The King’s Assassin [40] : The King’s Wish

ka

Author :: silentapathy
Link :: asianfanfiction
Indotrans :: dillatiffa

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~  

 “Menteri! Menteri!” salah seorang prajurit datang menghadap terangah-engah di kantor Menteri Kim. Dia segera menyerahkan sebuah surah dan wajah Menteri Kim langsung berubah khawatir. Dia meremas laporan yang diberikan padanya dan segera menuliskan perintah.

“Kirimkan ini kepada semua Kepala Penjaga dan pastikan kalian menginvestigasi dengan baik. Termukan orang terakhir yang bertemu dengan mereka, tempat terakhir ketiganya terlihat sebelum mereka terbunuh.”

“Yeh, Menteri!” pria itu segera berbalik dan pergi dengan membawa perintah baru.

“Tiga orang budak… di dekat Lotus House?” sang Menteri mencoba menduga-duga sambil berjalan bolak-balik di kantornya.

 “Jeoha, segeralah kembali… kita harus segera memecahkan masalah ini,”

**

“Tolong, Daesung… aku tidak ingin membuat Chaerin khawatir. Aku akan memberitahunya kapan aku bisa menemuinya. Namun saat ini, kurasa belum saatnya. Aku ingin pulang ke rumah dan meluruskan beberapa hal. Aku sudah bicara pada Yongbae hyung dan dia sudah mengatur pertemuan dengan Seunghyun hyung dan Putra Mahkota begitu rombongannya sampai mala mini.”

“Tapi Tuan! Nyawa Anda dalam bahaya!”

“Sekarang ini… ya. Dan aku penasaran bagaimana mereka bisa mengikutiku. Aku bertanya-tanya dari mana mereka tahu aku keluar dari sini.”

“Tuan, apa Anda memiliki dugaan siapa yang melaporkan Anda?”

“Ya. Aku sedang memperhatikan putra wakil Penasehat Kerajaan. Dia dan teman-temannya bersikap dingin padaku. Dia bahkan mulai memperlakukanku dan anak-anak baru dengan buruk, memberi perintah ke sana-ke mari seperti kami ini budah mereka.”

“Apa? Aisht! Jika saya melihat Tuan Xin itu, saya bersumpah saya akan membalas perbuatannya!” Daesung berang.

“Jangan lakukan hal yang tidak-tidak, Daesung. Sebaiknya kita mengamati dalam diam. Tapi yang membuatku penasaran justru pembunuh gelap itu. Dia menyelamatkanku. Dia menyelamatkan nyawaku,” kata Seungri.

“Tuan… saya perlu memberitahukan sesuatu pada Anda…”

“Apa itu?”

Daesung menimbang-nimbang sejenak, berpikir apakah yang akan disampaikannya itu bisa membantu. Dia melihat Sanghyun juga berpenampilan serba hitam malam kemarin saat pria itu menampakkan diri dan membawa Chaerin kembali. Dia akhirnya memutuskan untuk membuka semuanya.

“Kemarilah, Tuan… pembicaraan ini agak riskan. Kita perlu tempat yang aman.”

**

“DASAR ORANG-ORANG TIDAK BERGUNA!!!”

Suara tamparan keras terdengar dari dalam ruang kerja yang ada di kediaman Keluarga Choi setelah sang Penasehat menerima laporan dari bawahannya. Orang itu hanya bsia mengelus pipinya yang kini merah sambil berusaha menggerakkan rahangnya.

“Saya bersumpah, Tuan! Ketiganya adalah pemburu budak terbaik yang kami tahu. Itulah kenapa kami menggunakan mereka untuk memberikan pelajaran kepada Lee Seungri. Setidaknya, jika sesuatu terjadi, tidak seorang pun yang bisa melacak mereka.” Kata pria itu sambil terus mengelus pipinya.

“Kalau begitu kenapa hal ini bisa terjadi?! Kenapa?!!!”

“Karena pembunuh gelap itu muncul,”

“Mworago???”

“Saya berada di sana, memperhatikan mereka bertiga. Saya ingin memastikan bahwa mereka melakukan tugas bagian mereka seperti perjanjian. Tapi saat mereka menangkap Lee Seungri, dalam sekejap mata, sepasang belati dilemparkan. Dan saat saya memperhatikan pemimpinnya, dia sudah tidak bisa bergerak, ada si pembunuh gelap di belakangnya, menggorok leher pria malang itu dengan pedangnya,” pria itu memejamkan mata seolah merasakan sakit seperti yang dirasakan oleh korban. “Dan dua budak lainnya sudah bermandikan oleh darah merka sendiri… belati tertanam di dada mereka,”

Penasehat Choi menelan ludah berat, namun berusaha menjaga sikap. Dia tidak boleh menunjukkan bahwa dia terkejut mendengar kebrutalan sang pembunuh. Tapi ada sesuatu yang menggelitiknya.

“Jangan berhenti menyelidiki Lee Seungri dan ayahnya,” pria tua itu berkata kepada bawahannya.

“Dia mungkin saja memiliki hubungan dengan pembunuh gelap itu.”

**

“H-h-alma Mama…” Bom membungkuk hormat kepada Ibu Suri sebelum duduk di bantal duduknya. Dia mulai menuangkan teh ke cangkir membuat neneknya tersenyum penuh kebanggaan.

“Kau belajar dengan cepat,” katanya membuat Bom memaksakan sebuah senyuman.

“Sudah kubilang padamu, pernikahanmu akan berhasil. Aku sangat bangga dan tidak sabar menunggu kau memiliki anak dari Profesor Choi.”

“Halma Mama…” Bom mulai merasa tidak enak. Apakah dia bisa mempercayai neneknya? Haruskah dia menceritakan apa yang didengarnya?

“Ada apa? Kenapa kau tinggal di Istana dengan suamimu?”

“Saya… saya mencemaskan Putra Mahkota. Saya ingin mendengar kabar secara langsung.”

“Kuharap dia segera kembali. Jangan cemas. Ayahmu sudah mengirimkan perintah dan membuat Gubernur Utara membayar kecerobohannya. Dia tidak bisa melindungi calon Raja. Bagaimana bisa dia membiarkan penyerang mengancam keselamatan adikmu?”

“Halma Mama…” gumam Bom. “Saya ingin memberitahukan sesuatu kepada Anda.” Dia mulai gemetaran dan meremas-remas jemarinya.

“Adakah sesuatu yang mengganggumu?”

“Jujur saja ada… saya merasa takut Halma Mama… saya tidak sedang menerima ancaman apapun saat ini, tapi…”

“Sebuah ancaman? Bagaimana mungkin!!! Kenapa? Dari siapa?” Ibu Suri panik saat melihat ketakutan di wajah cucu perempuannya. “Katakan segera,”

“Saya mendengar… Penasehat Choi dan bawahannya…” Bom memulai membuat mulut Ibu Suri terbuka lebar. “Dia memerintahkan bawahannya untuk mengawasi Menteri Kim dan Menteri Lee… saya tahu, saya sudah menutup mulut saya sangat lama Halma Mama… namun saya tidak bisa menahannya lagi… dia adalah orang yang ada di balik pembunuhan tujuh tahun yang lalu dan saya tidak akan lagi menutup mulut kali ini. Apa yang akan terjadi kepada kedua Menteri itu? Kenapa Anda membiarkan hal ini?”

Ibu Suri hanya bisa menutup mulutnya. Tidak pernah sekali pun Bom berbicara seperti itu kepadanya dan yang lebih mengejutkan lagi adalah kenyataan bahwa cucu perempuannya tahu banyak hal.

Penasehat Choi… bagaimana bisa pria itu begitu ceroboh? Pikir Ibu Suri namun kali ini cucunyalah yang merasa cemas dan ketakutan. Apakah seperti ini kehidupan sang Putri selama ini?

“Tuan Putri…”

“Seunghyun sudah tahu… dan saya harus memberitahukannya pada Jiyong… dan Appa Mama… dan karena saya menghormati Anda… saya memberitahukan kepada Anda sekarang. Halma Mama, putuskan semua hubungan dengan Penasehat Choi. Kejahatannya sudah tidak memiliki batas lagi. Saya tahu betapa bencinya Anda kepada Keluarga Park, namun semua ini harus berakhir. Dara sudah kehilangan banyak hal!”

“D-d-ara? Park Sandara?” Ibu Suri menggeleng-gelengkan kepalanya dan tak lama kemudian ketakutan tersirat jelas di wajah wanita tua itu.

Bom menutup mulutnya begitu menyadari apa yang telah dia ucapkan. Dia sudah terlalu terbawa suasana dan menyebut nama Dara tiba-tiba.

“Maksud saya D-d-ara… dan seluruh Keluarga Park. Mereka kehilangan segalanya termasuk nyawa mereka. Harga diri mereka. Kehormatan mereka…” katanya berdoa semoga Ibu Suri tidak curiga karena tiba-tiba dia menyebut nama yang sudah menghilang tujuh tahun yang lalu.

“Park Sandara berhasil selamat malam itu. Tidak ada laporan mayatnya telah ditemukan, juga keluarganya…” lanjut wanita tua itu sambil terus bergidik. “Begitu pula Lee Chaerin… ataupun Jung Ilwoo… apa yang kau bicarakan? Mereka adalah budak pelarian! Keluarga mereka telah melakukan pengkhianatan dan pencurian!”

“Halma Mama… bukankah harusnya Anda lebih tahu jawaban pertanyaan Anda itu?” Bom menghapus air matanya dan dengan berani menatap lurus pada neneknya. “Bagaimana mungkin Anda tega berbicara seperti itu tentang mereka?”

“Bom…”

“Saya akan pergi sekarang. Saya hanya ingin memberitahukan apa yang membuat saya gelisah.” Bom tersenyum pahit. “Dan jika ada sesuatu yang terjadi pada saya, setidaknya Anda tahu siapa yang harus dipersalahkan. Itu jika Anda masih peduli pada cucu Anda… jika masih tersisa sedikit kepedulian Anda untuk kami dibanding kehausan Anda akan kekuasaan,” Bom berdiri dan undur diri, meninggalkan Ibu Suri dengan keterkejutannya.

“Park Sandara?” dia menggeleng-gelengkan kepalanya. “Tidak… jangan berani kembali… kau tidak boleh menghancurkanku. Kau tidak boleh menghancurkan keluargaku! Tidak lagi…” sang Ibu Suri gemetaran dengan tangan menutupi mulutnya dan ketakutan mulai menjalar di seluruh tubuhnya.

Namun satu hal yang dia tahu… dan itu lebih membuatnya takut.

Cucu perempuannya dalam bahaya jika dia tidak bisa menutup mulut. Dia mengenal Penasehat Choi dengan baik.

**

“Bagaimana perasaanmu?” Jiyong tiba-tiba masuk ke kamar Dara yang tengah bersiap, membuat wajah wanita itu merona merah. Dara berbalik untuk menghindari tatapam mata Jiyong karena rasa panas yang dirasakan menjalar di wajahnya.

Bagaimana bisa pria itu membuatnya seperti ini hanya dengan sebuah pertanyaan?

“Saya… b-b-baik-baik saja…” Dara menelan ludah berat sambil meraih ikat pinggangnya, namun Jiyong telah mendahuluinya. Hal terakhir yang dia tahu, nafas berat Jiyong berhembus di tengkuknya yang terekspos sambil memakaiannya ikat pinggang sebelum akhirnya pria itu melingkarkan lengan di pinggang rampingnya. Dara terkesiap dengan kontak yang mereka lakukan.

“Apakah aku sudah memberitahumu, kau terlihat sangat mengagumkan saat wajahmu merona begitu?” gumamnya di telinga Dara membuat wanita itu nyaris meleleh. Sang Putra Mahkota hanya terkekeh dan mencuri sebuah kecupan di pipi kekasihnya.

“Sepertinya kau sudah siap untuk berangkat, Komandan.” Katanya dan membalik tubuh Dara. Jiyong meraih topi Dara dan memakaikannya, lalu mengikatkan tali di bawah dagunya, sengaja memperlama proses, menggoda wanita itu dengan menyentuhkan jarinya di kulit Dara.

“Saya tahu apa yang coba Anda lakukan, Jeoha.” Dara menyipitkan matanya. “Jangan memulai apa yang Anda sendiri tahu tidak bisa Anda selesaikan. Saat ini, pasukan kita sudah menunggu di luar. Anda tentu tidak ingin membuat mereka penasaran, bukan?” katanya sambil menyingkirkan tangan Jiyong menjauh.

“Kenapa? Aku selalu bisa menemukan alasan yang bagus untuk membuat mereka menunggu…” Jiyong menyeringai. “Dan aku lebih memilih untuk membuat wanitaku bergairah,”

“Hilangkan pikiran kotor Anda, Jeoha. Aisht!!!” Dara menyingkir dan mengambil pedangnya. “Sebenarnya saya… masih sedikit merasa tidak nyaman,” akunya menatap lututnya yang masih terasa lemas. Sialan, dia tahu jika mereka bertemu dengan penyerang lain di tengah jalan, dia tidak akan bisa bertahan kali ini. Dia merasa lelah dan sakit di sekujur tubuhnya dan pria yang tengah berusaha mengendalikan seringai nakal di belakangnya inilah yang bertanggung jawab untuk hal itu.

“Maafkan aku, cintaku… hanya saja aku benar-benar tidak bisa menahan diri jika itu terkait dengan dirimu,” sekali lagi Jiyong memeluk Dara dari belakang dan mencium lehernya. “Kita akan naik tandu…”

Dara memutar bola matanya dan menggelengkan kepala. “Saya hanya merasa sedikit tidak nyaman. Sedikit lemah jika itu memuaskan Anda. Namun saya ini tidak lumpuh,”

“Aku hanya peduli tentang keadaanmu… jangan marah,” ujarnya menyesal. Akan jadi perjalanan berat untuk sampai ke Aula Gubernur dan lalu mereka harus kembali ke Istana; Jiyong hanya khawatir Dara akan semakin menyakiti dirinya jika kekasihnya itu berkendara dengan kuda.

“Saya akan mencoba apa yang bisa saya lakukan dengan Snow. Dan… jika saya rasa berat, saya akan duduk di depan kereta saat kembali ke Istana,” katanya, dengan suara rendah karena merasa hal itu sangatlah memalukan.

“Tidak. Kau akan berada di dalam bersamaku,” putus Jiyong.

“Anda benar-benar tidak peduli kita akan menjadi pusat perhatian semua orang karena hal ini, Jeoha… bukan begitu?”

Jiyong mendesah pasrah. Dara benar. Pasukan mereka jelas akan bertanya-tanya jika mereka berdua naik ke dalam kereta bersama. Seorang komandaan selalu menjadi pemimpin rombongan… seorang anggota Keluarga Kerajaan selalu berada di dalam… telindungi dengan baik dan Jiyong tidak bisa tidak merasa frustasi karena itu. Harusnya dialah yang menjaga Dara bukan sebaliknya.

“Kita tidak akan berdebat karena masalah ini, benar kan?” Dara memecah pikiran Jiyong. Pria itu menyipitkan matanya menatap wanitanya.

“Aku tidak akan berani.” Dia mencoba tersenyum pada Dara. “Aku mencintaimu… terima kasih sudah mau berada di sisiku,” katanya menggenggam tangan Dara membuat wanita itu menggigit bibirnya menahan seringaian.

“Sudah saya katakan… harusnya Anda pergi bersama saya sejak awal,” ucap Dara menarik lepas tangannya dan mengedipkan sebelah mata pada Jiyong, yang lagi-lagi… membuat pria itu sesak nafas mengikuti gerakan Dara yang keluar untuk menyapa pasukan mereka dengan pandangan matanya.

**

Hari sudah senja saat Jiyong dan rombongannya sampai di Istana. Hari ini menjadi hari yang panjang karena dia juga harus memilih langsung siapa orang yang akan mengawasi pemerintahan di Utara setelah dia menunjuk Gubernur yang baru. Dia memutuskan meninggalkan beberapa orang Penjaga Istana yang dikirimkan oleh Seunghyun, untuk mengawasi dan membantu Gubernur yang baru, serta menjanjikan rombongan pasukan lain serta bantuan bahan makanan dan obat-obatan. Rombongan berikutnya juga akan disertai dengan tabib dan perawat, untuk membantu orang-orang di klinik.

Putra Mahkota langsung menghadap Raja dan melaporkan semuanya yang terjadi Utara termasuk keputusannya dan melaksakan perintah sesuai yang ada dalam gulungan yang dikirimkan oleh Seunghyun. Para Menteri dan pejabat mulai merasa cemas. Raja dan Pangeran tidak pernah bekerja bersama tanpa sepengetahuan mereka dan mereka berpikir bahwa orang-orang Pangeran khususnya Seunghyun mulai berfungsi lebih daripada yang seharusnya.

“Jadi inilah kenapa para pejabat cemas kau akan segera menjadi Raja. Orang-orangmu semuanya bisa dipercaya dan berani, dan mereka bisa berfungsi dengan baik. Taruhan pasti orang-orang tua itu hanya takut mereka akan segera digantikan oleh orang-orangmu,” sang Raja tertawa lemah dan hal itu membuatnya terbatuk-batuk. Jiyong segera berpindah ke sisi ayahnya dan mengelus dadanya, mencemaskan penyakit ayahnya yang terlihat semakin serius.

“Appa Mama, apakah saya harus memanggilkan tabib Anda?”

Sang Raja menahan tangannya sambil berusaha menarik nafas. Dia meraih cangkir dan meminum isinya dalam sekali teguk sebelum kembali tersenyum pada putranya. “Aku baik-baik saja… aigoo… kau terlalu khawatir,” dia kembali tertawa. Jiyong kembali ke tempat duduknya dan menatap cemas pada ayahnya.

“Aku sangat bangga padamu, nak… kau sudah bekerja keras. Aaah… aku sangat percaya denganmu yang akan menjadi penerus tahta.” Kata sang Raja yang kemudian mengulurkan tangannya untuk menepuk bahu putranya, membuat Jiyong tersenyum malu. “Berapa hari lagi sampai penobatanmu?”

“Ahh… itu… tiga hari lagi, Appa Mama… tinggal tiga hari lagi.” katanya sambil meremas-remas tangannya merasa cemas. Dia tidak lagi memikirkan tentang hal itu dan tiba-tiba saja ditanya seperti ini, dia baru sadar waktunya sudah semain dekat. Berbagai macam perasaan bercampur menjadi satu. Salah satunya, dia merasa sedikit bersemangat. Dia bukannya haus akan kekuasaan. Namun Jiyong sadar perubahan apa yang bisa dilakukannya demi rencana mereka untuk menyelamatkan Dara dan teman-temannya. Dia sadar sepenuhnya keuntungan apa yang bisa diperoleh untuk mendatangkan keadilan bagi keluarga orang-orang kepercayaan ayahnya. Tapi dipikir-pikir lagi, Jiyong tahu dia juga akan menghadapi masalah. Ada rasa takut. Sangat cemas. Penasehat Choi dan para pengikutnya tidak boleh dia lupakan. Mereka adalah orang-orang yang memiliki kekuasaan. Mereka bisa saja menyebar ketakutan pada rakyat dan membuat mereka memohon.

“Nak,” sang Raja tersadarkan.

“Yeh, Appa Mama…”

“Kau bilang… kau sudah menemukan calon Ratumu… calon Ratumu yang paling pantas… kapan kau akan—,”

“Saya rasa belum saatnya,” Jiyong segera memotong ucapan ayahnya. “Saya masih harus menyelesaikan banyak hal… namun dalam waktu dekat ini, Appa Mama…”

“Sebelum dalam waktu dekat itu, aku ingin bertemu dengannya,”

Jiyong merasa hatinya sesak, mulutnya kering dan jantungnya berdetak keras di dalam dada. Dia membuka mulut namun menutupnya lagi. Kenapa Raja menatapnya dengan penuh penilaian seperti itu?

“Apakah dia adalah seorang wanita bangsawan? Dari keluarga mana dia berasal?”

“Saya akan membawanya menghadap Anda jika sudah saatnya, Appa Mama…”

“Kuharap aku bisa bertemu dengannya pada malam sebelum penobatanmu,”

“Appa—,”

“Itulah harapanku,” sang Raja tersenyum lemah. “Apa kau akan menolak keinginan pria tua ini untuk bertemu dengan wanita yang telah mencuri hati putranya?”

“Appa Mama…” Jiyong tidak tahu harus mengatakan apa. Apakah Dara sudah siap untuk bertemu dengan Raja? Apakah ayahnya bisa bertemu dengan Dara? Berbagai macam pertanyaan muncul di kepala Jiyong, ayahnya kembali berkata.

“Aku akan menunggu, nak. Sampai saat itu tiba, aku akan dengan sangat percaya diri kau akan bisa menjadi penerusku sebagai Raja. Kau boleh pergi sekarang… aku perlu istirahat.”

**

Why, why, why~

banyak yang tanya kenapa saya PW chapter kemaren~ buat yang udah baca, mungkin tahu alasannya..

Saya nggak batesin siapa aja yang boleh baca.. mau jadi silent reader juga silakan.. Cuman karena menurut saya chapter kemaren agak terlalu vulgar, jadi saya butuh chapter kemaren di PW.. Bisa aja saya skip seluruh bagian itu, tapi itu namanya saya merusak karya orang.. >.<

Nah, yang saya sesalkan adalah.. ‘protes’ yang saya terima.. entah mulai dari komen, mention, sampe PM yang masuk di FB saya.. Tapi maaf, bisa minta tolong buat ngasih saya waktu buat real life saya?
Saya juga punya kepentingan lain, saya nggak 24/7 stay online di blog.. bisa kan, mintanya pake sopan dikit tanpa ada kesan buru2.. Jujur aja, rasanya pengen banting laptop dan hape (kalo saya nggak inget, saya pribadi belum mampu beli karena ini pun masih subsidi dari orang tua) begitu baca komen/mention/pesan yang masuk “kenapa di PW?”

Tuh buat pertanyaan itu, saya sudah jawab di atas..

Dan, selama sudah komen, saya pasti kirim kok PWnya via email.. ada beberapa yang gagal kirim karena ternyata emailnya nggak valid, tapi maaf saya lagi nggak enak hati dan nggak ada keinginan tanyain ke mana saya kudu ngasih PWnya.. jadi biar nggak ada kejadian yang berulang, tolong dicek lagi, masih bisa nggak itu emailnya dipake..

Saya nggak keberatan ada yang mention atau PM ke saya, asalkan sabar.. tanpa ada kesan memburu karena saya punya urusan dan kewajiban lain..

Maaf buat outburst saya ini, tapi saya mohon temen2 juga ngerti.. hal ini nggak cuman sama saya aja, tapi juga buat para author lainnya. Saya ngrasa lebih baik saya langsung nyampaikan ini daripada saya terus2an grundel di belakang..

So, thank’s for reading.. and hope you’ll understand with our situation.. (_ _)”

<< Previous Next >>

56 thoughts on “The King’s Assassin [40] : The King’s Wish

  1. Putri bom knp ngmg k’ibu suri bkn k’raja atw pangeran ???
    Udh tau dalang’a itu bukan cm penasehat choi tp jg ibu suri
    Bgmna ya reaksi dara eonni nanti pas ktmu sm raja ???
    Next

  2. Meskipun aku blom baca capt sebelumnya, aku tetep ngerti sama jalan ceritanya😄 #memuji diri sendiri. Berarti waktu itu dara unnie cuma pingsan aja kan?? nggak ada luka serius ato apa lah? jiyong oppa bentar lagi jadi raja nih yee. Maafkan saya karena kemarib ato hari sebelum belumnya nggak ngelanjut baca karena tugas yg menumpuk😣😆

  3. Sambil nunggu PW lanjut baca next cbap dulu..Bahaya nih,bom ceritain semuanya ke neneknya jadi tahu kan kalo dara masih hidup.Bakalan jadi penghalang daragon bersatu,moga2 aja nggak nyodorin calon ratu lain buat jiyong.Kira2 kayak gimana pas dara ketemu ama raja?jiyong udah takut duluan,padahal appanya udah tahu hahaha

Leave a comment