[Oneshoot] Love is Pure

pure

Author :  JiiDee125

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

Cinta…

Aku tidak mengerti…

Perasaanku sendiri…

Mengkhianati keadaan…

Menegurku dari lamunan panjang…

Kebahagiaan yang kuanggap selama ini sejati…

Ini salah

Maafkan aku…

Aku mencintaimu, Oppa

Impian indahmu merasukiku

Memasuki celah akal sehatku

Menuntunku untuk selalu bersembunyi

Perasaan ini mustahil

Maka lepaskan aku dengan impian itu

Melihatnya tersenyum membuat bibirku ikut melengkung bahagia. Entah apa sebabnya. Padahal hubungan kami tak begitu baik. Akhir-akhir ini kami sering bertengkar hebat. Dia terlihat dingin, sekali-kali ia menjadi emosional dan menjauhiku. Aku bingung akan sikapnya yang berubah. Semenjak ia liburan bersama teman-temannya ke Busan, ia berubah. Selain itu alasanku heran dan bertanya tentang liburannya di Busan adalah semenjak liburan itu Yongbae tidak terlihat lagi bersama mereka.Apa di sana dia ada masalah? Sudah beribu kali aku menanyakan hal yang sama, tapi jawabannya selalu saja ‘tidak’ tanpa melihatku. Dia menjadi tidak sopan. Dulu ia sering menegurku untuk melihat ke lawan bicara secara langsung. Sekarang bahkan ia yang melanggar kesopanan itu sendiri. Dulu kami sering berangkat ke sekolah bersama, sekarang ia bahkan ingin pindah dari sekolah kami. Dulu kami hanya bermain bersama, hingga banyak orang yang cemburu dan mengatakan kami berpacaran, tapi itu mustahil.

Sekarang ia hanya sibuk dengan teman-temannya. Mereka tertawa behagia tanpa menganggapku. Kami kini telah dewasa, mungkin itu salah satu penyebab jarak di antara kami. Kami menjadi egois, sibuk dengan urusan masing-masing. Itulah hal yang kami jadikan gurauan dari dulu. Orang dewasa itu egois, dan kami tidak ingin seperti itu. Tapi hal itu tak dapat dipungkiri. Kami dewasa sekarang.

Dia tampak sedang asik dengan Daesung, Seunghyun, dan Seungri. Hanya mereka, temannya yang dari dulu sudah kukenal. Ia juga mengenal teman-temanku, Chaerin, Bom, dan Minzy. Sekarang aku tidak dekat dengan pria manapun, begitu juga ia, setahuku ia tidak dekat dengan wanita manapun.

“Mereka terlihat sempurna!” puji Bom melihat ke arah pandanganku.

“Eh?” bingungku.

“Bukankah kau sedang memperhatikan kumpulan namja keren itu?”

“Ya”

“Kau… ada masalah?” kini giliran Chaerin yang bertanya.

“Ani”

“Kalian tampak menjaga jarak” Minzy masih sibuk dengan smartphone-nya. Namun aku masih malas untuk menceritakan hal yang sebenarnya pada mereka.

“Kami tentu baik-baik saja”

Apakah sejauh itu jarak kami? Sehingga mereka menyadarinya? Memang kami sedang tidak baik. Ada masalah yang tidak bisa –ani- tidak ingin diselesaikannya denganku. Kami tidak bisa seperti ini.


“Kau ingin pulang?” tanyaku.

“Ehm” jawabnya, tanpa melihatku lagi.

“Boleh aku ikut?” tanyaku.

Ia melirik sekilas ke arahku, lalu kembali focus ke depan dengan sekilas senyum. Lalu kehangatan menjalar dari tanganku ke seluruh tubuhku, menggetarkan hatiku yang gundah akhir-akhir ini.

Deg

Ku lirik tanganku dan melihat dia menggandengnya dengan erat. Seperti dulu, perasaan seperti ini sangat menyenangkan. Aku ingin seperti ini selalu, ku mohon jangan pernah lepaskan lagi.

“Kau mau ke mana dulu?”

“Ng?”

“Apa kau lapar? Atau ingin bermain-main dulu?”

“Eh?”

“Ah, kau lamban sekali!”

Lalu ia menarikku entah ke mana. Lagi-lagi aku hanya seperti orang bodoh yang mengikuti ke manapun langkahnya pergi. Kembali seperti dulu, kami tertawa bersama, bermain bersama, saling mengejek, dan kompak berbuat usil. Kami seperti anak kecil, atau seperti kembali ke masa kecil. Ya, masa kecil yang sangat menyenangkan. Masa yang membuatku menyesal menjadi orang dewasa, menyesal untuk tumbuh.

“Hei, lihat ini!” dia menarikku ke sebuah pajangan di sebuah toko.

Aku mengamati benda yang ia maksud. Sebuah kalung dengan bandul berupa burung yang sedang terbang. Kata cantik tak dapat mewakili benda silver itu. Hal itu sangatlah indah. Seakan benar-benar menarikku untuk terbang ke angkasa bebas.

“Kau menyukainya?” tanyanya. Aku mengangguk cepat, dengan senyum di bibirku yang mengembang.

“Kalau begitu ayo!” ia kembali menarikku. Ia menuju pelayan toko dan membayar pelayan itu untuk kalung itu.

“Kau ingin memakainya langsung?”

“Untukku?”

“Ya”

Lalu tanpa aba-aba ia melingkarkan kalung itu di leherku. Kemudian menyibakkan rambutku dan membetulkan posisi kalung itu.

“Kau cantik dengan impianmu”

“Kau masih mengingatnya?”

“Impian anak kecil yang ingin menjadi seekor burung, dan terbang? Setelah ku pikir-pikir impian itu menyenankan” serunya. Dulu sewaktu kecil aku pernah mengatakan iri pada burung, karena mereka bisa terbang bebas ke manapun mereka ingin. Dan saat itu dia menertawakannya dan berkata bagaikan orang dewasa bahwa itu hanya impian anak kecil. Menyebalkan. Dan saat itu kami bertengkar -aku merajuk – selama dua hari.

Tiba-tiba dia menarikku lagi.

“Kita mau ke mana lagi? Ini sudah hampir malam!”

“Sebentar saja! Aku ingin bermain di wahana itu!”

Dia menarikku lebih jauh ke dalam kerumunan orang yang padat. Sesak di sini. Aku bahkan sulit bernapas. Saat akhirnya aku menyadari tangan kami sudah tidak berpegangan. Di mana dia? Aku sesak di sini. Aku ingin keluar, tapi sulit. Tubuhku terlalu kecil untuk menerobos desakan semua orang. Aku terhuyung ke sana ke mari, terdorong, bahkan aku hampir jatuh. Di mana dia? Kenapa dia meninggalkanku? Saat ini mataku sudah panas, aku takut. Tenggorokanku sakit saat ingin meneriakkan namanya. Ku mohon, tolong aku.

“Maafkan aku” suaranya terdengar cemas saat tiba-tiba menarikku ke dalam pelukannya.

“Aku takut” air mataku pecah saat merasakan kehangatan itu menjalar darinya.

“Ya, aku tahu. Maafkan aku karena tidak bisa menjagamu”

“Oppa” ku tarik tubuhku dari pelukannya. Dia menangis.

“Ada apa?”

“Bahkan di saat seperti ini saja aku tidak bisa melindungimu”

“Gwenchana. Kau sudah melindungiku”

Diam-diam dia mengusap matanya dan kembali menarikku keluar. “Ayo pulang”


Kami kembali seperti semula. Setelah apa yang kami lakukan kemarin. Bersenang-senang untuk sehari saja tidak membuat jarak kami menyingkat. Dia kembali dingin padaku. Selalu bersama teman-temannya tanpa mempedulikan aku. Bahkan melirik ke arahku pun tidak. Saat aku melangkah ke arahnya, dia segera beranjak dengan teman-temannya. Aku benar-benar tidak mengerti, apa maksudnya. Apa sebenarnya salahku, yang hanya bisa dimaafkan selama sehari? Aku harus menyelesaikannya.

“Kenapa mereka? Langsung pergi begitu saja!” ketus Bom saat melihat dia dan teman-temannya langsung pergi saat kami melangkah ke arah mereka.

“Ayo ke kantin” ajakku dan segera beranjak.

Malam ini juga! Aku harus menyelesaikannya.


“Dara? Ada apa?” tanya Yongbae saat melihatku berdiri di depan kelasnya.

“Aku mencari Oppa. Apa kau melihatnya?”

Air mukanya langsung berubah.

“Dia sudah pulang dari tadi. Dia sakit”

“Sakit?”

“Ya. Kau tidak tahu?”

“Tidak”

Kenapa aku tidak tahu kalau dia sakit? Kenapa tidak ada yang memberitahuku? Kenapa dia tidak memberitahuku hal sepenting ini? Dia bodoh! Kau bodoh Oppa! Bahkan hal sepenting ini aku tak mengetahuinya. Kau benar-benar ingin menyiksaku dengan cara ini, huh?

Tanpa pikir panjang aku segera berlari ke rumah. Air mataku tak dapat kucegah. Hatiku sakit. Dia benar-benar sudah tidak menganggapku lagi. Aku harus cepat. Oh, came on! Mana bisnya? Aku tidak bisa menunggu. Aku lari tanpa mempedulikan tasku yang cukup berat. Di saat seperti ini kenapa tidak ada yang bisa diandalkan? Semuanya berpaling dariku. Keberuntunganku pada saat ini tidak berlaku lagi. Aku benci semuanya. Aku benci.

Sulit untuk menghapus bahkan menghentikan air mata ini.

“Aku pulang!” aku langsung berlari ke kamarnya tanpa menoleh ke arah Umma yang memanggilku.

Dia tertidur. Damai. Dia terlihat sangat pucat. Perlahan aku melangkah masuk, takut membangunkannya dari mimpi indahnya. Dia masih tertidur saat akhirnya aku memberanikan diri untuk duduk di pinggiran kasurnya. Ku sentuh keningnya. Tanganku bergetar hebat, meti rasa. Lalu ku dekatkan wajahku ke wajahnya. Ku tempelkan keningku ke keningnya. Keningnya panas sekali.

Deg

Tiba-tiba ia meringis tidak nyaman dan kesakitan. Ku tarik kembali wajahku saat matanya bergerak hingga akhirnya terbuka. Dia menyipitkan matanya akibat silau lampu menyambutnya. Akhirnya pandangannya menatap lurus padaku. Mukanya tampak merah karena panas tubuhnya.

“Maaf membangunkanmu”

“Ada apa?”

“Apa aku perlu urusan tertentu untuk ke kamarmu?”

“Kurasa ada”

Aku berdiri dan hendak kembali ke ruangan. Aku marah dengan sikapnya. Ingin rasanya aku menanyakan sikap dinginnya ini sekarang, tapi dia sakit. Itu tidak mungkin. Menyesal rasanya aku ke sini.

”Sekarang kau mau ke mana?” tanyanya.

“Kamarku. Aku tidak ada urusan di sini”

Tiba-tiba tangannya menarikku hingga kembali duduk di tepian kasurnya. “Kalau begitu urusanmu mengurus pengeran yang lemah ini”

“Jika aku tidak mau?”

“Tidak akan merepotkan. Hanya diam di sini”

“Aku banyak urusan, Oppa!”

“Apakah urusanmu lebih penting dariku?”

“Ne, wae?”

“Kau memang dongsaeng yang kejam”

“Biarin. Week” 😛

Akhirnya aku mengalah untuk menemaninya di kamarnya. Hanya kami. Dia mencoba untuk terlelap, sedangkan aku bingung harus melakukan apa. Aku hanya memandangi sekitar. Sudah lama aku tidak memasuki kamarnya. Baunya benar-benar khas dirinya. Aku rindu bergelut dengannya, berlarian mengitari rumah besar ini. Dengan mainan yang berserakan di sana sini. Huaaamh. Akhirnya aku mengantuk kebosanan.


“Kau tampak ceria” tegur Bom membuyarkan lamunanku.

“Ng?”

“Apa kau sadar dari tadi kau senyum-senyum sendiri”

“Eh?”

“Dan sekarang kau tampak seperti orang bodoh, kau tahu”

Aku hanya tergelak melihat ekspresi kesal Bom. “Ada apa? Kau marah aku senyum?”

“Seharusnya aku yang bertanya ada apa?”

“Hanya sedikit merasa lega”

“Apa kau sudah berbaikan dengannya?”

“Siapa?”

“Oppamu”

“Kami baik-baik saja. Tidak ada yang salah”

“Kau tak dapat membohongi mataku, Dara”

“Ok, aku rasa dia sedikit kembali seperti dulu”

“Baiklah, selamat kalau begitu. Itu mengubah atmosfir di sekitarmu menjadi buruk”

Perjalanan ke kelasku melewati ruang kepala sekolah. Saat itu, di sana kudapati dia berdiri sambil menyandang ransel yang biasa dipakainya ke sekolah. dengan selembar kertas di tangannya yang dipandanginya begitu lama. Ada kesedihan di sana. Lalu dia beranjak pergi, menatap pasti ke depan, ke arah gerbang sekolah. Ke mana dia pergi?

“Dara, bukankah itu-“

Aku tidak mendengarkan Minzy dan langsung menghambur menuju ke gerbang yang sama. Saat sudah sampai, akhirnya aku dapat menangkap tangannya. Aku sedikit susah bernapas karenanya.

“Dara?”

“Kau akan ke mana?”

“Masuklah ke kelas. Bel sudah berbunyi”

“Apa itu?” aku melirik ke kertas di tangannya.

“Hanya surat izin. Sekolah mengizinkanku untuk pergi berobat. Kau tahu, kan aku belum sehat sepenuhnya”

“Hanya itu?”

“Kau tidak mempercayaiku lagi? Lihatlah keluar jika kau tak percaya”

Aku mengikuti pandangannya dan mendapati Appa dan Umma di dalam mobil. Mereka melambai ke arahku. Dia benar. Dia hanya akan pergi berobat. Dia memang tidak pernah berbohong kepadaku. Aku melepaskan tangannya. Tangannya naik ke puncak kepalaku dan mengacak-acak rambutku seperti biasanya.

“Aku pergi dulu, ne?”

“Hati-hati”

Dia menghentikan langkahnya dan berbalik melihat ke arahku. “Nanti malam ada yang harus kukatakan”

“Mmh”

___

Lagi-lagi aku teringat tentangnya. Bahkan ia menyita otakku dalam pelajaran kesukaanku. Dia hanya pergi berobat, untuk apa aku mencemaskannya? Aku rasa akhir-akhir ini aku terlalu berlebihan dalam hal perasaan.

“Kau ingin ikut bersama kami Dara~ah?” tanya Minzy.

“Dara?” Chaerin menyenggolku.

“Eh, ya?”

“Kau melamun lagi”

“Sudahlah, kau tahu dia hanya pergi berobat”

“Apa?”

“Tidak usah pura-pura bodoh”

“Oh. Aku akan langsung pulang”

“Bagaimana jika ku antar?” tiba-tiba suara namja mengagetkanku.

“Donghae?” Donghae berdiri di depanku dengan senyum manisnya. Selama ini kelasku terkenal dengan namja manis bernama Donghae.

“Ya, mereka benar. Kau akhir-akhir ini sering melamun. Dan kau tidak boleh bepergian sendirian dengan sikap buruk itu”

“Akhir-akhir ini aku pulang sendirian”

“Well, sebenarnya aku hanya mencari teman untuk mengunjungi toko buku yang kebetulan searah dengan rumahmu”

“Baiklah. Kalau bagitu aku duluan” aku berpamitan pada Bom Minzy dan Chaerin.

___

Perjalanan kami di dominasi oleh keheningan. Bukan karena Donghae pendiam, tapi karena pikiranku masih terfokus pada kejadian tadi. Berkali-kali Donghae mengajakku berbincang, menanyakan tentang diriku, dan sedikit bercerita tentang dirinya atau buku yang baru saja dibelinya, tapi aku hanya menanggapi seadanya. Ingin rasanya aku berlari agar cepat sampai di rumah.

“Kalau begitu aku lebih baik langsung pergi”

“Eh?”

“Kita sudah sampai di rumahmu, Dara”

“Ah, ne. Gomawo”

“Seharusnya aku yang berterimakasih”

“Kau mau masuk?”

“Tidak, terima kasih”

“Dara!” suaranya terdengar dari belakangku.

“Cepat masuk. Umma memanggilmu” mukanya dingin.

“Ne”

“Aku pulang. Bye. Anyeong Sunbae” pamitnya padaku dan Oppa. Tapi Oppa tetap bermuka dingin.

“Dia siapa?” tanyanya saat aku baru saja melangkah masuk.

“Teman”

“Baru kali ini aku melihatmu dengan namja. Apalagi mengantarmu pulang”

“Dia hanya minta ditemani untuk membeli buku di ujung kompleks” aku bahkan tak melhat ke arahnya.

“Umma! Kau memanggilku?” aku segera menuju ke arah dapur di mana Umma menyiapkan makan malam.

“Aniyo”

“Jinja?”

“Ani, honey. Sekarang cepat mandi dan turun untuk makan malam”

“Ne”

Apa maksud Oppa mengatakan Umma memanggilku, padahal tidak. Ditambah sikap dinginnya saat melihat Donghae. Aku rasa sikapnya tak wajar.

___

Makan malam kami terasa hening. Entah sejak kapan rumah ini menjadi terasa kaku dan menegangkan. Tidak sehangat biasanya. Tidak ada satupun diantara kami yang berusaha untuk memulai pembicaraan. Makan malam yang panjang.

“Ehm” tiba-tiba suara apa menggelegar di telingaku.

“Dara, apa sekolahmu baik-baik saja?”

“Ne”

“Err. Dara-“

“Dara aku akan pindah sekolah”

“Eh? Lawakan yang buruk, Oppa”

“Tidak. Aku sedang tidak bercanda. Besok aku akan pindah ke Jepang”

Aku menghentikan aktivitasku. Tanganku seketika bergetar hebat, seolah kata-katanya adalah gempa dasyat di acara makan malam ini. Kepalaku tetap tertunduk, tak mampu menatap keseriusan di antara mereka. Mataku saat itu juga panas. Hatiku tak dapat menerimanya. Namun bibirku mencoba mengkhianati dengan senyum. Aku tetap berusaha tersenyum dengan air mata yang sudah mengalir deras. Perlahan ku coba untuk menatap Umma. Wajah kasihannya terlihat jelas di sana. Dia terlihat benar-benar mengasihaniku.

“Kalau begitu, kita harus bersiap-siap”

“Tidak, Dara. Hanya Jiyong” Umma menghentikanku.

“Hanya Oppa?”

Mereka semua mengangguk.

“Kenapa?”

“Untuk memudahkannya memasuki Tokyo University, dia harus belajar di Tokyo”

“Aku juga ingin masuk ke sana. Sebaiknya aku juga pindah”

“Belum saatnya untukmu, Dara” dia menahan tanganku. Aku mencoba untuk melepaskannya, namun sulit. Akhirnya ia melepaskannya sendiri.

“Aku kenyang”

“Dee”

Sakit. Kenapa mereka memisahkan aku dengan Oppa? Kenapa Oppa menjauhiku? Apakah sefatal itu kesalahanku? Selama ini dia selalu menjadi pendengar setiaku akan setiap cerita membosankanku. Sekarang, ia yang melukiskan cerita itu. Ia mencampakkanku. Apakah aku tidak pantas untuk menjadi dongsaeng-nya? Apakah aku sekejam itu selama ini padanya? Apa kesalahanku?

“Apa kesalahanku?”

“Dee, ada yang ingin kubicarakan”


Jiyong’s POV

Aku menunggu di depan kamarnya. Dengan tangan terkepal, siap mengetuk pintunya. Saat itu aku mendengar isak tangisnya. Menyakitkan. Menyakitkan mendengarnya menangis sampai seperti itu. Selama ini aku berusaha untuk menjauhkan air mata darinya. Namun sekarang, aku yang menumpahkan padanya. Aku tak dapat berbuat apa-apa lagi. Hanya ini satu-satunya cara. Aku memberanikan diri masuk ke kamarnya tanpa mempedulikan kesopanan dalam bertamu. Toh, akhir-akhir ini kata sopan yang ku ajarkan padanya sudah ku hapus. Beribu kali aku mencoba untuk membuatnya membenciku, namun percuma saja, aku yang tak bisa meninggalkannya.

“Apa kesalahanku?”

“Dee, ada yang ingin kubicarakan”

Dia berusaha menghentikan tangisannya untuk sejenak. Mencoba menangkap suaraku.

“Kalian sudah mengatakannya”

“Bukan itu yang kumaksud”

“Kurasa topiknya akan sama. Lebih baik kau pergi, karena urusanmu sudah selesai”

“Aku minta maaf, tapi aku benar-benar harus pergi”

“Apakah Tokyo lebih penting dariku?”

“Kau benar. Lebih baik kita selesaikan semuanya sekarang”

GLEK

Kata-katanya membuatku takut. Dia menyibakkan selimutnya, bangkit dari kasurnya dan menatap lurus ke arahku. Tatapannya nanar dengan ketidakpuasan. Aku yakin, banyak hal yang ingin diketahuinya dariku. Semuanya, tentang sikapku, tentang kepindahanku, dan akan berakhir di permasalahan busan. Air matanya masih membekas do pipinya. Ia sangat berantakan, sangat terpukul. Aku yakin, hal itu sangat menyakitinya. Tapi aku juga sakit.

“Kau berubah”

Akhirnya.

“Apa yang membuatmu berubah hanya dalam tiga hari?”

“Dee, aku hanya merasa kita tidak pantas lagi untuk seperti dulu. Kita sudah dewasa, bukan anak kecil lagi. Sudah saatnya untuk kita menjadi orang dewasa yang egois. Sudah saatnya kau mencari orang yang akan menggantikanku untuk menjagamu”

“Tapi orang dewasa tidak harus bersikap dingin!”

“Aku rasa aku berlebihan dalam mengajarkanmu untuk menjadi dewasa”

“Kau bahkan beranjak dari tempat dudukmu hanya karena aku berjalan ke arah kalian”

Beranjak? Ah, mungkin itu saat Seunghyun menyuruh kami pergi saat Bom hendak menghampirinya. Seunghyun saat itu sedang kesal pada pacarnya itu. Dan saat itu aku juga melihat Dara bersamanya.

“Lalu, kepindahanmu. Apa itu juga untuk mengajarkanku untuk menjadi dewasa?”

“Jika kau sadar itu berlebihan, kenapa kau tetap pindah dan menjauhiku?! WAE?!!”

Air matanya kembali mengalir.

“Maaf, aku punya alasan tersendiri”

“APA YANG KALIAN SEMBUNYIKAN DARIKU?”

“Dara, ini tidak ada hubungannya dengan Umma dan Appa!”

“KAU PEMBOHONG!!! PERGI!!”

Dara bertubi-tubi melemparkan semua yang dapat dijangkaunya padaku. Dia mengusirku pergi. Aku tak habis pikir. Iabenar-benar kekanakan.

Aku mendekatinya dan menahan tangannya dengan keras. Ia merintih kesakitan. Aku tak peduli. Aku terlampau kesal dibuatnya. Dia tidak akan mengerti.

Dara menatapku marah, menantangku. “Lalu apa?” pertanyaannya tajam, menusuk.

“KELUARGA INI TIDAK PANTAS MENERIMA OPPA YANG MENCINTAI DONGSAENGNYA SENDIRI! TAIDAK PANTAS! AKU TIDAK PANTAS MENJADI KALUARGA INI!! KARENA AKU MENCINTAIMU!!”

Air mataku tak dapat dibendung lagi saat mengatakannya, aku segera beranjak pergi meninggalkannya yang masih bingung dengan pengakuan bodohku. Bukan sepenuhnya bodoh, karena bagiku untuk melakukannya membutuhkan kekuatan ekstra, bahkan untuk berjalan aku hampir tak sanggup. Entah ke mana, aku sendiri tak tahu. Aku hanya ingin pergi sejauh mungkin darinya. Juga dari dosa apabila aku bersamanya.

“Dara, maafkan aku. Maafkan aku, Dara~ah. Maaf”

Akhirnya aku terduduk tak berdaya.


Setelah kejadian itu dia benar-benar pindah. Dia hanya menyalamiku dengan matanya yang menyemburatkan kesakitan. Aku bahkan tidak mengantarkannya ke bandara. Aku masih terpukul dengan pengakuannya malam itu. Saat ia pergi ingin rasanya aku mengejarnya, dan memintanya kembali. Memintanya untuk tetap bersikap seperti biasa, namun saat itu aku benar-benar kaku. Tak ada satupun anggota tubuhku yang berfungsi dengan baik. Meskipun itu paru-paru dan jantungku. Seketika aku seperti orang lumpuh, tenggorokanku tercekat, dan jantungku berdetak keras dan cepat. Hingga saat ini aku masih merasakan hal yang sama saat di dekatnya.

Appa dan Umma segera berangkat mengantarkannya. Sedangkan aku? Aku hanya diam di pintu dengan tatapan kosong mengikuti mobilnya. Ditemani air mata yang tidak berhenti mengalir semenjak ia masuk ke dalam mobil. Saat mobilnya berbelok dari kompleks, akhirnya pertahananku runtuh. Kakiku lemas terkkulai, tak mampu menopangku. Tangisanku pecah sejadi-jadinya menahan rasa sakit ini. Baru tadi malam ia mengungkapkan semuanya, sekarang ia telah pergi meninggalkanku dengan perasaanku yang masih bingung. Cintaku telah pergi. Aku ingin mengejarnya lagi, namun kakiku tak mampu bergeming.

“OPPA!!!”


1 bulan kemudian

Dara’s POV

“Selamat Dara!” mereka tak henti-hentinya memberiku selamat atas peringkatku. Sebenarnya sekarang peringkatku menurun. Aku hanya mendapat peringkat dua di semester kali ini. Jika Oppa mengetahuinya, ia pasti akan sangat marah. Selama ini ia selalu menuntutku untuk mendapat peringkat, meskipun nilainya tak pernah di atasku. Tapi sekarang ia entah di mana. Semenjak itu ia tak pernah menghubungiku. Ia hanya menitipkan salam pada Umma apabila ia menelepon Umma.

“Dara. Ada yang ingin aku bicarakan”

Yongbae Oppa tiba-tiba mengajakku berbicara penting. Ia manarikku menjauh dari keramaian.

“Ada apa, Oppa?”

“Aku tidak tahu harus memulainya dari mana”

“Aku mencintaimu”

“Dan aku sudah mengatakannya pada Jiyong”

“MWO?”

“Dan dia marah”


Flashback

“Akh, kampung halamanmu benar-benar indah Ji! Tapi liburan ini terlalu cepat”

“Nikmatilah malam terakhir kalian di sini, karena tahun berikutnya kita akan menghadapi banyak sekali ujian, terutama tes masuk universitas”

“Ji, ada yang ingin ku bicarakan padamu” aku menatap serius ke arah Jiyong, setelah Seunghyun, Daesung dan Seungri masuk ke kamar mereka.

“Ada apa?”

“Aku mencintai Sandara. Jadi aku berharap kau mau memberiku izin untuk mendekatinya”

Tiba-tiba Jiyong memukulku tanpa alasan. Aku heran. Aku mencoba untuk tidak melawan sedikitpun.

“Dia bukan permainan!”

“Aku tahu. Kau tahu, kan, aku tidak pernah bermain-main dengan yeoja selama ini”

“Maaf. Tapi Dara sudah memiliki pria yang akan menjaganya” Jiyong pergi meninggalkanku.

“Ji, biarkan kami bersaing dengan fair”

“Baiklah, jika kau bisa mengalahkanku!” Jiyong menatapku tajam. Ada ketidaktulusan di matanya. Dia benar-benar tidak mengizinkanku.

“Pria itu..kau? Kau mencintai Dara, Ji? Dia adikmu!”

“Itu bukan urusanmu” lalu Jiyong pergi menghempaskan pintu kamarnya.


“Dara, kau..”

“Aku sudah mengetahuinya, Oppa. Dia sudah mengatakan semuanya”

“Lalu kau bagaimana?”

“Entahlah. Saat itu aku juga shock tapi tak dapat kupungkiri, secercah kebahagiaan juga kurasakan saat itu. Aku tahu ini salah. Tapi ini kenyataannya”

“Kalau begitu tidak ada sedikitpun harapan untukku, ya?”

Aku hanya tersenyum, tak tahu harus bertindak apa.

Tiba-tiba Yongbae Oppa memberikan sebuah amplop putih padaku. Ia hanya mengisyaratkanku untuk membukanya. Tidak ada tulisan apapun di amplop putih itu.

Mataku kembali panas saat melihat tulisannya. Tulisan yang sangat kukenal, yang selama ini selalu diperagakannya saat mengajariku.

“Dari.. Oppa?”

Yongbae Oppa mengangguk.

 

Hi Dee

Bagaimana kabarmu? Kuharap kau baik-baik saja saat aku tidak berada di sampingmu. Aku baik-baik saja di sini. Aku harap hidupmu berjalan lancar seperti biasa.

Aku tidak tahu apa yang harus kukatakan. Pasti kau merasa pembicaraan ini terlalu kaku. Aku juga merasa begitu. Aku terlalu kaku untuk mengungkapkan permintaanmaafku padamu. Selama ini aku berjanji untuk melindungimu, namun aku menodai semuanya. Aku tidak tahu harus berbuat apa. Aku hanya mengikuti perasaanku. Lihat, bahkan dalam surat permintaanmaafku aku masih bersikap egois. Kau berhak marah padaku. Aku hanya tidak ingin kau ikut terjerumus dalam dosaku. Maaf Dara~ah.

“Kau terlambat Oppa. Kau terlambat. Aku… aku sudah jatuh ke lubang dosamu! Oppa!!”

 Suatu saat nanti, semoga aku bisa membawa seseorang untuk bisa kulindungi. Tapi kaujangan khawatir, kau gadis jelita terfavorit untukku. Dan untukmu, aku berharap kau tetap berdiri meskipun tanpa aku di sisimu. Aku tahu kau kuat, berani, dan pintar. Semoga kau menemukanpelindung sejatimu suatu saat nanti, dan pada saat itu aku akan berada di sana untuk melihatmu ke altar. Dan kalau boleh, aku sarankan kau untuk melihat orang di depanmu,

Aku mendongak, dengan air mata tergenang. Dia, Yongbae masih berdiri di depanku. Dia hanya menatapku perih. Aku yakin dia prihatin melihatku saat ini. Aku benci tatapan seperti itu. Lalu aku kembali menatap surat di tanganku.

altar. Dan kalau boleh, aku sarankan kau untuk melihat orang di depanmu,lihatlah betapa tulusnya dia. Bahkan kurasa hingga saat ini dia masih menatapmu. Kau tahu siapa maksudku. Yongbae adalah namja yang bertanggungjawab. Aku berharap kau akan memberinya kesempatan. Pikirkan lagi.

Ah, tentang mimpi.. Aku menarik kata-kataku. Mimpimu adalah mimpi terindah. Sekarang aku memimpikan hal yang sama. Aku… ingin menjadi burung yang terbang bebas di angkasa. Aku ingin hidup bebas, tanpa segala tuntutan sebagai manusia, bermain bersama, dan tidak perlu khawatir mengenai umur. Dan..seperti mereka yang bebas memiliki cinta, tanpa ada kata cinta terlarang.

Ah, jangan lupa katakan pada Yongbae, gomawo karena telah menyampaikan surat ini padamu.

Bye Dara~ah. Oppa menyayangimu.

 

Kwon Jiyong

 

Aku kembali melipat surat itu. Tanganku mengepal, sakit rasanya mendengar setiap ucapannya. Berapa lama dia akan meninggalkanku? Tidak tahukah dia, sekarang ini aku sakit? Dia menyiksaku dengan seperti ini. Aku bukanlah yeoja kuat seperti yang dikatakannya. Aku lemah tanpanya. Dia sumber kekuatan itu. Aku sudah terbiasa bergantung padanya, berlindung di belakangnya. Oppa, aku mencintaimu, sekarang kenapa kau yang tidak menginginkanku? Aku telah membuat dosa besar, Oppa. Saranghae.

“Gomawo, karena kau telah menyampaikan surat ini padaku” suaraku gemetar.

“Ne. Aku rasa aku harus pergi”

“Kau…” Yongbae Oppa menghentikan langkahnya. “Kapan mendapatkannya?”

Yongbae berbalik. Aku tak peduli pendapatnya atas kekacauan yang dilihatnya sekarang pada wajahku. Air mataku telah membasahi wajahku dengan mataku yang merah.

“Aku..” Yongbae menarik napas berat. “Benar-benar sudah tidak memiliki kesempatan”

Aku menahan napas, tak tahu harus merespon apa. Selama ini tak pernah berharap akan perasaan dari Yongbae Oppa. Aku benar-benar menganggap Yongbae seperti sahabat. Berbeda dengan perasaan yang selama ini ku salahartikan pada Jiyong Oppa. Rasa sayang yang berlebihan posesifnya, ingin memilikinya selamanya, ternyata dinamakan cinta.

“Pergilah sekarang juga ke International Seoul Hospital kamar VIP”

Aku bingung mendengar perkataannya. Mataku membulat, butuh penjelasan lanjut dari mulutnya.

“Dia dirawat di sana”

Bug

Perkataannya adalah pukulan terhebat. Dirawat? Kenapa?ada apa dengannya? Apa yang sudah kulewatkan? Kenapa aku tidak tahu? Tidak ada seorang pun yang memberitahuku.


From : Yongbae

Aku sudah mengatakannya pada Dara. Dia dalam perjalanan ke sana


Secepat mungkin Dara berlari ke international Seoul Hospital. Tak mempedulikan sakit di tubuhnya akibat bertabrakan dengan beberapa orang berbadan besar. Bahkan saat dirinya jatuh karena tersandung. Tak peduli dengan sakit akibat luka di lututnya. Tak peduli dengan anggapan semua orang yang melihatnya dengan tatapan aneh, takut, dan kasihan. Tidak sedikitpun, karena yang ada di pikirannya hanya bertemu dengan Jiyong, saat ini juga.

“Kemarin, aku bertemu dengannya saat akan menemui Appa-ku. Saat itu aku melihat ibumu di sana. Aku khawatir jika terjadi sesuatu buruk padamu, jadi aku mengikutinya. Dan saat itu aku melihat Jiyong dengan kepalanya yang botak dan wajah pucat. Ia duduk di atas ranjang, memakai pakaian pasien. Aku menunggu di sana, hingga akhirnya Ibumu pergi. Saat itu aku berbicara dengannya”

Dara sulit untuk menyeimbangkan langkahnya. Semakin lama, rasa sakit di dadanya semakin menguras kekuatannya. Membuat larinya semakin lambat. Air matanya terus menghancurkan penampilannya. Dia terus meremuk bajunya, seakan hal itu dapat menghilangkan rasa sakit itu dalam sekejap.

“Hampir aku melayangkan pukulan saat melihatnya menjadi sangat lemah dalam balutan piyama kebesaran itu. Dia juga berusaha untuk menyembunyikannya dari orang tuamu, namun tidak bisa. Dia meminta orang tuamu untuk merahasiakan ini dari semua orang, termasuk kita. Dia hanya tidak ingin terlihat, dikenal siapapun, dan dikasihani saat itu, jadi dia memilih untuk bersembunyi. Tentu saja aku tidak dapat menerima alasan munafik itu. Jadi aku memaksanya, hingga akhirnya ia berkata bahwa cukup baginya memiliki dosa besar di dunia, yang ia butuhkan hanya kedamaian dalam matinya nanti, dan menebus semuanya. Mencintaimu, hanya dapat dihilangkan dengan kematian”

Saat itu juga, Dara tak sanggup lagi menahan semua sakit itu. Berkali-kali dipukulnya dadanya, dan akhirnya ia terduduk di trotoar itu dengan tangisan yang meledak keras bagai anak kecil. Dengan terus memanggilkan nama Jiyong. Pandangannya yang kabur pada akhirnya perlahan semakin jelas. Ia mencoba menghentikan tangisannya pada saat suara serak berusaha memanggil-manggil namanya.

“Dara~ah!”

“Dee~ah!!”

“Oppa? Jii?”

Jiyong sudah berada di seberang jalan sana. Tepat di depan Dara. Juga menahan tangisnya dan rasa sakit di kepalanya, serta sakit yang sangat dalam di dadanya. Dia berusaha menggerakkan kursi rodanya dengan tangan. Tak berhasil, tangannya terlalu bergetar dan lemah untuk melakukannya. Air matanya akhirnya menetes saat roda itu tak bergeming juga. Sesekali ia melihat kea rah Dara untuk membangkitkan semangatnya. Namun hal itu sia-sia.

Dara seakan mendapat tambahan energy. Ia segera bangkit dan terlihat panic. Ia melirik kiri-kanan, menanti spasi terbesar di antara mobil yang berlalu lalang.  Akhirnya ia mendapatkannya. Ia berlari ecepat mungkin untuk melewatinya, hingga ia hampir tertabrak. Ia tetap tak peduli. Diteruskannya langkahnya dengan caci maki supir di belakangnya.

Dara segera memeluk Jiyong, melepas kerinduannya yang telah berevolusi menjadi sakit di hatinya. Sakit sekali. Jiyong membalas pelukan Dara tak kalah eratnya. Berusaha merengkuh setiap inci tubuh Dara dalam pelukan mereka. Air mata kembali mengalir di pipi mereka.

Jiyong menarik dirinya, memperhatikan yeoja di depannya yang berlaku sangat manja. Ditangkupnya pipi Dara, mengusap air mata Dara dengan tangannya yang masih bergetar. Ingin rasanya Jiyong menenangkan Dara dengan kata-kata jeniusnya, namun otaknya macet, tenggorokannya tercekat. Ia hanya dapat mengangkat wajah Dara agar menatap lurus ke arahnya. Yeoja yang selama ini dijaganya kini berantakan, sangat berantakan. Keringat membasahi rambut indahnya. Matanya sembab akibat tangisan. Wajahnya merah. Lagi-lagi Jiyong merasakan rasa sakit di dadanya. Saat Dara membuka matanya, Jiyong akhirnya tersenyum.

Dara dapat merasakan tangan gemetar menangkup wajahnya. Dia membuka mata dan melihat sesosok namja yang selama ini diagungkannya. Tak ada lagi wajah meronanya. Tak ada lagi rambut fashionista-nya. Tiada lagi bibir merah manisnya. Semua sudah berubah menjadi pucat pasi, rambutnya berganti perban yang menutupi kepalanya. Namun senyum di wajahnya tetap semanis sejak pertama. Matanya mengisyaratkan kesakitan mendalam. Badannya kurus kerontang. Tak setangguh saat terakhir Jiyong memboncenginya naik sepeda.

Jiyong mendekatkan kepalanya pada Dara. Dara hanya menutup mata, pasrah dengan semua yang dilakukan Jiyong.

Chu~

Kecupan hangat mendarat di kening Dara dengan lembut.

“Aku takut. Jangan lakukan hal bodoh itu lagi”

“Kau bodoh dengan semua kebohonganmu! Dengan semua dosa besarmu!”

“Tidak ada yang dapat dilakukan lagi, Dee~ah. Semuanya sudah terlambat. Biarkan semuanya berlalu, biarkan aku hilang dari memori pahit dunia. Tidak ada yang bisa dilakukan”

“Jii. Aku mencintaimu”

“Dee”

“Jangan tinggalkan aku lagi. Aku ingin bersamamu. Bawa aku bersamamu”

“Dee”

“Ku mohon.. Aku tidak akan banyak permintaan. Yang ku mau hanya kau di sisiku”

“Dee~ah. Aku sudah tidak seperti dulu. Aku buruk. Bahkan alam entah bisa menerimaku. Aku hanya akan menyengsarakanmu. Dara, aku juga mencintaimu, tapi cinta tak harus memiliki. Cintaku tak ingin kau sengsara”

“Aku tak peduli! Aku akan menerima segalanya. Ini keputusanku! Aku.. sudah dewasa, jadi inilah saatnya bagiku untuk menentukan langkahku, dengan menghiraukanmu. Tak selamanya kau benar dengan kata-katamu”

“Kau harus memikirkannya, Dee. Ini bukan main-main!!”

“Aku sudah memikirkannya. Aku ingin mati bersamamu!”

Glek

Napas Jiyong sesak. Dadanya naik turun, tak mampu mengambil keputusan yang tepat. Ia hanya tek ingin bersikap egois, namun saat ini mereka berdua egois untuk hal yang sama, yaitu cinta. Cinta mereka menumbuhkan keegoisan yang harus di telannya sendiri.

“Tutup matamu, dan peluklah aku seerat mungkin. Pikirkan bahwa saat ini kau terbang ke negeri impianmu”

Dara menuruti perkataan Jiyong.

Chu~

Bibir mereka,

Bersentuhan..

Hal itu membuat Dara sedikit bergedik, kaget dengan yang dilakukan Jiyong, namun tak mencoba untuk menarik diri. Jiyong mencium bibir manis Dara, dan melangkahkan kakinya ke depan. Langkahnya menuntun Dara untuk melangkah juga. Pagutan mereka semakin erat, dengan bibir Jiyong masih menempel di bibir Dara. Mereka melangkah lebih jauh, semakin ke tengah, mendekati sebuah mobil yang melaju sangat kencang. Semua orang sibuk dengan keegoisan masing-masing. Bahkan tak memperhatikan dua orang yang sudah hampir mengakhiri segala yang ada pada hidupnya. Semuanya terjadi begitu cepat.Semua mata terpaku kaget akibat bunyi decitan yang dihasilkan ban mobil dengan jalanan. Suara remnya tak luput mengganggu pendengaran, berusaha berhenti dari kelalaian si pengemudi. Saat mobil itu membentur mereka berdua dengan sangat keras, melayangkan tubuh Dara seperti boneka, bersama dengan tubuh lemah Jiyong. Tubuh mereka terpental, berguling, dan menyatukan tangan lemas mereka dalam satu genggaman. Darah segar mengalir di antara mereka, menarik kerumunan manusia untuk mendekat. Semua panic, bersamaan menelepon panggilan darurat, saat seketika semuanya berhenti di dalam mereka. Transportasi darah, napas, detak jantung dan sekalian indra berhenti. Aktifitas semua sel di dalam mereka berhenti dalam sekejap. Mereka tiada.


Matahari menyinari dua nisan baru, memberikan efek suci padanya. Menyisakan keharuan bertali air mata. Namun di sana, cinta mereka tetap terhubung dalam bentuk sayap putih yang senantia mengepak bebas di angkasa. Menjelajahi pahit manisnya dunia. Mengamati setiap kebebasan ini dengan mata tertutup. Menikmati dengan pundi-pundi penuh berisi. Ke sana ke mari mereka berdansa bersama, tak menghiraukan kejamnya terik matahari. Sibuk dengan cinta yang menggelitik kebahagiaan mereka.

“Aku mencintaimu, Jii. Jika hal itu membuatku mejadi seekor burung seperti ini, bagiku itu bukanlah dosa. Aku sangat beruntung”

“Aku mencintaimu, Dee. Wujudku sekarang adalah hal paling sempurna yang pernah kuimpikan, karena wujud mimpimu adalah mimpiku yang paling sempurna”


Cinta, suci dalam bentuk apapun. Karena mereka tidak salah apa-apa, karena mereka buta, karena mereka hanya menerima ketulusan. Begitulah cara Tuhan menganugerahkan kebesaran-Nya pada umat awam.


Sebuah tangan melingkar di leher Dara. Hangat. Lalu menempelkan pipinya di pipi Dara, mencoba bersikap manja pada yeoja-nya itu. Kembali mencoba mengalihkan perhatian yeoja-nya dari smartphone. Sudah rutinitas yeoja-nya membaca cerita-cerita tentang mereka di internet saat menunggu dirinya latihan.

Dara menyimpan smartphone-nya ke dalam tas, mengerti maksud kekasihnya. Dia memalingkan wajahnya, menatap wajah kekasihnya yang sudah masam. Dia sedikit tergelak, dan menelus puncak kepala namja itu.

“What? Something funny?”

“No, but maybe!”

“Chagi… Kau letih?” Jiyong bangkit dari posisinya.

“Tidak seletihmu. Pulang sekarang?” Dara menyandang tasnya dan berdiri menghadap Jiyong.

“Yap” jawab Jiyong, dengan matanya yang menatap dalam ke Dara. Tangannya terangkat, mengusap pipi Dara dan menyelipkan rambut Dara ke belakang telinga. “Kau cantik chagi..”

Dara tersenyum menatap ke bola mata Jiyong. Beribu kali kalimat itu dikatakannya, dan seluruhnya mampu melumpuhkan pertahanannya.

“Aku pikir aku terkena efek membaca fanfic tadi..”

“Oh, came on..it was romantic!”

“Apakah aku mengacaukannya? Sorry!” Dara terkekeh. Namja-nya kini kembali memajukan bibirnya. Terlihat sangat lucu dan bodoh. “Ayo. Bukankah kau lelah?”

“Ya, tapi kau harus bersamaku sampai besok” Jiyong menarik tangan Dara seketika.

“Kau tahu, kau harus membaca cerita mereka. Semua ceritanya mengagumkan. Appler benar-benar mencintai kita”

Jiyong berbalik menghadap yeoja-nya. Menangkup wajah mungil itu.

“Namun cerita kita jauh lebih menarik dari itu”

Chu~

 

 


 

~ The End ~

Lagi nggak tahu mau apa..jadi bikin cerita lain, pas banget lagi dapat alur yang lumayan menarik. Mian kalau ada typo, atau nggak sengaja menyinggung readers sekalian. Cerita ini hanya fiktif belaka. Namun Jiyong benar, their real story is more attracting.

Please read, like, and comment. Gomawo..

Salam, JiiDee125

29 thoughts on “[Oneshoot] Love is Pure

  1. Wow q kira bneran thor jiyong sbagai oppa mncintai dongsaeng nya…..feel nya dpet bgt ampe nangis2 bcanya gk tau nya dara lgi bca ff wkwkwkwkwk
    Tpi apa dara jiyong bca ff daragon ya trus gmana reaksi mreka..penasaran seandainya memang bnar mreka bca bkal nangis atau ktawa…..
    Ini bnar2 kren thor pgen bgt q tunjukin pda dara jiyong klo kmi applers slalu mendkung cnta mreka kekekekekeke*lebay

  2. keren bgt thor ceritanya.
    fanfic yg di baca dara itu bener2 WOW…cinta terlarang mereka jadi abadi.
    tapi itu salah deh menurut aku knpa jga mereka harus mati…..hiks…hiks…hiks.

Leave a comment