[Series] My Everlasting Winter – Part 5

image

Script writer by : ElsaJung

Tittle : My Everlasting Winter

Duration : Series/Chaptered

Rating : PG-13+ (Teen)

Genre : Slice of Life, AU, Drama, Angst, Fantasy

 

 Bab 5

“Two Lovers”

 

 

 

Seminggu berlalu. Waktu seakan tak pernah berhenti untuk Dara. Setiap detik dan menitnya selalu terasa. Mungkin, untuk orang yang selalu merasakan kebahagiaan, waktu seakan berjalan sangat cepat. Namun, jika untuk orang yang merasakan kesedihan seperti Dara, waktu berjalan sangat lambat. Kini, Dara masih tinggal di rumah Jiyong. Hanya saja, ia lebih sering menghabiskan waktunya untuk berdiam diri di Gereja, sungai, atau café. Tepatnya lagi, tempat familiar yang selalu dikunjunginya.

Dara berpikir, ia tidak pantas tinggal di rumahnya lagi. Kenapa? Karena dia merasa tak enak hati. Dara sepenuhnya tahu, tidak ada sedikitpun rasa suka yang diberikan Bom padanya. Dan, Dara juga merasa bersalah pada Jiyong karena ia bersikap tak sopan pada laki-laki itu. Keadaannya masih sama, ia belum berani mengatakan kalimat pengakuan apapun. Nyalinya tidak terlalu besar untuk melakukannya dan untuk menanggung dampak yang akan diterimanya. Terlebih, Dara belum bertemu malaikat mautnya. Sehingga, dia tidak mendapatkan satupun saran yang bisa membantu.

“Menurutku, satu hari yang kurasakan, tidak sama seperti satu hari yang dirasakan oleh orang lain. Setiap harinya seperti satu tahun bagiku. Yang membuat waktu terasa begitu lama adalah karena aku tidak menjalankan hari-hari ini dengan senyuman.” Dara mendengus kemudian menarik nafas dalam-dalam. Sebelum menghembuskan nafasnya, ia tersenyum kecut sembari memandang langit yang tidak pernah tampak cerah. “Lagi-lagi mendung. Aku tidak bisa membiarkan situasi ini terus berlanjut. Aku tidak bisa membiarkan orang-orang menghentikan aktivitasnya karena takut akan hujan.”

Gadis itu sedang duduk di bangku taman yang selama ini menjadi markasnya. Sebenarnya, semua ini bukan apa-apa. Dara memaksakan dirinya untuk tidak menangis. Ia tak akan pernah membiarkan air matanya jatuh meskipun hanya setetes. Seperti yang dikatakan Seunghyun, salju pasti akan segera turun. Langit mendung, mungkin orang-orang bisa memakluminya karena musim dingin masih belum berakhir. Tapi, jika salju terus turun tak kenal waktu, bukankah itu sangat mengganggu? Dara berbaik hati. Satu prinsip yang selalu dipegangnya, Dara hidup bukan untuk merugikan atau menyengsarakan orang lain. Tapi, ia hidup untuk membuat orang-orang disekirtarnya merasakan kebahagiaan.

Kembali pada kehidupan sekarang. Bom semakin bertingkah. Ia tidak memiliki rasa ampun dalam hal menyengsarakan hidup Dara. Tidak, Bom tidak memperlakukan Dara dengan baik. Saudaranya sendiri diperlakukan layaknya pengurus rumah. Bahkan lebih dari itu–atau jika bahasa kasarnya Dara diperlakukan seperti budak. Semua pekerjaan rumah, Dara yang mengerjakan. Jika ada masalah yang menimpa Bom, maka Dara akan mendapat imbas dari kemarahan itu. Bom tidak segan-segan untuk melempar seluruh benda-benda yang dapat dilemparnya pada tubuh Dara. Entah itu vas bunga, wadah parfumnya yang terbuat dari kaca dan benda-benda lainnya. Sebenarnya, Dara tidak merasakan apa-pun karena Seunghyun selalu berusaha agar tak ada sedikit pun rasa sakit menimpa gadis malang itu.

“Sebenarnya, apa yang terjadi padamu? Aku tidak mengerti sama sekali.”

Jiyong sedang berdiri di ruang keluarga yang terletak tidak terlalu jauh dari tempat Dara berada saat ini. Laki-laki itu memandang Dara. Meskipun dari kejauhan, setidaknya ia masih bisa melihat sedikit tubuh Dara. Jujur, Jiyong belum juga mengerti, kenapa gadis yang sangat disukainya menjadi pemurung. Ia juga belum sepenuhnya tahu, ada alasan apa dibalik semua itu. Sebenarnya, usaha Bom untuk menjauhkan Dara dari Jiyong sangatlah sia-sia. Mungkin Bom bisa melihat raut wajah kesedihan Dara, tapi siapa sangka jika Jiyong malah memberi perhatian lebih pada saudaranya.

Belakangan ini, Jiyong memang sengaja menyisihkan waktu luangnya untuk mendekati Dara. Hanya ada satu yang diinginkannya, semua kembali seperti semula. Dan hal itu mengakibatkan dampak yang sangat merugikan bagi Bom. Dia tidak bisa mendapatkan sedikitpun waktu dari Jiyong. Bahkan, mereka berdua jarang berbincang-bincang. Sekarang, dalam otak Jiyong, semuanya seakan tertukar. Sebelumnya, ia hanya memikirkan satu nama, Dara, Dara dan Dara. Bukan Dara yang asli tentunya. Tapi, saat ini hanya ada nama Jung Hye Ji dipikirannya. Antara Dara dan Hye Ji, dua nama itu berganti posisi. Hal ini tidak membuat Bom senang, justru ia sangat marah, benar-benar marah.

Seunghyun tiba-tiba datang. Kali ini, dia tampak sangat tampan. Tidak ada warna lain selain warna putih. Mungkin, dia ingin menghibur Dara dengan menunjukkan penampilan barunya pada gadis itu. Bukan sebagai malaikat maut berpakaian serba hitam, lengkap dengan tatapan dingin. Tapi, malaikat maut dengan pakaian serba putih dengan senyuman hangat di bibirnya. Tidak sama seperti waktu kali pertama Seunghyun bertemu Dara. Suasana hati Dara benar-benar dalam kondisi yang buruk. Lebih buruk dari hari-hari sebelumnya. Maka dari itu, Seunghyun ingin melihat senyuman Dara.

Sebuah suara keluar dari mulut Seunghyun. “Lama tak bertemu. Lebih dari seminggu mungkin.”

Mata Dara terbelalak sehingga terlihat semakin membulat. “Seunghyun-ah!”

“Kenapa? Ada suatu hal yang mengganggumu? Mungkin, tentang saudara kembarmu?”

“Maaf,” Ujar Dara lirih. “Jiyong bisa mendengar perkataan kita.” Dara menengok ke belakang.

“Dia tak bisa mendengarkan kita. Dia mungkin bisa melihatmu berbincang-bincang sendiri. Hanya hal itu, tak lebih. Kenapa? Karena dia belum pernah mengalami kematian sehingga tak dapat melihat-ku. Lihatlah, Jiyong menatapmu sembari menaikkan satu alisnya. Kurasa dia bertanya-tanya.”

“Ah, jadi seperti itu rupanya. Penampilanmu lebih baik dari sebelumnya.” Balas Dara tersenyum tipis sejenak, kemudian kembali menunduk seakan melupakan pertanyaan yang diajukan Seunghyun sebagai angin lalu. Malaikat maut itu duduk di samping Dara, kemudian mengajukan satu pertanyaan yang sama. Dengan berat hati Dara menjawabnya. “Tanpa aku menjawabnya kau sudah mengerti dan juga mengetahuinya, bukan? Hal apa yang harus kulakukan? Aku mencintai Jiyong karena hanya dia orang yang bisa menerima kehidupan baruku. Disisi lain, aku juga menyayangi nyawaku.”

Seunghyun menundukkan kepalanya sembari tersenyum simpul, namun memiliki arti. “Kau lebih memilih untuk menjauh dari Jiyong?” tanya Seunghyun. Dara menjawabnya dengan anggukan. “Kalau aku jadi kau, mungkin aku lebih memilih untuk terus berada disisi Jiyong meskipun dihantui ancaman-ancaman yang keluar dari mulut Bom. Aku disisimu, Dara. Kau akan baik-baik saja.”

Ya, Dara tahu, ia akan baik-baik saja jika Seunghyun ada di sisinya. Tapi, kondisinya saat ini jauh berbeda. Bukan permasalah kematiannya lagi, namun bagaimana cara Dara untuk selalu dekat dengan Jiyong tanpa harus mengingat bayang-bayang menakutkan Bom lagi? Ia sedang mencari jawaban itu.

Desahan Dara terdengar begitu jelas ditengah-tengah keheningan. “Bagaimana aku bisa percaya pada kalimat itu, Seunghyun? Semua akan baik-baik saja? Bom selalu berbuat nekat. Dia tak takut pada apapun, termasuk kepada dosa dan juga Tuhan. Satu hal lagi yang membuatku takut. Karena Jiyong terus memperhatikanku, kemarahan Bom semakin menjadi. Dia semakin jahat padaku.”

“Kau mencariku untuk mendapat saran dan juga jawaban, bukan? Aku sudah memberikannya saat ini, tepat di hadapanmu. Kenapa kau tidak mencobanya terlebih dahulu? Aku datang dari tempat yang jauh, alam yang berbeda hanya untuk memberimu saran. Kau gadis baik. Percayalah padaku. Ada satu hal menakjubkan yang akan kulakukan jika Bom kembali berulah. Aku selalu membantumu.” Balas Seunghyun mengangguk mantap. “Meskipun begitu, aku bukanlah makhluk yang jahat.”

“Kau memang yang terbaik, Seunghyun. Bolehkah aku memelukmu untuk yang pertama kali?”

“Peluklah aku jika kau memang menginginkannya, Dara.”

Dara menggeser badannya lebih dekat dengan Seunghyun, kemudian merentangkan tangan lebar-lebar. Dia memeluk Seunghyun erat-erat dan menangis di sana. Bukan tangisan yang meraung-raung. Dara tahu, badai akan datang jika dia melakukan hal itu. Meskipun badai tak datang, tapi salju tetap turun deras. Seunghyun menjentikkan tangannya ke atas agar salju tidak mengenai tubuhnya dan juga Dara. Perlahan, Seunghyun memberanikan tangannya untuk menyentuh bahu gadis berambut coklat itu, dan membisikkan beberapa kata-kata penyemangat yang bisa membantu Dara.

Di luar, Jiyong tampak menyipitkan matanya, mencoba mencari-cari benda, apa sebenarnya yang sedang Dara lakukan. Gadis itu tampak memeluk. Tapi, apa yang dipeluknya? Jiyong hanya melihat ada sebuah bayangan yang menggumpal. Tidak membentuk wujud memang. Satu yang menjadi pertanyaan, kenapa Dara memeluknya? Lalu, pertanyaan lain. Tepat di hadapannya, Jiyong melihat Dara sedang berbincang-bincang dengan seseorang. Mulutnya tampak terbuka dan menutup. Padahal, laki-laki bernama Jiyong sudah berusaha menajamkan pendengaran. Tapi, ia tak mendengar apapun.

“Merasa lebih baik?” tanya Seunghyun. Dara mengangguk pelan, anggukan yang diiringi dengan sebuah senyuman terpaksa. Tangan Seunghyun bergerak mendekati sepasang mata Dara. Disekanya butiran itu dengan lembut. “Kau harus kuat. Seorang Sandara harus bisa menahan semuanya. Ingat, dulu kau selalu tersenyum dalam menghadapi penderitaanmu. Meskipun tubuhmu berbeda, hidungmu juga, rambut dan segalanya, tapi bukan berarti ketegaranmu menghilang. Bertahanlah, Dara. Aku akan segera pergi. Maaf, jika aku tak bisa langsung datang disaat kau membutuhkanku.”

Selepas kepergian Seunghyun, Dara beranjak dari duduknya. Ia berjalan ke arah pintu kaca yang dikunci dari dalam. Dara membukanya dan menepati Jiyong berdiri sejajar di hadapannya. Sebenarnya, Jiyong masih menyimpan pertanyaan yang sama. Tapi, dia terlalu takut gagal untuk yang kedua kalinya. Ia tak ingin Dara kembali mengabaikannya lagi. Dan benar, Dara hanya menatap wajah Jiyong sekilas, lalu berpaling melanjutkan langkahnya. Berat memang, tapi bagaimana lagi?

Dara mendesah. “Aku lelah, GD. Kumohon, jangan membuatku terus memikirkanmu. Ya, aku sadar, aku bersalah karena selalu berpaling darimu. Lalu sekarang, apa yang kau inginkan? Jawaban? Maaf, aku tidak memiliki jawaban apapun untuk sikap diamku ini. Sekali lagi, maaf. Aku pergi.”

“Jung Hye Ji!” Cegah Jiyong menahan Dara yang hampir pergi beranjak dari hadapannya. “Kau tak bisa melakukan hal ini padaku. Membuatku terus menunggu jawaban darimu. Entah hal apa yang kupikirkan, pasti sikap diammu ini ada hubungannya dengan Dara. Kalian sangat mencurigakan. Dan, aku ingin kau bersikap dewasa untuk hari ini saja. Jadilah seorang Hye Ji yang kukenal.”

“Hye Ji yang kau kenal? Berapa lama kita saling mengenal? Sudah puaskah kau berbicara, GD?”

Jiyong menggelengkan kepalanya sejenak, lalu menatap Dara tajam. “Aku membencimu.”

“Sudah kukatakan, aku tidak memiliki jawaban apapun!” Dara membentak Jiyong keras-keras. “Jika kau membenciku, oke! Aku akan menerimanya. Hal ini lebih baik daripada harus mendengarmu bertanya-tanya setiap waktu. Aku tidak lagi peduli pada rasa bencimu itu, GD. Tapi, jika kau lebih memilih untuk tak membenciku, kuharap kau mau bersabar tanpa menanyakan hal apapun.”

Sungguh, dalam hatinya, Dara memohon dengan sangat. Ia tidak dalam mood yang baik bertemu dengan Jiyong, untuk melayani segala pertanyaan yang bersifat memojokkan. Nyawa Dara berada di tangan Bom. Jika Bom tahu Dara membuka mulut barang satu kata saja, mungkin pisau dapur yang tajam itu akan beralih kendali di tangan gadis kejam itu, bersiap untuk menghujam Dara.

Dara menengok menatap wajah Jiyong sejenak, lalu membuang mukanya dan kembali berjalan. Batinnya benar-benar menangis. Sebenarnya, ia sedang meraung-raung, hanya saja Dara tidak terlalu berani untuk mengeluarkan suaranya. Ia berlari menaiki tangga sembari menutup bibirnya mengguna-kan telapak tangan kanannya. Tangis ini tak dapat ditahan lagi olehnya. Hati Dara sudah terlalu sakit bila harus terus berpura-pura buta, tak melihat keberadaan Jiyong, orang yang selalu ada untuknya.

Gadis itu segera menutup pintu kamarnya rapat-rapat setelah ia berada di dalam. Pandangan Dara tertuju pada tungku perapian yang menyala. Dara mendaratkan tubuhnya di sebuah sofa yang terletak di hadapan tungku perapian itu. Akhirnya, salju kembali turun saat air mata Dara menetes mengenai telapak tangannya. Angin dingin berhembus dari balik jendela, menyibakkan rambut coklatnya, juga memadamkan tungku api yang sedang menyala. Keheningan menyelimutinya.

***

“Aish, kau sangat tampan, Ji.” Seru Bom sembari melilitkan syal hitam di leher Jiyong.

Laki-laki itu tersenyum tipis. “Terima kasih. Aku akan segera kembali, oke. Um, jaga dirimu baik-baik. Jangan lupa, kau harus makan tepat waktu. Aku tidak mau kau sakit selama aku pergi. Ah, benar! Kau harus menjaga Hye Ji untukku. Satu minggu ini, aku harus pergi ke Swiss untuk menemui nenek. Kumohon dengan sangat, jangan sampai Hye Ji sakit. Aku khawatir padanya.”

“Kau yakin pergi hari ini? Langit begitu gelap. Mungkin, penerbanganmu akan ditunda.” Gadis itu memajukan kepalanya untuk menengok ke arah jendela di dekatnya. Alisnya sedikit terangkat. “Tapi, jika kau benar-benar harus pergi, aku hanya bisa berdoa, semoga Tuhan melindungimu. Tentang hal itu, aku akan menjaga Hye Ji sebaik mungkin. Jangan mengkhawatirkan kami.” Ujar Bom menunjuk-kan ibu jarinya sembari tersenyum lebar-lebar. Ya, ia akan menjaga Dara, membuat gadis bertekuk lutut di kakinya. Tak akan kubiarkan dia bebas dari genggaman Bom, termasuk Dara.

“Gadis baik..” Desah Jiyong mengelus ujung kepala Bom gemas.

“Tentu saja. Namaku bukan Sandara jika aku bersikap jahat.” Balas Bom tersenyum tipis.

Bom, gadis baik? Ah, Bom sendiri tidak percaya dengan kebenaran kalimat itu. Sejak kapan Bom yang berhati iblis berusaha menjadi gadis baik? Sejak kapan ia berubah menjadi gadis baik jika semua sandiwara ini tidak pernah ada? Memang, Bom tidak bisa menyalahkan sandiwara karena ia sendiri yang menginginkan sandiwara tersebut. Lagipula, Bom cukup senang menjalankannya, meski harus terbebani embel-embel gadis baik. Setidaknya, ia bahagia.

Dara menatap Jiyong dan Bom dari lantai atas. Ucapan Bom telah menyadarkannya. Tidak seharusnya ia terus bersedih dan menangis. Angin ribut, badai dan salju terus berdatangan tanpa henti. Bahkan disaat orang-orang terlelap dalam tidurnya. Dara tahu, ia meresahkan mereka semua. Tapi, hal apalagi yang bisa dilakukannya? Tak ada tempat lain untuk mengadu jika bukan Seunghyun. Jujur saja, Dara memang ingin pernikahan Bom dan Jiyong tak akan pernah terjadi. Namun, bukan berarti ia harus mencelakakan Jiyong dalam penerbangannya. Ya, Jiyong harus pergi ke Swiss hari ini juga.

Gadis itu menapakkan kakinya pada anak tangga pertama. Ia berjalan semakin ke bawah sehingga Dara dapat melihat dengan jelas kemesraan Bom dan Jiyong yang terpampang nyata di hadapannya. Di waktu yang sama, Dara senang Jiyong sangat sayang padanya meskipun orang yang mendapatkan bahagia itu adalah Bom. Setidaknya, hal itu membuktikan jika Jiyong selalu menganggapnya sebagai nomor satu. Disisi lain, Dara juga tak bisa menerima kenyataan jika tiga bulan ini ia harus memiliki mental yang kuat saat melihat pemandangan menyakitkan itu setiap harinya.

Suara lirih keluar dari mulut Dara. Dia memanggil Jiyong dengan suara yang sangat pelan, berharap Jiyong tak mendengarnya. Tapi, hal yang harus diketahuinya, Jiyong mendengar panggilan yang ditujukannya pada laki-laki itu. Jiyong segera menghampiri Dara dengan mata yang berseri-seri. Sedangkan Bom, ia mulai mengeluarkan tatapan mematikannya pada Dara dengan ekspresi layaknya seorang manusia berdarah dingin yang siap membunuh Dara jika gadis itu berani membuka mulutnya.

“Kau sudah bangun rupanya.” Ujar Jiyong mengacak rambut Dara. Gadis itu tersenyum. “Hye Ji, hari ini aku harus pergi ke Swiss. Aku hanya ingin kau tak bersikap dingin padaku sebentar saja. Baiklah, aku akan menunggu sampai jawaban itu datang, setelah musim dingin berlalu bukan? Namun, satu permintaanku, ketika aku kembali nanti, jangan bersikap seperti ini lagi, mengerti?”

“Tidak tahu, aku tak bisa berjanji. Aku tidak ingin kau terlalu berharap.”

“Kuharap kau akan berubah pikiran.” Jiyong menepuk bahu Dara mantap.

Aku juga menginginkan hal itu, GD

Entah mengapa, Jiyong ingin memberi kecupan di kening Dara sebagai salam perpisaha. Tapi, ia tak mungkin melakukan hal itu di depan Bom. Bukannya munafik atau apa, Jiyong merasa jika mengecup kening Dara setiap ia akan pergi jauh merupakan hal yang biasa dilakukannya sejak dulu. Mengingat gadis dengan nama palsu Hye Ji itu bukan Dara yang dikenalnya, Jiyong hanya tersenyum, kemudian memalingkan wajahnya secara sopan. Ia mendekati Bom, lalu mengecup keningnya. Dara yang melihat hal itu-pun langsung menautkan keningnya secara otomatis. Dia benar-benar terkejut.

Akhirnya, Jiyong pergi sembari menggiring sebuah koper coklat yang mengekor di belakangnya. Dia tersenyum dan melambaikan tangannya ke arah Dara. Sayang, gadis itu membuang wajahnya dengan lemah. Alhasil, Bom yang mengira jika Jiyong memberikan senyum dan lambaian tangan padanya-pun langsung membalas dengan senyuman yang merekah bak bunga. Jiyong memasang raut wajah muramnya diiringi sebuah senyum yang dipaksakan sebelum masuk ke dalam mobil.

Senyum Bom memudar setelah Jiyong mulai hilang dari pandangannya. Dengan cepat, ia menoleh ke belakang. Mata tajamnya yang siap membunuh menatap Dara ganas. Karena Dara, dirinya tidak bisa bermesraan lebih lama dengan Jiyong. Karena Dara juga, perhatian Jiyong tidak diberikan hanya untuknya. Bahkan, dengan entengnya Jiyong berkata jika Bom harus menjaga Dara, gadis yang dibencinya dengan baik. Bukankah itu sudah cukup membuat amarah Bom meluap-luap.

Bom berlari menaiki tangga, kemudian menghampiri Dara yang hendak meraih pintu kamarnya. Dia menggenggam rambut saudara kembarnya kuat-kuat hingga tertarik ke arah belakang. Kini, Dara dapat melihat raut wajah kesal Bom dengan sangat jelas. “Berani sekali kau mendekati Jiyong. Kau lupa pada kalimat yang kuucapkan padamu dihari-hari yang lalu?”

Dara mencoba melepaskan cengkraman Bom. “Aku tak-” Belum selesai Dara berbicara, Bom lebih dulu menariknya masuk ke dalam ruang kamar. Di dalam sana, gadis kejam itu terus saja tertawa dengan terbahak-bahak. Ia mengunci pintu agar tidak ada seorangpun yang dapat menguping atau mengintipnya. Bom kembali pada tubuh Dara yang terpojok di dekat jendela kamarnya. Ia sudah tak dapat mengontrol emosi yang sudah melampaui batas kesabarannya. Tidak, Dara tak bisa dimaaf-kan untuk saat ini. Cukup sudah, gadis ini akan mati ditangannya hari ini juga.

“Kau mati hari ini juga, Jung Hye Ji.” Seringai Dara memojokkan tubuh Bom dengan tangan kiri-nya memegang pisau dapur yang sangat tajam. Dara meraba-raba tepian jendela. Dia takut. “Ucapkan selamat tinggal pada dunia yang telah membiarkanmu menetap di atasnnya. Ucapkan selamat tinggal juga pada kemurkaanku yang membuat nyawamu melayang beberapa menit lagi. Dan ucapkanlah ‘hai’ pada malaikat yang akan membuangmu ke neraka karena kau telah merebut Jiyong dariku.”

Seunghyun yang melihat hal ini secara langsung, tak akan pernah bisa membiarkan Bom menusuk Dara dengan pisaunya begitu saja. Ia harus segera bertindak karena Tuhan telah memerintahkannya untuk menjaga Dara dengan kekuatan apapun yang dimilikinnya. Jika tidak, Seunghyun tak akan bisa melakukan hal lain selain membawa Dara ke alamnya yang baru. Kenapa? Karena kesempatan hidup itu telah ditutup tepat di depan matanya. Seunghyun tak akan membiarkan semuanya terjadi.

***

“Jiyong, ada apa? Ibu lihat kau begitu tegang.” Nyonya Kwon mengusap rambut anaknya.

“Ibu, kurasa aku tidak bisa pergi ke Swiss hari ini. Aku tidak bisa pergi jauh dari rumah meski hanya seminggu. Ada suatu hal yang sangat mengganjal di dalam hatiku. Aku mengkhawatirkan Hye Ji. Um, maaf, ini mungkin sedikit mengganggu dan aku yakin ibu akan marah padaku, terlebih ayah yang sangat ingin pernikahanku berjalan dengan lancar. Tapi sungguh, aku harus pergi saat ini.”

Nyonya Kwon mengerutkan keningnya. Ia tampak sedikit kesal dengan keputusan bodoh yang di-ambil oleh putra kesayangannya. Jiyong lebih memilih pulang untuk melihat keadaan seorang teman dari pada mengurus acara pernikahannya yang akan berlangsung dua bulan lagi. Masih lama memang, tapi lebih baik menyiapkan segala sesuatunya dari awal. Namun, Jiyong tidak memikirkan hal itu. Dia hanya ingin segera pulang, kemudian melihat keadaan Dara dan memeluk erat-erat gadis itu.

“Kau bisa membedakan siapa kekasihmu dan siapa temanmu? Ibu tak bermaksud melarangmu dekat dengan Hye Ji, tapi kau harus tahu dimana tempatmu seharusnya berada sekarang. Swiss, hanya ada satu tempat tujuanmu hari ini. Jiyong, ibu bersikap baik padamu. Mungkin, jika kau bebicara mengenai hal ini pada ayah, ia pasti akan memukulmu.” Ujar Nyonya Kwon mengecup kening Jiyong.

Jiyong melepaskan genggaman Nyonya Kwon yang sangat erat. Ia tersenyum simpul sejenak, kemudian segera berlari di tengah padatnya orang-orang yang hendak bepergian. Dia tak peduli pada kopernya yang berisikan barang-barang penting. Di otaknya, ia hanya memikirkan satu nama, Hye Ji. Bandara yang begitu besar dengan banyak kumpulan manusia membuatnya kesusahan mencari jalan keluar. Mau tak mau, Jiyong harus sedikit menurunkan rasa gugup dan khawatirnya agar ia bisa berpikir, bagaimana caranya mencari jalan keluar dengan cepat.

Jiyong membutuhkan bantuan Tuhan sekarang. Entah mengapa, tiba-tiba, Jiyong langsung me-mikirkan Dara saat ada sebuah bayangan berwarna hitam melintas dihadapannya. Saat itu juga Jiyong merasakan sebuah suara yang masuk ke dalam telinganya, suara seorang laki-laki yang terdengar mengerikan. Laki-laki itu hanya mengucapkan satu kata, yaitu ‘Hye Ji’. Jiyong yakin, ia tak sedang tidur dan bermimpi. Ini nyata. Ya, Jiyong harus pulang.

Jiyong menutup pintu mobilnya dan segera menancap gas. Ia mengendarai mobil dengan tingkat kecepatan yang sangat tinggi. Jiyong tak berpikir sebelumnya, apa yang akan terjadi jika mobilnya tergelincir es di jalanan. Mungkin saja, ia akan bernasib sama seperti Dara. Tapi, Tuhan berkehendak lain dan Seunghyun juga membantunya dari kejauhan. Jiyong selamat sampai tempat tujuannya.

Laki-laki itu membuka pintu rumahnya dengan tergesa-gesa. Nafasnya terengah-engah karena dia terlalu panik. Rumah itu sangat sepi, seperti tak ada tanda-tanda kehidupan di sana. Bibi Kim dan pengurus rumah lainnya juga tidak terlihat. Jiyong curiga, mungkin Bom meliburkan mereka semua. Dia hanya bisa mendengar suara kicauan burung gereja yang tiba-tiba beterbangan di pekarangan rumah. Terakhir, ia kembali melihat sebuah bayangan hitam yang berjalan menuju lantai atas. Bayangan itu seakan-akan ingin memperlihatkan sesuatu kepada Jiyong.

Sebenarnya, bayangan itu adalah Seunghyun. Ia memberi intruksi pada Jiyong agar laki-laki itu mau mengikutinya. Seunghyun juga yang menampakkan dirinya di bandara dan membisikkan nama palsu Dara ke telinga Jiyong. Ia hanya ingin membantu Dara. Karena Jiyong tak bisa melihatnya, maka ia lebih memilih untuk menjadi bayangan tidak berbentuk. Saat ini Jiyong tengah mengikutinya. Langkah Seunghyun berhenti tepat di depan pintu kamar Dara. Ia kemudian menghilang.

Sementara itu, Dara masih dalam keadaan terpojok. Pisau yang digenggam erat-erat Bom itu telah mendekati permukaan kulit wajahnya. Bom akan membuat Dara merasakan sakit yang tiada henti. Ia juga membuat kematian Dara berjalan sangat lambat agar semua rasa sakit yang telah ada sudah pasti membekas dengan amat-amat sakit. Tubuh Dara bergetar hebat. Gadis itu memperlihatkan mata bulatnya. Mata yang berkaca-kaca dengan lensanya yang berwarna hitam pekat. Bulu mata dengan warna senada yang begitu lentik nan anggun. Satu lagi yang membuat mata itu memiliki ciri khas-nya tersendiri. Sebuah mata dengan kelopak yang berukuran sedang. Mata itu lain dari yang lain. Kalimat ini akan terus terulang. Tak ada yang memiliki mata seperti itu kecuali Bom dan saudara kembarnya. Hanya ada satu kata untuk sepasang mata itu, sangat indah.

Tiba-tiba, Bom menjatuhkan pisau yang digenggamnya. Dia tercekat setelah menatap mata Dara dari jarak yang sangat dekat. Mata yang sama seperti miliknya. Bom tak akan berhenti bertanya, siapa ‘Hye Ji’ sebenarnya? Gadis itu semakin mirip dengan saudara kembarnya jika dilihat secara seksama.

Bom tidak sengaja menggeser pisau itu dengan kakinya hingga terseret jauh tersembunyi di bawah tempat tidur Dara. Bom duduk di atas kasur berwarna soft pink itu dengan tatapan mata kosong. Ada suatu hal yang mengganjal saat ia menatap bola mata hitam milik Dara. Di dalamnya, terdapat sebuah ketakutan yang amat sangat, sama seperti saat kecil dulu Bom pernah melakukan hal sama pada Dara. Meskipun dulu ia hanya bergurau, tapi Dara sangat takut dan gadis itu memiliki ekspresi yang sama.

Keheningan menyelimuti kamar Dara dalam waktu yang lama. Bom meremas kepalanya. Ia tidak ingin melihat sinar mata Dara lagi yang mengingatkannya pada seorang saudara kembar yang begitu dibencinya. Bukan merasa bersalah atau apa, Bom semakin marah pada Dara. Bahkan, ia berjanji, tak akan membiarkan Dara masuk ke dalam surga. Bom senantiasa berdoa agar malaikat penjaga neraka membuang Dara ke tempat yang penuh dengan siksa dan kepedihan itu.

Sedangkan Dara, ia sedang duduk di tempat yang sama. Ia tak berani beranjak sampai Bom keluar dari dalam kamarnya terlebih dahulu. Mungkin, jika Dara bergerak meskipun hanya satu inci, dengan cepat, Bom akan mengambil pisau itu kembali dan merobek kulit saudara kembarnya sampai gadis itu kehilangan nyawa. Maka dari itu, Dara lebih memilih untuk diam dan menunggu siapapun datang untuk menolongnya. Ia tidak tahu sepenuhnya, kenapa Bom tiba-tiba membabi buta seperti ini.

Pintu kamar Dara tiba-tiba terbuka. Jiyong berdiri di baliknya. “Ada apa?!”

“Jiyong!!” Bom dan Dara terkejut secara bersamaan. “Bagaimana bisa-” Tambah Bom.

“Perasaanku tidak enak sejak aku dalam perjalanan tadi. Aku sudah memutuskan untuk tidak pergi ke Swiss. Aku akan tinggal disini.” Jiyong berjalan menghampiri Bom. “Tenanglah, Dara, acara per-nikahan kita akan tetap berlangsung dengan lancar.” Ia mengusap ujung kepala Bom lembut. “Hye Ji, apa yang terjadi padamu? Kenapa kau duduk memojok seperti itu? Apa kau baik-baik saja?”

Tidak, Dara tidak dalam kondisi baik saat ini. Ia benar-benar takut pada saudara kembarnya, Bom. Gadis itu hampir saja terbunuh. Jika Jiyong tidak datang, mungkin Dara telah kehilangan nyawa. Jujur, Dara tak mengerti sepenuhnya, hal apa yang mengganggu pikiran Bom hingga ingin membunuhnya. Padahal Bom tahu sendiri bahwa Dara tak mengadukan apapun pada Jiyong. Hanya pertanyaan itu yang saat ini sedang berputar-putar di dalam otak Dara. Ia belum menemukan jawaban.

Jiyong berjalan mendekatinya. Ia meraih bahu Dara, kemudian membantu untuk berdiri. Saat ini, Dara dalam posisi yang sama seperti Jiyong, hanya saja ia menyembunyikan wajah di balik pundak laki-laki itu sembari menatap Bom. Ia membenci tatapan Dara yang seakan-akan ingin mengata-kan pada Jiyong, jika Bom yang bersalah. Andai saja, Jiyong tidak datang dan lebih memilih untuk pergi ke Swiss, nyawa Dara mungkin telah melayang beberapa menit yang lalu. Namun, Jiyong telah datang dan tampak berdiri di pihak Dara. Maka, Bom tidak bisa berbuat apapun selain menunduk lemah.

***

Bunyi cipratan air terdengar begitu jelas di tengah kesepian. Mungkin terdengar sedikit aneh jika mendengar tempat umum seperti Sungai Cheonggyeche yang biasanya ramai itu menjadi sangat sunyi. Meskipun musim dingin tiba, orang-orang tidak pernah absen untuk mengunjunginya. Tapi, sekarang tempat itu lebih pantas disebut makam. Hanya ada beberapa orang yang melintas, itupun tidak terlalu sering. Mungkin hanya lima atau enam kali dalam sehari. Sebenarnya, tak ada penyebab terntentu di-balik semua keanehan ini. Orang-orang tidak mau mengunjunginya karena tempat itu menakutkan.

Disebut menakutkan karena suhu di sekitar Sungai Cheonggyeche sangat berbeda dari tempat lain-nya. Di sana suhu udara tampak lebih dingin dari biasannya. Semua orang bisa merasakan perbedaan-nya disaat perubahan suhu udara itu terjadi secara tiba-tiba. Selain itu, di Sungai Cheonggyeche ada seorang pengunjung yang tak pernah beranjak pergi dari tempatnya. Siapa orang itu jika bukan Dara. Maka, orang-orang menggabungkan hal-hal mistik yang berhubungan dengan sungai itu dan Dara.

Dan, jika ada Dara, maka tak akan adil jika Jiyong juga tak ada di sana. Ya, Jiyong memang tidak ada di dekat Dara. Melainkan, lebih memilih memantau gadis itu dari jauh. Jiyong selalu mendatangi sebuah café yang menurutnya familiar. Dia duduk di sana sepanjang hari untuk mengamati Dara dari jarak jauh. Jiyong akan datang pagi-pagi dan pulang larut malam. Sementara itu Dara selalu berdiam diri, bukan karena tak tahu Jiyong mengawasinya, tapi ia hanya ingin menyerah-menyerah melanjut-kan persyaratan itu. Ia tak ingin bertemu dengan Jiyong maupun Bom lagi. Dara hanya ingin pulang.

Disaat sedang terlarut dalam pikiran gilannya, jika ia ingin pulang bersama Seunghyun, tiba-tiba seorang laki-laki yang begitu dikenalnya kembali muncul tepat di sampingnya. Laki-laki itu terdiam cukup lama dalam duduk rapinya. Ia tidak mengeluarkan kalimat apapun. Dara juga tak ingin memu-lai pembicaraan karena untuk menatap wajahnya saja ia sudah tidak sanggup. Selain itu, Dara sangat paham dan mengerti, pembicaraan ini akan berakhir dengan pertanyaan, kenapa ia bersikap dingin.

“Bosan denganku?” tanya Jiyong dengan satu mata menyipit. Dara menggelengkan kepalanya. “Marah padaku?” Jiyong kembali bertanya dan kembali mendapatkan satu jawaban yang sama, yaitu gelengan kepala lemah dari Dara. “Atau membenciku?” lagi-lagi Dara hanya menggeleng. “Jika kau tidak bosan denganku, tidak marah padaku dan tidak membenciku, kenapa kau tak mau menjelaskan semuanya?” Dara menggeleng karena ia hanya memiliki satu jawaban. “Baik, tatap mataku sekarang!” Perintah Jiyong dengan ekspresi sungguh-sungguh. “Jawab satu per satu! Aku ingin mendengarnya.”

Dara tidak menoleh apalagi menatap Jiyong, ia diam dan menutup mulutnya. Hanya menggeleng saja yang dilakukannya. Jiyong benar-benar tidak tahan sekarang, dan ia ingin mendapatkan satu jawaban pasti dari Dara. Jiyong menyentuh kedua pipi merah muda Dara menggunakan sepasang tangannya, lalu memutar kepala gadis itu ke arah samping hingga menghadap wajahnya. Dara masih belum siap menatap Jiyong, oleh karena itu ia memejamkan matanya rapat-rapat. Jiyong mendesah. Ia me-mohon pada Dara agar gadis itu mau membuka matanya barang hanya beberapa menit. Alhasil, gadis itu pun membuka matanya secara perlahan-lahan hingga wajah Jiyong tampak begitu jelas.

Tepat di hadapannya, Dara bisa melihat dengan detail, bagaimana fitur wajah sempurna Jiyong. Ia juga bisa melihat sebesar apa rasa kekhawatiran Jiyong padanya. Dara melihat jelas mata bersinar Jiyong yang selalu ingin dimilikinnya. Ia dapat melihat bibir Jiyong yang tampak menyunggingkan senyum tipis. Dara juga dapat melihat hidung mancung Jiyong yang terkena butiran salju. Butiran salju itu turun saat Dara meneteskan air matanya. Tatapan Dara hanya terfokus pada mata Jiyong.

Jiyong mengerutkan keningnya. “Dapatkah kau menjawab pertanyaanku dengan jelas?”

“Aku,” Dara mulai mengeluarkan suaranya yang terdengar sangat lemah. “Aku tak pernah bosan denganmu, aku tidak marah padamu dan aku juga tidak pernah membencimu. Jujur, aku ingin menga-takan semuanya, tapi sayangnya aku tak bisa, GD. Ada suatu hal yang membuatku takut. Sungguh, aku tidak sanggup melakukannya. Ini terlihat aneh memang, tapi harus bagaimana lagi? Aku takut.”

“Seberapa besar ketakutanmu?” Jiyong kembali bertanya.

“Sangat besar sampai aku benar-benar menjadi lemah karenanya.”

“Kau tak mau berbagi denganku?” Tanya Jiyong dan Dara kembali menggelengkan kepalanya. Jiyong mendesah. Aish, ia benar-benar muak dengan satu jawaban itu. Jiyong menarik nafasnya yang berat. “Apakah ketakutanmu ada hubungannya denganku?” Dara mengangguk lemah. “Hye Ji, kata-kan padaku, siapa yang membuatmu takut, dan jelaskan padaku, kenapa kau takut padanya. Sekarang aku akan berjanji untuk tidak membencimu setelah kau bercerita. Katakan padaku dan aku akan men-datangi orang itu, memberinya pelajaran agar ia tidak membuatmu seperti ini lagi. Siapapun dia.”

“Maafkan aku, Ji. Aku benar-benar takut dan aku tidak ingin berbagi.”

“Ceritakan padaku!”

“Maaf.”

Dara memalingkan wajahnya hingga tak lagi menghadap Jiyong. Ia mengeluarkan kakinya yang tak beralas dari dalam air sungai. Warna kaki Dara sangat pucat. Kini, Dara duduk membelakangi Jiyong. Ia tidak ingin menatap wajah laki-laki itu lagi. Cukup, Jiyong telah membuatnya semakin takut. Pikiran Dara berkata, jika ia menceritakan semuanya pada Jiyong secara runtun, lalu bukankah laki-laki itu akan mendatangi siapa yang membuatnya takut. Orang itu adalah Bom. Jiyong akan memarahi Bom, itu-pun jika dia benar-benar melakukannya. Misalkan hal itu terjadi, tentu saja Bom pasti tahu jika Dara yang menceritakan semuanya kepada Jiyong. Mungkin, Dara bisa selamat dari kematian yang menimpanya kemarin lusa. Tapi, hal itu tak akan terulang untuk yang kesekian kalinya.

Salju turun deras karena tangis Dara semakin menjadi. Sekarang, Jiyong akan membuat Dara mena-tapnya kembali. Entah itu dengan cara apapun. Bahkah, Jiyong rela membiarkan dirinya mati kedinginan. Jiyong melepas mantel juga syalnya yang berwarna hitam, kemudian memasangkannya pada tubuh Dara. Spontan, Dara yang mendapat rangsangan dari tangan Jiyong itupun menoleh. Ia membelalakkan matanya lebar-lebar. Dara sepenuhnya tahu, udara sangat dingin saat ini. Tak berhenti di sana, Jiyong mulai melepas sarung tangan coklatnya dan melemparnya begitu saja. Dara yang melihat tingkah Jiyong menjadi pun semakin membelalakkan matanya. Ia berdiri-meraih bahu Jiyong.

Laki-laki itu menangkis tangan Dara. “Hye Ji-ya, jika kau tidak mau menjelaskannya, lebih baik aku mati kedinginan. Ini sangat penting untukku karena-” Ucapan Jiyong terputus saat angin dingin menerpa tubuh tingginya hingga hampir terjatuh ke arah samping. Sebenarnya, ia bukan laki-laki lemah. Ia hampir terjatuh karena angin itu melemaskan sendinya. “Aku tak ingin membencimu.”

“Dengarkan aku, GD. Hentikan kegilaanmu dan pakai jaketmu kembali.” Dara berteriak. “Ji, jangan melakukan hal konyol seperti ini. Benci aku jika kau memang ingin membenciku. Satu hal yang harus kau ketahui, aku tidak akan menjelaskan apapun. Tolong, mengertilah!!” Gadis itu mulai merangkul tubuh Jiyong. Dara meletakkan satu tangannya di leher Jiyong. Ia memeluk laki-laki itu.

“Tidak mau! Aku tak ingin melakukannya sampai kau berjanji.”

Dara mengangguk-anggukan kepalanya. “Baiklah, baik, aku berjanji padamu, sungguh.”

Tangan Dara segera bergerak untuk menyeka air matanya. Dara menenangkan dirinya agar udara dingin yang ada di sekitarnya segera berganti menjadi udara yang lebih hangat. Dara mengatur nafas-nya, berusaha mengosongkan pikirannya dan menghilangkan bayang-bayang Bom sesaat. Ia juga be-rusaha meredakan ketakutannya meskipun itu hanya akan berjalan beberapa menit saja. Saat itu juga, hujan salju mereda, angin dingin itu menghilang seketika dan udara berubah menjadi lebih hangat.

Gadis itu menuntun Jiyong meninggalkan Sungai Cheonggyeche. Ia membawa Jiyong ke sebuah taman kecil yang terletak tak jauh dari sana. Dara membersihkan bangku panjang itu dari salju yang semula membentuk sebuah gundukan besar. Setelah itu, Dara berlari menuju café untuk membeli satu gelas hot chocolate kesukaan Jiyong. Dan, tak lupa Dara juga membeli satu kantong plastik penuh makanan ringan dari toko terdekat yang ada. Hanya satu tujuan Dara, menghangatkan tubuh Jiyong.

Setelah dirasa cukup, Dara kembali menghampiri Jiyong yang duduk bersedekap sebab kedinginan. Dara meletakkan kantong plastik dan hot chocolatenya di bagian bangku yang lain. Kemudian, ia menutup bagian punggung Jiyong dengan jaket yang ada di tangannya. Dara juga melilitkan sebuah syal berwarna putih pada leher Jiyong. Ia duduk di samping laki-laki itu dengan jarak yang dekat. Satu tangannya bergerak mendekap tubuh seseorang yang ada di dekatnya. Dara menyendarkan kepalanya di bahu Jiyong. Satu tangannya yang lain mengusap pipi laki-laki itu. Jiyong membalas dekapan Dara. Dia melingkarkan tangannya pada pinggang gadis yang dikenalnya bernama Hye Ji.

Sebenarnya, Dara sangat menyayangi Jiyong, sama seperti ia menyayangi Bom dan kedua orang tuanya. Di sisi lain, Dara takut pada Jiyong, sama seperti ia takut pada Bom dan juga kematian yang sempat menghantuinya beberapa waktu lalu. Dara benar-benar tak ingin bercerita jika tidak berjanji sebelumnya karena ia tak akan membiarkan Jiyong mati kedinginan dan menyusulnya-yang sejujur-nya telah lama tiada.

“Aku akan menjelaskannya sekarang.” Ujar Dara yang masih memeluk Jiyong.

“Ceritakan padaku agar aku bisa mengetahui siapa orang yang membuatmu seperti ini.”

“Baik, aku akan mencoba berbicara sejujur mungkin.”

Dara mulai bercerita. Dia berkata semua perubahan sikapnya berawal di hari dimana Jiyong pergi ke Gereja untuk mengurus acara pernikahannya dengan Bom. Gadis itu benar-benar menceritakan semua kebenaran yang terjadi, tanpa ada satu hal pun tertinggal. Tangan Dara meremas-remas jaket Jiyong saat ia mulai menyebut nama Bom. Kalimatnya sempat terhenti selama beberapa detik. Namun, sesaat kemudian, Jiyong mengusap ujung kepalanya sembari memberikan sebuah senyuman yang menenagkan penuh rasa damai membuat Dara kembali bercerita.

Tak hanya itu, Dara juga mengatakan kepada Jiyong jika Bom memberikan beberapa poin-poin yang harus dilakukannya. Dan, apabila suatu saat nanti ia melanggar, maka Bom akan membuat nyawanya menghilang. Mendengar hal penjelaskan Dara, Jiyong mengerutkan kening hingga kedua alisnya bertautan. Laki-laki itu menggelengkan kepalanya berkali-kali. Dia tidak percaya pada semua ucapan Dara yang seakan-akan mengatakan-kekasihnya-sangat-kejam. Jiyong melepas cengkraman tangan Dara yang sedari tadi berdiam di bahunya. Sungguh, ia masih belum bisa percaya.

“Sudah kukatakan sebelumnya, kau pasti tak akan percaya padaku.” Dara tersenyum kecut.

“Hye Jiah, Dara adalah kekasihku dan aku tahu, dia gadis yang sangat baik. Dara tak-”

“Aku tidak memaksamu untuk percaya. Sekarang, aku telah menjelaskannya padamu.”

Satu pertanyaan berputar-putar. Benarkah yang dikatakan Dara? Jiyong tidak percaya, tak pernah ada sejarah yang mengatakan bahwa kekasihnya sejahat itu. Dara bukan tipe orang yang pencemburu dan melarangnya berteman atau dekat dengan siapa pun. Tidakkah segalanya tampak berbanding jauh? Jiyong memang merasa agak sedikit asing dengan Dara yang sekarang. Tapi, ia memikirkan segala sesuatu yang positif-misalnya-mungkin karena mereka sudah lama tak bertemu.

***

 

 

 

 

 

 

 



 TBC

next >>



Note : Hai, readers! Hihi… baru kasih sambutan. Aku mau ngucapin terima kasih kepada Kak Panda dan Kak Zhie juga Kak Chysca. Berkat mereka aku bisa gabung lagi. Um, aku juga mau ngucapin terima kasih kepada para readers yang senantiasa memberi comment dari part 1 sampai sekarang. Aku selalu menunggu comment kalian. Satu comment sangat berharga, untuk masukan, pesan atau pun kritik. Aku menghargai kalian, readers^^ Oh iya, karena aku udah kelas 9, mungkin bakal jarang post. Tapi, semoga ff ini bakal selesai dengan sempurnya. Then, don’t be silent readers. I hope you like it. Semoga ide-ideku yang ada di ff ini bisa menghibur kalian. Thankyou so much. Big hug and big love for all of you.

16 thoughts on “[Series] My Everlasting Winter – Part 5

  1. huaa kayaknya ini bakalan banyak chapternya :’) suka bgt sama penggunaan kalimat nya 🙂 over all bagus bgt ❤
    next juseyoo smoga cepet update ya.. selalu penasaran soalnya 😀

  2. Wahh makin asik nih crtnya
    Bom makin nyebelin lo
    Mau bunuh dara segala umtung jinya pulang
    Giamna deh ji tu
    Kisah cinta mrka gmna bisa lanjut gak ni?
    Bakal percaya gak ya jinya
    Next

  3. Akhrny …. Kebenaran trungkap jg. Haeis… Dan brharap bisa happy ending. Hahahaha… Keajaiban mngkin. Dara hidup. Haha 😀

Leave a comment