Phases : Șapte

Untitled-2

Ada yang bertanya, di chapter terakhir kemarin jadikah Dara nemenin Jiyong ke makam ommanya? Jawaban saya coba periksa lagi chapter 4, disitu ada kalau Dara selalu menemani Jiyong ke makam ommanya kecuali taun ini.. Jadi secara tersirat akhirnya Dara mau nemenin Jiyong..
Terus buat status hubungan Dara dan Jiyong.. hmmms, gimana enaknya kita nyebut mereka? HTS? TTM? Lebih enak yang mana? LOL
Sebelumnya, kalau nggak salah saya juga sudah pernah menyebutkan bahwa disini Jiyong sedikit punya masalah dengan yang namanya komitmen.. chapter yang mana, saya belum periksa lagi.. >.< Jadi mungkin gambaran saya tentang sikap Jiyong adalah “Action speak louder than words,”
Soal orang ketiga, sampai sekarang saya tidak berpikir akan memunculkan orang ketiga.. tapi siapa tahu pikiran saya berubah tiba2, saya tidak bisa menjamin.. XD
Sepertinya penjelasan ini sudah cukup panjang, jadi.. sekarang, selamat membaca.. see you at the bottom.. ^^/

~~~~~~~~~~~~~~~~~~

 

Weleri, 10 September 2013

 

Acara sasrahan[1] sudah selesai sejak sore tadi, namun kesibukan masih terlihat jelas di rumah joglo itu. Dara hanya bisa melongo saat malam itu juga para lelaki dari lingkungan sekitar bergotong royong mencopoti papan-papan kayu dinding depan pendopo dibawah komando dari Slamet. Dia baru tahu jika dinding papan dipasang tanpa menggunakan perekat atau penguat apapun. Hanya dengan memukul bagian dalam dinding dengan palu, papan terlepas dengan mudah.

Acara pernikahan memang dilangsungkan di rumah, tidak menggunakan gedung seperti yang biasa Dara saksikan di Korea. Namun dia tidak menyangka bahwa akan tiba saat dalam hidupnya, melihat dinding depan pendopo kosong, hanya tersisa kolom beban dinding depan. Sementara itu beberapa pekerja dari jasa penyelenggara pesta sibuk memasang pelaminan dan tenda. Pelaminan diletakkan di pendopo sementara tenda pernikahan menutupi seluruh bagian halaman.

“Ngelamun aja!” seseorang mengagetkan Dara.

“Omo!” Gadis itu menoleh dan menemukan Bagus meringis kepadanya. “Aisht, how rude are you to your noona!” ungkap Dara kesal. Tangannya dia letakkan di dada, mencoba menenangkan detak jantungnya.

“Hehehe. Maaf..” Bagus menunjukkan dua jarinya membentuk huruf V. Dara mendengus pelan, lalu kembali memperhatikan beberapa orang masih bekerja melepas beberapa papan dinding kayu yang tersisa.

“I never know, the walls could be easily removed.” Ujar Dara, setelah Bagus mengagetkannya tadi dia jadi sadar bahwa dia masih membawa kameranya dan tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk mengabadikan kejadian ini.

“Nah, namanya juga rumah joglo,” kata Bagus sambil mengedikkan bahu.

“Huh, what?” telinga Dara menangkap satu kata asing.

“Eh, apa?” Bagus bingung.

“What you said earlier.. something about the house..” jelas Dara.

“Ah, joglo.” Jawab Bagus. “Jenis rumah seperti ini namanya joglo, bentuk rumah adat di Jawa.”

“Java, not Indonesian?” potong Dara, takut dia mendengar informasi yang salah.

Bagus menggelengkan kepalanya. “Khusus di Jawa. Indonesia punya banyak bentuk rumah adat lain, salah satunya adalah joglo seperti ini.” Dara mengangguk-anggukkan kepalanya mendengarkan penjelasan bagus. Dalam waktu singkat di kepalanya sudah tersusun rencana lain untuk menambah obyek edisi akhir tahun yang dia janjikan pada bosnya.

“Is every joglo house’s wall could be easily removed like that?” tanyanya penasaran.

Bagus menangguk. “Konstruksi joglo yang asli memang mudah dilepas, tapi itu tidak berarti joglo itu ringkih. Itu karena joglo sama sekali tidak menggunakan paku atau perekat apapun, yah macam rumah tradisional pada umumnya..”

“Ah, arasso.. just like hanok[2],” gumam Dara. “Tell me more about this joglo.” Pinta Dara antusias. Jelas sekali dia sudah positif memutuskan untuk mengangkat tentang joglo sebagai salah satu topik ini dalam edisi akhir tahun yang sudah dia janjikan akan selesai bersamaan dengan liburannya ini.

“Ehe, aku nggak ngerti banyak soal joglo,” mendengar ini wajah Dara langsung lesu. “Komponen rumah ini tidak benar-benar sesuai seperti joglo Jawa yang sebenarnya.” Dara mengangkat sebelah alisnya disini, kurang begitu mengerti dengan maksud perkataan sepupunya. Melihat ekspresi Dara, Bagus menggaruk kepalanya, bingung menjelaskannya. “Aduh, bapak mungkin lebih ngerti soal ini dibanding aku.”

Dara sedang memeriksa gambar hasil jepretannya saat dia melihat mamanya berjalan di ruang tengah dari arah dapur belakang, membawa secangkir kecil cairan berwarna hitam – mungkin kopi. Kening Dara berkerut, mamanya bukan seorang penikmat kopi.

“Kopi untuk siapa, ma?” tanya Dara, mengalihkan perhatiannya dari kamera.

Giliran mamanya yang kini mengerutkan kening. “Ini bukan kopi,” kening Dara berkerut. “Ini rebusan daun sirsak,”

Kedua alis Dara naik, “Untuk apa?” tanyanya.

“Obat untuk diabet mbah putri,” mendengar ini bibir Dara membentuk huruf O.

“Ah, mama..” panggilan Dara kembali menghentikan langkah mamanya, wanita paruh baya itu kembali berbalik menatap putrinya. “Apa mama tahu tentang konsep rumah joglo?” tanyanya. Tidak ada salahnya mencoba kan?

“Apa yang mau kamu tanyakan?” tanya mama Dara sesaat setelah duduk di tepi tempat tidur, sementara Dara duduk bersila menatap laptopnya, juga diatas tempat tidur.

Dara mengalihkan perhatiannya dari laptop kepada mamanya. “Kenapa rumah ini berbeda dari joglo?” jawabnya.

Mamanya mengerutkan kening, tidak menangkap maksud putrinya. “Maksudmu apa?”

“Bagus bilang, rumah ini berbeda dari joglo asli? Memangnya joglo asli itu yang seperti apa, Ma? Kenapa rumah ini bisa berbeda? Kata mama, rumah ini dibangun oleh harabeoji mama?” Dara memberondong pertanyaan.

 

“Aduh, tanya satu-satu kenapa, sih? Bisa kan?” protes mamanya. Tapi meski begitu beliau tersenyum melihat antusiasme putrinya. Baru kali ini Dara terkesan sangat tertarik dengan tanah airnya, bukan karena dia melupakan usulnya, tapi karena kendala bahasa. Bahasa Indonesia yang hingga kini tidak bisa dia lafalkan sebagaimana orang Indonesia sebagaimana mestinya itulah yang menjadi penghambat. Bagi putrinya itu kesulitan pelafalan Bahasa Indonesia berpengaruh kepada kecintaannya pada negara ini secara keseluruhan. Mungkin salahnya, karena Dara lebih dulu mengenal bahasa Korea dan Inggris dibanding Bahasa Indonesia.

“Kalau soal joglo, om Sam yang lebih jago. Tapi mama bisa kasih tahu kamu sedikit-sedikit, mungkin nanti kamu bisa konfirmasi ke om Sam kalau om-mu itu sudah nggak sibuk.” Mama Dara memulai penjelasannya. “Joglo asli[3] dibangun berdasarkan filosofi papat kiblat limo pancer[4]..”

 

“Huh, apa itu ma?” potong Dara mengerutkan alis.

“Itu adalah filsafat yang dipegang oleh orang Jawa, semacam microcosmic dalam diri manusia.. papat kiblat..” mama Dara menunjukkan empat jarinya, “Papat itu berarti empat, papat kiblat dimaksudkan bahwa manusia memiliki empat hawa nafsu – jangan tanya mama, karena mama lupa – dalam joglo diwujudkan dengan empat soko guru atau tiang utama. Sedangkan yang kelima – ingat bagian limo pancer – maksudnya adalah yang kelima sebagai penyempurna; diwujudkan dengan atap berbentuk limas..” Dara hanya bisa menatap mamanya dengan mulut terbuka. Tidak satu pun informasi yang baru dia terima itu bisa diserap oleh otaknya.

Apa hubungannya antara rumah dengan nafsu?

Mama Dara yang mengerti sorot kebingungan dari putrinya, mendesah pasrah. Tidak akan mudah menjelaskan ini pada Dara yang buta dan kurang begitu tertarik pada budaya Jawa.

“Kamu tahu empat tiang yang berada di tengah ruangan di pendopo?”

Dara mengangguk. Tentu saja dia tahu, bukan sekali atau dua kali keningnya harus benjol karena tiang itu.

“Nah, itu yang disebut sebagai soko guru, hanya keempat tiang itu..”

“Lalu tiang-tiang yang lainnya?” potong Dara. seingatnya tiang di pendopo tidak hanya empat.

“Tiang utamanya hanya empat, yang lain hanya sebagai pendukung.” Dara mengangguk-angguk dibagian ini. “Ngomong-ngomong soal pendopo, dari sana sudah bisa dijelaskan perbedaannya dengan joglo keraton.” Lanjut mamanya.

“Huh? Chincha?” Bagi Dara yang tidak pernah mengetahui bentuk joglo asli, tentu saja baginya rumah ini sudah mewakili bentuk rumah tradisional.

“Bagian pendopo pada rumah joglo asli itu tidak berdinding, digunakan sebagai tempat untuk berkumpul. Dalam konsep joglo bagian rumah dibagi menjadi 3 bagian utama yaitu Pendopo, pringitan, dan omah dalem.  Kamu sudah tau fungsi pendopo secara umum,” jelas mamanya. Dara mengangguk, meski telinganya kembali menangkap hal-hal asing.  “Pringitan adalah bagian tengah rumah yang difungsikan sebagai tempat pertunjukan wayang,” di bagian ini alis Dara naik sebelah. Dia tidak pernah tahu pertunjukan wayang diselenggarakan didalam rumah. Omnya mengagendakan pertunjukan wayang dalam serangkaian acara pernikahan Putri ini, tapi tempat yang dialokasikan adalah halaman depan, bukan didalam rumah. “Itu dulu, dan pringitan di rumah ini sudah berbeda fungsi. Lagipula sudah tidak terlihat seperti pringitan sebagaimana mestinya.” Lanjut mamanya, bibir Dara hanya membentuk huruf O. “Yang terakhir adalah omah dalem, dalam joglo asli terdapat tiga buah senthong…”

“Gentong?” kening Dara berkerut, kedua alisnya bertemu. Untuk apa ada harus ada tiga buah gentong didalam rumah? Kata mbah putrinya, gentong adalah untuk tempat air dan harusnya diletakkan di dapur. Dan kenapa harus tiga?

Mama Dara menepuk keningnya. “Bukan gentong tapi senthong. Senthong itu artinya kamar.” Lagi-lagi bibir Dara membentuk huruf O, dia nyengir menatap mamanya sambil menggaruk rambutnya. Tapi kemudian otaknya berputar cepat, rumah ini tidak hanya memiliki tiga buah kamar. Tujuh atau delapan kamar kalau dia tidak salah. “Itu menjadi perbedaan yang lain lagi, karena ketiga kamar dalam joglo memiliki fungsinya sendiri-sendiri, mama kurang yakin apa saja. Tapi yang pasti posisinya menghadap kearah pendopo,” Penjelasan dari mama Dara bukannya membuat gadis itu mengerti malah dia semakin bingung. Dan mamanya bisa melihat hal itu.

“Sebaiknya kamu bertanya kepada arsitek saja, mama akan cari kenalan mama yang seorang arsitek sebelum mama pulang ke Seoul.” Putus mamanya membuat wajah Dara seketika itu juga cerah.

“Mama, saranghae!” kata Dara senang. Setidaknya satu topiknya aman.

“Nado,” mamanya tersenyum dan bangkit berdiri. “Sebaiknya kamu tidur sekarang, besok pasti lebih sibuk lagi.” Katanya kemudian mengecup kepala putrinya lalu berjalan menuju kearah pintu. Tapi baru tangannya menyentuh handel pintu, wanita itu berbalik. “Kalau mama nggak salah, anak dik Laras itu arsitek,” nadanya menggantung, tidak yakin. “Besok coba mama telepon atau tanya langsung kalau ketemu.”

“Dik Laras? Nugu?” Dara tidak merasa pernah mendengar nama itu sebelumnya.

 

“Hush, buatmu itu bulik Laras.” Mamanya membenarkan.

“Ah, neh… bulik Laras nugu?” ulang Dara.

 

“Itu loh, yang rencananya mengenalkan putranya ke kamu. Selamat tidur, nak.” Dan dengan begitu Mama Dara keluar dari kamar yang ditempati putrinya. Meninggalkan gadis itu dalam kebingungan. Siapa?

Lalu tiba-tiba otaknya mengingat kejadian sore tadi. Saat seorang ibu seusia mamanya dengan riang mencoba untuk meyakinkan Dara agar mau dikenalkan kepada putranya.

“Mama!” Dara mengerang lalu membenamkan wajahnya pada bantal. Tepat pada saat itu ponselnya berdering. Telepon masuk.

*

Seoul, 11 September 2013

“MWORAGO?!” Jiyong berseru, sama sekali tidak senang mendengar berita yang baru saja disampaikan padanya.

Baru saja dia menelepon Dara, mengabaikan jarak waktu antara Korea dan Indonesia. Tapi gadis itu yang memintanya untuk menelepon ditengah malam. Dia awalnya keberatan karena itu artinya dia akan mengganggu jam istirahat gadis itu – tidak masalah baginya tentu saja, tapi Dara bersikeras dengan alasan dia akan sibuk seharian dengan acara pernikahan sepupunya itu. Dan cerita dengar yang disampaikan gadis itu sama sekali tidak dia harapkan.

“Yah, Dara-yah!”

 

“Aisht, Kwon Jiyong! Tidak perlu berteriak seperti itu!” Jiyong bisa membayangkan wajah merengut gadis itu. tapi bukan itu yang penting sekarang..

“Aisht… tapi, andwe! Kau tidak boleh bertemu dengan pria itu!”

Dara tadi bercerita tentang rencana topik baru yang akan dia ambil dalam edisi khusus akhir tahun majalahnya. Awalnya Jiyong setuju dan mendukung gadis itu saat mengatakan bahwa dia akan mengangkat joglo sebagai topik bahasan, bahkan dia masih tenang saat mendengar mama Dara mengusulkan untuk berkonsultasi langsung pada seorang arsitek, tapi kemudian…

“Tapi Jiyong, aku tidak akan mendapat tulisan apapu jika aku tidak berkonsultasi kepada arsitek. Kau mau aku menulis tulisan tanpa dasar yang jelas, yah!”

 

“Tapi jelas-jelas ibu pria itu ingin menjodohkan kalian! Andwe, kau bisa mencari arsitek lain!” Jiyong masih saja keras kepala. Bayangan tentang Dara bersanding dengan pria lain yang bahkan belum pernah dia lihat akan membuat mimpi buruk baginya.

“Siapa? Aku tidak punya kenalan arsitek manapun disini, Jiyong. Aku ingin membahas tentang joglo bukan hanok.” Dara masih mencoba bersabar.

“Tapi Dara-yah, bagaimana kalau pria itu sangat tampan dan kau akan langsung jatuh cinta pada pandangan pertama padanya?” kepalanya menggeleng-geleng keras, mencoba mengenyahkan bayangan yang dibentuk imajinasinya sekarang. Tidak, tidak boleh.

Diam…

“Jiyong… kita ini apa?” tanya Dara dengan nada lelah.

 

Deg. Jiyong tertampar dengan pertanyaan itu. Pertanyaan itu yang selalu ditanyakan Dara, dan selalu dia tidak bisa menjawabnya. Mereka ini apa?

“Dara…” panggil Jiyong lirih, tidak ingin membahas tentang topik ini.

“Apa kau tidak percaya padaku?” Dara memotong dengan pertanyaan ini.

“Tentu saja aku percaya padamu, tapi tidak dengan pria itu.” jawabnya cepat. “Dia pasti akan langsung terpesona padamu.” Dia mengungkapkan kecemasannya. “Sama sepertiku,” tambahnya lirih tanpa sadar.

“Mwo, kau bilang apa barusan?” pertanyaan Dara membuat Jiyong langsung merapatkan bibirnya. Apa yang baru saja dia katakan?

“Ah, ani, aniyo…” tiba-tiba saja dia merasa panas, dan keringan mulai bermunculan di keningnya. Mungkin dia lupa mengatur suhu ruangan, begitu pikirnya.


[1] Sering disebut juga sebagai seserahan. (maaf karena tarnyata hal ini ketinggalan di penjelasan kemarin)

[2] Hanok = rumah tradisional Korea

[3] Joglo asli yang dimaksud merujuk kepada konsep joglo tradisional dimana bagian-bagiannya terdiri dari pendopo (bagian depan), pringitan (bagian tengah), dan omah dalem (bagian dalam yang terduru dari 3 buah senthong dan dapur); sementara kamar mandi atau padhusan terletak pada bagian luar. Atap joglo menggunakan bentuk atap susun limasan yang ditopang oleh empat tiang utama yang disebut sebagai soko guru.

[4] Papat kiblat limo pancer = falsafat jawa dalam perwujudan konsep mandala atau kosmos mikro (microcosmic) pada diri manusia. Diumpamakan sebagai empat dimensi ruang yang digolongkan kedalam empat penjuru arah mata angin yang menjadi dasar sifat nafsu manusia yaitu lauwamah, supiyah, amarah, muthmainah; dimana hanya nafsu muthmainah yang memiliki karakter positif, sementara ketiga nafsu lainnya merupakan nafsu dengan karakter negatif.

 

~ Tbc ~

Oke, saya minta maaf dengan lamanya waktu yang saya butuhkan untuk posting chapter ini, tapi jujur saya sedikit mengalami writer’s block.. (_ _”) Hmms, saya hanya bisa berharap atas apa yang coba saya sampaikan disini bisa ditangkap dengan baik.. walaupun mungkin jauh lebih sedikit dibanding sebelum2nya.. LOL

Menyambung dari penjelasan sebelumnya, hal kedua yang ingin saya jelaskan adalah soal penyebutan chapter.. Nah, adakah yang tahu apa itu? Bahasa apa itu? Buat yang udah tahu, selamat.. ternyata wawasan bahasanya luas.. XD
Buat yang belum tahu, itu adalah penyebutan numerik dalam bahasa Rumania.. >.< Jadi terjemahan kasarnya adalah begini Fase : Satu, Fase : Dua ; dst…Kenapa bahasa Rumania? Saya sendiri nggak tahu, tapi pas menjajal berbagai jenis bahasa yang disediakan oleh google translate, itu yang paling membuat saya tertarik.. >.< *penguasaan bahasa asing saya terbatas, jadi saya harus bertanya kepada ahli yang paling mudah dijangkau LOL* 
Mungkin akan ada yang bertanya lagi, kalau gitu kenapa judulnya nggak sekalian dalam bahasa Rumania.. Nah… kalau itu karena sudah terlanjut.. LOL.. Posternya sudah selesai, dan saya nggak mau ngulang lagi proses itu.. >.< *alasan ini adalah yang paling absurd*
Oke, sampai jumpa kepada penjelasan2 saya yang lain di chapter2 yang lain.. Bubbye.. ^^/

………………………………………………….

<< Previous Next >>

 

40 thoughts on “Phases : Șapte

  1. Jiyongggg -__-
    Apa sih sebenarnya mau jiyong ?
    Dara gak boleh ketemu sama cowok lain, tapi dia juga gak ngjelasin hubungan mereka sebenarnya seperti apa

Leave a comment