Sandara dari jarak sedekat ini membuat gemetar dahsyat melanda sekujur tubuhnya hingga rasanya hampir mau meledak. Katakanlah pria itu memang gila karena kini dengan lancang ia mulai mencondongkan wajahnya ke arah Sandara. Fokusnya hanya tertuju pada satu objek. Bibir ceri menggoda itu.

Manis.

Dalam hati sang pria berujar pelan, merasakan sensasi yang masih sama dengan yang pertama kali saat bibir mereka bersentuhan. Kali ini bahkan lebih luar biasa dengan atmosfer aneh yang mulai melingkupi. Ji Yong makin berani mengeksplor bibir yang kini memberi celah baginya untuk masuk lebih dalam. Mencecap lamat-lamat dengan gerakan lambat atas-bawah, lalu masuk lebih dalam dengan benda lunak tak bertulangnya.

Deg!

Manik hazel itu terbuka, namun Ji Yong yang memejamkan maniknya akibat buaian dahsyat itu tak menyadari akan pergerakan sang gadis. Ji Yong bahkan dengan berani meraih tengkuk sang gadis, memperdalam ciumannya dengan lumatan bertubi-tubi.

Sementara sang gadis yang nyawanya masih berceceran di alam bawah sadar itu mulai berkedip beberapa kali. Aksi Ji Yong yang semakin intens pada akhirnya membuat ia meringis tertahan akibat gigitan gemas Ji Yong di bibir bawahnya.

Manik kelam itu tergeragap kemudian. Sang pria menghentikan aksinya di detik berikutnya, namun tetap tak mau pindah dari tempatnya untuk memberikan Sandara sedikit ruang bebas demi menyadari hal yang baru saja dialaminya bukanlah mimpi belaka.

“Dee?” Ji Yong berucap pelan bak desauan angin, tepat di bibir Sandara yang telah basah dan hampir membengkak akibat ulahnya.

Plak!

Sandara tersadar penuh dengan manik yang membulat seketika. Pening melanda kepalanya, namun sang gadis segera berdiri dan berusaha menjauh secepat mungkin. Gila! Pria itu berhasil mencuri ciumannya dengan keadaannya yang tengah tertidur! Benar-benar sinting! Bukankah kini ia merasa bagai gadis yang tengah dilecehkan?

Chakkaman!” Ji Yong segera menahan lengan Sandara dengan satu kali gerakan cepat.

“Lepaskan!”

“Tidak!”

Sandara meronta, namun sekali lagi, tentu saja tenanganya bukan tandingan sang pria. Ia memberontak, bahkan air mata dengan lancang mulai mengalir di pipi sang gadis. Berharap sedikit saja Ji Yong mampu melunak dan melepaskannya. Ia hanya ingin pergi sejauh mungkin dari tempat ini. Keputusannya untuk menuruti Ji Yong kini dirasa bagai sebuah kebodohan.

“Tatap aku!” Ji Yong tak mau kalah untuk bertahan. Pria itu berhasil membuat sang gadis berbalik kembali untuk menghadapnya, mengguncang-guncang bahunya dengan cukup kasar. “Tatap aku, Park Sandara!”

Sandara terisak, namun ia tak mempunyai pilihan lain dengan menengadahkan wajahnya. Membuat wajah mereka bertatapan dengan manik kelam Ji Yong yang menatapnya penuh makna tersirat. Pria itu terlihat frustasi, tak jauh lebih baik dengan keadaan Sandara.

“Tidakkah kau merasakan hal yang sama denganku?” Ji Yong melembut, namun tidak dengan cengkeramannya demi menahan sang gadis. “Bukankah getaran itu pula merayapi hatimu?”

“Getaran… apa yang kau maksud? Aku sama sekali tak mengerti.” Sandara berpaling, berusaha menutupi tangisnya dengan surai kemerahan yang menutupi separuh wajahnya.

“Berhenti berpura-pura! Aku tahu kau juga menerimanya.”

Sandara terdiam dengan keheningan menyelimuti. Hanya terdengar detak jarum jam di sana dengan napas sang gadis yang terburu, tak beraturan. Ia tengah mengendalikan dirinya sendiri kali ini.

“Tatap aku!”

Ji Yong kembali bertitah dan tak lama kemudian kembali dituruti sang gadis. Kali ini Sandara telah menghentikan tangisnya. Tatapan nyalang manik kelam itu kini mulai melembut, seiring dengan cengkeraman yang telah ia lepaskan, membuat Sandara terbebas dan merasakan perih di pergelangan tangannya.

Gadis itu meringis, namun sedetik kemudian Ji Yong bergerak untuk mengusap pergelangan tangan itu lembut. Sandara masih terdiam memperhatikan hingga Ji Yong menggerakan dagunya untuk menengadah, menemukan manik masing-masing dengan pandangan yang saling mengunci.

Tangan pria itu dengan lembut mengusap lelehan sisa air mata di pipi mulus sang gadis, menghapusnya seraya merapikan surai yang menutupi wajahnya.

“Ciuman itu… aku tahu kau menyukainya, sama sepertiku.”

Manik hazel itu bergerak gelisah, namun tatapan Ji Yong seolah sihir yang mampu menghentikan keraguannya hingga menguap seketika. Satu kalimat pasrah akhirnya lolos dari sang gadis, beriringan dengan lengan Ji Yong yang merengkuh pinggang Sandara, mengikis habis jarak tubuh mereka dengan satu gerakan menghanyutkan.

“Aku… telah memiliki Dong Hae.”

“Lalu apa peduliku?”

.
.
.

To be continued…

*****

Double update dijadiin satu sebenernya karena sudah terlalu lama gak mampir di blog ini. Gimana? Masih adakah yang nunggu kelanjutannya? Atau haruskah author posting satu cerita baru yang draftnya sudah selesai? Just comment, guys. I really appreciate it!

5 thoughts on “MEA CULPA [Chap. 16]

  1. Aku sih masih setia nungguin kelanjutan cerita nya…
    Masih penasaran apa yang terjadi d masa lalu..
    Di tunggu chapter selanjutnya yaa..
    Fighting…

  2. Nungguin ini lama bangeeettt dan akhirnya di next.
    Aahhh, dara jiyong makin deket aja ni.
    Donghae disuruh ninggalin dara? dara disuruh ninggalin donghae?
    Apa hubungan eomanya dara+eomanya donghae?
    Nxt chp ditunggu secepatnya★

Leave a comment