[Oneshoot] Marry You

myou5

“Ouww ouww ouww, jangan tarik kacamataku Sukjin!” bentak Tuan Kwon.

“Yah, yah, yah, jangan menjambak rambutku!” balas Tuan Park.

Sudah hampir 15 menit Tuan Park dan tuan Kwon bertengkar dan saling beradu mulut di perbatasan halaman rumah mereka. Tak satu pun dari mereka yang mau mengalah. Bahkan nyonya Park dan nyonya Kwon tak mampu menghentikan kelakukan suami mereka yang kian menggila.

“Dasar hidung besar!”

“Apa kau bilang?! Dasar Jaesuk si mata sipit!”

Untuk kesekian kalinya mereka kembali ‘berperang’. Nyonya Park dan nyonya Kwon sudah menyerah dan hanya bisa membiarkan suami-suami mereka bertindak sesuka hati. Para tetangga akhirnya banyak yang menyaksikan pertengkaran mereka di jalanan. Tak terkecuali Dara dan Jiyong yang baru saja datang dengan mengendarai mobil. Mereka cepat-cepat turun dari mobil dan terkejut melihat wajah appa mereka kusut, padahal beberapa jam lalu mereka telah resmi menjadi besan.

“Hentikan appa!” Dara yang masih mengenakan mini dress wedding-nya memegangi tangan appa-nya, Park Sukjin yang masih mencengkeram bahu Tuan Kwon.

“Appa, jangan membuat malu di depan banyak orang.” Bujuk Jiyong menarik lengan appa-nya, Kwon Jaesuk agar melepaskan rambut appa Dara.

Kemarahan keduanya akhirnya mereda setelah dipisahkan anak-anak mereka.

“Gara-gara kau, aku tidak bisa membeli tongkat golf kesayanganku,” Jaesuk berdecak kecil sambil berkacak pinggang dan melotot pada Jiyong, “Kenapa kau mendadak mengajaknya menikah, Jiyong?” Kini Jaesuk berkata dengan lemasnya. Jiyong yang sudah berganti pakaian dengan kemeja biasa hanya bisa cengengesan dan menggaruk-garuk belakang kepalanya yang tidak gatal.

“Dara sayang, kenapa kau mau diajak menikah dengannya?” Kali ini giliran Sukjin yang bertanya pada putrinya.

“Appa, i-itu…” Dara tak mampu menyelesaikan kata-katanya. Alhasil, Sukjin hanya bisa pasrah. Ia meletakkan kepalanya di bahu putrinya dan pura-pura menangis. Dara menoleh pada Jiyong agar membantunya tapi Jiyong malah mengedipkan sebelah matanya membuat Dara kesal setengah mati dan menghela napas.

Ya, hari ini Dara dan Jiyong telah resmi menikah. Bukan karena mereka tidak direstui tapi karena pernikahan mereka yang serba mendadak hingga membuat keluarga besar mereka bingung bukan kepalang. Bagaimana tidak? Bayangkan, keluarga mereka sudah hidup bertetangga selama kurang lebih 20 tahun dan anak-anak mereka tidak pernah menunjukkan ada hubungan percintaan di antara mereka. Hingga pagi-pagi buta dimana keluarga Park baru saja bangun, Jiyong tiba-tiba datang dan berlutut di depan appa Dara, bermaksud untuk meminangnya. Sontak, Sukjin langsung menolaknya karena ia tahu Jiyong dan Dara hanya sebatas teman.

Namun takdir berkata lain, pernikahan tetap dilangsungkan karena ternyata Jiyong sudah membooking sebuah restoran untuk merayakan pesta pernikahannya dan tengah malam sebelumnya sudah datang ke rumah appa Youngbae yang bekerja di kantor catatan sipil untuk mengurus surat nikah. Sukjin hanya bisa bengong. Belum lagi Jaesuk yang pusing tujuh keliling karena uang yang dipakai untuk membiayai seluruh keperluan pernikahan Dara dan Jiyong adalah uang miliknya.

***

18 jam sebelumnya

“Mianhae, aku terlambat.” Jiyong membuka pintu mobil dan duduk di kursi penumpang dengan cepat. Ia melemparkan tas kerjanya ke jok belakang dan melonggarkan ikatan dasi yang masih menempel dengan ketat di lehernya.

“Jwiyongieee, kauwww terrrlaaambbat.” Dara mengunyah roti yang baru dimasukkan ke dalam mulutnya sambil menyetir dengan sebelah tangannya. Jiyong yang melihat hal itu, dengan cekatan membersihkan sisa selai yang masih menempel di sekitar mulut Dara dengan kedua tangannya. Sudah menjadi kebiasaan tiap malam Dara selalu menjemput Jiyong pulang kerja. Bukan hanya karena kantor mereka berdekatan tapi juga rumah mereka yang bersebelahan.

“Bagaimana kencanmu?” tanya Dara. Dara tahu kalau Jiyong baru saja mengikuti kencan yang diatur eomma-nya selepas kerja di sebuah restoran sebelah kantor Jiyong. Bahkan Jiyong sendiri yang minta segera dijemput agar kencannya cepat selesai.

“Dia cantik, sexy, dan sangat berkelas, ” Jiyong merebahkan punggungnya ke kursi, “Tapi ia membosankan.” Ujarnya.

Jiyong bercerita, sejak pertama kali mereka bertemu, si wanita tak henti-hentinya membicarakan dirinya sendiri bahwa ia seorang anak tunggal dan mewarisi seluruh kekayaan orang tuanya. Jiyong tak diberi kesempatan untuk bertanya tentang kehidupan sehari-harinya. Untung saja Dara menelepon, jadi Jiyong punya alasan bahwa ia harus segera pulang karena teman spesialnya sudah menjemputnya di luar. Untuk lebih menyakinkan lagi, Jiyong bilang bahwa teman spesialnya itu adalah seorang pria. Kontan si wanita langsung berhenti bicara dan keluar dari resto terburu-buru, dengan Jiyong yang tertawa terbahak-bahak setelah itu.

“Kau tahu kan jika aku sedang jatuh cinta, hatiku akan berdebar kencang? Aku tak merasakannya saat kami sedang duduk berduaan.” lanjutnya lagi.

“Lalu pernahkah hatimu berdebar saat melihatku?” goda Dara dengan tatapan dan senyuman yang dibuat centil.

“TIDAK.PERNAH!!”

Jiyong menekankan kata-katanya sambil menyumpal mulut Dara dengan sepotong roti.

“Hmmphtt, aisht kau ini…” Dara memonyongkan bibirnya.

Sebenarnya ia sudah tahu jawaban Jiyong. Jiyong selalu mengenalkan kekasihnya pada Dara, begitu pun sebaliknya, karena itu Dara tahu wanita mana yang bisa membuat hati Jiyong berdebar. Meski Jiyong sudah beberapa kali berpacaran, namun ia bukan tipe pria romantis. Jika biasanya sepasang kekasih merayakan hari valentine atau hari jadi hubungan mereka yang ke-100, tidak halnya dengan Jiyong. Ia menganggap semua hari itu sama. Ia jarang memberikan bunga atau cokelat pada kekasihnya.

Lain halnya dengan Dara, ia tipe wanita yang sangat suka diberi bermacam-macam hadiah dari kekasihnya. No, Dara bukan wanita matre. Tapi ia beranggapan jika kekasihnya memberikan sesuatu untuknya, hal itu menandakan bahwa pria itu serius menjalin komitmen dengannya.

“Tapi pertama kalinya hatiku berdebar saat melihat rokmu tersingkap terkena angin saat kita main di halaman belakang rumah dulu.” Kata Jiyong santai sembari membuka game di ponselnya.

“Yah!” Dara memukul lengan Jiyong sambil menyetir, “Mesum.”

Mereka sudah seperti keluarga karena rumah mereka yang bersebelahan. Sejak kecil Dara selalu mengikuti kemanapun Jiyong pergi. Bahkan jika Jiyong masuk ke dalam kamar mandi, Dara akan menunggunya di pintu sampai Jiyong keluar tapi Jiyong tak pernah protes akan kelakuan Dara. Tak jarang mereka dikira kakak beradik.

Jika Dara sedang ada masalah dengan kekasihnya, Jiyong dengan setia menjadi pelampiasannya. Selama tiga hari Dara akan menangis meraung-raung dan memukul tubuh Jiyong hingga puas dan setelah tiga hari berlalu, Dara akan kembali seperti semula seolah tidak terjadi apa pun. Sebaliknya, jika Jiyong yang patah hati, Dara selalu menghiburnya. Mereka tidak pernah melewati batas dari status sahabat. Dan Dara tidak pernah memanggil Jiyong dengan sebutan oppa meski usia Jiyong beberapa bulan lebih tua darinya.

Waktu sudah menunjukkan hampir jam 23.00. Suasana malam di tengah kota Seoul masih sangat ramai. Kendaraan masih banyak yang lalu lalang. Cafe, butik dan tempat hiburan lain seolah tak pernah mati. Jiyong menyalakan radio untuk menghilangkan kebosanan. Keduanya menggoyang-goyangkan kepalanya mengikuti irama lagu.

“Dara, sudah berapa lama kita saling kenal?” Jiyong masih mengutak-atik ponselnya saat bertanya.

“Hmm, hampir 20 tahun, wae?” Dara menoleh pada Jiyong. Ia bertanya-tanya kenapa Jiyong menanyakan hal itu.

“Kau tahu kan, eomma dan appa selalu menjodohkan kita dengan putra-putri teman bisnis mereka?”

“Yeah. Bulan ini saja aku sudah menjalani 3 kali kencan yang diatur oleh eomma. Waeyo?”

“3 kali? Hahaahaaaa, kujamin tidak ada pria yang tahan denganmu jika mereka tahu kau sering kentut.”

“YAH! Bentak Dara, “Bukankah kau yang sering mengeluarkan air liur saat tidur, huh?” kini giliran Dara yang menggodanya.

“Sembarangan.” Elak Jiyong yang dibalas Dara dengan menjulurkan lidahnya.

“Tidakkah kau lelah?”

Dara melirik Jiyong sebentar lalu kembali fokus menyetir. “Tentu saja aku lelah. Tapi mau bagaimana lagi, aku tidak ingin mengecewakan mereka. Aku harus secepatnya menikah. Kau, bagaimana?” Dara balik bertanya.

Jiyong menghela napas panjang, “Sama sepertimu. Sudah beberapa kali aku dijodohkan dengan putri relasi appa. Dari model, atlet, artis bahkan sampai putri pejabat. Tapi tak satupun dari mereka yang membuatku tertarik.” Keluhnya.

Dara tertawa geli hingga Jiyong menoleh ke arahnya. Ia tak menyadari rambutnya menutupi sebagian pipinya. Dengan lembut, Jiyong merapikan rambut Dara ke belakang telinganya.

Mata mereka bertemu.

Cahaya dari jalanan membuat wajah Dara berkilauan. Rambut panjangnya yang sedkit bergelombang membuatnya kelihatan lebih sexy. Bola mata Dara yang berwarna cokelat makin memperindah matanya. Bentuk wajahnya yang tidak seperti orang Korea kebanyakan membuat Jiyong tertarik pada seorang wanita, saat pertama kali eomma dan appa Jiyong memperkenalkan Dara padanya.

Jiyong menelan ludah. Dara memang cantik, tapi selama ini Jiyong menganggap kecantikannya biasa saja. Baru malam ini, ia menyadari bahwa wajah Dara tidak cantik tapi lebih dari itu. Ia mempesona. Tangan Jiyong masih menempel di pipi Dara.

Menyadari Jiyong memandangnya dengan intens, Dara berhenti tertawa. Silau cahaya dari jalanan membuat wajah Jiyong terlihat lebih maskulin dari biasanya. Tubuhnya tidak terlalu berotot, namun Dara mengakui, sebagai pria Jiyong punya dara tarik sendiri. Belum lagi kulit tubuhnya yang putih seperti wanita meski ia jarang merawat tubuhnya. Dara merasakan kehangaran tangan Jiyong yang masih menempel di pipinya. Dara memalingkan wajahnya karena malu. Mukanya memerah seperti apel. Belum pernah ia merasa malu pada Jiyong selama 20 tahun ini. Yang Jiyong lakukan padanya sebenarnya sudah biasa, bahkan setelah itu Dara selalu memainkan jari-jarinya.

Tapi sekarang? Mereka berdua terlihat canggung. Jiyong yang biasanya menggoda Dara kini malah terlihat lebih canggung. Jiyong dengan cepat menarik tangannya. Tanpa Dara tahu, jantung Jiyong terpacu dengan cepat. Ia meremas-remas dadanya seolah-olah di dalam dadanya bergetar hebat. Sama seperti saat pertama kali Jiyong bertemu dengannya.

Mereka berdua terdiam. Masing-masing tenggelam dalam pikirannya. Dara fokus menatap ke jalan dan Jiyong memandang kosong keluar jendela mobil. Mereka bukan sepasang kekasih, namun situasi di dalam mobil membuat mereka terlihat seperti kekasih.

“I think I love you kuron-gabwayo
Cause I miss you kudae-man omsumyon
Nan amugeosdo moshago
Jakku saeng-gaknago
Ireongeol bomyeo amuraedo…”
(ost. Fullhouse)

Oh great. Tiba-tiba lagu yang diputar makin membuat mereka menjadi kikuk. Keduanya saling melirik. Jiyong mencoba mencari frekuensi lain.

“Please be my baby
Please be my baby
Whenever I think about you, I go crazy
Cause I want to have you”
(Please be my baby, WonderGirls)

Jiyong menggerutu dalam hati. Kenapa dari tadi lagu-lagunya mengenai jatuh cinta? Jantungnya kembali berdebar kencang. Ia kembali bermain game untuk mengalihkan rasa gugupnya. Namun kedua lagu tadi masih terngiang-ngiang di kepalanya. Jiyong kembali memutar frekuensi radionya.

“Cause it’s a beautiful night,
We’re looking for something dumb to do.
Hey baby,
I think I wanna marry you.

Is it the look in your eyes,
Or is it this dancing juice?
Who cares baby,
I think I wanna marry you.”

Damn, umpatnya. Lagu ini berusaha membunuh dirinya, batin Jiyong dalam hati. Meski begitu, Jiyong menutup kedua matanya dan meresapi setiap bait lirik lagunya. Entah apa yang merasuki pikirannya, wajah Jiyong berubah menjadi lebih serius dari sebelumnya.

“Just say I do,
Tell me right now baby,
Tell me right now baby, baby
Just say I do
Tell me right now baby,
Tell me right now baby, baby..”
(Marry You-Bruno Mars)

“Tokkie…?”

Sudah lama Dara tak mendengar Jiyong memanggilnya dengan Tokkie. Terakhir kali Dara ingat ketika ia menyuruh Jiyong untuk berpura-pura menjadi kekasihnya saat seorang teman kerjanya mengejar-ngejar cintanya.

“Y-yeah…?”

“Why don’t we…?”

Jiyong menggantung kata-katanya tanpa memandang Dara. Dara juga tak berani menengok. Ia mengira-ngira apa yang dipikirkan Jiyong saat ini.

“We what?”

“……………”

“Jiyong?”

“Why don’t we get married?”

CIIIIIITTTTTT

Dara menghentikan mobilnya di tengah jalan sampai suara ban mobilnya berdecit kencang. Ia tak peduli dengan suara klakson dan caci maki pengendara lain di belakang yang terkena imbas rem mendadaknya.

“Whattt!?!?!”

Dara berteriak kencang. Apa ia tak salah dengar? Apa Jiyong baru saja melamarnya? Dara bahkan tak berkedip menatap Jiyong. Apa karena efek lagu Bruno Mars tadi? Jiyong mengerang kesakitan karena kepalanya terantuk dashboard mobil meski ia sudah memasang seatbelt. Ia memegangi keningnya yang sedikit memerah.

“Yah! Apa kepalamu tersambar petir?!” pekik Dara.

Oh God, Dara tak membayangkan Jiyong akan berkata seperti itu padanya. Mereka bahkan tidak saling cinta.

Maybe, who knows.

Jiyong melepas seatbeltnya tanpa menengok pada Dara. “Keluar dari mobil.”

“A-apa?”

Apa Dara tak salah dengar? Jiyong baru saja menyuruhnya keluar dari mobilnya.

“Apa kau mengusirku dari mobilku sendiri?” tanya Dara tak percaya.

“Kita bertukar tempat. Aku yang menyetir.” Jiyong bangkit dari kursi penumpang dan membuka mobil. Lalu ia membuka pintu mobil Dara dan membantunya melepas seatbelt. Dara yang awalnya enggan untuk pindah akhirnya menyerah. Jiyong mulai menjalankan mobilnya pelan dengan Dara yang masih memandangnya bingung.

“Jiyong, ada apa denganmu?”

Jiyong hanya diam saja, tak membalas pertanyaan yang Dara ajukan. Sepertinya ia sedang memikirkan suatu hal yang sangat besar.

CIIIITTTT

Jiyong memutar mobilnya dengan kecepatan tinggi.

“Jiyong, kita mau kemana?!” tanya Dara lagi.

“Ke rumah appa-nya Youngbae.”

“Apa kau sudah gila?! Iini sudah hampir jam 11 malam. Mereka sedang beristirahat.” Ujarnya kesal. Appa-nya Youngbae? Untuk apa malam-malam mereka mau kesana? Dara semakin bingung dengan sikap Jiyong. Beberapa menit sebelumnya, Dara sempat menyaksikan Jiyong tersipu malu. Tapi beberapa menit setelahnya, Jiyong berubah menjadi menyebalkan.

Tiba-tiba Jiyong tersenyum. Dengan sedikit melirik Dara, ia berkata, “Appa Youngbae kerja di kantor catatan sipil kan?”

“Hu-oh.” Dara mengerutkan kedua alisnya. Tak mengerti apa maksud Jiyong berkata seperti itu. Tiba-tiba Jiyong menyeringai. Dara tahu benar senyuman itu. Jika Jiyong menyeringai, berarti akan ada hal gila yang dipikirkannya. Dan mata Dara melotot begitu menyadari kemana arah pembicaraan ini.

”Oh no no no, kau tidak berpikiran macam-macam kan?” Dara balik bertanya dengan tatapan horor.

Jiyong balik menatapnya dengan senyuman nakal, ia mengedipkan sebelah matanya sebelum mengucap kata-kata yang membuat Dara menyesal untuk bertanya.

“Nope, aku hanya berpikiran satu macam. Kita akan menikah besok.”

Dara membeku mendengarnya.

Jiyong mengajaknya menikah besok.

Jiyong mengajaknya menikah besok!!

Jiyong mengajaknya menikah besok!!!

Apa dia gila?! Mata Dara kembali melotot. Bahkan sebelum Dara bisa protes, Jiyong sudah mendahuluinya dengan mengemudikan mobilnya dengan kencang.

“Jiyong!”

“Tapi sebelum itu, kita harus membeli cincin dulu.”

“Kwon Jiyong!!”

“Ah, apa butik baju pengantin masih buka? Bagaimana kalau kita membelinya malam ini?” Jiyong tak menggubris Dara yang masih shock mendengar omongannya, “Jangan khawatir, aku juga akan membeli tuxedo untuk pernikahan kita besok.” Jiyong tersenyum puas melihat Dara tak bisa berkata-kata lagi.

Bagi Dara, ini adalah hal tergila yang pernah ia dengar. Jiyong. Tetangga sebelah rumahnya? Teman bermainnya sejak kecil? Mengajaknya menikah? WHAT THE HELL!?@#%%^&!! Apa ia baru saja kesurupan? Jika iya, maka dengan senang hati Dara akan membawanya ke paranormal.

Mungkin ini hanya salah satu candaan Jiyong, karena itu Dara mulai tertawa terbahak-bahak. “BWAHAHAHHAHAAA, Jiyong kau lucu sekali. Apa kau baru saja mengajakku menikah? Kau dan aku, menikah? HAHAHAHAAA.” Dara masih tertawa renyah sampai-sampai ia memegangi perutnya.

Jiyong yang masih menyetir hanya membalasnya dengan senyuman tipis, membuat Dara terdiam. Untuk malam ini, Dara merasa takut pada Jiyong. Takut karena jika Jiyong benar-benar mengajaknya menikah, maka impiannya dulu semasa kecil menjadi kenyataan.

“Jiyongie, ap-apakah yang kau katakan itu benar?”

Jiyong mengedikkan bahunya. “Entahlah. Tiba-tiba malam ini aku sangat yakin ingin menikah denganmu. Aku tahu ini sangat mendadak. Tapi, ketika aku mengatakan hal itu, aku benar-benar sudah memutuskannya dengan sangat matang.” Ucap Jiyong serius membuat Dara kembali terdiam.

“Ta-tapi Jiyong, kita kan tidak saling mencinta?” Dara sedikit ragu akan pernyataan pria itu. Jika setelah mereka menikah, ternyata pernikahan itu tidak berhasil? Apa yang akan mereka perbuat? Lalu bagaimana dengan tanggapan orang tua mereka?

“Cinta? Mungkin aku sudah mencintaimu sejak kau masih di dalam rahim eomma-mu.” Jawab Jiyong lembut.

Mata Dara mulai berkaca-kaca. Ia tak percaya akan mendengar perkataan itu dari mulut Jiyong sendiri. Ia merasakan ketulusan dalam setiap kata-katanya.

“Apa kita perlu membuat little Kwon atau little Dara terlebih dahulu agar pernikahan itu cepat terjadi?” Lanjutnya membuat mata Dara terbelalak lebar. Dengan segenap tenaga, Dara memukul belakang kepala Jiyong dengan sangat keras.

“KWON JIYONG!!!”

“OUWCCHH!!”

~ End ~

 

Annyeong chingu, pertama kali denger lagunya sya langsung suka bingits, makanya cerita sya kali ini inspirasinya diambil dr lagu ini, hehehe… Gak tahu nih, lagi pengen bkin cerita dr lagu2 fav sya, kekeke… Dan mianhae jika ceritanya mungkin ngebosenin dan endingnya sedikit menggantung, but i hope you like it, so kamsahamnida yg sdh mau baca & koment, ^_~

45 thoughts on “[Oneshoot] Marry You

Leave a comment