An Unexpected Love [Chapter 4]

An-Unexpected-Love

Author : Atyka Yoonique
Fb/twitter/blog : Atyka Ishmah Winahyu/@AtykaYoonique/atykayoonique.com
Genre : Romance, comedy.
Cast : Sandara Park, Kwon Jiyong, Park Bom, Choi Seunghyun, Sullu, Jung Il Woo, etc.

Seunghyun P.O.V

“Kau?” aku terkejut ketika melihat wanita yang berada di depanku.

Wanita yang juga mengenakan jas putih seperti Dokter Dara itu berdiri mematung didepanku dengan mata sedikit terbelalak.

“Kau, yeoja yang…” aku berdiri dan perlahan mendekatinya. Namun belum sempat kuselesaikan ucapanku, tiba-tiba wanita itu bergegas pergi dengan wajah ketakutan.

“W..wae? Ada yang salah?” gumamku sedikit bingung.

“Apa kalian berdua saling mengenal?” tanya Dokter Dara sedikit mengejutkanku.

“A.. ani. Hanya saja aku tidak sengaja bertemu dengannya beberapa saat lalu. Kami tidak sengaja bertabrakan di lorong rumah sakit,” terangku sembari mencoba mengingat kejadian beberapa saat lalu itu.

Flashback

“Yeobboseo Oppa, eodisseo?”, ucap Sulli.

“Aku sudah sampai di rumah sakit. Sekarang aku sedang berjalan di lorong. Kau dimana?” ucapku dengan langkah yang nyaris berlari.

“Aku ada di depan ruang operasi, Oppa. Jika kau masuk dari gerbang utama berjalanlah lurus hingga sampai didepan kantin, disebelah kantin ada lift kemudian naiklah ke lantai 4,” jelasnya.

“Ne, tunggu aku,” ucapku kemudian memutuskan sambungan telepon.

Aku terus mempercepat langkahku hingga tak memperhatikan situasi disekitarku dan tiba-tiba tanpa sadar aku menabrak seorang yeoja di persimpangan lorong.

“Aigooo,” teriak yeoja yang memakai jas putih itu, bisa kuduga ia adalah seorang dokter di rumah sakit ini. Ia terjatuh dan beberapa barang yang ia bawa berserakan di lantai.

“Ah, jeongmal mianhae. Kau tidak apa-apa?” aku mendekatinya dan mencoba membantunya untuk berdiri.

“Huaaa! Jangan sentuh aku!” teriaknya ketika aku menyentuh lengannya. Ia menepis tanganku dengan kasar.

“M.. maaf apa kau baik-baik saja, nona? Apa kau terluka?” ucapku mencoba menatap wajahnya yang sebagian tertutup rambutnya yang panjang, namun ia terus saja menundukkan wajahnya sehingga aku tidak dapat melihatnya dengan jelas.

“Pergi! Pergi!” teriaknya terdengar ketakutan. Beberapa orang yang melewati kami menatap kami kebingungan. Kini ia menutupi wajahnya dengan satu tangannya sembari memunguti barang bawaannya yang berserakan dengan tergesa-gesa.

Aku yang kebingungan mencoba untuk membantunya memunguti barang-barang miliknya yang berserakan, namun lagi-lagi ia menepis tanganku dengan cepat. Aku bisa mendengar nafasnya yang cepat.

“Apa ia ketakutan?” tanyaku dalam hati.

Segera setelah selesai memunguti barang-barangnya ia kemudian berdiri dengan tetap menundukkan wajahnya dan pergi seperti orang ketakutan. Saat itulah aku dapat melihat wajahnya dengan sedikit lebih jelas.

“Huh?” gumamku pelan setelah melihat wajahnya lebih jelas. Saat itu juga aku merasa otakku membeku sesaat. Aku termenung sejenak mencoba mengembalikan akal sehatku. Dan ketika aku melihat kelantai, aku hampir saja menginjak sebuah benda kecil. Aku memungutnya dan memperhatikan benda kecil yang tak lain adalah tanda pengenal milik wanita tadi. Disana terdapat sebuah foto berukuran kecil dan beberapa keterangan di dalamnya.

“Dokter Park Bom!” teriakku mencoba memanggilnya sebelum ia menghilang. Namun ia malah mempercepat langkahnya setelah aku memanggilnya.

“Dokter Park Bom! Tunggu, kau menjatuhkan sesuatu!” kini aku mencoba mengikutinya. Namun ia berlari secepat kilat dan terlihat semakin ketakutan. Tak lama kemudian ia menghilang entah kemana.

Flashback End

“Oh, jadi begitu,” ucap Dokter Dara singkat.

“Uhm.. bolehkah aku menanyakan sesuatu?” tanyaku nyaris berbisik.

“Tentu saja, apa yang ingin tuan tanyakan?” ucapnya dengan wajah penasaran.

“Uhm.. sebenarnya ini tidak terlalu penting, tapi.. uhm, tapi aku ingin sekali mendengar pendapatmu,” ucapku sedikit ragu.

“Pendapatku? Pendapat tentang apa?”

“Tapi tolong jangan menganggapku pria yang aneh. Uhm, menurutmu wajahku ini… uhm, wajahku ini menakutkan atau… tidak?” ucapku sedikit terbata.

“Hah? Uhm,” wanita didepanku kini hanya bisa menutup bibirnya rapat-rapat. Aku tau ia kini sedang berusaha keras menahan tawanya agar tidak meledak.

“Tertawa saja jika kau memang ingin tertawa,” ucapku dengan wajah cemberut.

“Uhm, maafkan aku. Aku tidak bermaksud….” ucapnya merasa tidak enak padaku.

“Tidak apa-apa aku bisa mengerti kalau pertanyaanku itu memang aneh. Tapi aku sepertinya memang harus menanyakan hal itu karena hal itu terus mengganjal di pikiranku,” jelasku panjang lebar.

“Wae?” tanyanya polos.

“Entahlah, sejak bertemu dengan temanmu tadi dan melihatnya begitu ketakutan karena melihatku aku merasa ada yang salah dengan wajahku,” jawabku dengan jujur.

“Ooh, begitu. Hmm, sebenarnya…..” ucapnya dengan terlihat sedikit berpikir.

“Sebenarnya apa?” tanyaku tak sabaran.

“Tuan ingin aku jujur atau sedikit berbohong?” tanyanya sambil sedikit mencondongkan tubuhnya kearahku.

“Tentu saja aku ingin jawaban yang jujur,” jawabku tegas.

“Hmm, baiklah kalau begitu,” ucapnya pendek.

Hening

“Heey, ayo jawab. Kenapa kau diam saja?” tanyaku dengan nada sebal.

“Ah, ya. Aku sedang berpikir tadi. Kekeke,” ucapnya sambil terkekeh. “Baiklah akan ku jawab sekarang. Hmm, sebenarnya wajah tuan memang sedikit menyeramkan. Ingat, sedikit. Itu artinya tidak terlalu banyak. Jadi kau tak perlu khawatir keke,” ucapnya sedikit berhati-hati. Aku tau ia mencoba untuk tidak menyakiti perasaanku dengan mengatakan bahwa wajahku hanya sedikit seram.

“Aku tau kau berbohong,” ucapku tegas.

“Mwo?”

“Aku tau kau berbohong dengan mengatakan bahwa wajahku sedikit seram. Padahal jika melihat kenyataannya dengan melihat wajahku saja seorang wanita bisa ketakutan seperti itu. Bagaimana bisa kau mengatakan sedikit?”

“Ani, aku tidak berbohong. Itu memang kenyataannya. Wajahmu memang hanya sedikit menyeramkan,” ucapnya membela diri.

“Lalu bagaimana bisa temanmu itu terlihat sangat ketakutan ketika melihatku. Tidak hanya sekali tapi untuk kedua kalinya kami bertemu ia juga bersikap seperti itu,”

“Hmm, sebenarnya bukan wajahmu yang membuatnya ketakutan,” ucapnya lirih terdengar berhati-hati.

“Mwo? Lalu apa?” tanyaku masih penasaran.

“Ia mengidap Androphobia,” jawabnya singkat.

“Mwo? B..bagaimana bisa? Seorang dokter dan wanita cantik seperti dia?” gumamku tak percaya.

“Lalu, bagaimana dia menjalani hidupnya?” lanjutku lagi.

“Karena tuan sudah kuberitahu, tolong jaga sikap tuan di depannya. Ia tidak bisa menghadapi pria asing yang terlihat agresif,” ucapnya pelan. “Dan jika tuan bisa, aku minta tolong berpura-puralah tidak tau apa-apa. Tolong jangan bersikap seperti itu lagi didepannya,” lanjutnya lagi.

“Ne, arraseo. Tapi, kenapa ia bisa mengidap phobia seperti itu? Apa ia pernah mengalami sesuatu yang mengerikan yang berhubungan dengan pria?” tanyaku penasaran.

“Maaf tuan, kurasa akan terlalu melewati batas jika sampai aku menceritakan hal yang merupakan privasi seseorang. Apakah ada yang ingin tuan tanyakan lagi soal keadaan Tuan Kwon?” ucapnya mulai mengalihkan pembicaraan.

“Uhm, ani. Itu sudah cukup itu saja,” jawabku sedikit salah tingkah. “Kalau begitu aku permisi dulu. Kamsahamnida,” ucapku segera beranjak pergi dari ruangan itu.

“Tuan jika butuh sesuatu panggil saja aku,” ucapnya sebelum aku benar-benar keluar dari ruangan itu.

Jiyong P.O.V

Hari ini benar-benar bencana bagiku. Setelah kesekian kali aku mencoba bunuh diri dan gagal lagi, kini aku harus kembali mendekam di dalam ruang perawatan tempat yang paling kubenci selama hidupku dan berada bersama yeoja bodoh yang terus merengek ini.

“Oppa, makanlah dulu. Kau tak boleh begini terus,” ucapnya sembari menyodorkan sesendok nasi ke mulutku.  Entah sudah berapa ratus kali ia mengatakan hal yang sama padaku. Aku hanya meresponnya dengan memutar bola mataku dan membuang muka.

Entah, aku tak habis pikir kenapa ayahku begitu kukuh ingin menjodohkanku dengan dia. Mungkin ia terlihat cantik dan juga kaya, tapi sebenarnya ia adalah yeoja yang sangat bodoh. Memasak saja kujamin pasti ia tidak bisa. Setiap hari ia diperlakukan seperti puteri raja. Seluruh kebutuhannya bahkan sepatu pun harus disiapkan. Perjodohan ini memang hanya perjodohan kecantikan dan harta. Ayahnya menginginkanku karena aku tampan, cerdas dan kaya raya. Sedangkan ayahku menginginkan gadis ini karena ia cantik dan kaya raya. Tentu saja hal ini membawa angin segar bagi perusahaan mereka. Memperkokoh kerjasama. Angin segar bagi mereka tapi bencana bagiku. Entah bagaimana masa depanku jika harus beristrikan wanita seperti ini.

“Hey tuan Kwon Jiyong bagaimana keadaanmu,” tiba-tiba terdengar suara seorang pria yang tak lain adalah sahabat karibku, Choi Seunghyun.

“Oppa, ia tak mau makan,” rengek si yeoja bodoh. Aku melemparkan pandanganku pada Seunghyun.

“Ah, biar aku saja yang menyuapinya Sulli,” ucap Seunghyun sembari mengambil mangkuk bubur dari tangan Sulli.

“Kau pergi saja, Sulli,” aku mulai angkat bicara setelah menahan diri sedari tadi.

“Mwo? Wae oppa? Aku ingin menemanimu disini,” ucapnya dengan nada merengek.

“Tak ada yang bisa kau lakukan disini, jadi pergilah. Lebih baik kau pergi berbelanja atau makan bersama teman-temanmu,” lanjutku ketus.

“Oppa, kenapa kau mengatakan hal seperti itu? kenapa kau begitu jahat padaku? Apa kau begitu membenciku?” kini rengekannya terdengar semakin memuakkan. Sudah bisa kutebak, kini ia mulai mengeluarkan jurus andalannya, air mata. Ya, ia selalu saja menangis jika keinginannya tidak dipenuhi.

“Sulli, maafkan aku. Tapi kurasa mungkin lebih baik kau pulang. Hari sudah mulai petang, istirahatlah di rumah. Aku tau kau pasti lelah. Kau bisa kembali esok hari,” ucap Seunghyun sembari memegang pundak yeoja tukang rengek itu. Aku hanya bisa mendesah mendengarkan kata-katanya. Sahabat karibku ini memang sangat bisa diandalkan di saat-saat seperti ini. Bukan hanya tanggap tapi dia juga pandai sekali berbicara. Kurasa aku tidak akan pernah sudi bicara dengan nada seperti itu pada Sulli.

“Kau bisa mengerti, kan Sulli?” lanjut Seunghyun lagi. Jika aku menjadi Seunghyun mungkin aku akan muntah setelah berkata selembut itu pada Sulli.

“Ne, Oppa. Aku mengerti. Aku akan kembali besok pagi,” ucap Sulli sembari sedikit terisak.

“Ani, kau tidak usah kembali lagi. Sampai kapanpun,” balasku dengan tegas.

“Ya! Bisakah kau menutup mulutmu sebentar saja?” bisik Seunghyun dari jauh sembari memonyong-monyongkan bibirnya.

“Kau tak usah dengarkan perkataan Jiyong. Kau bisa kembali besok. Ne?” ucap Seunghyun sembari mulai bersiap menggiring yeoja itu keluar dari kamarku.

“Aku kembali besok pagi Oppa. Jangan lupa makan dan minum obatmu. Annyeong,” ucap yeoja itu lirih. Aku hanya membalasnya dengan membuang mukaku ke arah berlawanan.

“Kau ini memang benar-benar…” ucap Seunghyun tiba-tiba setelah mengantar yeoja itu pergi.

“Mwo? Benar-benar apa?” tanyaku.

“Kau terlalu memperlihatkan pada Sulli kalau kau membencinya. Bersabarlah sedikit. Jangan kasar seperti itu,” ucap Seunghyun sembari mulai menyuapiku dengan sesendok bubur.

“Dia memang harus dikasari. Jika tidak, ia akan berpikir bahwa aku menyukainya. Kau memang tidak mengerti bagaimana rasanya jika berada di posisi sepertiku,” jawabku sebal.

“Iya, aku mengerti perasaanmu. Aku juga muak mendengar rengekannya. Bahkan dari wanita-wanita yang pernah kukencani tak ada satupun yang rengekannya seperti Sulli. Tapi cobalah sedikit bersikap biasa padanya. Seperti tadi kau memintanya pergi dengan cara kasar, lihat rengekannya malah semakin menjadi bukan? Dan setelah aku menyuruhnya pulang dengan caraku, akhirnya ia menurutiku bukan? Begitulah caranya, Ji,” ujar Seunghyun panjang lebar. Ya, kuakui caranya memang berhasil tapi, kurasa aku tak bisa menahan diriku untuk tidak bersikap kasar pada Sulli.

“Kurasa aku tak bisa, hyung,” ucapku pendek pada pria yang tanggal lahirnya beberapa bulan lebih awal dariku.

“Cobalah sedikit, Ji. Kau merasa tak bisa karena kau tidak pernah mencobanya,” lanjutnya lagi.

“Ne, aku akan berusaha mencobanya,” jawabku pendek.

Tak lama kemudian kudengar ada seseorang mengetuk pintu kamarku. Aku dan Seunghyun menatap kearah pintu bersamaan.

“Permisi, bolehkah aku masuk?” ucap seorang yeoja dari luar dan aku mengenal suara itu..

“Ne, silahkan masuk dokter,” ucap Seunghyun. Kemudian kulihat seorang yeoja masuk kedalam kamarku. Yeoja itu tak lain adalah si dokter gila, Dara. Tapi kali ini ia tak mengenakan jas putih dan mengikat rambutnya lagi. Ia tak lagi terlihat seperti seorang dokter. Dengan mengenakan jas berwarna krem, skinny jeans, sepasang sneaker wedges, dan sebuah tas dipunggungnya ia lebih nampak seperti seorang mahasiswi. Aku terperangah sesaat dibuatnya.

“Annyeonghaseo, Tuan Choi,” sapanya pada Seunghyun sembari tersenyum. Cih, mencoba tebar pesona?

“Ne, annyeonghaseo dokter,” balas Seunghyun kemudian membungkukkan tubuhnya.

“Bisa kuganggu sebentar? Aku ingin mengecek keadaan tuan Kwon sebentar sebelum aku pulang,” ucapnya kemudian menoleh kearahku.

“Ne, tentu saja. Silahkan,” ucap Seunghyun sembari mengembangkan senyumnya. Dasar pria hidung belang.

“Annyeong, bagaimana keadaanmu tuan? Apa ada yang terasa sakit?” ucap dokter gila itu sembari mendekatiku.

“…” aku hanya membalas pertanyaan yeoja itu dengan memutar bola mataku dan membuang muka.

“Apa kau sudah meminum obatmu?” tanyanya lagi.

“…”

“Hallo, tuan. Apa kau bisa mendengarku?” tanyanya kemudian sembari menatapku lekat-lekat mengejar kemana tatapanku tertuju.

“Tentu saja aku mendengarmu, kau pikir aku tuli?” balasku dengan ketus.

“Ah, mian. Kupikir kau sedikit mengalami gangguan pendengaran makanya kau tak kunjung menjawab pertanyaanku,” ucapnya sembari sedikit terkekeh. Seunghyun pun turut terkekeh mendengar ucapan yeoja itu.

“Huh!” gerutuku kesal.

“Jika kau tak tuli, tolong jawab pertanyaanku tuan. Aku hanya ingin tau bagaimana keadaanmu,” ucapnya pelan. Suaranya terdengar begitu sabar.

“Aku baik-baik saja,” jawabku pendek kemudian segera membuang muka lagi.

“Baguslah kalau begitu, itu artinya aku bisa pulang dan tidur dengan tenang di rumah,” ucapnya sembari memperhatikan luka di kaki, tangan, dan dahiku.

Tiba-tiba saja aku tak bisa mengalihkan pandanganku dari wajahnya ketika ia mulai memperhatikan luka di dahiku. Aku bisa mencium aroma parfum dari tubuhnya. Seketika lidahku terasa kelu, diriku seakan membeku. Jantungku berdebar tiba-tiba ketika pandangan kami bertemu sejenak dan ia tersenyum ke arahku.

“Baiklah, sejauh ini memang tidak ada yang perlu dikhawatirkan,” ucapnya membuyarkan keterperangahanku.

“Jika tuan membutuhkan bantuan, tuan bisa memencet tombol itu. Nanti akan ada suster datang kemari. Dan jika memang keadaannya darurat, suster yang akan menghubungiku kemari,” lanjutnya sembari menatapku dan Seunghyun bergantian.

“Em, dokter. Bisakah kuminta nomor teleponmu? Mungkin jika sewaktu-waktu aku atau keluarganya ingin menanyakan keadaannya jadi kami bisa langsung menghubungimu,” ucap Seunghyun tiba-tiba.

“Tentu saja. Ini kartu namaku,” ucapnya kemudian mengeluarkan dompet dari sakunya dan mengambil sebuah kartu nama dan menyerahkannya pada Seunghyun.

“Kamsahamnida, dokter,” ucap Seunghyun sembari menerima kartu nama yang diberikan yeoja itu.

“Ne, baiklah aku harus pamit sekarang,” ucap yeoja itu.

“Istirahatlah dengan baik. Jangan lupa makan dan minum obat, ne,” lanjutnya kali ini ia menatapku dan menyentuh pundakku sekejap.

“Tuan Choi, tolong jaga ia baik-baik. Aku pulang dulu. Annyeonghaseo,” ucap yeoja itu sembari membungkukkan badannya kemudian beranjak pergi meninggalkan kamarku.

“Ne, annyeonghaseo. Hati-hati dijalan,” ucap Seunghun membalas salam yeoja itu sebelum kemudian ia benar-benar meninggalkan kamarku.

Aku masih menatap kearah pintu ketika tiba-tiba Seunghyun mengejutkanku membuyarkan lamunan.

“Ya! Apa-apaan ini? Kau terpesona huh?” ucapnya dengan nada mengejek.

Seunghyun P.O.V

Aku melihat Jiyong terpaku melihat Dara meninggalkan kamarnya. Dengan sengaja kubuat ia terkejut untuk membuyarkan lamunannya.

Ya! Apa-apaan ini? Kau terpesona huh?” ucapku dengan nada mengejek

“Mwo? Terpesona? Enak saja. Bagaimana aku bisa terpesona dengan wanita seperti dia,” ucapnya dengan ketus. Aku bisa mengerti ia mencoba mengelak. Sudah puluhan tahun kami menjadi sahabat. Aku mengerti betul sifat Jiyong. Aku juga mengerti betul bahwa tadi ia sempat terpesona dengan Dara meski hanya sesaat.

“Memang ia wanita seperti apa sampai-sampai kau tak bisa terpesona padanya?” tanyaku menciba menggodanya.

“I..ia. Ia wanita yang lugu dan tidak menarik sama sekali. Ia terlihat membosankan,” jawabnya sembari membuang muka. Ia bahkan terlihat mencoba menghindar dari tatapanku. Hal itu yang selalu ia lakukan jika berbohong. Ya, Jiyong adalah tipe pria yang tak pandai berpura-pura.

“Ah, begitukah? Baguslah kalau kau tidak tertarik padanya. Karena itu berarti aku bisa mencoba mendekatinya,” ucapku mencoba memancing.

“Mwo? Kau tertarik padanya?” tanyanya tiba-tiba sambil menatap lekat kearahku.

“Ya, bisa dibilang begitu. Kurasa ia adalah wanita yang menarik. Bohong jika aku mengatakan bahwa ia tidak cantik. Bahkan bagiku ia terlihat sangat cantik dengan penampilan yang begitu biasa, tanpa make up, ya seperti yang kau lihat barusan,” ujarku enteng.

“Huh. Kau mulai bodoh gara-gara wanita itu, hyung. Lebih baik kau jangan mendekatinya. Aku bisa jamin kau akan menyesal jika melakukannya,” ucapnya ketus.

“Baik, kita lihat saja nanti Ji,” ucapku sembari menatapnya dan tersenyum.

Sandara P.O.V

“Bom, mian sudah membuatmu menunggu,” ucapku sembari menghampiri Bom yang sedang duduk diruang tunggu rumah sakit.

“Gwenchana, Dara. Bagaimana keadaannya?” tanya Bom kemudian bergegas berdiri. Kami pun berjalan bersama keluar dari rumah sakit,

“Sejauh ini tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Hanya saja, ia masih ketus padaku,” jawabku sembari asik melihat kakiku melangkah.

“Hmm, begitu. Teruslah memperhatikannya, siapa tau perlahan ia mau menerima bantuanmu,” ucap Bom.

“Ne, tentu saja Bom. Aku juga berpikir begitu. Aku pasti akan berusaha membuatnya mau menerima bantuanku dengan senang hati,” ucapku sembari menoleh menatap wajah sahabat karibku itu.

“Aja aja, Hwaiting Dara!” teriaknya memberiku semangat.

“Ne, kau juga. Hwaiting Bom-ah!” teriakku sembari mengepalkan kedua tanganku. Aku merasa bersyukur bisa bertemu dengan Bom dan bersahabat dengannya sejak kecil. Ia adalah orang yang benar-benar mengerti diriku.

“Jadi, biar aku yang menyetir hari ini ne,” ucapnya sembari mengambil kunci mobil dari tanganku. Ya, setiap hari kami pulang bersama karena kami tinggal dalam satu apartemen. Duniaku dipenuhi oleh Park Bom, kekekeke.

“Baiklah, tuan puteri,” jawabku sembari mencubit pipinya.

Jiyong P.O.V

Keringat dingin mulai membasahi tubuhku. Luka-lukaku terasa perih karena keringat yang mengalir. Aku merasa gelisah. Ini selalu terjadi setiap kali aku berada di rumah sakit. Aku selalu merasa tidak aman jika berada di rumah sakit seakan ada sesuatu yang sedang mengintaiku. Seunghyun sudah tertidur pulas di atas sofa dan kini aku sendirian mencoba untuk memejamkan mataku. Sialan! Seharusnya ia menungguku sampai aku tertidur. Aku sudah mencoba menenangkan diri dengan memutar lagu keras-keras di mp3 ku dan memasangkan headset di kedua telinga, tetapi tetap saja aku merasa tidak nyaman. Aku menaikkan selimutku hingga sebatas leher. Ketika aku sedang berusaha keras tetap memejamkan kedua mataku tiba-tiba saja aku merasa ada sesuatu menyentuh bahuku lembut. Seketika aku membuka mataku dan mendapati dokter gila itu sedang menatapku. Tiba-tiba aku merasa sesuatu mengalir di dadaku. Membuatku membeku lagi. Bola mataku menangkap sepasang bola mata miliknya. Kami saling menatap sesaat. Aku merasa tak mampu melakukan apapun. Tubuhku membeku entah kenapa.

“Ah, tentu saja kau tidak mendengarku. Ada benda ini yang menutupi lubang telingamu. Aigo! Keras sekali suaranya,” tiba-tiba saja aku mendengar ia berucap sembari melepaskan salah headsetku dari salah satu telinga. Suaranya berhasil mengembalikanku ke alam sadar..

“Tuan, kau keringat dingin?” tanyanya lagi sembari menyentuh dahiku yang dibasahi keringat.

”Aigo, tanganmu juga dingin,” kini ia membuka selimutku perlahan dan memeriksa tangan dan kakiku.

“Perbanmu basah. Apa kau sedang gelisah? Apa kau tidak merasa perih pada lukamu?” ia menatapku lekat-lekat menunggu jawaban dariku.

“Apa yang kau lakukan disini? Bukankah seharusnya kau pulang?” tanyaku penuh selidik.

“Aku kemari untuk mengambil dompetku yang jatuh. Kupikir tadi aku sudah memasukkannya ke dalam saku. Ternyata ia terjatuh,” ucapnya sembari menunjukkan dompet yang tadi ia keluarkan untuk memberi kartu nama pada Seunghyun.

“Oh, dokter. Apa yang kau lakukan disini?” Seunghyun terbangun dari tidurnya.

“Mianhae telah membuatmu terbangun Tuan Choi. Aku sedang mengambil dompetku yang terjatuh,” jawab yeoja itu sembari menunjukkan dompetnya lagi.

“Ah, begitu,” ucap Seunghyun pendek masih belum tersadar sepenuhnya.

“Tuan Choi, sepertinya aku harus mengganti perban Tuan Kwon. Ia banyak sekali mengeluarkan keringat dingin,” ucapnya.

“Hah? Keringat dingin? Kau ketakutan lagi, Ji?” ucap Seunghyun beranjak dari sofa dan melihat lukaku.

“Kupikir ia merasa gelisah karena phobianya, tuan. Hanya saja jika perbannya dibiarkan basah, lukanya akan terasa perih,” terang yeoja itu pada Seunghyun.

“Ne, dulu ketika ia masuk rumah sakit ia juga mengeluarkan banyak keringat dingin seperti ini setiap malam. Hanya saja dokter tak pernah mengganti perbannya,” ucap Seunghyun sambil menguap.

“Mwo? Seharusnya tidak boleh begitu. Rasanya pasti sangat perih jika perbannya dibiarkan. Mungkin terlihat sepele bagi orang lain, tapi rasa perih akan menyiksa pasien. Baiklah aku akan mengambilkan perbannya dulu,” ucap yeoja itu sembari beranjak keluar. Tetapi sebelum ia sempat keluar, terdengar ringtone dari handphone miliknya.

Ooooh~ ah ah
Ooooh~ ah ah

Geureohge neomu
Pyeonhage gulji mayo
Ajig neowa nan namnaminikka

“Ne, Bom-ah,” ucapnya segera ketika mengangkat teleponnya. Seunghyun yang tadinya masih sedang berusaha menghilangkan kantuknya seketika menatap ke arah yeoja itu dan terlihat bersiap menyimak pembicaraan yeoja itu dengan seseorang yang ia panggil Bom di teleponnya.

Dara P.O.V

Baru saja aku akan bergegas menuju ruanganku untuk mengambil perban, tiba-tiba saja handphone ku berdering.

Ooooh~ ah ah
Ooooh~ ah ah

Geureohge neomu
Pyeonhage gulji mayo
Ajig neowa nan namnaminikka

Tertera nama “Bommie” di layar handphoneku.

“Yeoboseo, Dara-yah” ucap Bom diseberang sana.

“Ne, Bom-ah,” ucapku segera setelah mendengar suara Bom.

“Kau dimana, Dara? Apa dompetmu sudah ketemu?” tanyanya.

“Aku masih di kamar Tuan Kwon, Bom-ah. Ne, dompetku sudah ketemu,” jawabku.

“Kalau begitu ayo cepat pulang, aku sudah lapar. Kutunggu di mobil neh,” ucap Bom sedikit merengek.

“Tunggu dulu! Kurasa aku tidak bisa pulang sekarang, Bom,” ucapku segera sebelum Bom memutuskan sambungan telepon.

“Wae? Apa ada sesuatu terjadi?” tanyanya terdengar khawatir.

“Ne, aku harus mengganti perban Tuan Kwon terlebih dahulu. Kau pulanglah saja, nanti aku menyusul,” ucapku

“Lalu kau bagaimana?” suaranya terdengar khawatir. Ia selalu merasa khawatir jika harus pergi tanpaku.

“Aku akan naik bis saja ini masih belum terlalu larut,” jawabku enteng.

“Andwae! Aku saja yang naik bis!” pekiknya dari ujung sana. Telingaku rasanya nyaris pecah mendengar suaranya.

“Anio, Bommie! Kau akan ketakutan jika naik bis banyak pria disana. Akan jauh lebih berbahaya jika kau yang naik bis. Kau lupa huh?” kini giliranku yang merasa khawatir. Bom adalah orang yang cukup nekat. Bahkan ia sering tidak menyadari bahwa kenekatannya itu berbahaya.

“Tidak! Aku akan naik bis!” pekiknya lagi.

“Bommie! Jika kau naik bis, aku akan sangat marah padamu,” kini akupun ikut meninggikan volume suaraku karena wanita diujung telepon itu tidak mau mendengar perkataanku.

“Aku tidak peduli. Aku akan naik bis!” teriaknya bersikukuh.

“Bo…” belum sempat aku melanjutkan perkataanku, tiba-tiba seseorang merebut handphoneku dan memakainya.

“Kau tidak boleh naik bis, nona. Biar aku yang mengantarmu,” aku menoleh dan terkejut ketika mendengar Tuan Choi mengatakan hal itu.

To be continue :*

Mian mian mian jeongmal mianhae sudah berbulan-bulan dan baru bisa update sekarang. Baru tau kalo bikin FF itu susah bener apalagi kalo udah terlanjut mentok nggak dapet inspirasi. Dan kalo boleh jujur saya kurang sreg sama chapter ini. Semoga next chapter bisa memperbaiki kekurangannya. Terima kasih bagi kawan-kawan yang mau menyempatkan untuk membaca FF saya. Mohon kritik dan sarannya ya readers,  Selamat membaca. 😀

<<back next>>

72 thoughts on “An Unexpected Love [Chapter 4]

Leave a comment