How to Save a Life [Part #15] : Inconsistent

Untitled-2

Untitled-1

Author      : mbie07

Link          : HtSaL on AFF

Indotrans : dillatiffa

Adakah selain chaerin, Adel, vvipdm, lilis, Mee_orweeds, dan Indah Chayank Jiyonk yang menyadari soal penampilan Ji sama Dara di scene terakhir chapter sebelumnya? Dan jangan bertanya kepada saya apa yang terjadi sebelumnya, saya menyerahkan semua imajinasi kepada temen2 semua… LOL

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

15

~ Inconsistent ~

 

 

 

Semua orang pernah terpuruk, melakukan kesalahan, menyesal, dan meminta maaf. Kita hanya bisa berharap agar menjadi lebih kuat saat melewati itu semua. Heck, kita berharap agar kita selalu sempurna.

 

 

 

Jika ada satu hal yang tidak akan pernah Jiyong lakukan seumur hidup adalah berbohong kepada kedua orang tuanya. Dia tidak sanggup memikirkan bahwa dia harus membohongi orang tuanya tersayang padahal mereka tidak pernah mengajarinya berbohong. Sama sekali tidak pernah.

Jiyong meletakkan sumpitnya dan meraih gelas air dan meminumnya. Dia mengudap mulutnya dengan punggung tangan dan kemudian menatap kedua orang tuanya yang masih makan. “Mom, dad,” panggilnya membuat kedua orang tuanya memandangnya, menunggunya melanjuutkan perkataannya.

Dia membuka mulut namun langsung menutupnya lagi, menatap kedua orang tuanya, memikirkan apa yang sebaiknya dia ucapkan dan seberapa banyak informasi yang harus dia beritahukan. “Well…” dia memulai. “Aku terpilih sebagai pelukis untuk ekshibisi tahun ini dalam ekshibisi internasional yang akan diselenggarakan di Edelweiss Gallery,”

“Benarkah?” tanya ayahnya. Jiyong mengangguk. “Itu bagus! Maksudku, ekshibisi ini benar-benar terkenal!” kata ayahnya yang menatap istrinya, mereka berdua tersenyum memberi selamat kepada Jiyong. “Aku tahu. Aku merasa terhormat,” Jiyong tersenyum. “Tapi ada masalah,”

Kedua orang tuanya menatapnya yang mendesah. “Aku harus pergi selama tiga bulan,” katanya. “Tiga bulan?” tanya ibunya melirik kepada sang suami sebelum kembali menatap putranya. “Mereka pikir aku masih terlalu muda untuk hal ini dan berpikir aku bisa saja merasa tertekan, sehingga mereka menunjuk seseorang untuk memanduku dan well kami memutuskan akan jauh lebih mudah jika kamu tinggal bersama,” dia menjelaskan sambil mengepalkan tangannya karena gugup.

“Oke… jadi siapa yang menjadi pemandumu ini?” tanya ibunya meskipun sebenarnya dia masih dalam tahap memproses apa yang baru saja dia dengar dari putranya. “Ms. Park…” jawab Jiyong. “Park Sandara,” tambahnya membuat ruangan menjadi sunyi. “Arsitek terkenal itu?” tanya ayahnya. “Tunangan Choi Seunghyun?”

Jiyong merasa dadanya sesak dan tangannya semakin terkepal kuat. Kenapa mereka harus terus menyebutkan Dara sebagai tunangan Choi Seunghyun padahal pria itu sudah meninggal, dan pastinya pertunangan mereka sudah jelas batal? “Well, iya…” dia menggertakkan gigi sambil menghembuskan nafas mencoba untuk menenangkan dirinya. “Dia adalah dosen melukisku,” tambahnya mencoba mengalihkan perhatian.

Kedua orang tua Jiyong saling lirik satu sama lain kemudian menatapnya. Jiyong memandangi mereka menunggu keputusan. Mereka tersenyum kepadanya dan mengangguk. “Kurasa aku harus berpisah dengan baby boy-ku untuk sementara,” kata ibunya sambil mengacak rambut Jiyong, tersenyum. “Nak, jika itu untuk kebaikanmu, siapa kami berhak melarang? Lagipula kami yakin dia akan bisa membantumu menjadi lebih baik, iya kan?” tanya ayahnya yang dijawab dengan anggukan oleh Jiyong.

“Berjanjilah pulang kemari setelah tiga bulan,” ibunya tertawa. “Mom!” seru Jiyong. “Come on guys, aku akan tetap mengunjungi kalian kemari, makanan disini sangat enak dan kalian adalah orang tua terbaik yang pernah ada,” dia meringis membuat kedua orang tuanya tertawa. “Cobalah ajak Ms Park kemari, jadi kami bisa berterima kasih kepadanya karena akan menjagamu selama tiga bulan,” ibunya tersenyum dan Jiyong mengangguk sambil tersenyum lebar.

“Tentu saja aku akan membawanya kemari untuk bertemu dengan kalian!” serunya senang. “Dia adalah—,” Jiyong menghentikan kalimatnya begitu sadar akan apa yang akan dia ucapkan. Kedua orang tuanya diam menantinya melanjutkan perkataannya, Jiyong tersenyum lemah. “Dia adalah pemanduku… dan dia adalah orang yang paling cantik di dunia ini,” katanya, kedua orang tuanya tersenyum dan mengangguk setuju atas perkataannya.

“Kami tahu, kami melihatnya di Picasso,” kata sang ayah. “Dia benar-benar sangat cantik,” tambah ibunya.  Jiyong tertawa. “Yeah, dibilang cantik pun sebenarnya merendahkannya,” gumamnya kepada dirinya sendiri. Jiyong mendesah sambil tersenyum dan bangkit berdiri. Dia lalu memeluk ibu dan bahkan ayahnya lalu beranjak menuju ke studio.

Jiyong membuka pintu studionya, menyalakan lampu dan lukisan Dara yang belum sempat dia selesaikan menyambutnya. Dia mendesah dan masuk kedalam, mulai menyiapkan barang-barang yang dia butuhkan. Dia duduk di atas lantai menghadap ke lukisan Dara. Tangannya mengusap wajahnya. “Kamu harus tahu betapa inginnya aku memberitahu semua orang betapa aku mencintaimu,” gumamnya menatap ke kanvas.

“Kamu harus tahu aku sudah sekarang untuk meneriakkan kepada semua orang bahwa aku jatuh cinta padamu.”

*

Saat itu adalah minggu siang saat Jiyong sampai di rumah Dara membawa serta barang-barangnya. Dia tidak melihat gadis itu selama beberapa hari sejak dia diumumkan sebagai organizer ekshibisi – jadwalnya menjadi semakin padat, Jiyong jelas paham karena dia ikut membantu menyusun jadwal Dara. Jiyong mendesah sambil mendorong pintu didepannya terbuka.

Dara sedang merapikan kamar tamu saat mendengar suara pintu terbuka. Dia kemudian berjalan keluar dari kamar dan melihat Jiyong berdiri disana dengan menenteng tasnya, tersenyum. Dara berdiri menatap Jiyong dalam balutan atasan berwarna putih tak berlengan dan celana pendek. “Kamu datang lebih awal, kupikir kamu akan datang malam nanti,” katanya saat Jiyong meletakkan tasnya begitu saja dan menghampiri Dara, memeluknya.

“Aku merindukanmu,” katanya lalu memberingan ciuman singkat di bibir Dara, membuat gadis itu terpaku. Dengan pelan dia mendorong Jiyong menjauh. “Kwon,” katanya sambil menggaruk rambutnya dan berbalik memunggungi Jiyong, yang malah memberi pria itu kesempatan untuk memeluknya dari belakang. “Kamu harus memanggilku Jiyong, apa itu sulit?” bisik Jiyong membenamkan wajahnya di lekukan leher Dara. “Kumohon panggil aku Jiyong,” katanya lirih, memohon.

Dara memejamkan matanya erat. Mungkin memanggilnya Jiyong memang berat. Tentu sangat berat karena dia menyadari dengan memanggilnya Jiyong maka berarti dia menerima kenyataan bahwa mereka sudah melewati batasan norma. Memanggilnya Jiyong akan semakin menambah ketertarikannya pada pria itu padahal dia sudah terlalu tertarik padanya dan Tuhan tahu seberapa besar dia membenci kenyataan itu.

Dara ingin melarikan diri sejauh mungkin dari Jiyong, namun semakin dia ingin melakukannya dia justru semakin ditarik kembali kepada pria itu, semakin dia membutuhkan kehadiran pria itu.

Tapi kemudian, dengan memanggilnya namanya adalah satu-satunya cara untuk bisa membalas semua yang telah Jiyong lakukan untuknya, untuk semua rasa sakit serta kehancuran yang telah dia sebabkan bagi pria itu.

“Ji…” ucapnya mengikuti permintaan Jiyong. “Jiyong,” panggilnya membuat Jiyong melepaskan pelukannya, tersenyum lebar dan memutar tubuh Dara agar menghadapnya. “Katakan itu lagi,” katanya tersenyum lebar menunggu. “Kumohon,” tambahnya membuat pipi Dara memanas. “Jiyong,” bisik Dara malu. “Lagi,” Jiyong tertawa kesenangan.

“Jiyong,” katanya meringis dan menarik diri dari Jiyong yang kemudian menertawakannya. “Bawa tasmu ke kamar tamu,” perintahnya. “Ehh!?!” seru Jiyong kaget dan mulai memprotes. “Kenapa ke kamar tamu?! Aku ingin tidur denganmu!!” rengeknya. Dara memutar bola matanya. “Kita tidak akan tidur bersama,” putusnya. “Sekarang bawa barang-barangmu ke kamar tamu,”

Jiyong merengut dan berbalik lalu kemudian memungut barang-barangnya dan membawanya ke kamar tamu. “Kita akan tetap tidur bersama,” gumamnya saat menutup pintu kamar tamu setelah memasukkan barang-barangnya kedalam. Dia lalu berjalan ke ruang tamu mencari Dara dan begitu dia melihat gadis itu berdiri disana tengah membenarkan gorden, dia tersenyum.

“Dara,” bisiknya memeluk pingganya Dara yang langsung dilepaskan kembali oleh gadis itu, membuat Jiyong memanyunkan bibir. “Ikut aku,” katanya berjalan mendahului, Jiyong mengikuti dibelakangnya. Tak lama mereka sampai di depan sebuah ruangan, Dara mengeluarkan kunci dari dalam sakunya dan membuka pintu ruangan.

Jiyong berdiri terkagum-kagum melihat ruangan besar dihadapannya, itu adalah sebuah studio. Banyak kanvas berserakan disana, juga kuas-kuas, serta bau cat memenuhi ruangan. Salah satu sisi dinding dibuat seluruhnya dari kaca sementara yang lainnya merupakan dinding beton yang dicat putih. Ada beberapa lukisan yang tergantung di dinding yang dijadikan sebagai pajangan. Itu adalah studio yang diidam-idamkan oleh semua pelukis, luas, cerah, dan nyaman.

“Disinilah nantinya kamu akan melukis,” katanya dan Jiyong berjalan mengelilingi ruangan mengecek semua yang ada disana sementara Dara hanya menyandar pada bingkai pintu. “Apa ini studio miliknya?” tanya Jiyong berbalik menatap mata Dara. Dara terkesiap kemudian mendesah. “Bukan,” katanya berbalik memunggungi Jiyong berjalan keluar dari ruangan. Jiyong mendesah dan mengikuti Dara.

“Itu bukan studionya, itu adalah milikku dan dia punya studio sendiri,” kata Dara meminum air dari gelas, langsung habis. Dia lalu meletakkan gelas ke tempat pencucian dan menyandarkan lengannya disana. Giginya menggeretak. Apakah Jiyong pikir bahwa dirinya akan merelakan Jiyong untuk menggunakan studio Seunghyun, padahal tempat itu adalah satu-satunya yang tidak ternodai oleh dosanya di rumah ini?

Jiyong menatap Dara dan mendesah. Dia membenci betapa mudahnya gadis itu terpengaruh oleh segala hal kecil yang berhubungan dengan Seunghyun. Tentang gadis itu yang tidak mau repot melupakan Seunghyun atau berusaha untuk move on. Dia mengerti kecelakaan itu belum genap satu tahun, hanya setahun tapi lukanya masih terasa seperti baru.

Dan mungkin Jiyong lah yang egois disini, dirinya telah tamak. Dia membenci itu. Dia benci karena dirinya selalu menjadi tamak jika berhubungan dengan Dara, dia benci karena dirinya mulai mengharapkan hal-hal yang tidak akan pernah dia miliki.

“Ayo makan, taruhan kamu pasti belum makan siang,” katanya mencoba mengusir suasana tidak enak yang menyelimuti mereka. Dara menegakkan badan dan berjalan pergi. “Aku tidak lapar,” gumamnya berjalan kembali ke kamarnya. Jiyong melatakkan kedua tangannya di pinggang dan hanya bisa mengangguk. Dia lalu berjalan mengikuti Dara. Dan inilah Dara dan sikapnya yang angin-anginan yang sungguh membuatnya sakit kepala hampir sepanjang waktu.

Tapi hal itu tidak lantas membuat Jiyong bisa membenci Dara atau menghentikan kebodohan ini demi dirinya sendiri. Sejujurnya dia bahkan mulai berpikir bahwa semua ini pelan-pelan mulai membunuh dirinya sendiri.

Dia sudah mulai bunuh diri, membunuh diri dengan cara yang paling manis sekaligus cara yang paling menyakitkan.

Dara mendorong pintu kamarnya hingga terbuka dan menggaruk rambutnya. “Apa kamu sempat makan kemarin? Atau semalam?” tanya Jiyong menyandarkan badannya pada bingkai pintu. “Itu bukan urusanmu,” jawab Dara tajam beranjak menuju meja kerjanya dan mulai merapikan barang-barangnya. Jiyong berjalan mendekat kemudian menyandarkan tangannya pada meja kerja Dara, menatap lurus mata gadis itu. “Itu urusanku,” jawabnya.

Dara mendelik pada Jiyong mendesah tak percaya. “Itu adalah urusanku… semua yang menyangkut tentangmu adalah urusanku,” katanya dengan nada serius yang membuat Dara membeku sesaat. “Aku ini bukan tanggung jawabmu, Kwon,” kata Dara merebut kertas yang dipegang Jiyong dan meletakkannya diatas meja. “Kupikir kamu sudah setuju untuk memanggilku Jiyong, kenapa kembali menjadi Kwon?” tanya Dara yang hanya menatap Jiyong lalu memutar bola matanya dan berjalan menuju ke lemari.

Jiyong melingkarkan lengannya di tubuh Dara, memeluk gadis itu. “Ayo makan, oke,” bisiknya lembut, memohon. Dara mendesah dan berbalik menghadap Jiyong. Dia lalu mengalungkan lengannya di leher Jiyong, memeluknya erat, dan membenamkan wajahnya di dada Jiyong yang langsung balas memeluknya. Dara bersumpah dirinya sudah bertambah gila. Mungkin dia gila dan tidak tahu lagi apa yang harus dia lakukan. Dan mungkin saja ditengah-tengah semua hal ini dia sudah kehilangan jejak mana yang benar dan mana yang salah.

Karena tidak peduli bagaimanapun dia mencoba menyangkal semuanya, dirinya berteriak membutuhkan Jiyong, dia menginginkan Jiyong.

Dan saat itulah dia menyadari bahwa dirinya tidak lebih dari seorang pelacur, yang jauh dari kata setia.

*

Dara tengah duduk di balkon, menatap langit orange senja, angin berhembus meniup kulitnya. Dia merasakan sebuah jaket menyelimuti bahunya kemudian Jiyong duduk disebelahnya memberikan secangkir kopi. “Kamu sangat suka kopi, kan?” Jiyong tertawa. “Lebih tepatnya kecanduan,” jawabnya tanpa mau repot untuk menatap pria itu. “Aku tidak suka minum kopi karena itu akan membuatku tidak bisa tidur semalaman, tapi aku tidak bisa berhenti minum kopi,”

Sama seperti bersama dengan Jiyong. Dia ingin berhenti, dia ingin kabur sejauh mungkin dari pria itu namun tidak bisa. Dirinya merasa tertarik kearah pria itu, sungguh-sungguh tertarik.

“Ohh,” kata Jiyong menganggukkan kepala, merebut cangkir kopi dari tangan Dara dan menggantinya dengan miliknya sendiri. “Begitu lebih bail,” dia meringis lebar pada Dara. Dara melihat isi cangkit, coklat panas. “Rasanya juga manis,” tambah Jiyong pada Dara yang masih menatap isi cangkir. Jiyong lalu menyesap isi cangkir yang dipegangnya. “Yuck!” katanya meludah dan terbatuk-batuk, Dara hanya memandanginya.

“Apa ini?” tanya Jiyong menjauhkan cangkir kopi darinya dan menatapnya. “Aku selalu berpikir kopi itu pahit tapi tidak menyangka akan sepahit ini!” serunya tidak percaya. “Apa aku biasanya selalu kurang memberi gula?” tanyanya pada Dara yang masih terus berkedip menatap kelakukan Jiyong. Dara menggelengkan kepalanya. “Takarannya sudah pas,” kata Dara.

Jiyong menggacak rambutnya sendiri. “Aku harusnya menambahkan lebih banyak gula,” katanya masih bisa merasakan pahit kopi di lidahnya. Dia lalu menoleh kepada Dara. “Mulai sekarang berhenti minum kopi, kopi itu pahit!” serunya berlebihan. “Kamu minum saja itu, jauh lebih baik,” katanya, Dara masih memandanginya.

Bibir Dara tanpa diduga melengkung membentuk sebuah senyum lemah, membuat Jiyong membeku tak percaya hingga lupa untuk berkedip. Untuk pertama kalinya sejak mereka bertemu, ini adalah kali pertama Jiyong melihat Dara tersenyum. Gadis itu tersenyum dan berhasil membuat jantung Jiyong berdebar keras dalam dadanya, meronta meminta oksigen. Jiyong ikut tersenyum, belum pernah dia merasa sebahagia ini hingga rasanya tubuhnya bisa meledak sewaktu-waktu – seoah-olah tubuhnya dilempar ke atas dan angin meniup tubuhnya pergi.

Bagaimana bisa tindakan kecil seperti itu membuatnya merasa sangat senang hingga sekarat?

“Kamu lucu,” gumam Dara pada Jiyong masih terpaku. Dara kembali mengalihkan perhatiannya pada cangkir yang diberikan Jiyong padanya tadi, menyesapnya. “Rasanya enak,” katanya tidak percaya dan kembali menyesap cairan itu. “Kenapa aku tidak pernah mencoba ini sebelumnya?” tanyanya tak percaya yang langsung ditertawakan oleh Jiyong. Dara menoleh, mendelik kesal. “Apanya yang lucu?” tanyanya.

“Kamu sudah 28 tahun dan sama sekali belum pernah minum coklat?” tanyanya disela-sela gelak tawanya membuat Dara merengut. “Bukan salahku jika aku terbiasa minum kopi sejak aku masih muda, tidak semua orang seberuntung dirimu,” dengusnya mengalihkan pandangan membuat tawa Jiyong berhenti seketika. Jiyong tersenyum dan menempatkan cangkir kopi di meja kayu didekat ayunan yang tengah mereka duduki.

Lengan Jiyong bergerak merangkul Dara kemudian dia menyandarkan kepalanya di bahu gadis itu. “Maaf,” gumamnya tulus. Dara mengacuhkannya dan terus menyesap coklatnya, Jiyong meringis dan semakin mendekat pada Dara, menatap ke langit. “Mungkin kamu bisa menceritakan tentang dirimu lain kali,” kata Jiyong. Dara mendesah dan menoleh menatap Jiyong. “Mungkin,” katanya membuat Jiyong tersenyum. “Yeah, kamu harus menepatinya,”

*

Saat itu pukul 7 malam namun mereka masih berada di luar, pergi ke swalayan terdekat. Jiyong tersenyum senang menggigiti bibirnya berjalan disebelah Dara, jemari mereka saling terjalin berkaitan – bergandengan. Dara mencoba menarik lepas tangannya dari genggaman Jiyong berjuta-juta kali namun Jiyong semakin mengeratkan genggamannya enggan melepas tangan Dara. Dara hanya bisa memutar bola matanya menyerah pada sikap keras kepala Jiyong.

“Kenapa kamu tidak bilang padaku sejak awal jika mau membeli beberapa keperluan?” tanya Dara dalam desis yang ditanggapi Jiyong dengan senyum polos. “Aku terlalu merindukanmu sampai aku lupa,” jawabnya sambil tertawa. Dara memutar bola matanya.

Malam itu sangat dingin dan mereka berjalan di jalanan yang sepi. Dara mendesah. “Setidaknya ini ada baiknya juga,” kata Dara jujur, Jiyong langsung menatapnya. “Kenapa?” tanya Jiyong. “Setidaknya kita tidak perlu khawatir akan ada yang melihat kita,” gumamnya membuat Jiyong langsung terdiam. Jiyong lalu mengelus tangan Dara. “Yeah, mungkin kita harus selalu berbelanja di malam hari,” timpalnya.

Jika dipikir-pikir lagi, rasanya mereka seperti pasangan selebriti yang berusaha untuk menyembunyikan kenyataan bahwa mereka bersama. Mereka berdua mengenakan jaket dan topi. Jiyong tertawa dengan pemikiran itu.

Mereka berada di dalam swalayan, berkeliling mengambil barang-barang yang mereka butuhkan. “Hei,” Jiyong memanggil Dara saat meletakkan kotak susu dalam kereta belanja mereka. “Pil apa ini?” tanyanya pada Dara, wajah gadis itu langsung memerah. Jiyong berkedip, tertawa sambil mencubit pipi gadis itu. “Cute,” gumamnya, Dara langsung menepis tangan Jiyong. “Kamu mengejekku,” gumamnya.

“Tidak, aku tidak mengejekmu,” jawab Jiyong. “Jadi pil apa ini?” tanya Jiyong, Dara menoleh menatapnya. “Agar aku tidak hamil,” katanya sambil mengambil sebungkus Oreo. Jiyong tersedak mendengar jawaban Dara, mukanya langsung memerah. “Sejak kapan kamu mulai menggunakan ini?” tanyanya lagi, Dara menatap Jiyong tanpa emosi.

“Sejak kedua kalinya kita melakukan itu, setelah aku memastikan bahwa aku tidak hamil,” jawabnya blak-blakan dan datar, Jiyong hanya menatapnya dan mengangguk. Jiyong mengelus tengkuknya dengan telapak tangan, pipinya serasa terbakar. “Aku menyadari kamu tidak mau memakai kondom,” tambahnya sambil mereka berjalan menuju ke bagian roti. Wajah Jiyong menjadi semakin merah dan dia terbatuk keras. “Bisakah kita tidak membicarakan tentang hal ini?!” serunya, Dara menatapnya kaget.

“Ini memalikan,” kata Jiyong menutupi wajahnya dengan telapak tangan. Dara berkedip menatap Jiyong yang bersikap seperti anak kecil sedang mali. Sebenarnya dia terlihat cute. Well, Jiyong selalu terlihat cute dengan semua reaksinya. “Anak kecil,” bisik Dara saat meraik satu pak roti. “Aku bukan anak kecil!!” seru Jiyong kesal menatap Dara. Dara hanya membalas tatapannya dengan malas. Jiyong merengut, tangannya terkepas etar – Dara hanya menggeleng-gelengkan kepalanya dan melanjutkan langkah. “Anak kecil,” katanya, Jiyong menatap punggungnya tak percaya, mulutnya terbuka lebar.

“Mari kita lihat siapa yang anak kecil, nanti,” gumamnya, tak lama bibirnya membentuk senyuman lebar. Dia menggigit bibirnya dan mendorong kereta belanja mengikuti langkah Dara.

*

“Hei guys, apa kalian sudah dengar, tema pesta dansa untuk mahasiswa baru tahun ini adalah Peter Pan?” tanya Daesung tertawa sambil duduk di meja mereka yang biasanya di kafetaria, semua mata tertuju pada Jiyong yang tengah makan dalam diam dan terus saja meracau tidak jelas. Tawa mereka langsung reda memandangi Jiyong yang sedang makan padahal jelas terlihat bahwa dia sedang tidak mood untuk makan dan hanya menyuapkan apapun kedalam mulut dan tenggorokannya.

Dara kembali lagi dengan sikap angin-anginnya dan Jiyong hanya bisa melampiaskan rasa kesalnya kepada makanan. Dia tidak mungkin marah pada gadis itu atau menunjukkan bahwa dia merasa frustasi dengan sikap gadis itu. Sebenarnya dia masih tidak percaya, karena ini baru hari kedua mereka tinggal bersama.

“Benarkah?” seru Minzy berharap bisa menghilangkan suasana canggung diantara mereka. “Itu keren!!” tambahnya membuat yang lain kembali heboh membicarakan tentang pesta dansa yang akan datang. Jiyong menggenggam botol jusnya erat dan langsung meminumnya hingga habis lalu meletakkan botol yang sudah kosong ke meja dengan keras, semua perhatian kembali kepadanya.

“Kenapa semua gadis itu tukang protes? Huh?” tanyanya kepada teman-temannya yang hanya bisa berkedip kepadanya. “Mereka akan menciummu tapi kemudian mendorongmu menjauh, mereka akan menurut tapi kemudian tiba-tiba merasa jijik!” serunya. “Apa maksudnya semua itu?!” tanyanya bersungut-sungut kembali menyendokkan makanan kedalam mulutnya.

Teman-temannya menatap tidak percaya, semantara yang ditatap masih terus saja maraca tidak jelas – malah terdengar seperti dia sedang memanggil semua makhluk halus diseluruh penjuru dunia. Jiyong lalu meraih botol jus milik Hyunseung dan meminumnya tanpa peduli jika itu bukan miliknya, masih dibawah tatapan yang lain. “Tapi karena kamu terlalu mencintai mereka, kamu tidak bisa meninggalkan mereka!” serunya mengusap mulut dengan punggung tangannya. “Aishh!” serunya, akhirnya teman-temannya tersentak.

Jiyong mendesah. “Ahmm, Jiyong oppa,” panggil Minzy menelan ludah berat. Jiyong menoleh menunggunya melanjutkan kalimat. “Apa kamu sudah punya pacar?” tanyanya membuat Jiyong diam seketika dan langsung memerah malu-malu. “Tidak aku tidak punya!!” serunya mengelak, membuat mata teman-temannya menyipit menatapnya tajam. Jiyong tersenyum dan tertawa kesenangan dan yang lain hanya bisa memutar bola mata mereka.

“Well, sebenarnya iya,” katanya sambil menutupi mukanya dengan telapak tangan dan tertawa senang. “Wooh! Seseorang membuat kesalahan besar karena mau menerimamu?!” seru Daesung membuat Jiyong mendelik padanya dan mencekik lehernya dengan kedua tangan. “Maafkan aku!!” seru Daesung, Jiyong terus menggungcang tubuhnya keras sampai-sampai Daesung merasa makanan yang baru saja masuk kedalam kerongkongannya bergerak naik.

“Aku sudah punya pacar, oke,” katanya tertawa, memasang senyum idiot dihadapan teman-temannya. “Whoa?! Siapa?!” tanya mereka bersemangat, kecuali Bom yang tidak tampak antusias dengan berita itu, karena dia sudah punya firasat siapa yang Jiyong bicarakan. “Idiot,” gumam Bom sambil menyesap minumannya. “Dia adalah gadis yang paling sempurna di dunia,” jawab Jiyong tersenyum bangga.

“Wow, namanya panjang sekali, gadis paling sempurna di dunia,” kata Daesung sarkastik. “Nama yang unik kalau boleh kubilang,” tambahnya membuat semua orang tertawa, dan sekali lagi dicekik dan diguncang-guncangkan oleh Jiyong.

“Aishh, aku hanya bercanda,” kata Daesung, matanya berair, tangannya bergerak memijarti lehernya. Akhirnya dia mendesah mengalah. “Jadi karena kamu sudah punya pacar, apa kamu akan membawanya ke pesta dansa?” tanya Minzy berharap. Jiyong terdiam beberapa saat. “Kuharap aku bisa,” dia tertawa pahit. “Kalau saja aku bisa,” gumamnya.

“Kenapa, apa dia bersekolah di universitas yang berbeda atau karena dia berasal dari dimensi lain – katakan saja dari khayalanmu,” kata Hyunseung yang langsung disambut dengan high five oleh Daesung membuat Jiyong mendelik kesal padanya, Hyunseung langsung mengangkat kedua tangannya menyerah. “Tidak adil, kenapa kamu tidak mencekik dia juga!” Daesung komplain. “Diam!” Hyunseung menggertak Daesung.

“Jadi oppa, kenapa kamu tidak bisa membawanya?” tanya Minzy mengalihkan percakapan mereka kembali ke topik semula. Jiyong tersenyum lalu berdiri kemudian mengacak rambut Minzy. “Rahasia,” dia tertawa dan berjalan pergi mengatakan jika dia masih punya pekerjaan yang harus diselesaikan.

Mereka hanya bisa saling tatap satu sama lain. “Taruhan, dia pasti tidak benar-benar punya pacar, dia hanya mempermainkan kita,” kata Daesung sambil menggeleng-gelengkan kepala. “Aku tahu, itu benar,” Hyunseung mengangguk setuju,”Tapi sah-sah saja, iya kan?” kata Minzy. Hyunseung dan Daesung menatapnya sambil menyilangkan kedua lengan di dada mereka membentuk tanda X besar.

“Semua yang dia katakan itu sah-sah saja, oke!” kata Hyunseung. “Jadi jangan tertipu,” Daesung mengangguk dan kembali makan. Pandangan mereka tertuju pada Bom yang berdiri padahal dia sama sekali belum menyentuh makanannya. “Aku kehilangan nafsu makan,” katanya dan berlalu dari hadapan mereka, mereka hanya bisa saling lirik satu sama lain. Mereka kemudian mengedikkan bahu.

Orang-orang semakin bertambah aneh akhir-akhir ini.

Tapi kemudian seiring berjalannya waktu, kita akan menyadari bahwa kita tidaklah perlu menjadi sempurna. Kita tidak perlu menjadi sempurna untuk memperoleh semua itu. apa yang kita perlukan sebenarnya adalah apresiasi, dan merasa diterima. Kita perlu merasakah itu tidak peduli seberapa besar kekacauan yang kita lakukan – tetap akan ada yang  mau tetap tinggal dan menggenggam tangan kita.

Mengapresiasi keberadaan kita meskipun yang kita lakukan hanyalah bernafas.

  

 ~ TBC ~

 

HTSAL

HTSAL-KJ

Prolog 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 Epilog FN

Buka lagi front page DGI dan baca aturan poin kedua >> RLC(stand for Read, Like, Comment).. artinya, buka DGI buat baca FF atau yang lainnya, Like yang sudah dibaca, dan terus ninggalik Komentar... Nggak susah kok aturannya...
Author-nya kan udah berbaik hati berbagi imaginasi, jadi nggak ada salahnya juga kan kalo sedikit ngasih support lewat like sama komentar...
Buat silent reader yang berpikiran 'aku udah komen, tapi nggak ada tanggapan.. aku kan udah capek2 komen,' dibalikin lagi, authornya udah capek2 ngetik berhalaman2, mau repot2 upload buat ngirim kemari.. mungkin aja authornya bingung nggak nemu balasan yang tepat buat komentar temen2.. tapi kami yakin kok, komentar yang masuk jadi support tersendiri buat authornya biar tambah rajin...
Satu hal lagi, bisakan kalau ninggalin komen pake nama? buat yang pake akun fb atau twitter, oke..kami ngerti.. nah, yang pake email buat, kasih nama sama alamat email yang valid ya.. sewaktu2 kami tetiba kami pengen pw-in postingan, kemungkinan besar bakal kami kirim via email..
Jadi kami harap, ikutin aturan diatas ya... RLC...

Admin.

53 thoughts on “How to Save a Life [Part #15] : Inconsistent

Leave a comment