Don’t Be Perfect [Oneshoot]

Untitled-1 copy

Author: ElsaJung | Cast: Kwon Jiyong/G-Dragon – BigBang, Sandara Park/Dara – 2NE1, Choi Seunghyun – BigBang, Park Bom – 2NE1 | Genre: Romance | Rating: Teen | Lenght: Oneshoot

.

.

.

.

.

“Because being weird is better than being perfect”

Don’t Be Perfect

Dalam hidup, semua yang diikuti kata ‘terlalu’ hanya akan berakhir memuakkan. Sama seperti saat seseorang terlalu cantik, maka orang-orang akan mencari cara untuk menjatuhkannya. Seperti saat seseorang terlalu jelek, maka orang-orang akan meluangkan waktu untuk merendahkannya. Seperti seseorang terlalu pintar, maka orang-orang akan menyalahkannya karena kepintarannya, berkata bahwa dia tahu akan segalanya—membuat dia tampak seperti orang berwatak sombong. Lalu, seperti saat seseorang terlalu baik, maka orang-orang akan senantiasa menyusun rencana untuk membuatnya tampak buruk. Semacam itu penggambarannya. Sederhana, bukan?

Dan, Dara memiliki masalah serius dengan kata ‘terlalu’.

Permasalahan Dara tidak terletak pada terlalu cantik, terlalu jelek, terlalu pintar, atau terlalu baik. Permasalahan itu pun tidak terletak padanya, tapi pada Kwon Jiyong, kekasihnya. Mungkin jika Dara memiliki lebih banyak waktu luang, ia akan mendaftarkan nama Jiyong ke dalam rekor dunia dengan kategori orang paling aneh, idiot, berisik, gila dan menyebalkan se-dunia. Dara yakin Jiyong akan mendapat penghargaan berlipat ganda karena si jangkung itu menjadi juara di semua kategori yang ada.

Kwon Jiyong adalah laki-laki yang terlalu aneh, terlalu idiot, terlalu berisik, terlalu gila dan terlalu menyebalkan. Dia tidak lebih dari seorang pengacau yang membuat hidup Dara serasa berada di lapisan neraka paling bawah setiap Jiyong berada di dekatnya. Mengerikannya, Dara tidak bisa mendepak Jiyong dari hidupnya semudah menyingkirkan seekor semut dari makanannya. Jiyong bahkan lebih lengket dari permen karet. Lebih menyebalkan dari guru matematika. Lebih berisik dari terompet di malam tahu baru. Dia spesial.

Ada beberapa alasan yang membuat Dara tidak bisa menyingkirkan Jiyong. Eh, bukan. Bukan menyingkirkan Jiyong, tapi memperbaiki kepribadian unik Jiyong menjadi seorang laki-laki sempurna. Dara tidak mungkin menyingkirkan Jiyong karena Jiyong tengah berstatus sebagai kekasihnya (terbatuk)—ya, kekasihnya. Dara sendiri tidak bisa memastikan, menjadi kekasih seorang Kwon Jiyong termasuk dalam kategori sial atau beruntung. Semua berjalan begitu saja. Jiyong dan Dara saling menyukai, mereka menjadi sepasang kekasih dan keanehan terus terjadi. Keanehan yang membuat otak memanas setiap waktu.

Keanehan Jiyong yang paling diingat Dara adalah ketika Jiyong berhasil membuat Dara harus menahan rasa malu selama berjam-jam di sebuah pesta dua bulan lalu. Di pesta itu, setiap orang diperbolehkan datang didampingi pasangannya. Tentu saja Dara datang bersama Jiyong. Sepertinya mengajak Jiyong ke acara penting semacam itu adalah kesalahan terbesar yang pernah dilakukan Dara selama hidupnya. Bagaimana tidak? Di pesta yang bertemakan Fabulous and Glamour itu Jiyong memakai pakaian serba hitam. Mungkin akan baik-baik saja kalau hanya berwarna hitam. Tapi, tema Jiyong benar-benar menyimpang. Dia datang menggunakan ripped jeans, sneakers, kaos hitam dan snapback dengan kalung rantai melingkar di lehernya. Jiyong berdandan bak seorang rapper. Hebat, bukan?

“Ibu,” Panggil Dara dengan mulut penuh busa pasta gigi.

Nyonya Park berlarian menghampiri Dara dari dapur dengan spatula di tangan kanannya. “Sandara Park, apa perkataan ibu belum jelas?” Pekiknya histeris. “Jangan terbiasa berjalan kesana-kemari dengan mulut penuh pasta gigi! Itu tidak sopan!”

Dara berdecak. “Ibu, apa perkataanku belum jelas?” Gadis itu melipat tangannya di depan dada. “Jangan terbiasa berjalan kesana-kemari sembari membawa spatula panas! Itu membahayakan!” ujarnya balik menasihati ibunya.

“Kau ini!” Nyonya Park berkata gemas hampir memukul Dara menggunakan spatulanya.

Dara terkekeh. “Aku hanya bercanda, ibu.”

“Kenapa kau memanggil ibu?”

“Ah, iya! Ibu tahu di mana piama yang biasa kukenakan?”

“Piama pink polkadot yang selalu kau pakai sejak SMP?”

“Iya, benar. Piama yang kubeli saat liburan semester tujuh tahun lalu. Ibu melihatnya?”

Nyonya Park menengadahkan kepalanya, mencoba mengingat-ingat. “Tadi sore saat kau pergi ke supermarket, Jiyong datang dan meminta izin untuk meminjamnya. Entahlah, ibu sedang sibuk, jadi ibu meng-iyakan karena setahu ibu kau hanya memakai piama itu setiap hari Sabtu.”

Seketika Dara menyemburkan busa pasta gigi yang sempat memenuhi isi mulutnya, lengkap dengan pasta gigi yang sebelumnya diapit oleh kedua bibirnya.

“Hei!” pekik Nyonya Park melangkah mundur, menghindari semburan maut itu.

“Sudah kuduga, tidak mungkin si idiot itu bisa tenang dalam jangka waktu lama.” Dara meremas kaos putih berukuran dua kali lebih besar dari tubuhnya dengan penuh kekesalan. “Ibu, aku pergi sebentar.” Tukas Dara meraih segelas air untuk berkumur, kemudian melesat pergi.

“Dara! Ganti dulu pakaianmu! Kau tidak mungkin pergi ke rumah calon mertua dengan celana kebesaran dan baju lusuh itu! Kau bercanda, ‘kan?” Teriak Nyonya Park mengacungkan spatulanya.

Dara tak berbalik maupun mengindahkan ucapan ibunya. Ia terus berjalan sembari mengumpat sumpah serapah. Bahkan, Dara berjanji akan menguliti Jiyong hidup-hidup kalau sampai sesuatu terjadi pada piamanya.

Ke mana lagi tempat tujuan Dara selain rumah Jiyong? Yap! Mereka bertetangga. Rumah Dara dan Jiyong hanya dibatasi oleh taman kecil tempat biasa mereka bermain saat kecil dulu. Baik Dara maupun Jiyong saling mengenal sejak mereka masih berlarian dengan ingus yang menjuntai indah—seperti itulah kiasannya.

Dara segera berjalan menerobos pintu rumah Keluarga Park tanpa mengetuknya terlebih dahulu. Dia tidak butuh sopan satun saat ini karena orang tua Jiyong sedang mengunjungi kakak perempuan Jiyong yang dikabarkan akan menikah bulan depan atau lebih spesifiknya dua minggu lagi. Dara tahu, bukan hal yang baik berkunjung ke rumah seorang laki-laki di malam hari, menggunakan pakaian lusuh, tanpa permisi, apa lagi tidak ada siapa pun di rumah itu selain mereka berdua. Persetan dengan hal itu! Dara hanya ingin piamanya kembali. Toh, jika Jiyong berani macam-macam, Dara tak segan memukulnya sampai amnesia.

Di benaknya, Dara sudah memikirkan segala kemungkinan yang akan terjadi tentang apa yang dilakukan Jiyong pada piamanya. Jiyong tahu bahwa Dara sangat menyukai piama itu, oleh karena itulah Jiyong sengaja mencurinya. Baik, Dara bisa memaafkan Jiyong jika laki-laki itu mengambil barangnya yang lain. Entah itu boneka atau pakaian—kecuali piama itu tentunya. Entah Jiyong berniat menyobeknya, membakarnya, mencoret-coretnya, Dara tidak peduli. Asal bukan piama itu, amarah Dara tidak akan tersulut.

“KWON JIYONG!!” Dara memekik tajam dengan suara berpuluh-puluh oktafnya.

Seseorang keluar dari kamar mandi sembari mengusap rambut menggunakan handuk putih kecil.

“Sandara Park!” Jiyong meringis lebar saat seseorang yang dirindukannya akhirnya datang.

Dara melangkah kesal menuju tempat tidur Jiyong, lalu duduk di bagian tepinya. “Kembalikan piamaku! Kau mencurinya!” ujarnya to-the-point.

Bukannya segera bertindak saat melihat Dara yang bertingkah bak sapi hendak mengamuk, Jiyong malah berjalan santai, memosisikan tubuh berdiri di hadapan Dara. “Setidaknya kau harus memakai pakaian yang lebih baik saat berkunjung ke rumah calon suamimu.”

Astaga, Jiyong dan ibu memang satu spesies. Dara menggumam dalam hatinya.

“Apa peduliku? Aku tidak suka menjaga image. Lagipula kau pernah melihatku memakai pakaian yang lebih parah dari ini. Tidak perlu berpura-pura terkejut, Ji.” Mata Dara memicing tajam, mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru ruangan. “Di mana kau menyembunyikannya?”

“Kukatakan padamu, kau tidak pantas memakai piama itu. Aku bisa membelikanmu raturan piama yang lebih baik dari piama kotormu.”

Jari telunjuk Dara menunjuk langsung mengenai ujung hidung Jiyong. “Jangan sekali-kali menghina piama bersejarah itu di hadapanku, mengerti?! Tidak mudah aku mendapatkannya. Bahkan kau tidak akan bisa menggantikan piamaku dengan benda apa pun.”

Memang benar. Bukan sesuatu yang mudah untuk mendapatkan piama itu. Bukan karena piama itu salah satu pakaian limited edition yang dirancang oleh desainer terkenal, tapi karena Dara tidak memiliki uang sepeser pun saat ia melihat piama itu digantung di sebuah kios. Orang tua Dara tinggal di luar negeri saat ia duduk di bangku SMP. Satu-satunya orang yang mengambil alih wewenang orang tuanya, termasuk masalah keuangan adalah kakak perempuannya—teman kakak Jiyong. Dara harus menjadi budak kakakknya selama satu bulan penuh sampai ia mendapat cukup upah untuk membeli piama kesayangannya. Benar-benar suatu sejarah yang memilukan.

“Berapa tinggimu saat SMP dulu?” tanya Jiyong mendesah—terdengar mengejek.

“158.” Dara menjawab dengan nada datar.

“Lalu, berapa tiggimu sekarang?”

Kali ini Dara yang mendesah—terdengar kesal. “160.” Ujarnya lirih.

“Berapa? Kurang keras.” Goda Jiyong.

“TINGGIKU 160! SEKARANG KEMBALIKAN PIAMAKU!!” bentaknya memekik tajam.

Bibir Jiyong membentuk huruf O. Ia mengangguk-angguk. “Jadi, kau ingin piamamu?”

Dara menepuk kening dengan telapak kanan sembari melenguh panjang. “Tentu saja! Apa lagi yang harus kulakukan di malam hari seperti ini, huh? Tidur denganmu? Yang benar saja!”

Jiyong menyeringai. Ya Tuhan, sepertinya ada sesuatu yang salah dengan ucapan Dara. Kata ‘tidur’ mungkin sedikit aneh, terlebih jika kata itu diterima oleh otak Jiyong. Si idiot gila itu selalu mencerna kata-kata seseorang dengan cara tidak normal dan menyusun hipotesanya sendiri. Dara tahu apa yang Jiyong pikirkan. Senyuman menggelikan itu! Mesum!

Jiyong mendekati Dara—ikut duduk di dekat gadis itu, kemudian melempar handuk kecil ke sembarang tempat. “Tidur? Kau boleh tidur di sini kapan pun kau mau. Tidak perlu menggunakan piama sebagai alasannya.” Detik berikutnya, Jiyong mendekatkan bibirnya ke telinga Dara, seakan hendak membisikkan sesuatu. “Lagipula orang tuaku tidak ada di rumah.”

Hal itu sontak membuat Jiyong mendapat takbam keras di keningnya. “Ya! Aku-tidak-akan-pernah-mau-menikah-denganmu-kalau-kau-terus-berpikiran-mesum-dasar-cabul!” Dara memukul-mukul punggung Jiyong, membuat laki-laki itu meringis kesakitan.

“Hei! Hei! Hentikan!” Pekik Jiyong berusaha melindungi tubuhnya.

“Kau menyebalkan!” Dara memberi satu pukulan terakhir yang lebih keras dari sebelumnya.

“Aku akan memberitahu ayahmu kalau kau baru saja menganiayaku, Sandara Park.”

Okay, lagi-lagi Jiyong bertingkah seolah-olah ia adalah tokoh utama berwatak protagonis yang disakiti oleh Dara—si-tokoh-antagonis. Jiyong memang hobi menjadi pihak yang teraniaya dan entah kenapa dia bangga akan hal itu.

“Ayah yang akan memarahimu karena kau mencuri piamaku. Apa kau membuat boneka yang mirip denganku, memakaikan pakaianku padanya, berpikir bahwa dia adalah aku, lalu kau berfantasi—memikirkan hal aneh? Dasar mesum!” Celetuk Dara menoyor kepala Jiyong.

Okay, dan Dara memang tampak seperti tokoh antagonis yang hobi menganiaya.

“Mana ada yang seperti itu?” Protes Jiyong tidak terima. “Aku hanya ingin kau datang.”

“Kwon Jiyong, jangan pikir aku sudah memaafkanmu, kau mengerti?”

Mereka bertengkar. Ya, benar. Seminggu lalu, Jiyong berhasil mempermalukan Dara untuk yang kesekian kali. Bukan di pesta, tapi di sebuah pusat perbelanjaan. Saat itu Dara ingin membeli satu set pakaian musim panas yang digunakan oleh manekin di pusat perbelanjaan itu. Jiyong bersedia menuruti keinginan Dara. Akan tetapi, Jiyong bersikeras membeli pakaian itu beserta manekinnya sekali. Dia merengek dengan suara husky-nya, memohon kepada seorang pelayan mengabulkan keinginannya. Jiyong berkata, jika Dara bosan dengan pakaian itu, Dara bisa kembali memakaikannya pada manekin dan memajangnya di kamar. Semua orang melihat dengan mata memicing. Ada dua hal yang terjadi—Dara malu dan manekin itu ada di rumahnya. Mulai saat itu Dara tidak mau berbicara atau pun menemui Jiyong.

“Kalau kau tidak mau memaafkanku, jangan harap piamamu akan sampai di tanganmu dalam keadaan utuh. ” Tukasnya memalingkan wajah, sok jual mahal.

“Kembalikan, Kwon Jiyong.” Dara bergumam geram.

“Apa kau tidak bosan dengan piama itu? Kau memakainya sejak SMP. Umurmu sekarang 21 tahun. Aku tahu, tubuhmu hanya bertambah tinggi beberapa senti, tidak sama sepertiku yang tumbuh tinggi menjulang. Tapi, kenapa bisa begitu? Apa kau memang terlahir pendek?” Jiyong malah bertanya-tanya pada dirinya sendiri. Dalam sekejap, Jiyong merasa sesuatu hendak menikamnya. Ya, wajah Dara sangat mengerikan. “Ehm,” laki-laki itu berdehem. “Aku akan mengembalikannya setelah kau memaafkanku dan memberiku satu ciuman.”

Dara sudah menduganya. Jiyong memang selalu melakukan segala sesuatu dengan pamrih—hanya pada Dara maksudnya.

“Kau benar-benar gila. Kau mau aku tidak mengajakmu bicara selama satu bulan?”

Okay, berarti kau mau aku merobek piamamu sekarang juga.” Ancam Jiyong melirik Dara dengan ekspresi wajah seakan berkata-aku-akan-menang-kali-ini.

Dara mendengus kesal. Masalah otak, dia memang jauh lebih pandai beratus kali lipat daripada Jiyong. Tapi, mengenai trik dan pembodohan otak, Jiyong lebih unggul satu juta kali lipat. Sudah dikatakan sebelumnya bahwa Jiyong adalah orang paling aneh, menyebalkan, idiot, berisik dan gila se-dunia. Bahkan Bom—teman Dara yang garang—pun masih lebih menyenangkan jika dibandingkan dengan Jiyong.

Dengan penuh paksaan, Dara mencondongkan tubuhnya mendekati Jiyong. Laki-laki itu menutup matanya rapat-rapat dengan guratan senyum menawan di bibirnya. Sial! Meskipun menyebalkan, pesona Jiyong tidak pernah bisa dihindari. Fokus, Sandara Park. Akhirnya Dara mengecup bibir Jiyong singkat. Sungguh. Tidak bisa dibayangkan betapa menyebalkannya mencium seseorang yang tengah dibencinya.

“Sudah.”

“Hei, kenapa sebentar?” Jiyong mengerucutkan bibirnya, kali ini sok manis.

“Baiklah, jangan anggap aku kekasihmu lagi. Aku tidak mau memiliki kekasih sepertimu.”

Jiyong menarik lengan Dara. “Ya! Aku bercanda.”

Dara meringis lebar, kemudian menepuk puncak kepala Jiyong. “Anak baik.” wajahnya kembali muram. “Sekarang kembalikan piamaku! Aku harus tidur menggunakan piama itu.”

“Tidak ada. Aku tidak membawa piamamu.” Jiyong mengangkat kedua bahunya.

“Lalu?” tanya Dara dengan rahang terjatuh.

“Kupikir kau gadis yang teliti.” Sebuah decakan mencelos dari balik bibir Jiyong. “Baguslah, awalnya aku tidak begitu yakin kau akan datang ke sini karena berhasil menemukannya. Aku menyembunyikannya di laci meja nakasmu. Aku hebat, ‘kan?” Ia tertawa lebar penuh rasa bangga.

Rahang Dara semakin jatuh. Ia bahkan dapat memasukkan Jiyong ke dalam mulutnya.

Dasar, orang aneh!

“Lupakan. Kau memang spesial, Jiyong.” Dara benar-benar malas meluapkan emosinya pada Jiyong karena laki-laki itu hanya akan memberi respon berupa senyuman lebar tanpa dosa. “Aku pulang. Aku sudah memaafkanmu. Kau mati besok.”

Dara melangkah pergi, menutup pintu kamar berwarna coklat tua—meninggalkan sang pemilik yang tengah tertawa dengan suara menggelegar. Dia menyebalkan! Dia pengacau ulung! Dia pembawa masalah! Dia membuat Dara gila!

***

“Taeng, aku hampir mati rasanya.” Dara menelungkupkan wajahnya di meja kantin.

Si gadis pirang rambut pendek bernama Bom itu mendesah dengan ekspresi penuh arti, antara kagum, tak percaya dan prihatin. “Jiyong membuat masalah lagi? Apa dia sehebat itu?”

“Aku benar-benar tidak tahu. Sebenarnya aku tidak memiliki sedikit pun niat untuk mengakhiri hubungan kami—mengingat aku sudah mengenalnya lebih dari separuh umurku. Dia baik, tapi terkadang menyebalkan. Aku tidak tahan lagi dengan sikapnya yang kelewat gila. Apa yang harus kulakukan pada si idiot gila itu?”

“Sebentar.” Bom menyodorkan tangannya tepat di wajah Dara. “Kuingat-ingat berapa kali dia membuat masalah selama dua tahun ke belakang.”

“Tidak perlu mengingat-ingatnya. Dia membuat masalah parah setiap hari dan masalah sangat parah setiap satu kali dalam seminggu.” Ujar Dara menunjukkan raut wajah datarnya.

“Maksudmu, dia sudah membuat 730 masalah dan 104 diantaranya adalah masalah yang parah?”

Dara mengangguk dengan tampang lusuh. “Belum lagi masalah yang dibuatnya sebelum kami belum menjadi pasangan kekasih.” Ia tampak pasrah.

Bahkan Bom pun tidak memiliki jalan keluar untuk permasalahan Dara tentang bagaimana gadis itu menghadapi Jiyong yang tingkat kegilaannya semakin ekstrem dari hari ke hari. Bagi Bom, idiot boleh saja, asal tidak berlebihan dan merugikan. Masalahnya, Jiyong sudah melewati batas. Ia saja yang tidak terlalu dekat dengan Jiyong beberapa kali mendapat dampak dari sikap aneh Jiyong. Lalu, bagaimana dengan Dara yang telah mengenal Jiyong sejak kecil, bertetangga dengan Jiyong, menjadi kekasih Jiyong dan bertemu dengan Jiyong setiap hari? Pasti tidak mudah dan melelahkan tentunya.

Tiba-tiba Bom teringat akan satu buku yang pernah dibacanya. “Bagaimana kalau kau memintanya untuk berubah? Kau jujur padanya kalau sikapnya membuatmu kewalahan. Kalian ini sepasang kekasih, kalau kau tidak jujur, dia tidak akan sadar akan sikapnya yang merugikan itu. Jelaskan padanya jika kau ingin kekasih yang normal. Ya, paling tidak dia bisa membuat dirinya lebih baik. Siapa tahu itu berhasil. Bagaimana?”

“Tapi, Taeng, dia memiliki pola pikir yang terlalu sederhana untuk mencerna ucapanku. Bahkan aku yakin, dia tak segan-segan menangis meraung-raung setelah mendengarku mengatakan kalimat kejujuran tentangnya. Mana mungkin aku setega itu?”

Bom benar-benar tak habis pikir. “YA! Mau sampai kapan, huh?” Pekiknya menggebrak meja. “Apa kau mau rambutmu beruban hanya karena tingkah gilanya?! Kau mau menjadi nenek-nenek sebelum waktunya, sementara Jiyong masih segar bugar dengan wajah baby face-nya?! Kau mau aku membunuhmu?!”

“Tentu tidak. Hanya saja-”

“Jangan mengeluh di hadapanku kalau kau tidak mau berterus terang padanya! Asal kau tahu saja, mentalku ini serasa tersiksa, Sandara Park.” Kadar kesabaran Bom sampai di titik tertinggi. Sabar. Sesuatu yang membuatnya muak. “Aku tidak tahu harus prihatin atau justru kesal padamu.” Gadis itu mengibaskan rambutnya, gerah.

Dara mengerutkan keningnya. Kehilangan Bom sebagai tempatnya berkeluh kesah tentu bukan hal yang baik. Sama seperti Jiyong yang hanya bisa cocok dengan Seunghyun meski ia memiliki banyak kenalan, Dara juga hanya bisa merasa klik dengan Bom meski ia memiliki konektivitas yang baik dengan banyak mahasiswa di kampus. Bagi Dara, Bom adalah satu-satunya orang yang senantiasa mau mendengar curahan hatinya mengenai permasalahannya dengan Jiyong yang sesungguhnya menjadi beban tersendiri untuk pendengarnya.

“Kau ingin aku merubah Jiyong menjadi seseorang yang lebih dewasa, begitu?”

Bom menjentikkan jari. “Yap! Kurang lebih seperti itu. Kau harus jujur, Dara.”

“Aku tidak yakin aku berhasil, tapi aku akan mencobanya. Biarkan otakku beristirahat sejenak.” Dara kembali menelungkupkan wajahnya, sementara Bom hanya menggeleng sembari tersenyum simpul. Dara benar-benar berantakan.

Baiklah, Dara akan merubah Jiyong. Laki-laki itu harus sempurna.

***

Petang ini Dara meminta Jiyong menemuinya di sebuah cafe yang terletak tak jauh dari kompleks perumahan mereka. Dara hendak menyatakan ketidak-nyamanannya terhadap sikap Jiyong. Ya, Dara memang belum pernah mencoba jujur akan hal itu. Ia takut Jiyong tersinggung dan menjadi pemurung, seperti apa yang terjadi saat mereka masih duduk di bangku SMP. Saat itu seseorang berkata bahwa sikap Jiyong sangat menyebalkan, menggelikan, menjijikkan dan membuatnya terganggu. Jiyong tidak masuk sekolah selama satu minggu setelah mendengar pernyataan itu. Tentu Dara tidak tega melihat Jiyong berkecil hati lagi meski—ya, Dara sendiri merasa terganggu dengan sikap Jiyong.

Tak lama, bel yang terletak di atas pintu cafe berbunyi, menandakan seseorang membuka pintu kaca tersebut. Dan, benar saja. Sosok jangkung berdiri di sana, menengok ke kanan-kiri, mencari seseorang yang memintanya datang tepat pukul 8 malam. Dia berjalan mendekat ke arah Dara yang tengah duduk melamun sembari mengaduk segelas minumannya dengan sedotan.

“Apa kau menunggu lama?”

Suara husky yang familiar memenuhi rongga telinga Dara.

“Ti-” Dara menghembuskan nafas beratnya. “Tidak.”

Astaga, dia mulai lagi.

Dalam satu detik, seluruh pandangan tertuju pada Dara dan Jiyong yang tengah duduk di meja yang terletak di sudut ruangan. Ya, seluruh pandangan tanpa terkecuali—termasuk pelayan cafe dan manager-nya sekali.

Bagaimana tidak? Ini musim panas, okay? Tahu apa yang dipakai Jiyong? Dia mengenakan pakaian yang lebih cocok dikenakan saat musim dingin. Man! Angin saja terasa panas, bahkan memakai AC pun tidak seberapa dingin, tapi Jiyong bertingkah seolah-olah berada di tempat dengan suhu kurang dari nol derajat.

“Jiyong-ah, kapan kau akan berhenti membuatku malu di depan umum?”

“Memangnya kenapa?” Jiyong meminum segelas orange juice yang telah dipesan Dara beberapa saat lalu dengan santai seakan tidak ada satu hal pun yang terjadi.

“Kau masih bertanya kenapa? Hebat sekali!”

Jiyong meringis lebar. “Benar. Aku hebat, ‘kan? Tentu saja aku hebat.”

“Kau sangat hebat sampai membuatku bungkam.”

“Kau hanya tidak tahan melihat wajah tampanku. Itu sebabnya kau bungkam. Asal tahu saja, pancaran pesonaku melebihi bahaya pancaran radiasi nuklir.” Ujarnya asal bicara. “Tenanglah, aku akan berdandan seperti pengemis agar kau tidak terlalu canggung di pertermuan berikutnya.” Tambah Jiyong dengan penuh percaya diri seperti biasa.

Masih berani bercanda rupanya.

Entah Jiyong yang memang tuli atau ia pura-pura tidak mendengar saat orang-orang membicarakannya. Entah Jiyong yang memang buta atau ia pura-pura tidak melihat saat orang-orang menunjuk ke arahnya. Entah Jiyong yang kehilangan sensor atau ia pura-pura mati rasa saat orang-orang menyorotinya dengan tatapan tajam. Laki-laki itu selalu tersenyum.

“Terserah kau saja.”

Beberapa saat suasana mendadak hening. Dara tidak yakin apa ia benar-benar siap berterus terang kepada Jiyong. Bukannya naif, Dara tidak mau Jiyong kehilangan rasa percaya dirinya. Masalahnya, jika Dara tidak mengatakannya sekarang juga, bisa saja Dara memilih mengakhiri hubungannya dengan Jiyong karena terlalu lelah menghadapi tingkah kekasihnya yang aneh itu. Bagaimana ini? Haruskah?

“Apa kau merasa tidak nyaman dengan hubungan kita?”

Dara tercengang. Tidak biasanya Jiyong membicarakan perihal hubungan mereka.

“Ya? Aku kenapa?”

“Mungkin kau merasa terganggu atau bagaimana. Aku selalu bersenang-senang dengan caraku sendiri tanpa berpikir apa kau juga merasa senang atau sebaliknya. Aku melakukan banyak hal yang membuatmu kesal. Sejak dulu aku memang begitu, ‘kan?” Jiyong menaikkan sebelah alisnya. “Um, entahlah, aku tidak tahu apa yang kukatakan. Kalimat ini meluncur begitu saja.”

Apa Jiyong menyadarinya? Apa dia mengetahui isi kepala Dara?

“Ah, tidak. Kau tidak seharusnya menanyakan hal itu padaku. Tentu aku merasa senang.”

“Aku sudah mengenalmu lebih dari separuh umurku, tapi aku selalu bertanya-tanya, apa yang kau sukai dariku dan apa yang kau benci dariku. Kenapa kau tidak pernah jujur akan segala yang kau rasakan padaku? Kau takut aku tidak bisa menerimanya?”

“Hei, Kwon Jiyong. Apa-apaan kau ini?” Dara tertawa gusar. “Bukannya aku tidak jujur. Kau ‘kan tahu, aku suka segala hal yang ada pada dirimu. Aku suka semuanya. Kenapa aku harus jujur akan hal itu? Kurasa itu bukan sesuatu yang penting.”

Jiyong menundukkan kepalanya, kemudian tersenyum lebar beberapa saat kemudian. “Aku ingin kau berjanji bahwa minggu depan kau akan datang di acara pernikahan Dami Noona. Kumohon, berjanjilah padaku, okay?

Dara mengangguk pelan. “Aku datang. Pasti datang.”

Ini lebih sulit dari yang dibayangkan. Baiklah, Dara akan memberitahu Jiyong lain kali. Entah kapan, intinya bukan sekarang atau pun besok.

***

Satu minggu berlalu. Tidak ada kabar. Tidak ada pertemuan.

Ini memuakkan!

Beep!

Satu pesan dari Bom.

‘Belum sempat berkata jujur, dia meninggalkanmu. Wah, selamat Sandara Park, kau membuat beban pikiranku bertambah banyak. Aku akan menghubungimu kalau aku mendengar kabar di mana dia sekarang.’

Beep!

Pesan yang lain dari Seunghyun.

‘Hah? Dia pergi? Aku bahkan baru bertemu dengannya tadi malam. Dia ada di cafe tempat kami biasa bertemu. Kalian bertengkar?’

Dara mengacak rambutnya frustasi. Ia kehilangan jejak.

“Sandara Park,”

Pintu kamar Dara terbuka, menampakkan seorang wanita paruh baya berdiri di baliknya.

“Ya, ibu?” tanya Dara dengan nada malas.

“Kau bertengkar dengan Jiyong?”

Dara menggelengkan kepala.

“Lalu, kenapa dia tidak pernah berkunjung? Kau juga tidak pernah main ke rumahnya.”

“Main? Bagaimana bisa aku main ke sana kalau rumahnya saja terkunci rapat selama satu minggu ini?” Dara mendengus. “Apa Bibi Park belum menghubungi ibu dimana keberadaan Jiyong? Dia menghilang, ibu. Dia hilang. Sudah satu minggu.”

“Pasti ada kesalahan yang kau lakukan. Hei, jangan-jangan dia kesal padamu karena kau selalu memarahinya. Ibu berapa kali harus memperingatkanmu, kau tidak boleh terlalu kasar pada Jiyong. Di dunia ini, kau hanya menyukai Jiyong, itu yang kau katakan pada ibu. Lalu, kenapa kau membuatnya pergi dengan tingkahmu?”

“Kenapa aku yang bersalah? Aku selalu menerima perlakukan buruknya padaku, ibu. Kalau ada yang harus dicap sebagai orang yang bersalah diantara kami berdua, maka Jiyong-lah orangnya. Dia bertingkah aneh malam itu. Aneh-”

Jiyong bertingkah aneh satu minggu lalu di hari pertemuan terakhir mereka.

Kenapa Dara tidak menyadari hal itu?

“Ibu sudah menyiapkan dress untukmu. Jiyong berkunjung satu minggu lalu. Dia ingin kau memakainya di hari pernikahan Dami. Cepat bersiap dan ganti pakaianmu. Ayah dan ibu menunggu di bawah. Kakakmu pergi lebih dulu.” Ujar Nyonya Park sebelum menutup pintu kamar Dara.

Dara tak mengindahkan perintah Nyonya Park untuk kesekian kalinya. Ia menatap ke arah manekin yang memakai satu set pakaian musim panas. Jiyong-lah yang membelikan manekin itu untuknya. Tidak tahu kenapa, disaat-saat seperti ini Dara merindukan Jiyong. Laki-laki jangkung dengan rambut hitam highlight abu-abu itu menghilang bak biji dandelion yang diterbangkan angin. Dia pergi tanpa jejak. Dara serasa kehilangan semuanya.

Dara merindukan kegilaan Jiyong yang menyebalkan tetapi seakan candu untuknya. Dara juga merindukan suara husky Jiyong yang berubah menjadi lembut ketika melantunkan namanya. Dara merindukan aroma Jiyong yang bahkan lebih wangi dari bunga terharum di dunia. Kenapa dia menghilang disaat yang tidak tepat? Mungkin Dara ingin Jiyong menyingkir dari hadapannya selama beberapa saat. Dia ingin Jiyong menjadi laki-laki sempurna. Tapi, apa yang akan Dara rindukan dari seorang Kwon Jiyong yang sempurna? Justru Dara merindukan segala jenis keanehan Jiyong.

Sial! Waktu bergulir begitu saja saat Dara memikirkan Jiyong. Ia bahkan hampir menangis karena merindukan si laki-laki cabul gila itu. Ah, ia harus segera bersiap, berangkat ke pesta pernikahan Dami. Keluarga Park mengundangnya, begitu juga dengan Jiyong yang memintanya datang. Lagipula Dara juga sudah berjanji untuk datang. Mungkin saja ia bisa bertemu Jiyong yang menghilang tanpa sebab. Dara berjanji, Jiyong pasti mati di tangannya.

***

Seorang gadis tampak berdiri di depan sebuah gedung tempat peristiwa sakral akan dilaksanakan satu jam lagi. Ia sengaja datang lebih awal untuk membantu mempersiapkan segala sesuatu yang diperlukan oleh calon mempelai. Sebagian pekerjaan telah diambil alih oleh para petugas, jadi ia memutuskan untuk menunggu kedatangan seseorang yang dinantinya sejak satu minggu ke belakang.

Dara mengenakan dress pastel selutut yang menunjukkan lekuk pinggangnya. Tubuhnya yang mungil benar-benar pantas memakai dress itu. Sebenarnya dress itu bukan hadiah atau semacamnya. Satu bulan lalu, Dara dan Jiyong sengaja membeli pakaian yang serasi yang akan mereka kenakan di pesta pernikahan Dami. Ah, hal ini membuat Dara semakin merindukan Jiyong.

“Aku akan mencekikmu, Kwon Jiyong.” Gumam Dara menggigiti kuku ibu jarinya.

Tidak lama, sebuah mobil berhenti tak jauh dari tempat Dara berdiri. Seorang pria keluar dari jok kemudi, kemudian berjalan cepat ke bagian tepi mobil lainnya, membukakan pintu untuk seseorang yang akan keluar dari dalamnya. Akhirnya, tampaklah seorang laki-laki keluar dari mobil itu. Laki-laki yang mengenakan setelan jas hitam dengan kemeja putih dan dasi di baliknya. Ia menggunakan sepatu pantofel yang tampak resmi. Rambutnya yang semula berwarna abu-abu di beberapa bagian, kini dicat hitam secara keseluruhan. Tatanannya pun lebih sopan dengan poni mengarah ke atas, memperlihatkan dahinya yang rata. Dia benar-benar sempurna.

Rahang Dara terjatuh saat laki-laki itu menoleh ke arahnya. Dia Kwon Jiyong.

Belum sempat berjalan menghampiri Dara, langkah Jiyong terhenti saat beberapa gadis mengerumuninya. Gadis-gadis yang merupakan tamu di acara pernikahan itu. Beberapa diantaranya adalah teman-teman Dami. Sebagian lagi putri dari teman-teman Tuan dan Nyonya Park. Mereka semua mengerumini Jiyong, menanyakan banyak hal padanya, bahkan ada yang meminta tanda tangan layaknya baru saja bertemu dengan artis ternama.

Mulut Dara semakin terbuka lebar saat Jiyong menanggapi kerumunan gadis itu dengan santai. Dia tidak seperti Kwon Jiyong yang pernah dikenalnya. Jiyong tidak suka dikerumuni banyak gadis. Biasanya dia akan berlari menghampiri Dara untuk meminta perlindungan. Tapi, kali ini apa? Ia melayani mereka semua bak seorang artis yang melakukan service sebagai idola kepada fans-nya. Ada apa ini? Oh, iya. Jangan lupa dengan cara berpakaiannya yang tidak seperti biasanya. Maksudnya, baru pertama kali dalam sejarah, Jiyong mengenakan pakaian yang tepat di sebuah acara. Apa Jiyong tertimpa beton hingga sebagian otaknya mengalami perombakan dan semacamnya? Astaga, itu mustahil!

Oppa, bolehkah aku berfoto denganmu?” tanya seorang gadis berambut pendek sembari melingkarkan tangannya di lengan Jiyong.

Jiyong tersenyum tipis. “Tentu saja.”

Oppa, bolehkan aku menyentuh pipimu yang halus itu?”

Jiyong tersenyum gusar, melirik Dara. “Um, tentu.”

YA! KWON JIYONG!!”

Dara berteriak lantang sebelum gadis itu menyentuh permukaan kulit wajah Jiyong.

“Siapa dia, oppa?

Dara berjalan mendekat dengan langkah panjang dan raut wajah kesal seperti hendak menyantap gadis-gadis menyebalkan yang menyentuh Jiyong tanpa permisi.

“Aku kekasih Jiyong, kau mau apa?” Pekik Dara menarik lengan Jiyong agar bersanding di dekatnya. “Enyah dari hadapanku!”

Gadis itu memicing tajam. “Nona, anda tidak boleh memaksa Jiyong. Dia milik kami.”

“Hei! Memaksa apa maksudmu?! Kau pikir Jiyong milik kalian? Siapa yang mengenalnya lebih dulu? Kau tahu apa tentang Jiyong? Apa? Oppa? Oppa pantatku, huh?” Dara berteriak lantang tepat di hadapan gadis itu.

Oppa, siapa dia?” tanya si rambut pendek yang mulai takut melihat tingkah menyeramkan Dara.

Jiyong hanya tersenyum tenang. “Seperti yang dia katakan, dia memang kekasihku. Maaf, dia sedikit kasar. Aku benar-benar meminta maaf, Nona-Nona.”

Dara tertawa penuh kemenangan. “Pergi!” wajahnya kembali muram.

Akhirnya, gadis-gadis itu pergi setelah mendengar penjelasan Jiyong.

“Tidak perlu marah-marah.” Ujar Jiyong mengusap puncak kepala Dara. “Mereka bukan siapa-siapa, sungguh.”

Hah? Sejak kapan Jiyong bersikap dewasa?

“Bisa kita bicara sebentar sebelum upacara pernikahan dimulai?” tanya Dara mengerutkan kening.

“Baiklah. Mari kita cari tempat yang nyaman untuk berbincang-bincang.”

Jiyong menyelipkan tangannya diantara jemari Dara. Ia menggenggam tangan gadis itu, kemudian menariknya, menuntunnya berjalan menuju taman yang terletak di bagian tepi gedung. Jiyong memutuskan untuk duduk di bangku yang terletak cukup jauh dari pintu masuk. Ia tidak ingin ada seorang pun yang mengganggu waktu kebersamaannya dengan Dara.

Untuk Dara sendiri, jujur ini yang pertama kali. Ia terkejut melihat Jiyong yang berubah dua ratus tujuh puluh derajat. Dengan semua yang telah dilakukannya, Jiyong yang sekarang bukan lagi Jiyong yang dikenalinya. Melihat bagaimana caranya berpakaian, caranya menyapa orang lain, memperlakukan orang lain, meminta maaf kepada orang lain, berbicara dengan Dara dan tingkahnya terhadap Dara, semua itu aneh. Lebih aneh dari biasanya. Dan, Dara tidak terbiasa dengan Jiyong yang baru.

“Apakah ada syaraf tertentu yang tidak berfungsi di dalam tubuhmu?”

“Apa yang kau bicarakan?”

“Kau tidak sakit?” Dara meletakkan telapak tangannya di permukaan dahi Jiyong.

Jiyong menurunkan tangan Dara dari dahinya secara perlahan. “Aku kenapa?”

“Kau aneh.” Jawab Dara datar sembari melipat tangannya dengan ekspresi marah.

“Hei, hei.” Jiyong menangkup pipi Dara, membuat gadis itu menoleh. “Kenapa? Kau marah padaku? Apa yang kulakukan, huh? Kau marah karena gadis-gadis itu? Aku bisa menjelaskannya, Sandara Park.”

Sikap Jiyong jadi semakin aneh. Dara tidak bisa mendeskripsikannya dengan kalimat lain selain satu kata, yaitu aneh.

“Aku tidak suka kau yang sekarang. Aku tidak suka, Kwon Jiyong.”

Jiyong mengernyitkan dahinya. “Bukankah aku sudah melakukan apa yang kau inginkan?”

“Apa yang aku inginkan? Apa?”

“Bukankah kau ingin aku menjadi laki-laki normal? Kau ingin aku menjadi seseorang yang sempurna, bukan begitu? Aku mendengar percakapanmu dengan Bom. Kau mungkin tidak tahu saat aku melintas melewati kalian, tapi aku mendengar semuanya.”

Dara terdiam. Ia tidak dapat mengucapkan satu patah kata pun saat ini.

“Malam itu aku memancingmu untuk berkata jujur karena aku tahu kau tidak cukup tega berterus terang padaku. Aku mengerti, Dara-ya. Aku sungguh meminta maaf karena tingkahku yang tidak normal, terlalu aneh dan menyebalkan selalu membuatmu marah. Tapi, aku tidak memiliki maksud apa pun. Kau pasti tahu, sejak dulu aku seperti itu.” Jelas Jiyong dengan suara lirih. “Dan, aku juga meminta maaf karena menghilang seminggu lamanya. Kau tidak bersalah. Aku menghilang untuk memperbaiki diriku sendiri. Aku ingin menjadi seseorang yang menurutmu normal dan sempurna. Hanya itu. Aku ingin memakai pakaian yang kau kehendaki, menjadi laki-laki yang baik, ramah dan dewasa. Bukankah itu yang kau inginkan?”

Tanpa kata, Dara hanya menjawab dengan gelengan kepala. Ia tidak pernah menyangka bahwa Jiyong benar-benar berubah untuknya, bahkan dia merubah dirinya sendiri tanpa diminta. Dia mengerti dan dia mencoba menjadi apa yang Dara inginkan. Dia berusaha keras selama satu minggu, mempelajari apa yang biasa seorang laki-laki lakukan setiap berada di dekat kekasihnya, bagaimana cara kencan yang benar, cara bersikap dan bertingkah sesuai aturan. Jiyong belajar banyak akan itu. Bukan bermaksud tidak menghargai, tapi menurut Dara, Jiyong tidak seharusnya melakukan hal itu. Tidak. Perubahan bukan sesuatu yang pantas untuk seorang Kwon Jiyong.

“Lantas, apa yang kau inginkan dariku?” Jiyong kembali menangkup pipi Dara. Ia menunjukkan raut wajah seriusnya.

“Tidak ada. Aku hanya ingin kau yang dulu. Aku tidak mau kau berubah menjadi normal, sempurna, dewasa atau apa pun itu. Di mataku, Jiyong yang apa adanya adalah yang terbaik. Bisa kau bayangkan, apa yang akan terjadi jika kau bersikap dewasa? Aku mungkin akan memutuskan hubungan denganmu lebih cepat dari yang kau kira.”

“Kenapa begitu?” Sepasang mata Jiyong membulat.

“Sudah kubilang, karena aku suka Jiyong yang dulu.” Dara mengecup pipi kanan Jiyong. “Kau tahu, menjadi diri sendiri lebih baik daripada merubah dirimu karena kehendak orang lain. Terkadang menjadi idiot lebih menyenangkan daripada bersikap dewasa, bukan begitu? Lagipula, aku merasa terhibur dengan tingkah konyolmu yang terkadang menyusahkan. Tak apa, selama orang itu kau, aku tidak akan merasa terbebani—semoga saja.” Ujarnya meringis lebar.

Ya! Mengingat tingkahmu saat kau cemburu pada gadis-gadis itu, aku berpikir bahwa kau juga sama anehnya denganku. Kau membabi buta, bahkan hendak memukul mereka. Itu tindak kriminal, Sandara Park.” Jiyong mendesis dengan nada merendahkan.

“Kau kira kau tampak keren dengan pakaian itu? Melihatmu berdandan bak supermodel dengan proporsi sempurna membuatku tak bisa menahan tawa. Kau tidak pernah berpakaian normal sebelumnya.” Dara balas mencibir.

“Kalau begitu, kau mau aku memakai pakaian ala rapper lagi?” Jiyong menampakkan deretan gigi rapinya.

Dara memberi takbam di kepala Jiyong. “Kau berniat mempermalukan Dami Eonni di hadapan para tamu dan teman-temannya? Pintar sekali!” Dara beranjak dari duduknya. “Awas sampai kau berani dekat-dekat dengan gadis lain! Akan kukuliti kalian!”

Jiyong tersenyum. Sesaat kemudian, ia menahan pergelangan tangan Dara. “Mau ke mana?”

“Masuk ke dalam.” Jawabnya singkat.

“Kau melupakan sesuatu.”

Jiyong menarik tengkuk Dara, membuat gadis itu membungkukkan tubuhnya. Dengan posisi itu, mereka menyatukan bibir mereka. Mata Dara yang sebelumnya terbelalak pun kini mulai terpejam perlahan. Mereka saling melepas rindu. Deburan napas Jiyong menerpa permukaan kulit Dara, membuat bulu romanya berdiri. Dara melingkarkan sepasang tangannya di leher Jiyong, sementara Jiyong perlahan bangkit untuk berdiri, kemudian memeluk gadis itu erat-erat.

Dara tahu, Jiyong tidak pernah pantas menjadi seseorang yang sempurna. Oleh karena itu, Dara berpikir bahwa Jiyong tidak perlu menjadi seseorang yang sempurna untuknya. Di mata Dara, entah itu Jiyong terlalu aneh, menyebalkan, berisik, idiot atau gila sekali pun, laki-laki itu selalu tampak sempurna.

Kesempurnaan sesungguhnya tidak dilihat dari bagaimana seseorang itu membuat dirinya tampak sempurna di mata orang lain, tapi bagaimana cara kita melihat orang itu agar dia tampak sempurna di mata kita.

Tidak memerlukan kesempurnaan untuk saling mencintai. Tidak memerlukan kesempurnaan untuk bahagia. Tidak memerlukan kesempurnaan untuk mendapatkan kebahagiaan. Justru ketidak-sempuraan itulah yang membuat kita sempurna. Ingat, sempurna sama saja dengan terlalu berlebihan. Dan, sudah dibahas sebelumnya bahwa semua yang berawal dengan kata terlalu bukanlah sesuatu yang baik.

***END***

25 thoughts on “Don’t Be Perfect [Oneshoot]

  1. Oh ghad daragon so sweet bgt,,, gx tau mau komen apa selain kata so sweet,,,suka sama cara jiyong yg kek gitu sweet sekaliii,,,wlwpun tingkah jiyong aneh tapi itu yg ngangenin iya kan dara eonni ^^ kkkkkkk,,,
    d.tunggu karya” lain.y ya eonn ^^

Leave a comment