How to Save a Life [Part #18] : Retalitation

Untitled-2

Untitled-1

Author      : mbie07
Link          : HtSaL on AFF
Indotrans : dillatiffa

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

18

~ Retalitation ~

  

Kadang-kadang kita melakukan sesuatu karena cinta. Kita melakukannya demi cinta. Kita melakukannya karena kita pikir itulah cinta. Sayangnya kita gagal melihatnya secara keseluruhan. Kita tidak bisa melihat bahwa apa yang kita lakukan bukanlah lagi karena cinta.

 

 

 

Dara menatap kosong lama – selama yang bisa diingatnya, kemudian menghapus air matanya dan berdiri. Dia berjalan ke dapur lalu menuju ke tempat pencucian piring. Dia membuka keran dan langsung membasuh mukanya dengan air – dia menarik nafas dalam. Dia lalu kembali ke kamarnya dan mengelap mukanya dengan handuk kemudian mengambi pakaian yang lebih layak dari lemari.

Setelah berpakaian, dia kembali berjalan ke studio dan melihat Jiyong masih bekerja dengan lukisannya – pria itu berjalan mondar-mandir mencoba melihat lukisannya dari berbagai sudut, semua perhatiannya dia tujukan kepada kanvas dan goresan kuasnya, menambah setiap detail pada lukisan. Perlahan Dara  berjalan mendekat dan menatap yang tengah Jiyong lakukan.

Lukisan itu masih belum selesai, namun Dara sudah bisa melihat apa yang coba dilukis Jiyong dan dia sudah terkagum-kagum melihat kedetailan yang bisa Jiyong tunjukkan. Dara tidak bisa tidak memikirkan bahwa Jiyong dengan kedetailan pekerjaannya membuat hasil lukisannya semakin mempesona. “Kamu akhirnya sudan memutuskan untuk mengambil tema apa?” tanya Dara.

Jiyong berdiri tegak dan berbalik, berkedip menatap Dara. Dia lalu mengalihkan pandangannya pada dinding kaca di sisi kirinya dan baru menyadari bahwa matahari sudah mulai terbit. Jiyong tersenyum kemudian berjalan menghampiri Dara dan memberinya sebuah kecupan di bibir – yang membuat tubuh Dara langsung kaku. “Well yeah,” Jiyong meringis. “Ngomong-ngomong selamat pagi,” tambahnya dan berbalik kembali menatap lukisannya.

“Apa itu?” tanya Dara yang kemudian memutuskan duduk di lantai memandangi Jiyong. “Kamu akan segera melihatnya,” Jiyong tertawa melihat Dara mendelik padanya. “Bagaimana aku bisa membimbingmu jika kamu tidak mau memberitahuku apa tema yang kamu ambil,” dengus gadis itu membuat tawa Jiyong semakin keras. Jiyong lalu berbalik pada Dara. Dilihatnya gadis itu bersungut-sungut sambil melipat tangan. Jiyong langsung meletakkan kuas yang tengah dia pegang beserta palet cat kemudian duduk dihadapan Dara dengan senyum lebar.

Dara mendongak menyejajarkan pandangannya pada wajah Jiyong, dan melihat wajah pria itu belepotan dengan noda cat. Jiyong kemudian mencondongkan tubuhnya dan mengklaim bibir Dara. Dia tertawa begitu akhirnya menarik diri. “Manis,” gumamnya dan kembali memberikan kecupan singkat untuk terakhir kelinya. “Res string of fate,” katanya masih duduk di hadapan Dara.

“Kenapa?” tanya Dara. Jiyong mengambi buku disebelahnya dan memberikannya pada Dara. “Maaf aku meminjamnya tanpa permisi,” Jiyong tertawa. “Aku hanya merasa tertarik dengan mitos itu,” ungkapnya sambil memandang kearah dinding kaca di sisinya. Langit sudah mulai cerah. Jiyong lalu kembali menatap Dara kemudian mengaitkan jemarinya dengan di tangan Dara diatas lantai.

“Kupikir kita ini dihubungkan oleh benang merah takdir,” dia tersenyum cerah sementara Dara hanya menatapnya sambil berkedip – seolah-oleh memandang bahwa Jiyong sudah gila. “Bagaimana kamu bisa yakin?” tanyanya. “Kamu terdengar sangat yakin,”

“Karena aku memang sangat yakin,” Jiyong tertawa. “Mitos itu bilang bahwa saat manusia dilahirkan mereka sudah terikat oleh benang merah takdir yang membentang melewati batasan ruang dan waktu, benang itu bisa saja menjadi kusut, namun tidak akan pernah terputus,”

Dara menatap Jiyong yang perlahan membawa tangannya ke bibirnya sendiri kemudian menciumnya. Jiyong lalu membalikkan telapak tangannya terbuka dan meletakkan telapak tangannya sendiri diatasnya. Matanya menatap langsung mata Dara. “Kita sudah terikat Dara,” bisiknya seolah apa yang dia katakana barusan adalah satu-satunya kebenaran yang ada di muka bumi dan yang lain hanyalah kebohongan belaka. Dara ingin mengatakan sesuatu tapi begitu dia membuka mulut, dia langsung menutupnya kembali dan dirinya tenggelam dalam tatapan Jiyong yang seolah mengatakan berjuta hal kepadanya. Dara menatap Jiyong dengan jantung berdebar dalam dadanya, nafas tercekat – sementara telapak tangannya masih menempel dengan telapak tangan pria itu.

“Inilah alasan kenapa meskipun ada jarak tahun memisahkan kita, meskipun kelihatannya hampir tidak mungkin, kita duduk saling berhadapan sekarang. Kita bersama,” katanya tersenyum dengan Dara masih tetap diam.

Mungkin Jiyong benar. Atau bagaimana kalau Jiyong benar? Bagaimana kalau mereka memang saling terikat satu sama lain, mereka saling ditakdirkan satu sama lain. Bagaimana kalau itulah satu-satunya alasan kenapa mereka dipertemukan, kenapa mereka sekarang bersama?

Tapi kemudian bagaimana kalau Jiyong salah? Bagaimana kalau sebenarnya mereka ini sedang dipermainkan oleh takdir? Bagaimana jika mereka tidak benar-benar saling terikat?

Dara mengenyahkan segala pikirannya jauh-jauh. Dia seharusnya tahu bahwa mitos seperti itu tidak pernah benar dan memang selalu begitu. Satu-satunya yang terikat padanya telah pergi dan tidak akan pernah kembali.

Dara tahu bahwa benang merahnya terhubung kepada Seunghyun dan bukan Jiyong.

*

Jiyong memasuki kelas dengan senyuman lebar di wajahnya dan meletakkan semua barang-barang di mejanya. Teman-temannya menayapanya seperti biasa kecuali Bom yang duduk diam di tempatnya menatap kosong keluar jendela. Jiyong tersenyum dan menarik ikatan rambut Bom. “Burung hantu tua!” panggilnya keras, namun gadis itu hanya melengos.

Jika hal ini terjadi sebelum-sebelumnya, sekarang ini Jiyong pasti sudah berteriak minta tolong karena Bom pasti akan mencekiknya dengan kedua tangannya – tapi saat itu gadis itu hanya menatapnya hampir tanpa berkedip, Jiyong hanya bisa balas menatapnya bingung. “Apa kamu sakit?” tanyanya, namun pertanyaannya tidak mendapat jawaban apapun. “Aku tidak sakit,” akhirnya Bom mengeluarkan suara, namun matanya langsung berpindah menatap mejanya. Jiyong hanya bisa mengedikkan bahu dan melirik kepada teman-temannya yang sama-sama mengangkat bahu – mereka juga tidak tahu.

“Hei, burung hantu tua kenapa kamu pulang duluan saat pesta dansa kemari?” tanyanya membuat mata Bom melebar mendengar pertanyaan ini. “Kamu juga pergi duluan, idiot,” kata Bom membuat Jiyong tersipu sambil mengusap tengkuknya dengan telapak tangan. “Aku hanya pergi ke suatu tempat tapi aku kembali lagi, dan ternyata kamu sudah pergi,” jawabnya malu-malu. “Wow, aku tidak tahu kalau kamu akan mencariku atau memperhatikan keberadaanku,” katanya dalam nada sarkastik mebuat Jiyong menatapnya.

Jiyong tertawa sambil mengeluarkan seuatu dari dalam sakunya dan memberikannya padanya. “Kamu sepertinya sedang kedatangan tamu bulanan,” dia tertawa membuat wajah Bom memerah dan mendelik padanya. Jiyong lalu menyerahkan sesuatu kepadanya. “Aku harusnya memberikan itu di pesta dansa, tapi kamu sudah pergi,” jelasnya. “Maaf terlambat mengucapkan selamat ulang tahun untukmu,” Jiyong tersenyum lalu berjalan kembali ke tempat duduknya dibawah tatapan mata Bom.

Jantungnya berdebar keras – sakit, didalam dada dan air mata sudah menggenang di sudut matanya. Tidak ada seorang pun dari teman-teman mereka ataupun teman sekelas mereka yang memberinya ucapan selamat ulang tahun. Tidak ada yang tahu, tidak ada yang ingat. Tapi JIyong mengingatnya. Orang terakhir yang dia pikir akan mengingat hari ulang tahunnya justru menjadi satu-satunya yang ingat.

Bom menatap apa yang Jiyong serahkan padanya. Itu adalah gantungan ponsel dengan liontin berbentuk beruang. Bibirnya membentuk senyuman pahit dan tangannya bergerak mengusap air matanya sebelum terjatuh. “Omo kemarin adalah hari ulang tahunmu?” tanya Minzy menatap Bom. Bom diam sejenak sebelum akhirnya dia bisa menganggukkan kepala. “Ya,” jawabnya dengan senyuman yang langsung berubah menjadi kikik tawa.

“Maaf kami tidak tahu!!” teman-temannya meminta maaf dan mulai memberinya ucapan selamat ulang tahun – yang sebenarnya sudah terlambat, beberapa bahkan berjanju untuk mentraktirnya. Bom hanya tersenyum dan berterima kasih kepada mereka semua kemudian berdiri dan berjalan menghampiri Jiyong yang duduk di meja guru sedang berbicara dengan beberapa teman-teman mereka. Bom memberi Jiyong pelukan singkat. “Terima kasih,” katanya yang hanya ditanggapi Jiyong dengan tawa.

“Sama-sama burung hantu tua,” jawabnya menyeringai. “Betapa beruntungnya kamu memiliki teman sepertiku,” Jiyong tertawa arogan membuat Bom hanya bisa memutar bola matanya. “Dan dia kembali ke alamnya,” kata Bom menggeleng-gelengkan kepalanya membuat yang lain tertawa.

*

“Hari ini kita akan ke perpustakaan, aku ingin kalian mencari buku untuk dijadikan sebagai novel grafis yang akan menjadi proyek untuk mata kuliahku,” kata Sohee mendapat sambutan berbeda dari para mahasiswa dan sebagian besar adalah reaksi frustasi membuatnya memutar bola matanya. “Kalian akan bekerja secara berkelompok,” katanya membuat para mahasiswa bersemangat dan mulai memilih teman kelompoknya. “Aku yang akan memilihkan teman kelompok kalian,” katanya membuat wajah setiap mahasiswa kembali merana.

Sohee mengambil absensi kelas dan mulai memasangkan setiap dua orang dalam setiap kelompok dan meminta mereka untuk pindah tempat duduk bersebelahan. “Bah, betapa tidak beruntungnya aku?” rengek Jiyong membenamkan wajahnya di meja seolah dia adalah pria paling malang di muka bumi sementara Bom hanya melipat tangannya di dada. “Ini adalah hari yang paling buruk,” gumamnya membuat Jiyong mendelik padanya. “Yah harusnya kamu berterima kasih karena akulah yang menjadi partnermu burung hantu tua!” serunya menunjuk Bom dengan telunjuknya, sementara gadis itu hanya mendelik kesal.

Bom kemudian berdiri dan berjalan mendekati Sohee. “Ms. Ahn, bisakah saya ke kamar kecil?” tanyanya sopan. “Oke, langsung saja ke perpustakaan begitu selesai, kita akan pindah kesana,” jawab Sohee sambil berdiri dan meminta para mahasiswa yang lain untuk membawa barang-barang yang mereka butuhkan ke perpustakaan. Bom buru-buru melangkah keluar kelas dan mencari kamar kecil terdekat yang bisa dia temukan.

Dia sebenarnya tidak ingin buang air kecil atau yang lainnya, dia hanya butuh ruang untuk bernafas dan bicara kepada dirinya sendiri sejenak sebelum emosi menguasainya. Dia mendorong pintu kamar kecil dan malah melihat orang terakhir yang ingin dia lihat di kampus besar ini. Itu adalah dosen melukis mereka dan kekasih dari pria yang sayangnya membuatnya jatuh cinta, Park Sandara.

Dara melirik Bom sekilas, tapi langsung kembali sibuk mencuci tangannya di wastafel.

Bom berjalan mendekat dan berdiri disebelah Dara, kemudian membuka keran untuk mencuci tangannya. Rasanya menakjubkan karena segala isi bumi seolah menggantung di udara begitu saja saat tidak ada yang bisa dikatakan. Mereka hanya berdiri saling bersisian masing-masing fokus dengan apa yang tengah mereka lakukan.

Dara mengambil tissu dan mengelap tangannya hingga kering. Dia kemudian mendongan dan menatap ke cermin. Bom menatap setiap gerakan Dara – wajah Dara langsung memerah begitu melihat ada bekas ciuman di lehernya dan cepat-cepat dia tutupi dengan rambutnya. Dara menggigit bibirnya. Dia harus bicara pada Jiyong agar tidak meninggalkan bekas ciuman jika mereka ada kelas. Bom menatap Dara dan merasakan dadanya sesak begitu pandangan matanya menangkap kalung yang melingkar di leher dosennya. Bagus, kami berulang tahun dihari yang sama.

 

“Bekas ciuman…” bisik Bom membuat Dara menoleh padanya, matanya melebar. “Akan sangat sulit untuk dihilangkan,” tambah Bom masih sambil mencuci tangannya. Dia lalu menutup keran dengan Dara masih membeku memandangnya melalui cermin. Bom menarik gulungan tissu dan mengelap tangannya hingga kering. Dara mulai membereskan barang-barangnya karena menurutnya akan lebih baik jika dia berpura-pura tidak mendengar dibandingkan harus bertanya apakah mahasiswanya itu tahu sesuatu.

Dan dia sangat berharap bahwa Bom tidak tahu apapun.

Dara baru akan menyampirkan tali tasnya saat mendengar suara ponsel Bom berdering. Bom mengeluarkan ponselnya dari dalam saku dan melihat identitas peneleponnya. Bibirnya membentuk senyuman tipis kemudian mengempelkan ponselnya di telinga. “Yah! Burung hantu tua dimana kamu?!” kata Jiyong begitu Bom menjawab teleponnya. “Jiyong baby,” kata Bom tersenyum membuat Dara membeku di tempat, matanya perlahan tertuju pada Bom.

Bom berbalik menatap Dara dengan senyuman di wajahnya. “Baby?! Apa kamu sudah tidak waras, huh?” tanya Jiyong berbisik pelan. “Aww… manisnya, kamu sudah merindukanku? Baby, aku juga merindukanmu,” Bom tertawa.

“Yuck!” sembur Jiyong. “Apa yang salah denganmu? Cepat datang kemari jadi kita bisa segera memutuskan apa yang akan kita ambil, oke?” tanyanya. “Sudah tidak sabar untuk bertemu denganku, huh?” Bom tertawa. “Kamu gila,” kata Jiyong memutar bola matanya kemudian menekan tombol untuk mengakhiri pembicaraan mereka, segera suara beep terdengar.

“Oh baby, jangan khawatir aku akan memberimu ciuman begitu aku sampai sana,” kata Bom kembali menatap cermin yang dipakukan ke dinding dan merapikan rambutnya. Dia mencuri kearah Dara yang masih berdiri terpaku di tempatnya. Tangannya bergetar hebat. Bom tersenyum. “Oke kalau begitu… Aku juga mencintaimu baby,” katanya kemudian menutup flip ponselnya dan memasukkannya kedalam saku. Dia lalu kembali menatap Dara sekali lagi.

Mata mereka bertemu dan Bom bisa melihat kekagetan tersirat dari mata dosennya. Dara memejamkan matanya erat dan tubuhnya separuh bersandar pada wastafel yang terbuat marmer, nafasnya memburu. “Ms. Park,” panggil Bom membuat Dara menelan ludah berat sebelum menatap mahasiswanya. “Ya?” tanya Dara memaksa suara keluar dari tenggorokannya, tanyannya terkepal kuat.

“Well, kuharap Anda tidak mengatakan kepada siapapun tentang apa yang Anda dengar barusa, khususnya karena Jiyong sudah sangat terkenal sekarang. Ini akan sangat berat bagi kami berdua,” katanya tersenyum,” katanya tersenyum. “Jadi tolong rahasiakan ini, oke?” dia menunjukkan jari kelingkingnya kepada Dara dan mengedipkan sebelah matanya. Dara menatapnya beberapa saat kemudian menganggukkan kepala. “Terima kasih!” seru Bom. “Anda sangat baik,”

Bom langsung berbalik dan seketika itu juga senyumannya hilang. “Maafkan aku,” gumamnya. Dia berjalan keluar dari kamar kecil meninggalkan Dara sendiri. Dara menjambak rambutnya dan meletakkan lengannya di wastafel mencoba untuk menguatkan dirinya, karena sepertinya akan ambruk, cepat atau lambat.

*

Bom memasuki perpustaakn dan melihat Jiyong duduk disalah satu meja dengan tumpukan buku diharapannya dan membaca satu di tangannya. Bibirnya membentuk segaris tipis saat rasa bersalah menyebar dalam dadanya. Dia lalu memaksa kakinya melangkah menghampiri Jiyong. Dia manarik kursi disebelah Jiyong dan duduk.

Jiyong menoleh kepadanya dengan tatapan apa-maksudmu-tadi tergambar jelas di wajahnya, dan Bom langsun tertawa sambil menutupi mulutnya menjadi perhatian semua orang. Bom berdiri dan membungkukkan badan meminta maaf. “Apa maksudnya tadi itu?” tanya Jiyong begitu Bom sudah kembali duduk. “Tidak ada aku hanya ingin bermain-main dengamny,” jawab Bom, senyumnya perlahan pudar begitu wajah Dara terbersit dalam benaknya, dia merasa bersalah.

“Aku bersumpah telingaku bisa berdarah,” kata Jiyong meggeleng-gelengkan kepala tidak ingin mengingat sepatah kata pun dari yang tadi Bom ucapkan kepadanya. “Baby.” Dengusnya jijik. Bom memutar bola matanya. “Apa kamu sudah memilih buku yang kamu inginkan?” tanyanya mengalihkan topik. “Belum tapi aku mempertimbangkan yang satu ini,” katanya menyerahkan buku ditangannya kepada Bom. “Kenapa aku sudah punya firasat kalau kamu akan memilih buku seperti ini,” katanya menatap buku tentang Peter Pan yang diberikan Jiyong. “Apa salahnya, Peter Pan itu keren,” balas Jiyong membuat Bom kembali memutar bola matanya.

Bom kemudian melihat sekila buku yang berhasil Jiyong kumpulkan dan semuanya adalah tentang kisah dongeng. “Jangan katakan padaku kalau kamu itu gay?” tanyanya menatap Jiyong. Jiyong memandang Bom dengan penuh keterkejutan di wajahnya. “Jaga mulutmu Bom!” serunya membuat semua orang menatapnya dan dia harus buru-buru berdiri kemudian membungkuk meminta maaf, sedangkan Bom hanya menertawakannya pelan. “Kamu tahu, kamu harus ikut denganku. Aku tahu bagian buku-buku terbaik yang disimpan di perpustaan ini,” kata Bom berdiri dan mengambil semua buku yang Jiyong dapatkan dan mengembalikannya, Jiyong hanya mengekor dibelakangnya dengan wajah cemberut.

Tak lama mereka lalu sampai di rak terakhir di perpustaan kampus mereka, Bom mulai menjelajahi judul-judul buku sementara Jiyong mengekor dibelakang Bom sambil melihat buku-buku. “Semuanya tentang kisah cinta,” gumam Jiyong, Bom mengangguk membenarkan. Bom menarik sebuah buku dan membukanya. Keduanya terdiam karena Jiyong juag sibuk mencari buku yang bagus.

“Aku melihatmu…” kata Bom memecah keheningan diantara mereka sambil membalik halaman buku di tangannya. Jiyong menatapnya bingung. Bom menutup buku ditangannya dan mengembalikannya ke ralk. Bom berbalik menatap Jiyong. “Aku melihatmu bersama dengan Ms. Park di pesta dansa mahasiswa baru,” akunya jujur membuat Jiyong membeku beberapa saat. Jiyong membuka mulut ingin mengatakan sesuatu namun suaranya mengkhianatinya.

Bom berbalik dan kembali memilih-milih buku. Jiyong hanya menatapnya dan mendesah kemudian berjalan menghampiri gadis itu. Jiyong baru akan meraih bahu Bom namun gadis itu kembali berucap membuatnya berhenti. “Aku tidak akan mengatakan kepada siapapun, jangan cemas,” katanya membuat Jiyong menatapnya.

Bom kembali berbalik menatap Jiyong dengan buku baru di tangannya. “Kamu tahu kan, hubungan antara dosen dan mahasiswa itu dilaran?” tanyanya. Jiyong diam sejenak sebelum akhirnya mengangguk. “Lalu kenapa?” tanya Bom lagi. “Aku mencintainya,” jawabnya langsung menatap mata Bom. Gelombang rasa sakit menghantam Bom dan gadis itu hanya bisa menarik nafas dalam dan mengangguk.

Bom mengedarkan pandangan matanya sambil menggigit bibirnya, berharap agar air matanya tidak jatuh dihadapan Jiyong, walau speertinya sia-sia karena sudah tergenang di sudut matanya. “Kamu bilang kepada kami,” ucap Bom menatap ke lantai. Dia lalu mengangkat kepalanya dan mata merkea bertemu sekali lagi, keduanya diliputi kesunyian. “Kamu tidak akan pernah jatuh cinta, kamu tidak akan pernah merasakan jatuh cinta, dan kamu tidak akan pernah tumbuh,”

“Lalu kenapa kamu bersama dengannya? kenapa kamu membiarkan dirimu jatuh cinta padanya padahal kamu bisa mencintai siapapun selain dia! Masih banyak pilihan yang lebih baik tapi kenapa dia?” tanyanya, air matanya berjatuhan di pipinya dan sesak menyelimuti dadanya. Bom ingin berhenti, tapi kata-kata terus saja keluar dari mulutnya, bersamaan dengan rasa sakit dan pahit yang dia rasakan. Jiyong masih berdiri diam menatap Bom yang menarik nafas dalam, masih tidak percaya. “Kenapa dia? Jiyong dia itu sangat kacau! Dia sudah hancur! Dia tidak baik untukmu! Apakah dia juga mencintaimu?”

“Kamu tidak mengenalnya,” kata Jiyong tegas membuat Bom menutup mulutnya dan menarik nafas dalam. “Bom,” panggilnya membuat Bom membeku, ini pertama kalinya Jiyong memanggil namanya. Dia ingin merayakan hal ini, dia harusnya bahagia karena hal itu, tapi yang bisa dirasakannya saat ini justru adalah rasa sakit, yang teramat sangat.

Jiyong memotong jarak diantara mereka berdua dan berdiri didekatnya. “Kamu tidak punya hak untuk mengatakan kepada siapa aku harus jatuh cinta,” katanya tajam, menusuk hati Bom – pelan dan mematikan. “Ini adalah pilihanku. Aku memilih untuk jatuh cinta kepadanya, aku memilih untuk bersama dengannya,”

Bom berdiri diam mendengar ucapan Jiyong dan rasanya tubuhnya langsung hancur berkeping-keping. Mungkin ada sisi yang paling bisa membuat kita merasa sangat kesepian saat mencintai seseorang, faktanya kita sebenarnya masih memiliki pilihan lain yang lebih baik. Mungkin kita bisa saja memberikan kepadanya yang jauh lebih baik, dari yang sebenarnya dia layak dapatkan namun dimatanya kita ini tidak akan pernah cukup karena kita bukanlah yang benar-benar dia cintai. Dan bagian terburuknya adalah dia sendiri yang membuat kita menyadari semua itu.

Bom tidak tahu berapa lama kesunyian menyelimuti mereka atau berapa lama dia berdiri disana meneriakkan rasa sakit karena patah hatinya. Dia mengangkat kepalanya saat merasakan jemari JIyong mengusap pipinya. “Kamu ini cantik, kamu ini baik, dan kamu layak mendapatkan orang yang benar-benar mencintaimu,” bisiknya membuat Bom mulai gemetaran, bahunya bergerak naik turun. “Tapi orang itu bukan aku dan tidak akan pernah menjadi aku,” katanya Jiyong lalu berbalik meninggalkan Bom berdiri disana, terdiam.

Bom membenamkan wajahnya di telapak tangannya menangis keras. Selama ini dia tidak menyadari bahwa dirinya jatuh cinta kepada Jiyong, namun pria itu justru menyadarinya. Sejak dari awalnya, Jiyong sudah tahu bahwa Bom mencintainya namun tidak pernah membalas perasaanya.

*

Hari ini adalah hari paling melelahkan bagi Jiyong. Dia mendorong pintu hingga terbuka. “Aku pulang,” serunya dengan senyuman tersungging di bibirnya. Dengan melihat Dara akan menghilangkan rasa lelahnya pergi begitu saja. Dia lalu melepas sepatunya dan mengambil sandal rumah dan berjalan masuk. Dia meletakkan tas di kamarnya dan beranjak menuju kamar Dara. Dia melihat Dara berdiri didepan lemarinya sedang menata pakaiannya.

Jiyong memeluk pinggang Dara dari belakang dan memberikan kecupan di lekuk lehernya membuat Dara membeku seketika itu juga. “Aku merindukanmu,” bisik Jiyong membuat Dara mendesaj. Dara kemudian melepas pelukan lengan Jiyong dan dalam diam keluar dari kamarnya. Jiyong menatap kosong sejenak kemudian mendesah dan mengikuti langkah Dara.

Jiyong menyandarkan tubuhnya di dinding dan melihat Dara mengeluarkan bahan-bahan masakan dari dalam kulkas. “Kenapa kamu tidak bilang padaku kalau kamu sudah punya pacar?” tanyanya tanpa menatap Jiyong membawa bahan-bahan masakannya tadi ke tempat pencucian dan membuka keran. Jiyong tersedak ludahnya sendiri. “Apa?!” tanyanya kaget.

Dara berbalik dan menatapnya sambil menyandarkan bagian belakang tubuhnya ke tempat pencucian, membiarkan airnya mengalir begitu saja. Mereka diam saling menatap selama beberapa saat. “Kenapa kamu tidak bilang padaku kalau kamu sudah punya pacar?” ulang Dara dengan nada yang lebih tajam. Jiyong menatapnya dengan campuran bingung dan tidak percaya. “Apa yang sedang kamu bicarakan?” tanyanya sambil berjalan menghampiri Dara.

Dara mencoba menahan pandangannya tetap pada Jiyong yang berjalan kearahnya. “Kamu punya pacar,” ulangnya menekankan kata terakhir dengan gigi bergemeletuk. “Tentu saja aku punya pacar. Kamu pacarku,” kata Jiyong membuat Dara mengalihkan padangan darinya. Dara lalu menjambak rambutnya dengan tangannya.

“Berhenti berbohong,” katanya mendorong Jiyong pelan dan berjalan menuju ke ruang tamu. Jiyong menatap punggung Dara tak percaya. Dia lalu mengacak rambutnya dan mendesis kemudian mengikuti Dara.

Tanpa disadari apa yang kita lakukan sudah tidak lagi benar. Apa yang kita lakukan adalah bentuk dari keegoisan kita. Apa yang kita lakukan telah menyakiti orang yang kita cintai dan lebih parahnya kita tidak sadar bahwa kita juga menyakiti diri kita sendiri.

  

~ TBC ~

 HTSAL-KJ

 

Prolog 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 Epilog FN

75 thoughts on “How to Save a Life [Part #18] : Retalitation

  1. aigooo sebenarnnya aku suka sam bom.. tp disini dia sudah keterlaluan dia menjadi orang ketida anatara jiyong dan dara?? tidak bisah kah bom berlapang dada untuk membiarkan jiyong ama dara tanpa haru merusak hubungan mereka…
    aigoo bagaimana jiyong akan menjelaskannya pada dara?? next^^

  2. Bom unnie kenapa kyk gitu ke dara unnie? Dara unnie jangan termakan sama ucapannya bom unnie pliss dan jangan ngejauhin jiyong oppa. Bom unnie jangan sakit hati dan move on lah, fighting!!

  3. Oh tidak,,,,
    Jangan sampai dara ngejauhin jiyong,
    Kenapa bom harus berbohong didepan dara???
    Akan susah buat jiyong membuat dara kembali bersikap baik sama jiyong walau angin-anginan
    Semoga mereka bisa menyelesaikan kesalah pahaman itu

  4. Bner ny bom kesian tp kok dia jd egois gt yak .. gk prlu brbhong jg x ..pan dara jd slh pham, tp gpp sih biar dara cemburu wkwk

  5. Alangkah baiknya kl kita bisa terbuka mungkin..jd kita tidak akan menyakiti atau di sakiti,,,,tp itulah cinta…sudah satu paket…sabar ya bom

Leave a comment