Gonna Get Better [Chap. 21]

untitled-1

Cast : Sandara Park, Kwon Jiyong

Kategori : Romance

.

.

Chapter 21

     Dara berjalan mondar mandir di dalam kamar Jiyong sambil terus menggigit kuku tangannya yang menandakan bahwa wanita itu sedang gugup dan juga bingung. Bagaimana tidak? Beberapa menit yang lalu dia baru saja bertemu dengan ibunya Jiyong, dia bukannya tidak senang karena bertemu dengan ibu kekasihnya itu namun mereka berdua bertemu di waktu dan situasi yang sangat tidak tepat atau bisa dibilang mereka bertemu dalam situasi yang sangat memalukan bagi Dara.

     Dara selalu membayangkan akan bertemu dengan keluarga Jiyong dalam situasi yang menyenangkan dan juga berkelas namun angan-angannya itu kini telah hancur. Dara bahkan terlalu malu untuk sekedar menyapa ibu dari kekasihnya itu sehingga dia lebih memilih untuk segera melarikan diri dan bersembunyi di kamar Jiyong.

     Awalnya Dara berniat untuk kembali ke luar dan menyapa ibu Jiyong dengan semestinya setelah dia memakai baju dan merapikan diri namun setelahnya dia malah menjadi bimbang, dia merasa malu dan juga takut secara bersamaan. Dia takut ibu Jiyong akan menilainya buruk setelah kejadian memalukan itu makanya dia tidak berani untuk keluar dari kamar Jiyong dan hanya berjalan secara tidak teratur sedari tadi.

     “Ottokeo?” gumam Dara sambil menutup wajahnya dengan kedua tangan lalu duduk di pinggiran tempat tidur. Dia menjadi sangat gelisah karena memikirkan neneknya yang masih belum menyetujui hubungannya dengan Jiyong, dan jika ibu Jiyong juga tidak menyukainya karena kejadian tadi maka Dara sangat yakin hubungannya dengan Jiyong tidak akan berjalan dengan lancar. “Ya Tuhan, apa yang harus aku lakukan?”

     “Babe!” Dara langsung mendongkakkan kepalanya ketika dia mendengar suara pintu dibuka yang diiringi oleh suara Jiyong yang memanggilnya.

     “Jiyong-ah!” seru Dara sambil berdiri lalu berjalan sedikit cepat ke arah kekasihnya Jiyong yang juga sedang berjalan ke arahnya. “Ottokeo?” tanya Dara lagi setelah dia berdiri tepat di hadapan kekasihnya itu. Wajah cantiknya kini menunjukkan kekhawatiran.

     “Waeyo?” tanya Jiyong dengan kening berkerut sambil mengusap wajah Dara dengan lembut. “Kenapa kau terlihat begitu khawatir?”

     “Tadi itu sangat memalukan!” ujar Dara sambil kembali menutup wajahnya yang berhasil membuat Jiyong sedikit tertawa. “Yah kenapa kau malah tertawa?” tanya Dara sambil kembali mengangkat wajahnya lalu menatap Jiyong dengan bibir yang sedikit merenggut.

     “Karena kau sangat lucu dan menggemaskan saat ini.” ujar Jiyong gemas sambil mencubit pipi kekasihnya itu. “Jangan pernah tunjukkan wajah seperti ini kepada pria lain, arasseo?”

     “Yah kenapa kau malah membahas hal itu? sekarang bukan hal itu yang terpenting.” Ujar Dara dengan wajah serius. “Ibumu, apa yang ibumu katakan? apakah dia marah?” tanya Dara panjang lebar dengan wajah yang masih penuh dengan kekhawatiran yang membuat Jiyong langsung menggelengkan kepalanya. “Ibumu tidak marah?” tanya Dara lagi yang melihat Jiyong menggeleng.

     “Dia tidak marah.” ujar Jiyong sambil mengangukkan kepalanya.

     “Jinjja?” tanya Dara lagi untuk memastikan yang Jiyong kembali balas dengan anggukkan.

     “Dia mengerti situasinya jadi dia memakluminya.” Ujar Jiyong yang langsung membuat Dara menghembuskan napas lega. “Aku juga sudah memberitahu eomma tentang hubungan kita.” ujar Jiyong lagi kini sambil memegang pinggang kekasihnya itu. Dara hanya diam sambil menatap Jiyong dengan serius, menunggu apa yang akan Jiyong katakan selanjutnya dengan sedikit was-was. “Dia ingin bertemu denganmu.” Ujar Jiyong lagi sambil memiringkan wajahnya lalu tersenyum manis.

     “Apakah ibumu masih berada di luar?”

     “Dia sudah pergi karena ada urusan tapi dia ingin makan siang denganmu besok. Apa kau keberatan?”

     “Besok?” tanya Dara dengan sedikit terkejut yang Jiyong balas dengan anggukkan.

     “Kalau kau masih belum siap untuk bertemu eomma aku akan bilang kau tidak bisa.” ujar Jiyong sambil tersenyum tenang untuk menenangkan kekasihnya yang kembali terlihat gelisah.

     “Bukannya belum siap aku hanya..” ujar Dara namun dia tidak menyelesaikan apa yang ingin dia katakan.

     “Wae?” tanya Jiyong dengan suara lembut.

     “Aku takut ibumu tidak menyukaiku.” Ujar Dara dengan suara pelan.

     “Kenapa kau berpikir seperti itu? apa ada alasan sehingga eomma tidak akan menyukaimu?” tanya Jiyong masih dengan suara lembut yang hanya Dara balas dengan menatap Jiyong dengan raut wajah was-was. “Eomma akan menyukaimu.” Ujar Jiyong sambil membelai wajah Dara.

     “Jadi menurutmu ibumu akan menyukaiku?”

     “Tentu saja!” jawab Jiyong sambil tersenyum manis. “Dia pasti menyukaimu.” Jawab Jiyong lagi kini sambil menarik pinggang Dara dengan lembut namun cepat. Jiyong kemudian langsung menundukkan kepalanya lalu segera mengklaim bibir kekasihnya itu dengan sangat lembut. Dara membalas dengan perlahan mengalungkan tangannya di leher Jiyong sementara tangan Jiyong yang pada awalnya memegang pinggang Dara saat ini telah mulai bergerilya untuk menyusuri bagian tubuh yang lainnya.

     Jiyong menutup matanya dengan perlahan, menikmati sensasi yang dihasilkan dari penyatuan bibir mereka, dia lalu mulai memasukkan tangannya secara perlahan ke dalam t-shirt miliknya yang saat ini telah Dara pakai dan terus bergerak sampai ke bagian atas. Jiyong sedikit terkejut ketika dia sadar bahwa kekasihnya tidak memakai apapun lagi di balik t-shirt itu yang langsung membuat Jiyong membuka matanya lalu langsung menghentikan ciuman mereka yang membuat Dara yang sedang terlena karena sentuhan kekasihnya itu langsung menatap Jiyong dengan tatapan sedikit sayu.

     “Wae?” tanya Dara yang kini meletakkan kedua tangannya di pundak Jiyong.

     “Kenapa kau tidak memakai bra?” tanya Jiyong yang langsung membuat Dara secara spontan melepaskan tangannya dari pundak Jiyong lalu langsung menyilangkannya di depan dadanya, berusaha untuk menutup dadanya.

     “Yah su-sudah aku bilang aku tidak bisa menemukan itu!” ujar Dara dengan sedikit tergagap, wajahnya kini mulai memerah dan ingatan tentang kejadian tadi langsung memasuki kepalanya.

     “Kenapa harus menutupnya seperti itu huh? Aku bahkan sudah mencicipinya.” Ujar Jiyong sambil berdecak melihat Dara yang melindungi dadanya dari pandangan Jiyong yang hanya dibalas oleh dengusan Dara.

     “Gara-gara hal itu aku sampai mempermalukan diriku sendiri di hadapan ibumu. Ya Tuhan aku malu sekali jika mengingatnya.” Omel Dara kepada Jiyong. “Kembalikan braku!” ujar Dara kini sambil mengulurkan salah satu tangannya sedangkan tangannya yang satu lagi masih berada di depan dadanya. Dara melihat Jiyong yang sedikit kebingungan dan kentara sekali bahwa kekasihnya itu sedang berusaha mengingat. “Mwoya? Jangan bilang kau tidak tahu ke mana kau melemparnya!” ujar Dara yang langsung membuat Jiyong menatapnya dengan mata yang dibuka dengan sangat lebar. “Wae?” tanya Dara yang melihat raut wajah Jiyong.

     “Aku baru ingat sekarang dan sepertinya aku melepaskannya saat kita melakukannya di atas sofa ruang tengah.” Ujar Jiyong yang langsung membuat Dara membuka matanya dengan sangat lebar.

     “Maksudmu braku ada di atas sofa? Sofa yang ibumu duduki itu?” tanya Dara dengan terbata yang Jiyong balas dengan anggukkan pasti. “Yah Kwon Jiyong!” Teriak Dara yang langsung membuat Jiyong terkesiap kaget karena teriakan kekasihnya itu. “Kenapa kau ceroboh sekali?”

     “Mian karena aku tidak bisa menahan diriku.” ujar Jiyong dengan bibir merenggut dan wajah yang menunjukkan rasa bersalah, Dara bahkan tidak bisa marah lagi karena Jiyong sengaja menunjukkan wajah cute-nya itu jadi akhirnya Dara hanya menghela napas sambil menggaruk rambutnya dengan sedikit kasar, sekarang dia hanya berharap ibu Jiyong tidak sempat melihat benda itu.

****

Dara Pov

     Setelah menghabiskan makanan yang Jiyong buat. Aku langsung membantu untuk membersihkan baju-baju kotor Jiyong yang sedikit menumpuk sementara Jiyong membersihkan apartemennya yang sedikit berantakan. Sementara menunggu mesin cuci selesai menyelesaikan tugasnya, aku beralih untuk melakukan hal lain. aku berjalan ke arah dapur kemudian mengambil tas berisi makanan yang telah ibu Jiyong buat untuk di masukkan ke dalam kulkas.

     Aku sedikit berdecak ketika melihat mesin pendingin itu hanya berisi berbagai macam merk bir kaleng dan beberapa minuman beralkohol lainnya dan juga ada beberapa soda sedangkan tidak ada satupun air putih di dalamnya.

     “Ji kapan terakhir kali kau berbelanja untuk isi kulkasmu ini?” tanyaku yang mulai memasukkan makanan-makanan itu secara teratur.

     “Aku lupa, mungkin enam bulan yang lalu.” Ujar Jiyong yang saat ini sedang membersihkan lantai dengan vacum cleaner.

     “Enam bulan yang lalu?” tanyaku dengan sedikit kaget. Pantas saja isi kulkasnya saat ini seperti gudang penyimpanan makanan kadaluarsa. “Bagaimana isi kulkasmu hanya makanan kadaluarsa.” Ujarku lagi sambil berdecak.

     “Aku sangat sibuk sejak mempersiapkan projek untuk perusahaan Lee itu jadi aku tidak sempat berbelanja dan lagipula aku tidak terlalu sering makan di rumah jadi aku tidak terlalu memperhatikannya.”

     “Kau sibuk tapi masih sempat membeli minuman beralkohol.” Gumamku sambil menutup kembali kulkas itu lalu berjalan ke arahnya.

     “Aku butuh sesuatu yang keras ketika benar-benat stres karena pekerjaan atau karenamu.” Ujar Jiyong sambil menatapku lalu tersenyum.

     “Yah aku tidak pernah membuatmu stres. Aku ini pembawa kebahagian untukmu.” Ujarku sambil berkacapinggang.

     “Kau tidak tahu saja.” ujar Jiyong sambil mengedikkan bahunya lalu kembali melanjutkan aktivitasnya tadi.

     “Kita akan berbelanja setelah semuanya ini selesai.” Ujarku sambil berjalan kembali ke arah tempat mencuci baju.

     “Arasseo.” Aku mendengar suara Jiyong.

     Setelah menyelesaikan semuanya kami berdua lalu langsung pergi ke toko swalayan yang berada tidak jauh dari apartemen Jiyong. Kami berencana untuk berbelanja beberapa kebutuhan yang mulai habis. Dan aku sangat ingin membeli berbotol-botol air mineral untuk aku simpan di lemari pendinginnya. Setelah kami masuk ke dalam swalayan itu aku langsung mengambil troli kemudian mendorongnya dengan penuh semangat meninggalkan Jiyong yang berjalan santai di belakangku.

     “Kau terlihat begitu bersemangat.” Aku mendengar suara Jiyong yang kini sudah berada di sampingku lalu aku melihat dia menaruh tangannya di troli itu kemudian ikut mendorongnya yang membuatku langsung melepaskan tanganku dari troli kemudian langsung merangkulkan tanganku di lengan Jiyong sementara dia terus mendorong troli. Aku melihat Jiyong melirik kepadaku yang membuatku langsung menyeringai.

     “Kau yang dorong.” kataku yang membuat Jiyong memutar bola matanya namun dia melakukan apa yang aku katakan.

     Kami mulai memenuhi troli kami dengan berbagai macam makanan dan kebutuhan yang lainnya, kami melakukannya sambil sesekali berdebat tentang barang mana yang seharusnya kami beli atau tentang makanan yang lebih enak dan kini aku baru menyadari bahwa sebenarnya aku dan Jiyong memiliki beberapa perbedaan selera.

     Saat dia akan mengambil satu pack bir kaleng aku langsung menahan tangannya yang membuatnya melirikku dengan tatapan bertanya. Aku hanya membalasnya dengan menggelengkan kepalaku yang menandakan bahwa aku tidak setuju jika dia memasukkan bir ini ke dalam troli kami.

     “Wae?” tanyanya dengan sedikit kecewa.

     “Di apartemenmu masih banyak jadi kau tidak perlu membelinya lagi.” kataku sambil memelototinya. “Yang lebih kau butuhkan adalah ini.” kataku lagi sambil mengambil berbagai macam merk air mineral botol lalu memasukkannya ke dalam troli.

     “Seriously?” tanya Jiyong sambil menatap pada troli kami yang kini penuh dengan air mineral.

     “Kau harus banyak minum air putih jadi otakmu itu tidak penuh dengan pikiran kotor.” Kataku sambil menyilangkan tangan di depan dada.

     “Memangnya hanya aku yang selalu berpikiran kotor?” tanya Jiyong juga sambil menyilangkan tangannya di depan dada sambil menatapku dengan sorot mata geli.

     “Apakah kau mau mengatakan bahwa aku mempunyai pikiran yang sama sepertimu?” tanyaku sambil memiringkan wajahku yang dia balas dengan mengedikkan bahunya. “Wah daebak!” ujarku sambil berdecak ketika melihat jawaban yang dia berikan. “Aku tidak akan mempermalukan diriku di hadapan ibumu jika saja tadi malam kau tidak minum bir itu.” Kataku sambil menunjuknya dengan salah satu tangan.

     “Kau terus mengungkit hal itu dari tadi.” ujar Jiyong kini sambil berdecak sambil menurunkan tangannya lalu mulai mendorong lagi troli kami. Aku langsung menyunggingkan senyuman ketika melihat punggungnya yang mulai menjauh lalu beberapa detik kemudian aku mulai berjalan mengikutinya.

     Setelah selesai berbelanja lalu membayar aku dan Jiyong berniat untuk langsung pulang. Ketika sedang berjalan menuju mobil Jiyong, di tengah jalan aku berpapasan dengan seorang anak kecil yang sedang memakan ice cream dan tiba-tiba aku sangat ingin memakannya juga. Aku mengedarkan pandanganku ke sekitar tempat itu dan di seberang jalan aku melihat ada food truck yang menjual ice cream dan berbagai macam camilan manis lainnya.

     “Babe.” Aku langsung mengalihkan perhatianku ketika aku mendengar suara Jiyong yang memanggil namaku. “Kenapa hanya berdiri di sana?” tanya Jiyong yang ternyata sudah berada di dekat mobilnya. Aku segera berlari kecil ke arah Jiyong.

     “Ji aku ingin makan sesuatu.” Ujarku langsung setelah berdiri di hadapan Jiyong lalu menunjuk food truck yang tadi aku lihat. “Aku ingin pergi ke sana dulu sebentar.” Ujarku setelah Jiyong mengalihkan tatapannya ke arah food truck itu.

     “Kau mau makan?” tanya Jiyong yang langsung aku balas dengan gelengan.

     “Aku hanya ingin makan sesuatu yang manis.” Kataku lagi.

     “Kalau begitu kita pergi ke cafe saja, kita bisa nongkrong dulu sebentar sebelum aku mengantarmu pulang.” ujar Jiyong yang langsung aku balas dengan anggukkan setuju lalu langsung masuk ke dalam mobil.

     “Kita pergi ke cafe langganan kita?” tanyaku sambil memakai sabuk pengaman.

     “Cafe itu terlalu jauh dari sini.” Jawab Jiyong. “Aku ingat salah satu temanku pernah merekomendasikan sebuah cafe baru di sekitar daerah ini.” ujar Jiyong lagi. “Kita pergi kesana saja, bagaimana?”

     “Baiklah kalau begitu.”

****

     Dengan bantuan dari GPS aku dan Jiyong akhirnya menemukan cafe yang ingin kami tuju. Aku tersenyum ketika melihat nama cafe itu ‘Haru & Oneday’, sebuah nama yang sangat unik untuk dijadikan nama sebuah cafe, aku bahkan jadi penasaran kenapa nama itu bisa tercipta.

     “Kajja.” Aku kangsung mengalihahkan pandanganku kepada Jiyong ketika aku merasakan tangannya yang kini telah mengapit tanganku lalu tanpa menunggu jawaban dariku Jiyong langsung berjalan pelan membuatku ikut berjalan di sampingnya.

     “Sepertinya cafe ini cukup ramai.” Ujarku ketika melihat hanya beberapa meja yang tersisa.

     “Temanku mengatakan bahwa tempat ini adalah salah satu tempat favorit untuk anak muda, karena nuansanya yang sangat elegan tapi santai.” Aku menganggukkan kepalaku setelah mendengar apa yang Jiyong katakan lalu beberapa saat kemudian ada seorang waitress yang menghampiri kami. “Untuk dua orang.” Ujar Jiyong lalu waitress itu langsung menuntun kami pada sebuah meja kosong yang berada di dekat jendela. Setelah menyerahkan menu waitress itu kemudian pergi, membiarkan kami untuk memilih terlebih dahulu.

     “Kau mau apa?” tanya Jiyong sambil membuka menu itu.

     “Entahlah aku tidak tahu. Semuanya terlihat lezat.” Ujarku ketika melihat menu yang tersedia.

     “Jangan bilang kau ingin memesan semuanya karena semua terlihat lezat.”

     “Tentu saja tidak.” Kataku sambil mengangkat kepalaku lalu menatapnya yang saat ini sedang tersenyum jahil yang membuatku sedikit mendengus. Aku akan kembali menunduk untuk melihat menu itu saat tiba-tiba aku mendengar suara seseorang yang terdengar tidak asing. Aku langsung mengalihkan tatapanku pada arah suara itu lalu di sana aku melihat Donghae yang sedang berbicara dengan pelayan yang tadi menyambutku dengan Jiyong.

     “Apa yang kau lihat?” Aku mendengar suara Jiyong dan ketika aku melihat kepadanya dia kini telah mengikuti arah pandanganku tadi. aku mendengar Jiyong sedikit berdesis sebelum dia kembali menatapku. “Apa temanmu itu mengikuti kita?” tanyanya dengan tatapan yang kini sedikit kesal, aku hanya mengedikkan bahuku tanda bahwa aku juga tidak tahu kenapa Donghae bisa berada di tempat yang sama dengan kami.

     Aku akan kembali mengalihkan tatapanku kepada Donghae dan ternyata dia kini sedang menatap ke arahku dengan mata yang dipicingkan namun beberapa saat kemudian aku melihat bibirnya merekah dengan sempurna lalu perlahan dia mulai berjalan ke arahku dengan sedikit bersemangat.

     “Wah apa ini? apakah ini takdir? Aku tidak menyangka bertemu dengan kalian di sini.” Ujar Donghae langsung ketika dia berhenti di hadapanku dan Jiyong.

     “Kau benar-benar tidak menyangka? Apa kau benar-benar tidak mengikuti kami?” Aku langsung menatap Jiyong yang saat ini menatap tajam kepada Donghae.

     “Apa kau pikir aku tidak punya pekerjaan yang lebih penting? Dan lagipula untuk apa aku mengikuti kalian.” Ujar Donghae dengan nada santai namun tegas kepada Jiyong sebelum dia mengalihkan tatapannya kepadaku lalu kembali tersenyum. “Sandy, aku senang melihatmu di sini.”. Aku mengangkat kepalaku lalu tersenyum simpul ke arahnya dengan sedikit gugup.

     “Oh aku juga.” ujarku dengan sedikit melirik ke arah Jiyong yang terlihat jelas sangat terganggu dengan kehadiran Donghae. Aku selalu merasa canggung jika Jiyong dan Donghae berada dalam satu tempat. Mereka berdua terlihat seperti bom waktu yang bisa meledak kapan saja. Walaupun Donghae terlihat cuek saat Jiyong ada di sekitarnya namun aku bisa merasakan bahwa dia tidak suka dengan kehadiran Jiyong begitu juga dengan Jiyong yang selalu memperlihatkan dengan jelas ketidaksukaannya atas kehadiran Donghae saat kami bersama. “Ngomong-ngomong sedang apa kau di sini?”

     “Cafe ini adalah milikku, aku datang kemari setiap pekan untuk memantau perkembangannya.” Ujar Donghae sambil tersenyum.

     “Jadi cafe ini adalah milikmu?” tanyaku sedikit kaget yang dia balas dengan anggukkan.

     “Kau baru tahu? aku pikir kau datang kemari karena kau tahu tentang hal ini.”

     “Aku sama sekali tidak tahu.” Kataku sambil menggelengkan kepala. “Jiyong yang mengajakku datang ke sini.” Ujarku sambil kembali menatap Jiyong.

     “Jinjja?” aku mendengar suara Donghae yang terdengar sedikit geli. “Jiyong yang membawamu kemari?” tanyanya lagi yang aku balas dengan anggukkan.

     “Memangnya kenapa?” tanyaku yang Donghae balas dengen gelengan sambil tersenyum geli lalu aku melihat dia mengalihkan tatapannya kepada Jiyong.

     “Aku tidak menyangka bahwa kau membawa Dara kemari, apa kau sudah sadar sekarang?” Aku langsung melebarkan mata dan mulutku ketika mendengar apa yang Donghae katakan kepada Jiyong. Kenapa dia malah memancing Jiyong seperti ini? Dan apa maksud dari perkataannya itu?

     Aku lalu mengalihkan tatapanku kepada Jiyong dan aku sedikit terkejut ketika melihat wajahnya yang kini sangat merah, dia sedang menatap tajam kepada Donghae dan dari raut wajah Jiyong aku bisa melihat bahwa dia kini sedang berusaha menahan amarah. Ketika aku melirik ke arah Donghae ternyata dia juga kini sedang menatap Jiyong dengan tatapan menantang. Aku heran kenapa kedua orang ini bersikap seperti ini? apa mereka tidak tahu bahwa apa yang mereka lakukan ini membuatku sedikit frustasi? Aku berniat untuk melerai perang urat saraf diantara mereka berdua dengan cara memanggil waitress tadi.

     “Kami ingin memesan.” Ujarku dengan suara sedikit keras sambil mengangkat tanganku yang membuat waitress itu segera menghampiri meja kami dan untungnya hal itu berhasil membuat mereka langsung menghentikan perang diantara mereka berdua. “Babe, kau ingin apa?” tanyaku sambil tersenyum kepada Jiyong lalu setelah beberapa saat aku mengalihkan tatapanku kepada Donghae. “Rekomendasikan menu yang paling enak di sini.” Kataku juga sambil tersenyum kepadanya, Donghae tidak menjawabku namun dia langsung menatap pada waitress yang berdiri di sampingnya dengan sedikit canggung.

     “Berikan meja ini menu terbaik.” Ujar Donghae kepada waitress itu yang langsung dibalas dengan anggukkan cepat dan beberapa detik kemudian waitress itu pergi dari hadapan kami sedangkan Donghae kini kembali menatapku. “Aku harus pergi untuk memantau yang lainnya, nikmati waktumu di sini dan jika butuh apapun katakan saja kepada pegawai di sini. Jangan sungkan dan untuk hari ini aku yang traktir.” Ujar Donghae sambil tersenyum dan tanpa menunggu jawaban dariku Donghae langsung berbalik lalu berjalan meninggalkan meja kami.

     Entah kenapa aku merasa bersalah ketika melihat tatapan matanya sebelum dia pergi, aku bisa melihat bahwa Donghae juga sedang menahan sesuatu di matanya, bukan kali ini saja aku melihat tatapan itu namun kali ini tatapannya terasa sangat menyakitkan. Kami bertemu hampir setiap hari karena aku yang bertanggung jawab untuk kerjasama perusahaannya dengan kantorku dan setidaknya aku bisa melihat caranya saat dia menatapku dan berbicara denganku. Dan semua itu menunjukkan bahwa dia benar-benar menyukaiku, aku bisa melihat dia berharap banyak dariku dan terkadang aku bisa melihat dia menatapku dengan tatapan mengiba. Seolah dia memohon sesuatu yang sangat dia inginkan dan sepertinya aku tidak menyadari sebelumnya bahwa aku sendiri yang telah membuat Donghae berharap seperti itu.

     “Kenapa wajahmu murung seperti itu?” Aku langsung mendongkak lalu menatap Jiyong ketika mendengar suaranya.

     “Ji apa menurutmu sebaiknya aku tidak usah bekerja lagi dengan Donghae?”

     “Aku pernah menyuruhmu untuk melakukan hal itu sebelumnya tapi kau tidak mau, kenapa sekarang kau berubah pikiran? Apa dia pernah melakukan hal buruk kepadamu?” tanya Jiyong dengan suara sedikit marah yang langsung aku balas dengan gelengan kepala.

     “Dia tidak pernah melakukan hal yang buruk malah sebaliknya, dia bersikap profesional ketika kami bekerja.” ujarku jujur.

     “Lalu kenapa?”

     “Aku rasa aku telah menyakiti Donghae.”

     “Kau merasa bersalah karena tidak bisa membalas perasaannya? Kau menyukainya?”

     “Aku merasa bersalah dan aku menyukainya namun bukan sebagai pria. Aku menyukainya sebagai seorang teman itulah sebabnya aku merasa bersalah setiap kali melihatnya terluka karena diriku. dia menyukaiku, dia juga selalu mengatakan dan menunjukkannya namun aku hanya pura-pura tidak tahu dan tidak peduli karena aku tidak ingin berurusan dengan perasaan orang lain, aku pikir aku sudah bersikap benar namun sepertinya yang aku lakukan hanyalah menyakiti dia.”

     “Kau khawatir pada perasaannya?” tanya Jiyong yang aku balas dengan anggukkan pelan. “Lalu apa yang akan kau lakukan?”

     “Aku tidak tahu.” kataku sambil menggelengkan kepala. “Tapi aku ingin mengakhirinya, aku tidak suka setiap kali melihat ketegangan diantara kalian berdua, dia temanku dan aku ingin kau juga bisa menganggapnya begitu tapi aku tahu itu akan sulit untukmu begitu juga dia. Aku ingin mengatakan kepadanya bahwa aku peduli kepadanya namun aku takut hal itu malah membuat semuanya menjadi semakin rumit.”

     “Kenapa kau tidak jujur saja? Katakan bahwa kau tahu dia mencintaimu, katakan bahwa kau tidak bisa membalas perasaannya, katakan bahwa kau peduli kepadanya sebagai seorang teman. Beri dia pengertian tentang hal itu supaya dia tidak terus berharap, jika dia benar-benar temanmu maka seharusnya dia menerima apa yang kau katakan.”

     “Kalau begitu aku akan berbicara dengannya.”

     “Kapan?”

     “Lebih cepat lebih baik.”

     “Kalau begitu bicaralah sekarang.” ujar Jiyong. “Aku akan meninggalkan kalian dan membiarkan kalian bicara.”

     “Kau yakin ingin meninggalkan kami?” tanyaku yang Jiyong balas dengan anggukkan.

     “Ini sepenuhnya masalah kalian dan hanya kalian yang harus menyelesaikannya.”

****

     Tok..Tok..Tok..

     “Masuk saja!” ujar Donghae yang sedang serius membaca laporan penjualan cafe miliknya lalu beberapa saat kemudian pria itu mendengar suara pintu dibuka yang langsung ditutup lagi.  “Taruh saja di atas meja, aku akan memakannya nanti.” Ujar Donghae tanpa mengalihkan perhatiannya dari file yang sedang dia baca. Donghae mengira bahwa yang masuk adalah salah satu pegawai di cafenya yang dia suruh untuk membawakan minuman dan makanan.

     “Apa aku mengganggumu?” Donghae langsung mendongkakkan kepala begitu mendengar suara seseorang yang sangat ingin dia dengar dan dia sedikit terpaku ketika melihat bahwa Dara kini telah berdiri di hadapannya dengan senyuman manis yang menghiasi wajah cantik wanita itu.

     “Sandy!” seru Donghae dengan suara pelan.

     “Kenapa kau terkejut seperti itu? apa kau tidak senang karena aku masuk kemari? Apa aku benar-benar mengganggumu?” Tanya Dara kini dengar bibir yang sedikit merenggut.

     “Tidak, kau tidak menggangguku sama sekali. Aku hanya sedikit terkejut melihatmu berdiri di hadapanku seperti itu.” ujar Donghae yang Dara balas dengan senyuman. “Karena aku sedang memikirkanmu di dalam kepalaku.” Sambung Donghae di dalam hatinya.

     “Kalau begitu apakah aku boleh duduk?” tanya Dara yang langsung dibalas anggukkan oleh Donghae dan tanpa menunggu lama Dara langsung duduk di kursi di hadapan Donghae.

     “Kenapa kau mencariku? Apa ada yang kau butuhkan?” tanya Donghae yang Dara balas dengan gelengan kepala.

     “Aku hanya ingin melihatmu.” ujar Dara sambil menopang dagunya.

     “Jinjja?” tanya Donghae dengan tatapan tidak percaya yang Dara balas dengan gelengan pasti.

     “Aku ingin melihatmu sambil menunggu Jiyong kembali.”

     “Memangnya dia pergi ke mana?”

     “Dia ada urusan sebentar di sekitar wilayah ini. Nanti dia akan menjemputku setelah urusannya selesai.” balas Dara yang hanya Donghae balas dengan anggukan pelan.

     Dara sebenarnya sedikit bingung saat ini. Dia datang menemui Donghae untuk membicarakan tentang hubungan mereka. Dara ingin mengatakan kepada Donghae supaya pria itu tidak terus berharap kepadanya karena Dara tahu walaupun Donghae tidak mengatakan apapun tentang perasaannya kepada Dara tapi Dara tahu bahwa pria itu masih menginginkan dan mengharapkan dirinya, Dara bisa melihat semuanya hanya dari tatapan pria itu dan dari cara Donghae memperlakukannya selama ini.

     Awalnya Dara ingin menutup mata dan telinga pada hal itu namun kini dia berfikir bahwa jika semuanya tetap seperti ini maka Donghae akan semakin berharap dan akan semakin terluka, Dara tahu karena dia pernah mengalami hal itu ketika melihat Chaerin dan Soohyuk dulu oleh sebab itu Dara tidak ingin melukai siapapun karena dia tahu bagaimana rasanya mencintai seseorang yang sudah mencintai orang lain.

     “Kenapa kau hanya diam saja?” Dara langsung menatap Donghae ketika dia mendengar suaranya.

     “Oh, aku tidak tahu harus mengatakan apa.” ujar Dara jujur yang membuat Donghae tersenyum.

     “Bagaimana menurutmu tentang tempat ini?”

     “Sangat bagus dan juga nyaman. Aku benar-benar menyukainya.” Jawab Dara sambil tersenyum.

     “Jinjja?” tanya Donghae dengan mata yang berbinar dan senyuman merekah.

     “Jinjja. Aku sedikit menyesal karena baru tahu tentang tempat ini.”

     “Kalau begitu kau harus sering datang kemari. Mulai saat ini kau adalah tamu kehormatan di cafe ini.” ujar Donghae yang membuat Dara tertawa.

     “Kau terlalu berlebihan.” Ujar Dara sambil berdecak. “Tapi aku suka dengan ide itu. Aku dan Jiyong pasti akan sering datang kemari.” Ujar Dara yang membuat senyuman Donghae langsung memudar kemudian pria itu mengalihkan tatapannya ke arah lain dan hal itu tidak luput dari pandangan Dara dan sekali lagi rasa bersalah kini kembali Dara rasakan. “Ngomong-ngomong kenapa namanya Haru and one day?” tanya Dara beberapa saat kemudian untuk mengubah suasana.

     “Tidak ada arti khusus. Aku hanya menyukai nama itu.” jawab Donghae sambil mengedikan bahunya. “Ketika memiliki seorang puteri aku akan memberi nama itu.” sambungnya lagi.

     “Nama calon puterimu?” tanya Dara yang Donghae balas anggukkan.

     “Haru. Bukankah itu nama yang bagus untuk seorang puteri cantik?”

     “Haru..” Dara mencoba memanggil nama itu. “Lee Haru.. itu terdengar bagus.” Katanya lagi setelah beberapa saat dengan senyum yang merekah.

     “Kau menyukainya juga, kan?” tanya Donghae dengan antusias yang Dara balas dengan anggukan. “Aku tahu kau pasti akan menyukainya juga.” gumam Donghae dengan suara pelan namun masih mampu Dara dengar. Dan Dara bukan wanita bodoh yang tidak mengerti dengan maksud dari apa yang Donghae katakan itu sehingga Dara memutuskan dia harus mulai membicarakan hubungan mereka.

     “Hae, apa aku boleh bertanya sesuatu?” tanya Dara yang langsung membuat Donghae kembali menatapnya.

     “Apa yang ingin kau tanyakan?”

     “Apa artinya cinta bagimu?” tanya Dara yang membuat Donghae bergeming dan untuk sesaat mereka berdua hanya beradu tatap.

     “Kenapa kau bertanya tentang hal itu tiba-tiba seperti ini?” tanya Donghae setelah beberapa saat.

     “Aku hanya ingin tahu apa yang kau pikirkan.” Ujar Dara sambil mengedikkan bahunya namun Donghae tidak mengatakan apapun lagi dan Dara yakin Donghae mungkin tidak akan menjawab pertanyaannya. “Cinta menurutku adalah tentang bersabar dan mengikhlaskan.” Dara memulai. “Tentang pengorbanan dan penghormatan.” Sambungnya yang membuat kening Donghae mengerut.

     “Apa maksudmu?” tanya Donghae heran.

     “Alih-alih saling mencintai dan memiliki, aku lebih memilih untuk saling menghormati dan berkorban untuk kebahagian orang yang aku cintai. Bukannya saling memaksakan perasaan kita yang akhirnya malah berujung pada saling melukai satu sama lain.” ujar Dara pelan kemudian dia diam selama beberapa detik.

     “Sebenarnya apa maksud perkataanmu itu?” Tanya Donghae yang masih heran.

     “Tidak ada maksud apapun. Aku hanya ingin mengatakan bahwa itulah arti cinta yang baru aku tahu setelah melihat bagaimana Jiyong berjuang untuk mendapatkan cintaku. Dia tidak pernah memaksakan perasaannya kepadaku, dia hanya selalu ada di sampingku dan menerima aku sebagaimana adanya, dia menghormati keputusanku saat aku bilang aku tidak bisa menerimanya karena aku takut dia akan meninggalkanku seperti dia meninggalkan wanita lain, tapi dengan sangat sabar dia terus memperlihatkan kepadaku bahwa dia layak untuk mendapatkan kesempatan, dia tidak pernah mundur sekalipun aku mendorongnya dan itu adalah pertama kalinya aku merasa dicintai dengan begitu tulus dan hal itu membuatku begitu bahagia bahkan sampai saat ini.”

     “Kenapa kau mengatakan hal itu kepadaku?” tanya Donghae lagi yang kini mulai curiga dengan maksud Dara menemuinya secara tiba-tiba. “Apa ada alasan khusus?”

     “Aku ingin kau bahagia sepertiku.”

     “Aku bahagia.” Ujar Donghae.

     “Aku pernah berada di dalam posisimu, dan aku sangat tahu bagaimana rasanya. Aku tidak ingin kau terus terluka.”

     “Apa kau datang kemari untuk mengatakan bahwa kau memilih Jiyong daripada aku?” tanya Donghae dengan menatap tajam kepada Dara.

     “Sejak awal aku sudah memilih Jiyong bahkan sebelum kau hadir di hidupku.”

     “Lalu bagaimana dengan nenekmu? Kau masih akan memilih Jiyong walaupun nenekmu melarangnya?”

     “Aku yakin halmeoni pasti akan mengerti karena aku bahagia bersama Jiyong.”

     “Aku juga bisa membuatmu bahagia Dara. aku yakin.” Ujar Donghae dengan suara tegas yang langsung Dara balas dengan anggukkan setuju.

     “Aku juga yakin kau mampu membahagiakan wanita yang kau cintai tapi bukan aku yang harus kau bahagiakan. Aku yakin ada wanita yang lebih baik untukmu.” Ujar Dara yang Donghae balas dengan gelengan.

     “Tidak ada wanita yang lebih baik dari dirimu.”

     “Kau mengatakan hal itu karena saat ini aku adalah wanita yang kau inginkan.”

     “Kalau begitu jadilah milikku.” Katanya dengan suara sediki tinggi yang Dara balas dengan gelengan.

     “Aku milik orang lain dan aku tidak punya rencana untuk berpindah pemilik sampai kapanpun.”

     “Aku juga mencintaimu Dara. kenapa aku tidak bisa mendapatkan kesempatan seperti     Jiyong?”

     “Itu hanyalah obsesi bukannya cinta jika kau memaksakannya.”

     “Aku tidak peduli.” Tukas Donghae dengan suara tinggi. “Yang aku inginkan hanya dirimu.” Katanya lirih dengan menatap langsung pada mata Dara dan hal itu benar-benar membuat Dara semakin merasa bersalah.

     “Mianhae.” Ujar Dara juga dengan suara lirih.

     “Apa kau pikir aku akan menyerah begitu saja?” tanya Donghae kini sambil tersenyum licik. “Aku Lee Donghae dan aku selalu mendapatkan apapun yang aku inginkan.”

     “Kau pasti tahu sampai kapan pun kita tidak akan pernah bersama karena aku benar-benar mencintai Jiyong jadi aku mohon jangan melakukan apapun yang akan membuatku membencimu karena semuanya hanya akan sia-sia.” Ujar Dara pelan dengan menatap tepat pada mata Donghae. “Aku menyukaimu, sungguh! Kau adalah lelaki yang sangat baik oleh karena itu aku menyukaimu tapi hanya sebatas itu yang aku rasakan. Aku harap kau bisa mengerti dengan keputusanku.” Ujar Dara lagi sambil berdiri dari tempat duduknya. “Mulai minggu depan kerja sama antara perusahaanmu dengan kantorku akan dilakukan oleh orang lain dan aku sangat berharap hal ini tidak akan mempengaruhi pekerjaan kita. Aku yakin kau bisa memisahkan urusan pekerjaan dan urusan pribadi.” Ujar Dara lagi sebelum dia beranjak dari tempatnya berdiri kemudian keluar dari dalam ruangan meninggalkan Donghae yang kini sedang menatap tajam pada pintu yang baru tertutup dengan tangan yang terkepal kuat di atas meja.

Jiyong Pov

     Dara terus saja mengarahkan pandangannya keluar jendela mobil sejak kami pergi dari cafe milik Donghae. Dara belum mengatakan apapun sejak memasuki mobil dan aku juga tidak bertanya apapun karena aku tahu Dara tidak ingin mengatakan apapun itulah sebabnya dia hanya diam saja bahkan setelah kami tiba di depan rumahnya pun Dara sama sekali tidak sadar karena dia masih tersesat di dalam lamunannya.

     “Babe!” Ujarku pelan sambil meraih tangannya dan hal itu berhasil membuat Dara mengalihkan perhatiannya kepadaku. “Kita sudah sampai.” Ujarku lagi yang membuat Dara langsung melihat ke sekitar dan dia terlihat terkejut ketika menyadari kami telah berada di depan gerbang rumahnya.

     “Mian.” Ujar Dara pelan ketika kembali menatapku. “Kau pasti kesal karena aku mengabaikanmu selama perjalanan.” Aku menggelengkan kepala sambil tersenyum setelah mendengar apa yang dia katakan.

     “Aku mengerti.” Kataku yang membuat Dara tersenyum lega. “Tapi apa yang kau pikirkan sejak tadi?” tanyaku sambil mengangkat tangannya lalu menciumnya tanpa mengalihkan tatapanku dari matanya. “Kau ingin memberitahuku apa yang terjadi tadi?”

     “Aku pasti akan memberitahumu tapi nanti.” Katanya dengan raut wajah memohon maaf yang aku balas dengan anggukkan mengerti.

     “Ini semua bukan salahmu jadi berhentilah merasa bersalah kepada Donghae.” Ujarku mencoba untuk menenangkannya dan aku senang karena dia menganggukan kepalanya. Aku tidak ingin dia terus merasa bersalah karena hal itu bisa dimanfaatkan oleh temannya itu, aku hanya masih merasa bahwa Donghae tidak akan menyerah begitu saja untuk mendapatkan Dara.

     “Terimakasih karena telah mengantarku.” Ujarnya lagi setelah beberapa saat sambil melepaskan sabuk pengaman. “Kau langsung kembali ke apartemenmu, kan?” tanyanya sambil kembali menatapku yang aku balas dengan anggukan. “Kalau begitu sampai ketemu besok.” Ujar Dara lagi kemudian dia mencium pipiku sebelum mengecup bibirku sebentar lalu setelahnya Dara langsung berbalik untuk membuka pintu mobil namum aku memanggil namanya yang membuatnya kembali menatapku.

     “Apa aku boleh mampir ke rumahmu?”

     “Oh?” Hanya itu yang Dara katakan lalu dia diam selama beberapa saat sambil menaikkan matanya ke atas seperti sedang memikirkan sesuatu. “Wae? Tidak biasanya kau ingin masuk.” Tanya Dara dengan sedikit ragu.

     “Aku hanya ingin menyapa nenekmu sebelum pulang.”

     “Nenekku mungkin sedang tidur siang sekarang.” katanya lagi setelah diam selama beberapa saat.

     “Sayang sekali, padahal aku sangat ingin menyapanya.” Kataku dengan nada sedikit kecewa.

     “Kau bisa menyapanya lain kali.” Ujar Dara lagi sambil tersenyum namun senyumnya tidak seperti biasa.

     “Wae?” tanyaku penasaran. “Kenapa kau terlihat murung? Apa ada sesuatu yang mengganggumu?”

     “Ani.” Jawabnya cepat sambil menggelengkan kepala lalu kembali tersenyum namun hal itu malah membuatku semakin curiga.

     “Apa ada sesuatu yang tidak kau ceritakan kepadaku?” tanyaku lagi yang kembali dia balas dengan gelengan cepat.

     “Aku hanya masih memikirkan Donghae.” Jawabnya lagi dan entah kenapa aku merasa bahwa dia sedang berbohong.

     “Kau berbohong.” Ujarku pelan sambil memalingkan wajahku darinya.

     “Ani. Aku tidak berbohong.”

     “Kau pikir siapa yang sedang kau bohongi ini? Aku sudah sangat mengenalmu jadi aku tahu saat kau tidak berkata jujur.” Kataku lagi sambil kembali menatapnya dengan tatapan kesal. Aku tidak suka karena dia tidak ingin memberitahuku tentang apa yang mengganggunya.

     “Kau marah?”

     “Ani.” Kataku langsung. “Aku hanya kecewa karena kau menyembunyikan sesuatu dariku.”

     “Mianhae.” Katanya pelan.

     “Kau tetap tidak akan mengatakannya, kan?”

     “Aku hanya tidak ingin membuatmu khawatir Ji.”

     “Kau yang seperti ini malah membuatku lebih khawatir. Ada apa? Apa ini ada kaitannya denganku? Dengan hubungan kita?” tanyaku lagi  yang membuat Dara diam lalu menunduk. “Wae?” tanyaku lagi. “Apa nenekmu tidak suka denganku? Itukah kenapa kau tidak ingin aku pergi menyapanya?” tanyaku lagi yang membuat Dara kembali mengangkat kepalanya lalu menatapku lagi dengan raut wajah sedih dan hanya melihatnya saja aku tahu bahwa aku benar. “Wae?” tanyaku lagi. “Kenapa nenekmu tidak suka denganku?”

     “Ini salahku.” Ujar Dara pelan. “Sorry.” Katanya lagi.

     “Apa maksudmu? Kenapa ini semua salahmu?” tanyaku lagi lalu Dara mulai menceritakan semuanya dari awal yang aku dengarkan sambil sesekali memijat pelipis. “Jadi sekarang kau dan nenekmu sedang perang dingin?”

     “Nenekku hanya mogok bicara denganku.” Katanya.

     “Mianhae, aku menyesal karena telah menjadi brengsek dan playboy.” Kataku sambil menjatuhkan kepalaku pada setir mobil.

     “Aku juga minta maaf karena apa yang aku katakan kepada nenekku tentangmu dulu.”

     “Kenapa hubungan kita sangat rumit seperti ini?” tanyaku lebih pada diri sendiri.

     “Jangan terlalu memikirkannya. Nenekku pasti akan menerimamu.” Katanya sambil menepuk punggungku.

     “Apa aku harus meminta maaf kepada nenekmu juga?” tanyaku sambil kembali mengangkat kepala lalu menatapnya yang Dara balas dengan gelengan.

     “Aku akan menyelesaikan masalah ini.”

     “Tapi aku ingin menyelesaikannya juga. walau bagaimanapun masalah ini adalah masalah kita berdua.” kataku. “Aku ingin bertemu dengan nenekmu dan meyakinkan nenekmu bahwa aku benar-benar mencintaimu. Nenekmu hanya ingin kau bahagia makanya dia meragukan aku karena masa laluku oleh sebab itu aku harus meyakinkan nenekmu bahwa aku mampu membahagiakanmu Dara.”

     “Nenekku sedang kesal karena aku tidak menurutinya. Aku takut jika kau melakukan hal itu malah membuatnya semakin marah.”

     “Lalu apa yang harus kita lakukan?”

     “Aku akan meminta bantuan pada imo-ku. Halmeoni biasanya akan mendengarkan apa yang dikatakan oleh imo.”

     “Kalau masih belum berhasil?”

     “Tidak ada pilihan lain.” Katanya sambil mengedikkan bahu. “Kita sepertinya harus kawin lari.”

     “Yah! Kenapa kau masih bisa bercanda di saat genting seperti ini?” tanyaku dengan menatapnya tidak percaya.

     “Aku hanya ingin membuatmu lebih rileks Ji.” katanya sambil tersenyum yang membuatku mengerutkan kening. Kenapa Dara bisa setenang ini?

     “Apa kau sama sekali tidak khawatir tentang ini?” tanyaku.

     “Awalnya aku sangat khawatir dan juga takut tapi sekarang tidak lagi.” katanya sambil tersenyum.

     “Dan itu karena..?”

     “Seperti yang kau katakan bahwa nenekku hanya ingin aku bahagia jadi aku hanya perlu memperlihatkan kepadanya bahwa sejak bersamamu aku sudah sangat bahagia. Jika nenekku melihatnya dia tidak akan khawatir lagi dan akan mulai menerima hubungan kita lagipula dia tidak punya pilihan lain selain itu karena sampai kapanpun aku tidak akan mau meninggalkanmu bahkan jika kau yang memintanya.”

     “Kau tidak akan meninggalkanku apapun yang terjadi?” tanyaku sambil tersenyum.

     “Neh jadi sekarang berhentilah khawatir tentang hubungan kita.” Katanya yang aku balas dengan anggukkan sambil tersenyum sangat lebar. Aku tidak bisa menahannya karena apa yang dia katakan membuatku benar-benar bahagia. “Lihatlah kau tersenyum, tampan sekali.” katanya lagi yang membuatku senyumanku semakin lebar.

     “Aku memang sudah tampan sejak masih berada di dalam kandungan ibuku.” Kataku yang kali ini membuat Dara memutar bola matanya.

     “Neh aku sudah sering mendengar kau mengatakan hal itu.” katanya. “Sekarang pulanglah dan jangan lupa untuk memasukkan semua yang kita beli ke dalam kulkas.”

     “Okay jagiya.” Ujarku sambil tersenyum kemudian mengecup bibirnya sebelum dia membuka pintu mobil kemudian keluar dari mobilku.

     “Jangan lupa hubungi aku setelah kau sampai.” Ujar Dara lagi dari jendela.

     “Jangan lupa besok kita ada makan siang dengan ibuku.” Ujarku lagi yang membuat Dara menghela napas.

     “Aku tidak lupa dengan hal itu.”

     “Masuklah! Aku akan pergi setelah melihatmu masuk.” Kataku lagi yang dia balas dengan anggukkan sambil melambaikan tangannya kemudian berbalik dan langsung berjalan masuk ke gerbang rumahnya. Aku baru pergi setelah beberapa saat.

TBC

2 thoughts on “Gonna Get Better [Chap. 21]

  1. donghae jangan macem-macem yaa, biarin dara bahagiaa. kalo beneran cinta seharusny ikhlaskan dara, bener kata dara lu obsesi sama dara makany ngebet bngt sama dara.
    haelmoni jeballl restuin jiyong, dara bahagiany sma jiyong doang.

Leave a comment