Imperfect : Epilog

imperfect copy

multishot | daragon | angst

~ Imperfect – Epilog ~

Seorang bocah perempuan duduk dengan tenang di lantai, sibuk berceloteh sendiri sembari bermain-main dengan bonekanya. Sementara itu ibunya, seorang wanita berusia pertengahan tiga puluhan, membiarkan putrinya bermain seorang diri, mendapat kesempatan untuk menyelesaikan pekerjaannya di dapur.

“Aniya, omma adalah nae omma, omma Haejin adalah aku!” kata gadis kecil itu berkeras kepada boneka kelinci putihnya. Dalam imajinasinya, bocah itu merangkai percakapan dengan si boneka; meminta agar diijinkan memanggil ibu si bocah dengan sebutan omma.

“Omma!!!” teriakan kecil sang bocah memenuhi penjuru rumah.

“Wae, aegy-ah?” terdengar balasan dari arah dapur.

“Haejin nakal!” adunya, kini matanya memicing menatap si boneka, lidahnya terjulur keluar. “Wee~, biar kuadukan pada omma karena kau sudah nakal.” Lalu dia beranjak menuju ke dapur dimana ibunya berada.

“Omma…” panggil gadis kecil itu mendekat.

“Waeyo?” tanya ibunya, tidak mengalihkan perhatiannya dari lobak yang tengah diirisnya.

“Haejin bilang dia ingin memanggil omma dengan panggilan omma, tapi Haejin adalah nae aegy…”

Satu gerakan terakhir, semua lobak telah selesai dipotong. Wanita itu meletakkan pisaunya di counter dapur lalu menoleh kepada putri kecilnya, “Aegy-ah… apa yang omma bilang soal dapur?”

“Aku tidak boleh berada di dapur saat omma memasak…”

“Wae?”

“Karena itu berbahaya… ada pisau yang tajam… ada kompor yang panas… dan omma tidak selalu bisa melihatku…”

“Jadi?”

“Mianhe omma, tapi aku hanya…”

“Arasso.” Wanita itu memotong penjelasan yang coba disampaikan putrinya. Dia kemudian berlutut untuk menyamakan tinggi dengan gadis kecil itu. “Haejin, kau tidak boleh memanggilku omma, arachi?” dia berkata kepada si boneka kelinci putih seolah benda mati itu bisa mengerti perkataannya. “Aku adalah omma Soohyun, jadi hanya Soohyun yang boleh memanggilku omma.” Dia lalu beralih menatap putrinya. “Apa itu sudah cukup?” dia tersenyum, senyuman tulus seorang ibu.

Sang gadis kecil, Soohyun, menganggukkan kepalanya cepat. Dia membalas senyuman ibunya, lebar. “Neh, omma!” serunya.

“Nah, kalau begitu bisakah kau kembali bermain di ruang tengah? Omma masih harus menyelesaikan masakan omma.” Katanya lembut.

Soohyun menganggukkan kepalanya. “Neh, kaja Haejin-ah..”

Sang ibu kembali berdiri, menghapi masakannya yang baru setengah selesai. Tanpa menyadari bahwa sejak beberapa menit yang lalu ada sepasang mata yang terus mengawasi interaksi antara dirinya dan putrinya.

Soohyun berbalik, namun sedikit terkesiap melihat sudah ada orang lain di ruangan yang sama dengan dia dan ibunya. Mulut mungilnya terbuka untuk bersuara, tapi orang itu buru-buru memberi tanda untuk diam. Soohyun tersenyum nakal dan menganggukkan kepalanya, memberikan tanda lingkaran dengan tangan kanannya. Dia melangkah menjauh dari ibunya, tapi belum meninggalkan dapur, terkikik tanpa suara.

Soohyun melihat orang itu mengedipkan sebelah mata padanya, dan dia balas dengan kedipan – dia tidak bisa mengedipkan hanya sebelah matanya saja – lalu menunggu apa yang akan dilakukan orang itu.

Orang itu berjalan berjingkat mendekat kearah sang wanita yang kembali sibuk dengan masakannya. Dia lalu menoleh pada Soohyun dan mulai menghitung tanpa suara. Soohyun mengikutinya.

“Satu…”

“Dua…”

“Tiga…”

Pekik kecil dan suara tawa terdengar memenuhi dapur saat orang itu tiba-tiba melingkarkan lengannya di pinggang wanita yang tengah memasak. Wanitanya.

“Aigoo, kau bisa membuatku terkena serangan jantung.” Kata wanita itu, masih kaget. Tapi tidak berusaha melepaskan diri dari pelukan orang itu, malah dia menyandarkan tubuhnya begitu saja, tahu siapa yang memeluknya.

“Tenang saja, aku adalah seorang dokter spesialis jantung. Jika terjadi apa-apa pada jantungmu, aku akan bertanggung jawab.” Katanya lembut, mengecup pipi sang wanita dalam pelukannya.

“Aigoo,” wanita itu hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya. Kemudian dia menoleh pada orang yang tengah memeluknya, lalu beralih pada putri kecilnya yang masih tertawa. “Dan kau gadis kecil…” dia memberikan isyarat pada orang yang tengah memeluknya…

Seolah mengerti apa yang wanitanya inginkan, orang itu segera melepas pelukannya; kedua orang dewasa itu lalu beralih pada si bocah.

“Kyaaaaa~!” Soohyun berteriak keras saat kedua orang itu beranjak mendekat dan langsung menangkap tubuh kecilnya. Dia tak bisa berhenti tertawa karena kedua orang tua menggelitiki pinggangnya.

Suara riuh tawa dari dapur meramaikan seisi sebuah penjuru rumah mungil.

**

“Aegy-ah, annyeong..” lirih seorang wanita berusia pertengahan tiga puluhan. Parasnya tidak menunjukkan usianya yang sebenarnya, bahkan orang akan meragukannya jika dia berkata bahwa dirinya sudah menikah. “Mianhe, omma lama tidak mengunjungimu. Bagaimana kabarmu? Kau sudah tidak pernah merasakan sakit lagi, neh?” dia tersenyum.

“Omma!” seruan dari kejauhan mengalihkan perhatiannya. Dia menoleh dan matanya menemukan dua orang berjalan menuju kearahnya.

Keduanya tersenyum, jenis senyuman yang membuatnya memiliki keinginan untuk membalas senyum mereka.

“Omma!” panggilan kembali terdengar, dari seorang gadis kecil – salah seorang yang berjalan menuju kearahnya.

“Soohyun-ah..”

Gadis kecil itu, Soohyun, melepaskan pegangan tangannya pada pria yang bersamanya, berlari mendekat pada wanita itu. Dia segera menghambur memeluk ibunya.

“Omma…”

“Aegy-ah,”

“Omma, apakah ini adalah rumah unnie?” mata lebarnya berkedip cepat, menunggu jawaban.

Wanita itu menarik nafas dalam sebelum menganggukkan kepalanya dan menjawab, “Neh.”

Soohyun segera melepaskan pelukannya pada ibunya, dan berlutut dihadapan batu nisan kelabu.

“Unnie, annyeong…” dia melambaikan tangannya, bibirnya tersenyum. “Naneun Soohyun imnida, aku adalah dongsaeng unnie.” Katanya. “Kata omma unnie harus banyak beristirahat karena unnie bisa mudah sakit, aisht.. unnie, kenapa unnie bisa mudah sakit padahal appa adalah seorang dokter..”

Soohyun terus berbicara pada ‘unnie’-nya, mengabaikan dua orang dewasa yang berdiri dibelakangnya, mengamatinya.

“.. unnie tenang saja, aku akan menjaga Haejin dengan baik. Aku juga akan menjadi anak yang baik dan menurut pada omma dan appa..” dia tersenyum sembari terus bercerita. Lalu tiba-tiba dia terdiam. “Unnie, bogoshippoyo~,” katanya sembari mengelus batu nisan dihadapannya.

“Aegy-ah…” lirih sang wanita yang masih setia berdiri dibelakang putri kecilnya. Dia tidak menyadari air matanya telah mengalir sampai dia merasakan tangan seseorang menghapus air matanya. Dia menoleh dan tersenyum.

“Dara-ah…”

“Oppa, gomawo…” lirihnya, tapi masih bisa didengar oleh pria itu.

Pria itu menganggukkan mengerti, lalu melingkarkan sebelah lengannya di pinggang wanita yang dipanggilnya Dara.

Keduanya masih memandang pamandangan dihadapan mereka, dan sama-sama berbisik, “Hayi-ah, gomawo…”

**

Dara membuka mata dan sepasang mata bulat menyambutnya.

“Aegy-ah,” ucap Dara masih setengah sadar, namun dia memaksa kedua kelopak matanya terbuka. “Waeyo?” tanyanya dengan suara parau.

“Omma, kaja…” kata Hayi menarik-narik tangannya, memintanya untuk bangun.

“Omo, sabar aegy-ah… kau mau kemana?”

Hayi berhasil menarik ibunya bangun dari pembaringan – lebih tepatnya, Dara bersedia bangun dari tidurnya.

“Omma, kaja…” ulang bocah itu.

Dara mendesah dan membiarkan tubuhnya mengikuti kemanapun putrinya itu inginkan. Mereka berjalan keluar dari kamar.

“Hi hi hi hi…” Hayi terkikik, wajah mungilnya merona.

Dara tersenyum simpul melihat putrinya terlihat gembira. Apapun yang telah menggembirakan Hayi, dia bersyukur dalam hati karenanya.

“Aegy-ah, apa yang membuatmu begitu senang?” tanya Dara penasaran.

Hayi hanya menoleh sekilas kepada Dara, memamerkan deretan giginya yang mungil, dan kembali terkikik. Tidak menjawab apapun. Dara menggeleng-gelengkan kepalanya melihat tingkah putrinya itu.

Mereka masih terus berjalan, dengan Hayi menuntun ibunya. Hingga akhirnya mereka tiba di sebuah taman. Tamannya begitu indah, penuh dengan bunga berwarna-warni. Dara tidak pernah menyadari bahwa ada taman seindah ini disekitar rumah mereka.

“Hayi-ah, ini indah sekali. Darimana kau tahu tempat ini?” tanya Dara, kini berjongkok untuk menyamakan tingginya dengan Hayi.

Hayi hanya tersenyum, dan lagi-lagi tidak menjawab pertanyaan ibunya.

Mereka berdua duduk di rerumputan, dibawah rimbun dedaunan pohon. Ada danau kecil berjarak beberapa meter disisi kanan pohon tempat mereka bernaung. Diseberang danau, mereka bisa melihat padang dandelion.

Perhatian Dara teralihkan oleh suara tawa dari seberang danau. Matanya menyipit mencoba mengenali dua sosok – tidak tiga sosok, jika sosok kecil yang kemudian ditemukannya juga dihitung. Ketiga sosok itu terlihat bahagia – potret keluarga yang dulu sangat dia idamkan. Dulu – ah, tapi tidak ada yang bisa melebihi keluarga yang telah dia miliki sekarang. Hayi dan Jiyong sudah jauh melebihi yang bisa dimintanya…

Dari tempatnya sekarang, Dara bisa mengenali bahwa dua sosok itu adalah seorang pria dan seorang wanita, dan sosok kecil itu pastilah anak mereka, seorang gadis kecil – mungkin seusia Hayi. Sang pria merangkul mesra wanitanya, mereka berdua menatap putri mereka yang tengah berlarian dengan riangnya diantara rimbun bunga.

Tiba-tiba Dara merasakan desiran dalam hatinya, seolah dia mengenali ketiga sosok itu… seolah mereka sangat dekat dalam hatinya.

“Appa… omma…” sayup samar suara si gadis kecil sampai ke telinga Dara, membuatnya tersenyum, mengingat putrinya sendiri.

“Aegy-ah…” suara itu…

Dara seperti mengenalnya. Dengan kening berkerut, dia mencoba mengingat dimana dia pernah mendengar suara itu.

Entah bisa disebut sebagai keajaiban, perlahan tapi pasti mata Dara kian bisa menangkap jelas ketiga sosok itu. Dan kerutan di keningnya kian dalam, saat tanpa diduga sang pria menoleh kearah wanita disampingnya; memberi kesempatan pada Dara untuk melihat wajahnya…

Jiyong?

Keterkejutannya belum hilang saat detik berikutnya, wanita disamping pria berwajah Jiyong pun menoleh kesamping… dan wanita itu adalah…

Dirinya?

Apa maksudnya semua ini?

Berarti, berarti gadis kecil itu adalah Hayi?

Tapi bagaimana mungkin, Dara yakin dirinya dan Hayi berada diseberang pria berwajah Jiyong dan wanita berwajah dirinya serta anak yang diyakininya akan berwajah Hayi.

“Hayi-ah,” Dara menoleh kearah putrinya, yang tersenyum memandang kearahnya.

Hayi berdiri, lalu melingkarkan lengan kecilnya di leher Dara. Bibir mungilnya mengecup lembut pipi Dara, tanpa sadar membuat wanita itu meneteskan air mata.

Apa artinya?

“Omma, Hayi mau omma gembira…”

**

Dara terbangun dari tidurnya. Otaknya langsung memproses cepat. Dia pernah mengalami mimpi yang sama sebelumnya. Bertahun lalu. Mimpi yang membawanya ke tempatnya berada sekarang. Dia tidak bisa mencegah bibirnya mengulum senyum.

“Hayi-ah, gomawo…” bisiknya.

Pandangannya lalu tertuju pada kedua sosok yang tengah terbaring disisinya. Senyumannya kian lebar. Perlahan tangannya bergerak mengelus lembut kepala gadis kecil disebelahnya, kemudian mengecupnya. Dia lalu melakukan hal yang sama pada pria disebelah gadis itu.

“Oppa, gomawo…”

Seolah merasakan apa yang Dara lakukan padanya, mata pria itu perlahan terbuka. “Dara-ah…” dia tersenyum mendapati sepasang mata bulat bernaung sepasang bulu mata lentik menatapnya.

**

 

~ End ~

Maaf nahan epilog ini di kepala lama.. >.< seperti yang udah sering saya ceritain.. saya ini suka ngayal tapi paling males ngetik cerita sendiri.. abis, masih kudu mikir juga.. >.< enakan tinggal ketik trans yang udah ada ceritanya.. LMAO :v

Jadi sekarang sudah mengerti maksud mimpi Dara yang di chapter 7 dulu? yap, yang Dara mimpikan adalah masa depannya dengan Jiyong.. dan gadis kecil yang dia kira adalah Hayi merupakan Soohyun – anaknya dengan Jiyong. Agak klise memang, tapi saya nggak bisa memikirkan epilog yang lain.. :3
Dan menjawab pertanyaan2 yang kemaren muncul.. Iya, Dara dan Jiyong tidak jadi bercerai.. Iya, Dara ikut Jiyong ke Belanda.. Anggap saja mereka disana sampe bertahun2 dan Soohyun pun lahir disana, itu bisa menjelaskan scene di pemakaman diatas.. XD

Sebenernya emang udah dari awal pengen ngasih epilog, cuman sengaja nggak ngasih kabar.. takut saya tiba2 berubah pikiran ditengah jalan kaya yang udah2.. :3

and so, this is it.. finally, done with the epilogue.. makasih banget buat yang setia baca, rela berkorban tissu demi kejahilan saya yang lagi pengen coba genre baru.. >.< ada usul genre apalagi yang kira2 perlu saya coba?? LMAO

nah, sampe ketemu di cerita2 lainnya ya~ bye2 ^o^)/~

<< 7

59 thoughts on “Imperfect : Epilog

  1. setelah gua…. ubek -ubek google cari ff daragon yg bagus… pas liat posternya ini cerita pasti sedih…. ehlah pas baca tiap capter… beneran bikin nangis bombay…. mbak autornya bagus penulisan bahasa nd penjelasanya…. fans baru semangat bwt nilis ya…. ^.^

  2. wow…
    satu kata buat ff ini
    DAEBAKK…
    ini ff lama tp aku baru ngeh wkwk…
    maaf min aku komen cuma di charter akhir..
    dari charter awal pasti langsung penasaran kelanjutan.. jd blm sempet komen.. maunyq next next next kkk
    7+2 charter aku babat abis dlm satu malem wkwk
    ngena bgt fellnya… the best deh

Leave a comment