The King’s Assassin [22] : A Friend or A Foe

 

assassinc

Author :: silentapathy
Link :: asianfanfiction
Indotrans :: dillatiffa

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~  

“Yah, Harang-ah,” kata Dara sambil melompat turun dari Snow, satu-satunya kuda putih yang dimiliki oleh si kakek tuda. Master Wu mengijinkan mereka bepergian dengan hewan itu bersama dengan seekor kuda lain berwarna hitam untuk ditunggangi oleh Ilwoo dan Harang. Saat itu masih jauh dari tengah hari karena mereka memutuskan untuk segera meninggalkan gunung pada pagi buta sementara si kakek tua itu pergi entah kemana pada malam sebelumnya.

“Yah, Harang-ah, apa kau bersedia menceritakannya pada kami?”

“Apa yang mau diceritakan noona? Aku tidak mengerti apa yang kau bicarakan.” Kata Harang sambil mengelus surai kuda.

“Aisht!” Dara melemparkan sebuah batu membuat bocah itu tersentak. “Kau sama sekali enggan mengatakannya, iya kan?”

Harang hanya meringis dan menggosok hidungnya sambil berlari menuju kearah Ilwoo yang sedang sibuk mencari sesuatu untuk bisa mereka makan dan minum dari dalam tas perbekalan mereka. “Mulutku terkunci! Kali ini percaya saja padanya, neh?”

“Aisht!” Dara duduk di tepian sungai sambil menggosok-gosokkan tangannya agar sedikit mengurangi rasa dingin yang dia rasakan sembari menunggu kuda-kuda mereka beristirahat. Mereka sudah melakukan perjalanan menuju ke Hanyang selama beberapa jam dan sekarang mereka telah sampai di perbatasan dan sudah dekat dengan Ibukota, mereka memutuskan untuk beristirahat dan mengisi perut mereka yang telah meronta, bibir mereka pun telah terasa kering. Selain itu, mereka masih harus menemukan pondok tua di hutan dekat Ibukota yang Master Wu katakan agar mereka tinggal disana. dia tahu hari ini mungkin adalah hari yang paling melelahkan, namun dia tidak peduli. Yang dia tahu, dia merasakan energi yang belum pernah dia rasakan sebelumnya. Dia sudah berencana untuk segera mengunjungi Chaerin begitu mereka selesai membereskan rumah – namun tahu bahwa dia tidak bisa mengandalkan para pria untuk urusan rumah tangga seperti itu, dia memutuskan untuk meninggalkan rencananya itu.

Masih saja, dia penasaran saat Master Wu pergi dengan jalur berbeda dan berangkat jauh lebih dulu dibanding mereka. Tidak peduli berapa kalipun ditanya, kakek tua itu hanya tersenyum dan mengabaikan mereka serta berkata bahwa mereka harus mempercayai Harang.

“Pscht. Bagaimana bisa mempercayai orang yang bahkan enggan memberi informasi?” sentak Dara sembari terus melempar kerikil ke aliran air.

“Makan,”

Dara mengerutkan alisnya saat melihat sebuah kentang kukus yang telah dikupas tiba-tiba muncul didepan wajahnya. Dia tertawa dan segera menggigit makanan itu.

“Aigoo, hari ini akan baik-baik saja, oppa. Bukankah begitu?” katanya dengan alis naik-turun, menggoda pria itu. Dara tahu Ilwoo masih menentang keputusannya, tapi setidaknya pria itu mau menurut.

Terlebih lagi, dia kalah satu banding tiga.

“Apa kau kehilangan adabmu, Agassi? Aisht! Setidaknya telan dulu makanan dalam mulutmu itu sebelum berbicara!” Ilwoo memarahinya namun Dara malah meraih botol air dari pria itu dan menenggak sebagian isinya. Ilwoo tersenyum saat Dara tidak lagi menatapnya. Tidak buruk, pikirnya. Setidaknya sekarang gadis itu tersenyum, jauh berbeda dengan Dara yang tak memiliki semangat hidup saat berada di gunung.

“Kau tersenyum oppa.” Kata Dara mengusap tetesan air yang mengalir dari bibir ke dagunya.

“Kata siapa?”

“Aku.”

“Aigoo, kau bermimpi,” kata Ilwoo sebelum berdiri. “Aku belum memaafkanmu karena bersikap keras kepala! Jangan mencoba melakukan sesuatu yang bodoh Dara-ah. Kau harus berhati-hati. Satu tindakan yang salah dan aku bersumpah aku akan membawamu kembali ke Utara!”

Ilwoo melempar sebuah kentang ke Harang yang langsung ditangkap oleh bocah itu dengan mudah. Mereka masih saling menggoda satu sama lain saat mereka melihat beberapa orang berlari di jalan dekat tepian sunga dengan membawa lampion.

“Yah! Kalian bertiga! Apa kalian tidak ingin melihat atau setidaknya memberi selamat pada Putri dan Profesor Choi?”

Dara dan Ilwoo menundukkan kepala mereka, mencoba menutupi wajah mereka dengan topi yang mereka kenakan, bersyukur dalam hati karena mereka tidak berada dibawah sinar matahari langsung, sementara Harang melambaikan tangannya.

“Ahjumma! Ahjussi! Apa yang sedang terjadi?” tanya Harang.

“Aigoo, apa kalian orang asing? Putri akan menikah!”

**

“BUKA GERBANGNYA! KELUARGA CHOI TELAH TIBA!”

Gerbang Istana mengayun terbuka dengan penuh kebanggaan begitu Keluarga Choi dan iring-iringan hadiah yang dibawa oleh para pelayan memasuki istana. Mereka berhenti sejenak menunggu mempelai pria dan keluarganya didepan gerbang sementara Penjaga Istana dan penjaga gerbang tersenyum – mereka saling membungkukkan kepala satu sama lain.

Seunghyun menggeleng-gelengkan kepalanya mengikuti prosesi untuk masuk ke Istana. Dia menunggangi kuda jantan berwarna kelabu dan terlihat sangat tampan dengan seragam resminya yang berwarna biru – menunjukkan bahwa dia adalah seorang Pejabat Junior, dia tidak bisa menenangkan dirinya mendengar teman-temannya berdebat tentangnya sepanjang jalan sementara orang-orang yang menonton di kanan-kiri jalan bertepuk tangan penuh kekaguman saat mereka lewat.

“Daesung, kau babo! Sudah kubilang padamu untuk membawa buku merah! Yah! Ada apa denganmu?!” Seungri memukul lengan Daesung membuat pria malang itu tersentak sambil terus memegangi lentera.

“Aisht! Seunghyun-sii tidak membutuhkannya. Dia itu pria yang sehat, dia tahu apa yang harus dilakukan!” kata Daesung mengelus lengannya.

“Tetap saja! Kau harus tetap membawanya! Itu adalah buku yang sangat menarik! Aigoo, aku harusnya memberikan itu sebagai hadiah.” Seungri mendelik kepada Daesung namun kediaman Profesor Yongbae menarik perhatian mereka.

“Dasar bocah mesum! Aku tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi pada murid-muridku di Sungkyunkwan begitu kau masuk besok. Aigoo, kau pasti akan membawa pengaruh buruk.”

“Yah hyung! Apa salahnya dengan itu?! Buku merah itu sangat membantu pada saat-saat seperti ini!”

“Hentikan, atau akan kupastikan menendangmu keluar dari universitas begitu kau menginjakkan kaki disana. Lagipula, kau tidak boleh memanggilku dengan cara tidak sopan begitu kita didalam, arasso?” Seunghyun mengingatkan Seungri membuat pria itu mengerucutkan bibir.

“Yah, priaku Yongbae, apa kau baik-baik saja?” tanya Seunghyun bercanda.

“Diam! Apa kau tahu bertapa beratnya ham ini, belum lagi angsa liar di tanganku ini! Aku sedang berkonsentrasi. Ini sangat berat dan aku tidak akan berhasil jika kalian terus saja menggangguku!” balas Yongbae. Dia tengah membawa kotak kayu besar di punggungnya dan dia bahkan harus menjaganya dengan hati-hati karena satu kesalahan sedikit saja bisa menyebabkan ketidakberuntungan bahi pasangan pengantin baru.

“Hahahaha! Aigoo! Itulah akibatnya karena menjadi teman terdekat hyung.” Goda Seungri.

“Aisht! Harusnya Ilwoo hyung yang berada di tempatku sekarang!” teriak Yongbae.

“Yah, yah! Lihat pria ini. Kau membuatku merasa bersalah. Kenapa kau protes?” kata Seunghyun, berpura-pura merasa kecewa.

“Aku tidak protes! Aku… aku… hanya… mengatakan… fakta…” Yongbae terengah-engah, “… itu… ini… haaahhmm… ini sangat berat!” kata Yongbae sambil mengapit angsanya dengan satu lengan sementara lengan satunya dia gunakan untuk mengusap peluh.

“Aigoo, harusnya kau merasa terhormat membawa itu! hahahahaha! Barang dijual! Dijual!” Seungri mengumumkan dengan suara keras sambil berlari berkeliling, menggoda hyung-nya. Para tukang gosip dan orang-orang dari keluarga  Choi menertawakan kelakuan Seungri, namun tawanya digantikan oleh rintihan rasa sakit Yongbae menendangnya dari belakang.

“OUCH! YAH HYUNG!”

“Yah, hanya karena aku membawa ini bukan berarti kakiku tidak bisa menendangmu,” Yongbae menyeringai sebelum melanjutkan langkahnya.

Seunghyun menyeringai pada temannya sebelum menatap ke langit. “Kuharap kau ada disini Ilwoo, Dara-ah, Chaerin… Sanghyun…”

**

“Agassi! Agassi!” Minzy berlari menuju ke kamar mandi Putri yang saat itu menggerutu karena untuk pertama kalinya mengalami pengalaman didandani dalam waktu yang paling lama dalam hidupnya. Dia tengah dimandikan di bak air hangat yang bercampur minyak wangi serta kelopak bunga, namun semua aroma itu tidak menenangkan hatinya. Minzy mengisyaratkan pada keempat pelayan untuk keluar begitu dia masuk.

“Agassi! Mereka sudah tiba!”

“Kenapa justru kau yang sangat bersemangat? Apa kau begiti tidak sabarnya untuk hidup tanpaku. Bukan begitu?” Bom mengerucutkan bibirnya sambil memainkan kelopak-kelopak bunga yang mengambang.

“Aisht, berhenti mengerutkan dahi! Sekarang adalah hari pernikahan Anda! Seharusnya Anda tersenyum lebih dari biasanya!”

“Tersenyum? Bagaimana bisa aku tersenyum saat tahu aku sudah terjebak? Aku gemetaran karena takut dan gugup, tapi kau sama sekali tidak membantu!”

“Aigoo, Seunghyun-ssi itu seorang pria yang baik. Dia pasti akan jadi suami yang baik, jangan cemas Agassi.”

“Aisht, kuharap kita bisa melewati ritual upacara ini. Semuanya membuatku makin gugup.

**

“Unnie…” Chaerin memanggil Hyori dari balik pintu Kepala Gisaeng Negara yang tertutup. Dia tadi dipanggil dan baru saja selesai mempersiapkan dirinya untuk perjalanan ke Istana. Mereka dikabari kemarin malam, bahwa mereka menjadi bagian dari hiburan yang disediakan di Istana, mereka diundang untuk bermain musik pada pernikahan Putri dan Profesor Choi – tentunya Chaerin memohon-mohon agar Hyori menyetujuinya, ingin mengambil kesempatan untuk melihat semua tamu yang datang. Hyori sudah memperingatkan Chaerin karena dia tahu siapa orang yang berada dibalik undangan mendadak ini. Hyori sangat yakin bahwa Penasehat Choi lah yang menyarankan untuk memasukkan nama mereka berdua – khususnya Chaerin – pada daftar penampil.

“Masuk,” kata kepala gisaeng itu, Chaerin langsung masuk namun terkesiap melihat seorang gadis muda lain berdiri dihadapan Lady Hyori hanya dengan pakaian bagian dalamnya.

“Aku minta maaf… aku tidak tahu ada seseorang disini,” Chaerin buru-buru membungkuk meminta maaf. “Aku akan kembali saja nanti,” katanya sebelum berbalik untuk pergi.

“Tetap disini,” kata Hyori sinkat membuat Chaerin kembali berbalik menghadap keduanya.

Hyori melirik Chaerin sebelum kembali sepenuhnya menatap gadis dihadapannya.

“Buka pakaianmu,” katanya sambil memukulkan tongkat kecil di tangannya ke meja.

“U-u-unnie…” gadis itu menggelengkan kepala ketakutan dan menutupi tubuhnya, memegang erat sisa kain yang menutupi tubuhnya.

“Buka pakaianmu!”

“Tidak!”

“Jangan tunggu sampai aku yang membuka pakaianmu!” cecar Hyori marah pada gadis itu, yang terus menggelengkan kepalanya sambil menggigit bibir.

Tanpa peringatan, Hyori berdiri dan beranjak menuju kearah si gadis. Dia menarik tali pakaian dalam gadis itu, membuatnya berteriak.

“Unnieeee! Tidak! Dia akan membunuhku! Dia akan membunuhku!” tangis gadis itu mencoba menutupi tubuhnya yang kini telanjang, namun sudah terlambat.

Baik Chaerin maupun Hyori terkesiap kaget melihat memar dan luka di tubuh gadis itu. Beberapa bahkan masih baru dan beberapa yang hampir sembuh membekas; Chaerin berjalan mendekat untuk memeriksa lebih jelas. Bekas sudutan rokok, pikirnya. Sepertinya itu.

“Sejak kapan hal ini terjadi? Sejak kapan?!”

“Unnie, aku minta maaf! Dia bilang dia akan membunuhku jika aku tidak mau menurut!” tangisan gadis itu kian keras.

“Kalau begitu hiduplah dengan merendahkan diri seperti ini selamanya! Aku tidak percaya seorang gisaeng bisa hidup lebih rendah dari status yang dia miliki sampai hari ini, dasar bocah menyedihkan! Bagaimana bisa aku menolongmu jika kau enggan menolong dirimu sendiri, huh?”

Chaerin segera meraih pakaian yang mengonggok dibawah kaki gadis itu dan memakaiannya. Dia menyelipkan helai rambut yang lepas kebalik telinga gadis itu dan menghapus bekas air mata di wajahnya.

“Siapa yang melakukan ini padamu, Solji-ah?” tanya Chaerin. “Jawab aku, siapa?”

“Chaerin-ssi…” gadis itu menangis dan memeluknya. “Chaerin-ssi, dia adalah Kepala Penasehat Kerajaan.”

Chaerin memejamkan matanya dan meremas kain hanbok yang menyelimuti gadis dalam pelukannya. Dia tidak percaya si bajingan tua itu bisa melakukan hal senista ini pada seorang gadis muda. Namun jika dipikir lagi, harusnya Chaerin tidak perlu heran. Mantan Menteri Pertahanan itu adalah orang yang menyusun rencana untuk membunuh para rekan Raja, dan sekarang kejahatannya menghantui seluruh penjuru Hanyang.

“Shhh…. Sekarang diamlah, Solji-ah. Shhh…” Chaerin menenangkan gadis itu dengan menggertakkan gigi dan tubuh bergetar karena kebencian pada pria itu.

“Kau pasti sangat ketakutan. Jangan cemas, Hyori unnie dan aku akan memastikan dia menerima balasannya, neh? Sekarang diamlah…”

“Apa ada pelayan diluar? Tolong masuk.” Tanya Hyori dengan suara keras dan tak lama seorang pelayan masuk dengan menundukkan kepala.

“Bawa dia ke kamarnya dan bersihkan semua luka-lukanya dengan baik.” perintah Hyori dan gadis itu segera dibawa keluar menuju ke kamarnya.

“Aigoo, pria tua itu!” seru Hyori sambil memijit pelipisnya.

“Solji yang malang,” kata Chaerin dengan tangan terkepal.

“Ayo pergi. Kita bisa terlambat. Apa kau sudah siap, Sooyun-ah?” Hyori menoleh padanya sambik mengambil topi besar indah miliknya.

“Neh unnie, kau tidak akan bisa mengerti.”

**

Berjalan perlahan dalam balutan hwalot merah dan lengan berwarna pelangi yang memanjang didampingi oleh para pelayannya Minzy dan empat dayang istana disisnya dan dibelakangnya, Bom mencoba untuk bertahan dengan semua ritual pernikahan. Meski Lady Han yang merupakan Dayang Istana Utama untuk segala macam upacara telah membingnya, namun hiasan di kepala Bom yang terbuat dari wig besar dengan bermacam hiasan ornament hampir membuatnya menyerah. Bulatan merah di pipi dan keningnya, dia sangat yakin, terlihat menggelikan pada pipi tembamnya sementara dia merasa hampir pingsan karena kepanasan, salahkan berlembar-lembar pakaian yang dikenakannya.

Setelah memberikan penghormatan di aula para leluhur, dia melanjutkan untuk memberikan penghormatan kepada ayahnya. Bom ingin menangis, menyuarakan isi hatinya – akan ketakutan dan rasa cemas, akan kesepian karena kenyataan bahwa dia akan segera dibawa pergi dari keluarganya, dan karena gugup pada malam-malam dia diharuskan tidur disamping suaminya; namun hal yang paling mengancam air matanya mengalir adalah kenyataan bahwa dia harus segera meninggalkan tempat yang telah membentuknya menjadi seorang wanita bangsawan dirinya sekarang.

Dia membungkukkan bada begitu dia tiba dikamar ayahnya, para pelayan masih menundukkan kepala saat Bom beranjak menuju ke pintu – dan saat pintu terakhir akhirnya terbuka, cadar satin yang digunakan untuk menutupi wajahnya diturunkan hingga gungnyeo mengumumkan kedatangannya kepada Raja.

Bom berjalan masuk kedalam kamar ayahnya dan dengan bantuan pelayannya, dia membungk memberi hormat pada Raja yang duduk ditengah ruangan.

“Appa Mama,” katanya masih dengan kepala tetap tertunduk, takut jika dia akan hilang akal saat melihat wajah bingung dari sang ayah. “Saya kemari untuk-,”

“Mereka akan membawamu pergi… mereka juga akan membawamu pergi,”

“Appa Mama…”

“Anakku… anakku yang cantik,”

Bom melirik kepada para pelayan dan memberikan tanda agar mereka keluar. Dia tidak peduli jika dia akan jatuh dengan semua yang dikenakannya. Dia hanya merasa perlu waktu sendiri bersama sang ayah.

“Appa Mama, saya akan sering mengunjungi Anda, jangan cemas.” Kata Bom membuat Raja berdiri dan berjalan kearahnya. Raja berlutut dihadapa Bom dan menangkup kedua pipinya.

“Anakku… yang sangat kusayangi,” katanya. “Maafkan ayahmu ini karena tak bisa melindungimu. Tapi percaya padaku, aku sangat mencintaimu dan adikmu – lebih dari hidupku sendiri.”

Bom menganggukkan kepala pada ayahnya. “Appa Mama, saya mohon jaga diri Anda, neh? Putra Mahkota sudah melakukan segala yang dia mampu untuk mempersiapkan diri menerima tahta. Hiduplah dengan baik, Appa Mama. Saya pasti akan sangat merindukan Anda,” katanya dan segera air mata mulai mengalir turun di pipinya.

“Aisht, berhenti menangis. Anakku menangis,” kata Raja menghapus air matanya. “Diamlah, arwah ibumu pasti akan menuntunmu. Tersenyumlah putriku, langit tidak akan mengabaikanmu. Dan adikmu akan selamanya menjagamu.”

Bom mengangguk cepat sambil berusaha menahan air matanya keluar lebih banyak. Akankah dia bisa melihat ayahnya lagi? ketakutannya menjadi semakin besar disetiap menit yang terlewati.

“Jeonha, Agassi, sudah waktunya,” seru Lady Han dari luar dan segera para dayang yang dipimpin oleh Minzy kembali membantu Bom.

**

Para pegawai pengadilan Istana dan pelayan dari Keluarga Choi mengerumuni mempelai pria yang baru saja selesai menyerahkan ham kepada Ibu Suri. Pada pernikahan yang umum terjadi, akan ada negosiasi antara kedua belah pihak sampai sang mempelai memenangkan hak untuk menunjukkan dirinya kehadapan mempelai wanita; namun jelas sekali, Ibu Suri sangat bersedia untuk menyerahkan cucu perempuannya pada putra tunggal Kepala Penasehat Kerajaan dan salah seorang keturunannya. Seunghyun kemudian menyerahkan angsa liar sebagai tanda keseriusannya pada calon istrinya sekeluarga.

Setelah memberi hormat, Seunghyun berdiri dan hampir serentak dengan itu, iring-iringan bunyi drum dan gong memenuhi udara. Seunghyun mulai berjalan menuju ke Aula Upacara Istana dengan orang tua dan teman-temannya.

Inilah saatnya, pikirnya. Sebentar lagi, dia akan menjadi seorang suami. Dia tidak tahu caranya bagaimana menjadi seorang suami, tapi hanya ada satu hal dalam kepalanya sekarang.

Bahwa dia akan berusaha untuk menjadi seorang suami yang baik. Menjadi teman bagi sang Putri yang bisa mendengarkan keluh kesahnya, pria yang bisa menjadi sandaran, menjadi penyelamat, mungkin, dari ayahnya sendiri.

Berjalan perlahan, Seunghyun melirik kearah seberangnya. Lazimnya mempelai pria tidak diijinkan untuk melihat mempelai wanita sampai waktunya tiba, sayangnya rasa penasarannya sangat tinggi. Ida ingin tertawa melihat wig besar yang gadis itu kenakan, namun dia langsung menyadari pasti berat bagi Bom membawa beban seberat itu, dan dia tidak bisa mencegah rasa cemas yang muncul dalam hatinya. Entah kenapa, dia ingin segera menyudahi seluruh ritual yang dan beristirahat setelah semua persiapan yang dilakukan.

Suara genderang drum berakhir dan dia dibimbing untuk menurunkan lengannya dan itulah satu-satunya saat dia bisa melihat Putri secara keseluruhan. Mereka saling membungkukkan badan sebelum dia berlutut di tikar.

Bom perlahan menempatkan diri diseberang mempelai prianya dan para pelayannya membantu Agassi mereka untuk menurunkan lengannya sembari menurunkan cadar satin yang menutupi wajahnya dilepas – membuatnya kini bisa dilihat oleh semua orang. Bom akhirnya merasa bersyukur akan make-up yang dikenakannya, karena paling tidak itu membantunya mengalihkan perhatian mereka, membuat wajahnya yang merah dan matanya yang bengkak tidak kentara.

Jalannya ritual berisi memberikan hormat dan mematuhi tradisi. Bom dan Seunghyun mengucapkan janji mereka kepada Para Dewa dan leluhur – bahwa mereka akan menjadi pasangan suami istri yang baik. Para pelayan terus membantu mereka melalui semua itu saat sebiji kurma diletakkan di piring mereka. Mereka menawarkannya kepada para leluhur sebelum menggigit kecil. Sebuah gelas labu disajikan kepada mereka berisi anggur dan masing-masing dari mereka harus meminumnya, menyimbolkan kesetiaan masing-masing kepada pasangannya dan menjadi satu dengan berbagi segelas minuman. Hal ini hampir membuat Putri muntah, karena untuk pertama kali dalam hidupnya dia harus berbagi minuman dengan seseorang, khususnya seorang pria. Seunghyun menyadari hal itu, bagaimana Bom mengernyitkan hidung dan jika bukan karena semua yang hadir dihadapan mereka – para pejabat tinggi Negara, kecuali para pelayan Keluarga Choi dan Dayang Istana – dia pasti sudah mendengus dan memutar bola matanya.

Mereka kemudian diijinkan untuk berdiri – Bom dan Seunghyun sangat bersyukur, karena akhirnya mereka sudah melewati hal yang berat. Akhirnya, semua ini akan segera berakhir. Mereka kini saling menghadap satu sama lain, dan tak lama Bom membungkukkan badan dihadapan Seunghyun. Seunghyun balas membungkukkan badan dihadapan Bom. Keduanya kemudian menghadap kepada orang tua mereka, namun mata Bom hanya tertuju kepada ayahnya, sang Raja. Dia akan mengalah untuk saat ini, pikirnya. Namun kenyataan bahwa dia harus membungkukkan badan dihadapan Keluarga Choi – dia berjanji dalam hati untuk meminta maaf kepada Para Dewa dan leluhurnya untuk ini, karena dia sudah bersikap tidak jujur. Bom dan Seunghyun merendahkan kepala mereka dan membungkkuk dihadapan para orang tua, dan tak lama suara genderang grum kembali terdengar, menutup upacara yang berjalan dengan lancar.

**

“Mereka terlihat bahagia,” kata Dara sambil semakin merundukkan badannya, menempelkan tubuhnya pada atap dari Aula Upacara.

“Aku tahu. Kuharap aku bisa memberi selamat kepada Seunghyun.” Kata Ilwoo sebelum akhirnya menutupi wajahnya, sama seperti Dara. Mereka mengenakan pakaian serba hitam layaknya yang digunakan para prajurit, keduanya memutuskan untuk menyaksikan jalannya pernikahan dan melihat orang-orang disana setelah membersihkan pondok yang berhasil mereka temukan di hutan.

“Aku melihat Chaerin datang. Dasar babo. Kalau sampai dia tertangkap aku akan membunuhnya,”

“Bodoh. Jika dia tertangkap maka tamat sudah riwayatnya,” ujar Ilwoo.

“Aisht, diam.” Kata Dara sebelum menguap. “Aigoo, ini membosankan. Dimana aksinya?”

“Nanti malam, didalam kamar Seunghyun, antara dia dan Putri,” goda Ilwoo membuat tubuh Dara kaku dan tersipu dibalik penutup wajah hitam yang dia kenakan. Gadis itu mencoba mengenyahkan pikiran itu namun pipinya sudah terasa memanas.

“Aisht! Aku harusnya pergi kesini sendirian!” kata Dara sambil sedikit bergeser dari pria itu.

Makanan dan minuman tidak hentinya mengalir untuk pesta. Ini adalah pesta yang diselenggarakan oleh Istana setelah sekian lama dan setelah hari yang melelahkan, sebuah senyuman masih tersungging di wajah setiap orang setelah matahari mulai tenggelam. Melihat putrinya berada dalam suasana hati yang buruk pada hari pernikahannya sendiri, Raja memutuskan untuk kembali ke kamarnya dan beristirahat.

“Appa Mama, biar saya temani,” kata Jiyong berdiri, tapi Raja menepuk bahunya dan menggelengkan kepala. “Ani, tinggallah disini untuk kakakmu.” Kata Raja. Tidak memiliki pilihan lain, Jiyong lalu memerintahkan kepada para pelayan untuk mengantarkan Raja kembali ke kamarnya.

Jiyong akhirnya tinggal dan menyaksikan para bangsawan menyerahkan hadiah mereka kepada pasangan pengantin baru namun kedatangan dua orang gisaeng mengalihkan perhatiannya. Keduanya tampil bersama dengan sekelompok band, gadis yang lebih muda sangatlah familiar baginya.

“Chaerin,” gumamnya. Dia ingin menghampiri gadis itu namun gadis itu mulai memainkan gayageum-nya dengan band pengiring. “Apa yang dia lakukan disini? Apa dia benar-benar ingin terbunuh?”

Dia buru-buru berdiri untuk mencari ketiga pria yang telah ditunjuknya, tapi dia hanya bisa mengumpat dalam hati. Hari ini adalah hari pernikahan Seunghyun, apa dirinya mengira bahwa ketiga pria itu akan terus menempel padanya? Tanyanya pada diri sendiri.

“Aisht!” JIyong berdiri untuk mencari mereka satu per satu.

“Mau pergi kemana kau?” tanya Ibu Suri padanya.

“Hanya… ke kamar mandi, Halma Mama.” Dia mengundurkan diri dengan menundukkan kepala dan begitu Ibu Suri menganggukkan kepalanya, Jiyong berlari menjauh dari meja mereka.

Dara mengenali Jiyong dari tempatnya diatas dan mencoba mengalihkan perhatian pada Chaerin dan meskipun dia terpesona dengan cara gadis itu memainkan alat musik, tapi tetap saja matanya mengikuti gerakan sang Pangeran. Dia melihat pria itu menghampiri seorang pria muda yang dia yakini sebagai Seungri.

“Apa mereka berdua sedang bertengkar?” tanya Ilwoo.

“Neh? Siapa?”

“Penganti baru. Lihat.”

“Tunggu disini oppa,” Dara mulai bergerak menjauh.

“Yah, kau mau kemana?”

“Ayo berpisah disini oppa. Kita bertemu di jalan masuk rahasia nanti, sampai jumpa!”

“Aisht, kembali kemari! Yah!”

“Aku sudah lelah,” Bom berdiri dan Seunghyun melakukan hal yang sama.

“Apa Anda ingin kembali ke kamar agar bisa beristirahat sejenak?”

“Apa saya diijinkan melakukannya, Seobangnim[1]?” Bom menyipitkan matanya dan bertanya penuh nada sarkas.

“Anda tidak perlu berakting untuk patuh, Yang Mulia. Anda ini seorang pemberontak. Akan butuh waktu bagi saya untuk menjinakkan Anda.” Seunghyun menyeringai membuat Bom mendelik.

“Berharaplah.” Kata Bom sebelum berbalik dan berjalan menjauh.

“AIGOO YEOBO-KU SANGAT BERSEMANGAT UNTUK MENYIAPKAN BARANG-BARANGNYA DAN PULANG BERSAMAKU!” teriak Seunghyun membuat para tamu bertepuk tangan dan bersorak keras pada keduanya, well, membuat Bom menciut mali dan memutuskan untuk kabur dari pria itu.

“Aisht! Kau akan membayar untuk ini!” desis Bom. Minzy buru-buru mengikutinya dengan lentera di tangan dan menuntunnya kembali ke kamar.

“Anda berdua terlihat cocok bersama, Agassi.” Kata Minzy.

“Hentikan itu! Suasana hatiku sedang buruk,”

Keduanya terus berjalan menuju ke kamar Putri dan melihat lampu didalam kamar telah padam. “Minzy-ah, bukankah sudah kukatakan padamu untuk selalu membiarkan kamarku terang? Kenapa sekarang gelap? Aisht!” Bom mendelik, membuat Minzy berlari menuju ke kamarnya. Dia tidak mungkin salah, dia meninggalkan kamar itu dengan lampu menyala terang.

“Itu tidak mungkin Agassi! Saya meninggalkan obor dan lentera tetap menyala!” kata Minzy mulai memasuki kamar, dia mencoba meraba-raba kearah tempat obor diletakkan dan menyalakannya menggunakan lentera yang dia bawa, sementara Putri masih dalam proses masuk kedalam – akhirnya berhasil melihat dengan cahaya remang-remang.

“Aisht, leherku!” kata Bom menjatuhkan diri ke lantai.

“Butuh bantuan, Agassi?”

Bom buru-buru berdiri dari duduknya dan memeriksa kamarnya, namun sulit melihat siapa penyusup itu. “S-s-iapa… siapa kau? Tunjukkan dirimu!”

“Agassi? Ada apa?” tanya Minzy dan berlari masuk kedalam kamar dengan masih membawa lentera, dan disana – diseberang ruangan, mereka menemukan seseorang yang berpakaian serba hitam dari ujung kepala ke ujung kaki.

“Omona!” Minzy buru-buru melindungi Putri dengan tubuhnya. “Jangan mendekat! Aku tinggal berteriak dan Penjaga Istana akan datang kemari untuk—,”

“Aku sangsi kau akan melakukannya,” kata sosok hitam itu sambil melangkah mendekat kearah mereka dengan malas. Bom memiringkan kepalanya, karena entah kenapa suara itu terdengar sangat familiar di telinganya.

“Siapa kau?” tanya Putri. “Tunjukkan dirimu!”

“Dengan senang hati, Agassi,”

Sosok itu meraih penutup wajahnya, membuat dua orang lain di ruangan itu menanti hal yang tak terduga akan terjadi. Minzy mundur dan Bom berpegangan padanya sampai keduanya menutup mulut mereka dengan tangan begitu melihat siapa sosok dihadapan mereka.

“Saya mengharapkan segala yang terbaik untuk pernikahan Anda, Agassi,” Dara tersenyum dan membungkukkan badan dengan dramatis.

Bom menggeleng-gelengkan kepalanya dan mencoba mendorong Minzy kesamping agar dia berjalan menuju kearah Dara.

“Apa aku benar-benar melihatmu sekarang?” tanya Bom. “D-d-ara… apa ini benar-benar kau? Bagaimana… Oh Tuhan! Kau masih hidup! Kau masih hidup!” Bom berlari kearahnya dan memeluk gadis yang sudah dianggapnya sebagai sahabat terbaiknya sejak kecil, masih tidak bisa percaya bahwa gadis itu benar-benar disini.

“Ini aku, Agassi.” Kata Dara saat Bom menatapnya, mencoba menahan air matanya sendiri. Sekarang bukan saatnya untuk bersikap lemah, pikirnya. “Ya, saya masih hidup.”

“Ya Tuhan! Terima kasih Tuhan! Jiyong sudah lama mencari-carimu! Tujuh tahu, Dara-ah! Tujuh tahun. Akhirnya kau kembali!” kata Bom sambil mengeratkan pelukannya pada Dara, membuat gadis itu sedikit tertawa. Putri sama sekali tidak berubah. Masih saja impulsf dan berlebihan.

Minzy yang masih berdiri diujung ruangan juga menangis menyaksikan kejadian didepan matanya. Dia tidak bercaya Park Sandara yang dikenalnya selalu berbicara lemah lembut dan feminin akan berpakaian seperti itu dan bersikap seperti pria – belum lagi, cara bicaranya terdengar sangat jauh dari wanita elegan seperti dulu.

“Cukup, berhenti menangis. Harusnya Anda bahagia. Ini adalah hari pernikahan Anda. Saya hanya mampir kemari untuk menyapa Anda. Saya harus segera pargi.“ katanya menarik diri dari pelukan mereka.

“Tidak! Tinggallah sebentar lagi! Dimana kau tinggal? Chaerin! Apa kau melihatnya? Ya Tuhan, apa kau tahu dia sekarang menjadi seorang gisaeung? Aku juga mencemaskannya! Ilwoo oppa, dimana dia? Dan Sanghyun! Apa dia bersamamu?”

Dara mengerutkan alisnya atas ocehan Putri yang terus-terusan, namun pertanyaan terakhirnya membuat rasa penasarannya meningkat.

“S-s-sanghyun?”

“Neh, Putra Mahkota bilang dia melihat Sanghyun!”

Dara menggeleng-gelengkan kepalanya dan menggigit bibir untuk menghentikan tawanya. Betapa bodohnya, pikirnya. Putra Mahkota benar-benar bodoh.

“Kurasa saya memang terlihat seperti seorang pria sekarang,” kata Dara. “Itu adalah saya… di hutan waktu itu.”

“Kenapa kau… kau melukai Putra Mahkota… Dara-ah, kenapa kau melakukannya?” Bom terkejut mendengar pengakuannya.

“Dia… aisht, jangan bicara tentang ini. Saya harus segera pergi.”

“Tunggu! Jangan!!!”

“Noona, kau berbicara dengan siapa? Bolehkan aku masuk?”

Kepala Bom menoleh kearah pintu dan Dara hanya bisa mundur sambil menghunuskan pedangnya.

“Omona! Putra Mahkota disini!” seru Minzy.

“Neh aku disini! Buka pintunya! Ini penting! Yah! Apa yang sedang terjadi didalam? Buka pintunya!”

“Jangan berani, Minzy.” Dara memperingatkan gadis itu sambil meraih penutup wajahnya dan tidak lama kemudian Putra Mahkota menerebos masuk tanpa peringatan.

“Ada apa sebenarnya disini! Seungri akan membawa Chaerin sebentar ke kamarmu begitu dia selesai tamp—,” Jiyong berhenti berbicara begitu matanya melihat sosok hitam di sudut matanya. Perlahan dia menoleh, dan langsung mundur begitu melihat sosok berbalut serba hitam sampai ke wajahnya tengah menggeleng-gelengkan kepala kearah Putri.

“Siapa kau? Apa artinya semua ini?” Jiyong mengalihkan pandangannya dari sosok hitam itu kepada Bom.

“Bukan urusan Anda,” kata sosok hitam itu mengembalikan pedangnya kedalam sarung dan berlari kearah Jiyong, mendorongnya kesamping agar dia bisa kabur dengan bebas.

“Berhenti!” Jiyong segera bangkit dan berlari mengejarnya.

Dara menyeringai dari balik penutup wajahnya dan terus berlari menuju ke tempat tergelap dari halaman, memancing pria itu padanya.

“Siapa yang menyangka hal ini terjadi jauh lebih cepat dari yang kukira?” dia tersneyum dan bertanya pada dirinya sendiri.

“Kubilang berhenti!” kata Jiyong dan seolah mendengarkan perintah dari Pangeran, Dara langsung berhenti.

“Seperti yang Anda perintahkan, Jeoha.” Kata Dara, punggungnya masih menghadap kearah Pangeran. Jiyong mengerutkan alisnya saat mendengar suara itu. Dia memutuskan untuk berjalan mendekat dan mencoba membuat orang itu terus bicara.

“Kepada siapa kau bekerja? Kenapa kau ada disini? Siapa kau?” tanya Jiyong, namun Dara hanya berdiri diam disana.

“Jawab aku saat aku bertanya padamu! Siapa kau?!!!”

“Apa Anda yakin Anda sudah siap sekarang, Jeoha?” tanyanya sambil perlahan berbalik menatap pria itu. “Saya tidak percaya Anda masih sama bodohnya seperti Pangeran yang saya temui sebelumnya. Menggunakan kekuasaan yang Anda miliki tanpa menggunakan otak Anda. Lihat diri Anda, saya bisa dengan mudah membunuh Anda hanya dengan tangan kosong.” Kata Dara sambil berjalan mendekat kepada Jiyong.

“MWORAGO??? KAU MAU MATI?”

“Anda tidak memiliki senjata, dan belum lagi Anda ini lemah—,”

“Lemah? Huh! Siapa bilang aku lemah, huh?” balas Jiyong, terlihat sangat kesal atas kalimat-kalimat ejekan yang dilontarkan padanya.

“Jadi Anda ingin bertarung?” tanya Dara. “Kalau begitu dengan senang hati akan saya patuhi.”

Dara melemparkan pedangnya ke tanah dan memposisikan dirinya dihadapan Jiyong, namun Pangeran hanya tertawa dan membuang pandangan.

“Aku tidak takut pada kematian. Itu akan jauh lebih mudah. Sekarang aku mengerti ayahku. Kematian jauh lebih mudah daripada hidup yang dihantui masa lalu.”

“Anda bohong!” Dara buru-buru menerjang maju dan menyerang wajah Pangeran. Dia melemparkan pukulan sebelum  berayun untuk menendang sang Pangeran, namun pria itu bisa mengelak serangan-serangannya dengan mudah.

“Kau sepertinya marah,” kata Jiyong sambil maju dan meninju Dara pada perutnya, membuat gadis itu terjerembab karena kaget dan kesakitan.

“Beraninya Anda!” dia berteriak melengking karena marah dan mendengar suaranya membuat Jiyong terpaku di tempat.

Seolah ada kilas balik dalam pikirannya, kembali pada malam dimana Dara memohon pada dirinya untuk menyelamatkan gadis itu. Kembali pada saat Penjaga Istana membawa gadis itu pergi darinya.

“Dara…” pikirnya. Dia menoleh kearah gadis itu namun sudah terlalu terlambat.

Punggung Jiyong mendarat di tanah dan dia hanya bisa meronta kesakitan. Dia mencoba bergerak, namun tubuhnya ditindih ke tanah, sosok hitam itu berada diatasnya, mencegahnya bergerak.

“Anda pembohong!” katanya dengan nafas terengah-engah. “Dasar Pangeran Bodoh tidak berguna! Beraninya Anda berbicara tentang kematian! Anda belum cukup menderita. Anda belum cukup melihat! Anda tidak tahu apapun tentang itu!” katanya sebelum menukar tangannya yang memegangi pergelangan tangan Jiyong.

“D-d-…”

“Anda ingin tahu siapa saya?” tanya Dara dan dalam hati dia berharap pikiran rasionalnya akan menghentikannya untuk menampakkan diri.

Namun sepertinyapikiran rasionalnya telah pergi, TELAH MENGKHIANATINYA. Perlahan, dia menarik lepas penutup wajahnya dan membuat mata Jiyong terbelalak penuh keterkejutan.

“Park Sandara… apa Anda sudah lupa, Jeoha?”

**

[1] Seobangnim = panggilan untuk suami Putri

Jeng jeng jeng~ akhirnya mereka ketemu… XD
Maaf, kalo update chapter ini dikit lebih lama dari frekuensi beberapa hari terakhir… harap maklum, ini dikitan lebih panjang… dan ritualnya itu tuuh~ nikahannya Putri Bom sama Seunghyun bikin males… :3
Daaan~ gimana nanti setelah Jiyong ketemu Dara?? XD kkkkkk tunggu chapter depan… ciao~ XD

<< Previouss Next >>

39 thoughts on “The King’s Assassin [22] : A Friend or A Foe

  1. Akhhhh akhirnya mreka ktemu mski bkn pertemuan yg manis tpi sdah membuat penasaran gmana mreka nntinya next chapter

    Alien couple menikah,,,,,,..chukae
    Gk bsa ngebayangin gmana park bom pke hanbok dgn segala mcem perhiasan di kpala .

  2. Akhirnya alien couple kesayanganku menikah ala joseon😄😍 #terharu. Bom unnie, sanghyun oppa udah meninggal, ilwoo oppa masih hidup kok #bantuin_ngejawab. Akhirnya daragon bertemu lagi meskipun bukan pertemuan yg romantis.

  3. Ommo. Akhirnya…
    Semoga cepat bersatu..
    Terima kasih author cerita nya jd penghibur di saat aku sakit..
    Kayak nonton drama asli aja
    Next chept

Leave a comment