[Series] My Everlasting Winter – Part 4

image

Script writer by : ElsaJung

Tittle : My Everlasting Winter

Duration : Series/Chaptered

Rating : PG-13+ (Teen)

Genre : Slice of Life, AU, Drama, Angst, Fantasy

Bab 4

“Say Something”

 

 

 

Semua orang telah datang dan berkumpul, lalu duduk di tempatnya masing-masing. Bom duduk di samping Jiyong. Tuan dan Nyonya Park duduk saling berdampingan, begitu juga dengan kedua orangtua Jiyong. Sedangkan Dara, dia tak duduk, melainkan berdiri di ujung tangga yang terletak jauh dari semua keramaian itu. Dara lebih memilih tak menampakkan diri daripada menangis dan sajlu turun karenanya. Selain itu, ia juga memiliki alasan lain yang membuatnya merasa tak enak hati saat menatap Jiyong. Satu minggu berlalu, wajah Jiyong selalu muram saat melihat Dara melintas di hadapannya. Ia berusaha meminta maaf, tapi Jiyong tak pernah mau mendengarkannya. Bom mengetahui hal ini. Dia tak pernah berhenti menyeringai licik ke arah saudaranya. Dara tahu, seharusnya ia berkata jujur. Dan karena itu, semuanya menjadi semakin tidak karuan.

Pandangan Dara tertuju pada Nyonya Park, perempuan yang telah membesarkannya dengan penuh kasih sayang, mendekapnya disaat ia bersedih dan memberinya pelajaran untuk menjadi seorang gadis yang berhati baik layaknya malaikat. Tak jauh dari sana, Dara melihat ayahnya, laki-laki gagah nan tegas yang penuh perhatian, penuh dengan kesabaran dan penuh kedisiplinan sehingga bisa mendidik Dara menjadi seorang gadis yang disegani banyak orang. Sekarang, semua itu telah sirna. Ia tak dapat merasakan secuilpun kasih sayang, kelembutan dan perhatian dari ayah dan ibunya. Bagaimana bisa ia mendapatkan semua itu jika kedua orangtuanya tidak mengenalinya sebagai Dara yang asli.

“Nyonya Park, apakah Dara dan Jiyong hanya tinggal berdua? Sebelum Bom meninggal, bukankah semua anggota Keluarga Park tinggal di rumah ini? Lalu, kenapa kalian memutuskan untuk pindah? Bukankah rumah ini sangat nyaman?” tanya Nyonya Kwon. Jiyong menyenggol tangan Ibunya. “Maaf, saya tidak bermaksud menyinggung perasaan anda.” Tambahnya.

“Dara dan Jiyong memang tinggal di rumah ini, tapi bukan berarti mereka hanya tinggal berdua saja. Masih ada Bibi Kim dan pengurus rumah lainnya. Um, sejak dulu kami telah mewariskan rumah ini untuk Dara. Lalu, tentang Bom. Saya tidak bersedih sama sekali saat mendengar kabar jika ia yang meninggal. Selama dua puluh tahun ini, saya tak pernah menganggapnya sebagai putri saya. Dia menetap di luar negri bersama kakek dan neneknya. Meskipun Bom adalah saudara kembar dari Dara, bukan berarti saya menganggapnya sebagai putri juga. Semua orang tahu, dia bukan gadis yang baik. Bom dan Dara diperlakukan secara berbeda, saya bisa memakluminya. Dia penuh dengan ambisi, memiliki tata krama buruk. Bukankah anda juga tak menyukainya?” Jelas Nyonya Park sangat jujur.

Nyonya Kwon tersenyum. “Benar, saya tak terlalu menyukainya. Kami bahkan tidak pernah saling bertegur sapa sekalipun. Bom, gadis itu selalu bersikap buruk. Dia sering sekali marah, mengucapkan kata-kata kasar, berbicara dengan suara lantang dan tidak pernah menunjukkan sopan santun di depan semua orang. Saya tidak bermaksud menyalahkan anda selaku orangtua Bom, Nyonya Park.”

Bom yang mendengar hal ini hanya bisa memendam amarahnya dengan mengepalkan tangannya erat-erat. Sebenarnya, dia sedang mengumpat sekarang. Sungguh, persetan dengan malaikat busuk itu, Bom tidak mengerti, kenapa di mata semua orang, dia yang terburuk. Jarang ada orang yang mau dekat dengannya jika bukan Dara-si-malaikat-palsu-perebut-kebahagiaan. Bahkan, baru saja ia men-dengar, Nyonya Park dengan jujur berkata membencinya. Nyonya Park tidak mengakui Bom sebagai putrinya. Bukankah dua puluh tahun lalu selain melahirkan Dara, Nyonya Park juga melahirkan Bom? Bom berpikir, jika Nyonya Park tak menginginkannya, kenapa wanita paruh baya itu tidak membunuh Bom saja sejak dulu?

Jiyong melirik Bom, mengerutkan kening, “Kenapa” bisiknya menyenggol bahu gadis itu.

Bahu Bom bergetar karena terkejut. “Tidak ada apa-apa.” Tiba-tiba Bom teringat akan gadis yang tinggal di rumahnya. Ya, Bom berpikir jika dia harus membicarakan hal ini bersama kedua orangtua-nya. Bisa saja Tuan dan Nyonya Park tak menyukai Dara sehingga gadis itu harus keluar angkat kaki dari rumahnya. “Saya ingin memperkenalkan seorang gadis kepada ibu dan ayah. Paman dan Bibi Kwon juga. Gadis itu tinggal di rumah ini bersama kami. Dia bernama Jung Hye Ji.”

Nyonya Park membelalakkan matanya. Ia membuka mulutnya. “Dimana ia sekarang? Panggilkan!” Perintahnya pada Bibi Kim yang sedari tadi berdiri di sampingnya. Bibi Kim hanya tersenyum dan mengangguk pelan, kemudian mempersilahkan semua orang yang ada disana untuk menunggunya. “Kenapa kau tidak memberitahu ibu, Dara?” tanya Nyonya Park mengusap pipi putrinya gemas.

“Jiyong yang mengajaknya dan membawanya ke rumah ini secara tiba-tiba. Aku tak tahu darimana dia berasal. Jiyong juga berkata, jika ia bertemu dengan Hye Ji di Sungai Cheonggyeche. Gadis itu sedang menangis di sana saat hujan salju turun deras. Dia temanku.” Jawab Bom dengan manjanya.

“Baiklah, ayah dan ibu akan melihat seperti apa gadis itu, oke? Jika kami tak menyukainya, tolong perintahkan gadis itu untuk pergi dari rumah ini dengan sehalus mungkin. Jangan sampai hatinya tersakiti. Namun, jika gadis itu baik, sopan, tahu dan mengerti tata krama, maka dengan senang hati ayah dan ibu akan menerimanya.” Ujar Tuan Park ikut mengeluarkan suara dalam perbincangan. Ia tersenyum sembari menengok ke arah tangga.

Seperti yang diketahui, Tuan Park adalah laki-laki yang tegas dan disiplin. Disisi lain, dia memiliki perasaan lembut yang tersembunyi di balik tubuh gagahnya. Tuan Park tidak pernah marah. Emosinya akan keluar hanya disaat-saat tertentu. Misalnya, jika ada orang yang menghina atau menyakiti putri-nya, baru Tuan Park akan marah. Sedangkan Nyonya Park, ia memang perempuan yang lebih sensitif dan lebih mudah terpancing emosi. Nyonya Park mungkin terlihat feminim, berpenampilan mewah dan juga glamor dengan perhiasan emas, berlian atau perak yang menghiasi telinga, leher, jari-jari maupun tangannya. Di usianya yang menginjak kepala lima, tidak mungkin baginya untuk berkelahi dengan cara mengeluarkan jurus-jurus andalannya. Tapi, hal yang tidak mungkin itu akan menjadi mungkin jika ada orang yang melukai putrinya. Sebenarnya, Nyonya Park sangat menguasai seni bela diri. Dia melakukan semua itu hanya untuk melindungi Dara, putri kesayangannya.

Sementara itu, Bibi Kim terus berjalan menaiki tangga menuju lantai tiga. Sebenarnya, Bibi Kim sudah melewati lantai dua, tapi ia tidak menemukan Dara di sana. Padahal, Dara sedang berdiri tepat di samping kanannya. Bibi Kim berlalu dalam langkahnya. Pintu berwarna coklat itu terlihat sangat jelas. Bagaimana tidak? Pintu itu sangat mencolok dengan ukiran emasnya. Setelah sampai, ia segera membuka kenop pintu sembari memanggil nama palsu Dara. Berkali-kali sudah Bibi Kim memanggil, tapi aneh, tak ada jawaban. Ia mencoba untuk kembali memanggil Dara, kali ini dengan volume suara yang lebih tinggi dan keras. Tetap saja, ruangan itu tampak kosong.

Dara mendekati Bibi Kim yang hendak kembali ke lantai bawah. Ia tidak tahu, kenapa Bibi Kim tak dapat melihatnya padahal tubuhnya berdiri tegak di samping perempuan paruh baya itu. Satu tangannya terus menggapai-gapai bahu Bibi Kim. Tak bisa. Dara merasa jika ia kembali menjadi bayangan seperti dulu. Tubuhnya seakan tembus pandang. Bibi Kim segera menoleh dan berbalik ketika merasakan sentuhan tangan Dara yang dingin. Tapi, pandangannya tak dapat mendapati siapa orang yang mencolek bahunya. Bibi Kim hanya bergidik ngeri, kemudian pergi begitu saja.

Gadis yang memakai pakaian serba putih itu tidak tahu, jika sedari tadi Seunghyun berdiri di sudut ruangan lantai dua. Seunghyun yang melakukan hal ini. Ia yang membuat tubuh Dara menjadi tembus pandang. Tentu saja ia memiliki tujuan tersendiri. Seunghyun hanya ingin melindungi kematian Dara yang menyimpan rahasia di dalamnya. Bagaimana pun juga, Nyonya Park adalah Ibu Dara, seseorang yang telah melahirkannya. Meskipun sekarang wajah Dara sudah tak sama lagi, tapi di mata Nyonya Park, Dara tetap sama seperti Dara yang dulu. Di matanya, wajah Dara tidak tampak berbeda.

“Aku ingin bertemu ibu. Seunghyun, jika memang kau yang melakukan hal ini padaku, aku hanya ingin kau menghentikannya. Aku tahu, akan ada sesuatu yang terjadi. Kau tak akan melakukan hal apapun jika semuanya baik-baik saja. Percayalah padaku, aku bisa mengatasinya dengan menggu-nakan caraku sendiri. Mungkin, ini kali terakhir aku bertemu ibu.” Ujar Dara dengan suara lirih.

Seunghyun hanya tersenyum saat mendengar kalimat-kalimat itu keluar dari mulut Dara. Tuhan tidak pernah salah. Tuhan membiarkan Dara kembali hidup karena dia adalah gadis yang kuat. Meski ia tidak tahu, seperti apa kehidupan yang akan dilaluinya di hari-hari berikutnya. Sungguh berat. Perlu kesabaran dan ketabahan yang ekstra untuk mampu menjalaninya. Baiklah, aku akan mengembalikan-mu menjadi Jung Hye Ji yang dapat dilihat oleh semua orang, balas Seunghyun dalam hatinya. Hanya dengan menjentikkan jarinya saja, tubuh Dara kembali dapat terlihat.

Dara tersenyum simpul, bermaksud melemparkan senyum itu kepada Seunghyun

“Hallo.” Dara berdiri di samping sofa tempat Keluarga Park dan Kwon berkumpul.

Nyonya Park menoleh. Ia sangat terkejut ketika melihat Dara. Saat itu juga, dia langsung beranjak dari duduknya. Tangannya direntangkan selebar mungkin. Dara jatuh ke dalam pelukan Nyonya Park. Seisi ruangan hening, semuanya diam tak mampu berkutik. “Dara, apakah seseorang yang sedang duduk di samping Jiyong adalah temanmu? Bukankah sedari tadi kau duduk bersama Jiyong? Bagaimana bisa kau berdiri di samping ibu sekarang?” tanya Nyonya Park menatap Dara bingung.

“Bibi Park, saya tidak bermaksud untuk menyela, tapi gadis yang duduk di samping saya adalah Dara. Seseorang yang anda peluk,” Jiyong sedikit menggantung kalimatnya untuk bernafas sejenak. “Seseorang yang anda peluk adalah gadis itu, teman kami berdua. Sepertinya anda mengalami sedikit kesalah pahaman, bibi.” Ujar Jiyong mencoba meyakinkan Nyonya Park.

Nyonya Park menggeleng mantap. “Tidak, orang yang sedang berdiri di samping bibi adalah Dara, calon istrimu sendiri. Bibi tidak akan pernah salah. Dara putri ibu, kami memiliki hubungan yang sangat dekat antara ibu dengan purtinya. Kalian bisa melihat matanya yang lebar. Hanya Dara dan Bom-lah yang memilikinnya. Bentuk mata yang sangat indah. Bagaimana-pun juga, dia putriku. Lalu, siapa orang yang duduk di sampingmu, Jiyong?” Pandangan Nyonya Park menjadi terbalik. Nyonya Park melihat wajah Dara yang baru di dalam diri Bom, dan begitu juga sebaliknya.

Tidak ada yang bisa menjawabnya. Semua orang bingung dengan pikirannya masing-masing.

“Maaf. Nyonya Park, nama saya Jung Hye Ji.” Ujar Dara melepaskan pelukan Ibunya.

“Dara, apa yang terjadi padamu? Kau Dara, bukan Hye Ji.” Pekik Nyonya Park tetap bersikeras.

Hal yang ditakuti Seunghyun benar-benar terjadi. Nyonya Park bisa mengenali Dara meskipun dia memiliki wajah yang berbeda. Keadaan menjadi terbalik di mata Nyonya Park. Ia tak mengenali Bom sama sekali. Tentu saja semua orang yang tinggal di rumah ini merasakan adanya kejanggalan setelah mendengar ucapan Nyonya Park. Bagaimana mungkin hanya Nyonya Park seorang yang bisa melihat wajah Dara dalam tubuh Hye Ji? Mereka semua menanyakan hal itu. Dan, jika keadaan ini terus saja berlanjut, mungkin identitas Dara bisa terbongkar dan Tuhan akan memerintahkan Seunghyun untuk mengambil kembali gadis itu secara paksa. Seunghyun tak pernah menginginkan hal itu terjadi.

Karena tingkah Nyonya Park semakin menjadi-dengan terpaksa Tuan Park menariknya paksa untuk keluar dari rumah itu dengan meninggalkan Jiyong, Dara, Bom yang ada di dalamnya. Perempuan yang berperan sebagai Ibu bagi Dara itu sempat beberapa kali memberontak sehingga Tuan Park harus bisa mengeluarkan tenaga yang lebih besar dari tenaga Nyonya Park. Sebelum benar-benar menghilang dari balik pintu, Nyonya Park sempat meneriaki Dara dan tersenyum ke arahnya. Dara-pun membalas satu senyuman singkat itu setulus mungkin. Seorang Ibu tak melupakan putrinya.

***

Waktu tak pernah berhenti berputar dan Dara juga tak pernah berhenti melakukan pencariannya. Pernah suatu ketika, ada satu pemikiran aneh yang membuatnya bertanya-tanya. Dara berpikir, orang yang begitu membencinya adalah Bom. Mengingat perlakuan Bom yang kasar padanya disaat laki-laki bernama Jiyong itu sedang tak ada di rumah. Tapi, jika memang orang itu adalah Bom, tidak akan mudah mendapatkan air mata dari gadis itu meskipun hanya setetes. Kenapa? Karena Bom tak pernah menangisi apapun. Tidak hanya itu. Mendekati Bom saja, Dara sudah merasa sangat kesulitan. Bom tidak menyukai Dara. Jadi, bagaimana cara Dara membuat Bom menangisinya dengan tulus?

Secangkir vanilla latte tampak begitu nikmat jika dinikmati di cuaca yang tak begitu bersahabat ini. Kopi dengan uap yang masih mengepul di atasnya tersebut tergenggam cukup kuat di tangan mungil Dara. Gadis itu berdiri menyamping di dekat pintu. Dari sudut mata tajamnya, dia dapat melihat Jiyong yang sedang duduk merenung di taman belakang rumah. Di bawah langit mendung yang tak kunjung cerah tiga hari belakangan ini. Semua ini terjadi karena Dara tak berhenti bersedih sejak terakhir kali ia bertemu dengan kedua orangtuanya, sejak Nyonya Park menyadari jika Hye Ji adalah Dara. Setelah hari itu berlalu, Jiyong semakin membenci Dara karena menurut Jiyong, gadis itu telah membuat kekasihnya dijauhi oleh kedua orangtuanya sendiri. Ya, memang benar. Nyonya Park lebih sering berkunjung hanya untuk menemui Dara. Bukan untuk menemui Jiyong ataupun Bom.

“Apa yang kau lakukan?” tanya Jiyong yang sebenarnya menyadari keberadaan Dara. “Duduk dan bicaralah. Aku tahu, aku marah padamu. Tapi, bukan berarti aku tidak mau mendengarkan ucapan yang akan keluar dari mulutmu. Tidak perlu merasa takut.” Jiyong berbicara tanpa menoleh ke belakang. Matanya tidak sanggup menatap Dara. Benaknya belum bisa menerima kenyataan, jika gadis yang dianggapnya sangat baik itu memiliki keinginan untuk membunuh kekasihnya.

Dara berjalan mendekat dengan langkah yang terputus-putus. Antara iya dan tidak. Nyalinya tidak terlalu besar untuk duduk di samping Jiyong. Namun Dara tetap memaksakan kakinya untuk melangkah. Ia tak mau Jiyong semakin marah padanya. Memang, Jiyong bukanlah orang yang mudah marah, kecuali ada orang yang memiliki niat mencelakakan kekasihnya. Maksud Dara mendatangi Jiyong hanyalah untuk meluruskan kesalah pahaman ini. Menceritakan kebenaran secara rinci. Jika ia tidak melakukan hal itu, Bom akan semakin menjadi dan Jiyong tetap membencinya.

Mulut Dara terkatup rapat. Ia tak akan memancing percakapan. Biarkan Jiyong yang memulainya. Kepala Dara menengok-menatap wajah Jiyong nanar. Jiyong balik menatapnya, tapi Dara membuang wajahnya sembari mengerjap-kerjapkan mata karena gugup. Bibir Jiyong tertarik ke samping kanan. Ia tersenyum tipis. Tidak, senyum itu tidak di paksakan. Senyuman spontan yang tergurat di bibirnya saat ia melihat tingkah konyol Dara. Sesaat, keheningan kembali menyelimuti mereka berdua.

“Jadi?” Jiyong tahu jika dia harus memancing pembicaraan untuk menghilangkan keheningan ini.

“Apa maksudmu, GD?” Dara balik bertanya dengan ekspresi terbodoh yang pernah dibuatnya.

“Kau tidak sepintar yang kupikirkan. Kau datang untuk membicarakan suatu hal, bukan begitu?”

“Ya, benar.” Jawab Dara mengangguk pelan bermaksud mengiyakan. “Tentang kejadian beberapa hari yang lalu, saat Dara hampir terjatuh karenaku. Aku ingin membenarkan ceritanya dari awal. Aku ingin kau mendengarkannya karena aku tidak tahan melihatmu terus memaksakan senyummu disaat kau bertemu denganku. Tatapan mata dingin yang seakan menganggapku tak ada. Aku tidak sanggup melihatmu membenciku, GD. Kau satu-satunya temanku. Cerita yang kau dengar itu-”

“Tunggu!” Sontak Jiyong menghentikan kalimat Dara membuatnya diam dengan mulut terbuka.

“Kenapa?”

“Maksudmu, Dara berbohong padaku? Itu tidak mungkin.”

“Dengarkan aku dulu, oke?” Tegas Dara menelan ludahnya. “Pagi itu, setelah aku berganti baju, mungkin sekitar pukul lima pagi, aku merenung di taman ini. Karena aku merasa jenuh, aku beranjak pergi menuju kamarku. Tepat di ujung tangga, aku terkejut saat melihat Dara tidak berhenti berteriak-teriak memanggil namaku. Tebak untuk apa dia datang. Untuk membuka kunci kamarku.” Alis Jiyong terangkat sebelah. Ia merasa tidak percaya. “Ya, Dara mengunci pintu kamarku saat aku tertidur. Aku mengetahuinya, karena di pagi hari saat aku bangun, aku menepati pintu itu terkunci. Untung saja di meja kecil itu terdapat kunci cadangan. Aku menjelaskan hal ini pada Dara. Tapi, dia tidak percaya. Dara takut pada suhu tubuhku yang dingin sehingga membuatnya berjalan kebelakang. Dara hampir terjatuh dari tangga. Aku ingin menolongnya, namun ia menolak. Dara mengarang cerita disaat kau datang untuk meminta penjelasan. Aku hanya bisa berbohong untuk membelanya. Maafkan aku.” Kepala Dara tertunduk. Beban dalam pikirannya serasa hilang setelah berhasil menceritakan hal itu. “Kau tidak perlu marah pada Dara-seperti kau marah padaku beberapa hari kebelakang ini.”

“Kenapa kau harus berbohong padaku? Kejujuran memang menyakitkan. Tapi, lebih menyakitkan jika membenci orang yang tidak bersalah. Selain itu, kebohongan juga jauh lebih menyakitkan. Entah mengapa aku merasa jika kebenaran cerita ini ada padamu. Kau tidak bersalah. Jujur, aku memang tak pernah bisa membencimu, Hye Ji. Kadang, aku merasakan adanya keanehan dalam diri Dara sejak saat pertama aku bertemu dengannya. Lebih tepatnya, setelah kembali dari USA. Dara semakin aneh.”

Nafas Dara tersendat tepat di kerongkongannya. Sepasang matanya kembali menatap wajah laki-laki bernama Jiyong yang sedang duduk di sampingnya. Jiyong memandang pepohonan yang berada tepat di hadapannya dengan mata kosong. Meskipun begitu, ia tak pernah melupakan senyuman yang selalu tergambar di bibir tipisnya. Sebenarnya, Jiyong sedang berpikir. Bom memang tampak aneh. Tidak ada satupun kemiripan antara sifatnya dengan sifat Dara. Bom memang sedang berpura-pura. Tak jarang juga Bom menunjukkan sifat aslinya ketika sedang lupa. Itu yang membuat Jiyong curiga.

Hembusan nafas terdengar begitu kencang di tengah-tengah kesunyian. “Maksudmu dengan aneh?”

“Dia tidak pernah menoleh ataupun membalas jika aku memanggilnya Dee. Dara juga tak pernah memanggilku GD. Ya, itu nama panggilan yang diberikan Dara untukku. Dan sekarang, kau yang memanggilku seperti itu. Hal yang disukai Dara dulu dan sekarang jauh berbeda. Dara menyukai hal yang tidak pernah disukainya saat dulu, begitu kebalikannya. Um, maksudku, itu tampak aneh bukan?” Jelas Jiyong memiringkan kepalanya mencoba berpikir. Sedetik kemudian, pandangan Jiyong beralih pada Dara. Matanya menyipit seperti hendak menyelidiki sesuatu. “Dara tidak pernah seperti itu.”

“Ya, tampak aneh. Lalu, untuk apa kau mengatakan hal ini padaku?” Dara berpura-pura tidak tahu.

“Kurasa kau sama seperti Dara yang dulu. Aku selalu memerhatikanmu. Kau menyukai hal yang disukainya. Kau juga melakukan semua hal yang selalu dilakukan Dara dulu. Dara sangat menggilai boneka Teddy Bear. Dulu, Dara memiliki gaya berpakaian sepertimu. Dara suka aroma buah-buahan, maka dari itu Bibi Park selalu menggunakan pengharum ruangan dengan aroma yang sama. Dara juga sangat baik hati sepertimu. Dara selalu duduk di taman ini setiap waktu. Dan, lebih banyak lagi hal yang selalu dilakukannya. Intinya, kau mirip seperti Dara. Dara yang sekarang benar-benar beda, mungkin dia berubah sampai 180 derajat. Hal inilah yang membuatku nyaman di dekatmu.”

“Tidak. Aku bukanlah Dara, juga bukan kekasihmu. Dan kau harus menjaga jarak denganku.”

Jiyong mencubit pipi Dara dengan gemas. “Kau semakin mirip dengan Dara.”

Tak jauh dari sana tepatnya di ambang pintu menuju taman, Bom sedang berdiri dengan kaki yang bergetar hebat. Bom takut dengan kecurigaan Jiyong pada dirinya. Jika ia terus bersikap seperti Bom yang dulu, saat Dara belum meninggal, maka rahasia besar ini mungkin akan segera terbongkar. Sekarang, Bom hanya perlu kembali bersikap sama persis seperti saudara kembarnya. Di samping itu, saat ini, Bom juga sedang menaruh rasa curiga pada gadis yang duduk di dekat Jiyong. Mungkinkah dia titisan Dara yang diberikan Tuhan untuk ada di antaranya dan Jiyong agar rahasianya terbongkar? Jika memang benar, Bom harus memikirkan cara, bagaimana gadis itu bisa segera tersingkirkan.

Bukan hanya Jiyong, Bom juga berpikir jika gadis yang dikenalnya bernama Hye Ji itu sangat mirip dengan saudara kembarnya. Bagian mata yang sangat mencolok dan sikap-sikap yang dimilikinya. Itu adalah alasan kenapa Bom begitu mencurigai Dara.

Oh God! Bom sangat membenci takdir hidupnya, takdir hidup yang telah Tuhan berikan padanya. Andai saja Bom terlahir sebagai Dara, maka tidak mungkin dia melakukan hal ini. Sayang, rasanya hal itu sangat tidak mungkin. Baik, jika ini memang hidupnya dan ia sangat menginginkan hidup Dara, tak ada salahnya merebut hidup orang lain, bukan?

“Astaga!” Sahut Bom lirih saat tangannya menyenggol sebuah vas yang terletak di dekatnya.

Kepala Jiyong segera menengok ke belakang. “Siapa itu?!” tanyanya setengah terkejut.

“Mungkin ada pengurus rumah yang tidak sengaja menyenggolnya.” Balas Dara.

Bom kembali mengumpat dalam diamnya. Mungkin Dara dapat selamat dari celakanya sekarang, tapi tidak untuk besok dan hari-hari berikutnya. Bom berjanji pada dirinya sendiri, jika ia akan mem-buat hidup Dara serasa di neraka setiap harinya. Penuh dengan air mata, kesedihan dan juga dendam-nya. Ini merupakan balasan setimpal untuk orang yang telah berani merebut Jiyong dari pelukanya.

***

“Jung Hye Ji!!” Panggil Bom dari lantai dasar sembari duduk dengan angkuhnya.

Dara yang sedang bersantai di jendela kamarnya langsung terlonjak kaget saat mendengar teriakan itu. Dara hanya mengangkat bahunya, kemudian kembali menatap keluar jendela untuk menyaksikan kepergian Jiyong. Ia memang harus pergi ke Gereja bermaksud membicarakan penentuan upacara per-nikahannya bersama orangtua dan pengurus Gereja itu. Jiyong tersenyum ketika ia melihat Dara melambaikan tangan ke arahnya. Sepasang mata Dara juga ikut tersenyum hingga membentuk bulan sabit yang indah dan menawan. Sekarang, mobil Jiyong telah melaju jauh-menghilang di ujung jalan.

Kembali panggilan itu berseru. Kali ini lebih keras dari biasanya. Bom selalu memanggil saudara kembarnya dengan nada dan volume suara yang sama. Lantang dan juga kasar. Dara hanya bisa tabah merasakannya. Dia sepenuhnya mengerti, Bom mungkin marah padanya karena terlalu dekat dengan Jiyong. Tapi, tak seharusnya Bom hanya membenci Dara seorang. Justru Jiyong yang selalu memulainya. Ia selalu mendatangi kamar Dara setiap saat. Bagaimana bisa Dara menolak kedatangan Jiyong jika dia sendiri juga menginginkannya. Bom seakan tak dianggap ada di rumah itu. Bahkan, ia hanya merasa-kan kebahagiaan sesaat. Keadaan kembali seperti semula sejak Dara tinggal di rumah itu. Perhatian dan kasih sayang semua orang hanya tertuju pada Dara. Ini lebih buruk dari sebelumnya.

Bom merasa geram karena gadis yang dipanggilnya tak kunjung datang. Akhirnya, ia memutuskan untuk mencari Dara ke lantai atas, lebih tepatnya kamar Dara. Bom mempercepat langkahnya karena sudah tidak sabar ingin menggaruk wajah cantik Dara. Ia terlalu marah, terlalu murka dengan adanya Dara yang tinggal di rumahnya. Sekarang adalah waktu yang tepat bagi Bom untuk melakukan pem-balasan dendamnya pada gadis itu. Hari ini adalah hari yang sangat spesial. Bom meliburkan semua pengurus rumahnya, beserta Bibi Kim. Jiyong juga tidak ada di rumah. Bom berpikir, jika dia tidak harus berpura-pura di hadapan Dara, karena menurutnya, gadis yang dikenal bernama Hye Ji itu tidak pernah mengenal Dara sebelumnya. Dan, Bom akan membuatnya diam saat ini juga.

Tangan Bom telah menyentuh kenop pintu kamar Dara, lalu memutarnya. Pintu itu terbuka lebar-lebar. Mata Dara terbelalak. Ia tidak tahu jika Bom akan menghampirinya dengan tatapan mata ganas itu dan juga senyuman menyeringainya. Layaknya dalam sebuah film, rambut Bom terkibas-kibas ke belakang ketika kakinya mulai kembali melangkah semakin mendekati Dara. Dara merasa ketakutan, ia berdiam diri di tempat, tak bergerak. Hanya ada satu pertanyaan, ada apa dengan Bom?

“Dara, kenapa?” tanya Dara yang memang tidak tahu apa-apa.

“Dasar, gadis pengganggu!” Pekik Bom menarik rambut Dara hingga ikat rambutnya terlepas.

“Apa yang kau inginkan?” Dara memegangi tangan Bom agar tidak menarik lebih kuat.

“Jangan banyak bicara! Kau selalu berpura-pura tidak tahu. Kau telah mengambil Jiyong! Aku ingin, kau jauhi kami berdua. Kalau perlu, pergilah dari sini. Dan, jika sekali lagi kau berani mengadu padanya, maka tak segan-segan aku akan membuatmu kehilangan nyawa. Kau mengerti maksudku?!”

Dara merintih kesakitan saat tarikan itu semakin menguat. “Hal apa lagi yang kau ingin?”

“Pertama, turuti semua hal yang kuinginkan. Kedua, kau harus berpura-bura tidak peduli pada Jiyong. Ketiga, kau masih berhubungan dengannya, jauhi dia. Keempat, rangkai cerita-cerita bohong di depan Jiyong-cerita yang membuatmu buruk di matanya. Terakhir, jangan pernah mengatakan hal apapun padanya. Jangan pernah berkata jujur di hadapannya.” Ujar Bom menghempaskan rambut Dara hingga kepala itu juga ikut terhempas ke bawah. “Jangan lakukan hal itu jika kau masih sayang pada nyawamu, gadis muda.” Tambahnya sembari berjalan-jalan mengitari tubuh Bom.

“Tapi, aku hanya bisa melakukan poin pertama. Untuk yang lainnya, tidak sama sekali.”

“Paksakan dirimu untuk melakukannya!” Bentak Bom menoyor kepala Dara keras dari belakang.

Kini, perbedaan sifat itu mulai terlihat. Bom memang tidak bisa menjadi orang yang baik. Ia tetap dengan kepribadian aslinya meskipun saat ini sedang berpura-pura. Bom sering kelepasan di hadapan Jiyong. Kadang ia berteriak, berkata kasar, marah-marah dengan sendirinya, dan sifat-sifat buruk lain yang sejak dulu telah bersemayam di dalam dirinya. Bagaimana pun juga, Bom tak akan pernah dapat merubah sifatnya dalam waktu yang singkat. Keburukan itu sangat sulit untuk dihilangkan. Itu adalah nyawa bagi Bom. Orang-orang menganggap kepribadian jelek merupakan suatu hal yang buruk. Tapi, pola pikir Bom berbeda. Justru, kepribadian inilah yang telah membantunya mendapatkan semua ke-inginannya. Ia hanya perlu menyingkirkan orang yang menurutnya tidak pantas hidup di dunia ini.

***

Jiyong melangkahkan kakinya keluar dari dalam mobil. Ia berjalan secara mengendap-endap. Dilihat-nya gadis dengan boneka Teddy Bear super besar yang selalu berada dipelukannya. Gadis itu tampak sedang bimbang dan bersedih. Langit pun juga merasakan hal yang sama sehingga siang hari lebih menyerupai malam. Angin kencang bertiup membuat Jiyong harus mengencangkan mantelnya. Gadis itu pasti kedinginan, tapi Jiyong tak mungkin memberikan mantelnya untuk yang kesekian kali, karena dia tak akan mau menerimanya dan selalu menjawab, Aku tidak kedinginan’. Dialah Dara.

Ada beberapa alasan-kenapa Jiyong mengikuti Dara sejak dua jam lalu. Pertama, Dara menjadi sedikit berubah. Gadis itu tak lagi tersenyum padanya, mengacuhkannya, mendiamkannya, dan sering kali pergi saat Jiyong memanggilnya. Kedua, Dara selalu berusaha menjaga jarak darinya. Ketiga, gadis itu sangat menurut pada Bom, bahkan ia menyediakan segala hal yang dibutuhkannya. Jiyong tidak tahu jika Bom ada dibalik semua perubahan sikap Dara. Sejak hari itu, Dara memang berubah drastis. Ia memilih melakukan poin-poin itu daripada harus kehilangan nyawa untuk yang kedua kalinya. Tentu saja, meskipun Dara telah meninggal dan sekarang hidup kembali bukan berarti ia tak bisa meninggal atau kehilangan nyawa. Manusia biasa bisa meninggal, begitu juga dengan Dara.

“Kenapa kau menjadi sangat dingin padaku belakangan ini? Kurasa kita baru saja berbaik-kan, kau meminta maaf padaku dan aku memaafkanmu. Tolong, jangan membuatku penasaran dengan sikap anehmu. Apa yang terjadi?” tanya Jiyong saat ia sudah duduk dengan rapi di samping Dara. “Hye Ji, kambalilah seperti dulu. Aku tidak suka kau yang seperti ini. Sekarang jelaskan padaku.”

Dara tak mengeluarkan kata apapun dari mulutnya. Ia malah menunduk, menyembunyikan wajah-nya dibalik kedua kakinya. Dia tidak boleh mengadu, tak boleh mengatakan suatu hal yang benar, tak boleh dekat dengan Jiyong, berarti dia harus menjauh. Sejujurnya Dara tak pernah bisa melakukan hal itu. Tapi, kembali pada alasan utama, tentang poin-poin itu. Ini sangat menjebaknya, mengekangnya, dan merugikannya. Mungkin Jiyong akan kembali membencinya lagi. Dara sangat mengenal Jiyong. Ia tak pernah suka pada seorang gadis yang memiliki sikap buruk. Dara hanya bisa pasrah.

Kalimat itu kembali keluar dari mulut Jiyong. Ia kembali bertanya. Tetap tak ada jawaban.

Wajah Dara berpaling sejenak menatap Jiyong. “Tidak ada, aku hanya sedikit lelah.”

Jiyong tercengang dengan alis yang mengangkat. “Lelah?” Pekiknya. “Kukira aku menyakitimu secara tidak sengaja. Pantas semalaman aku berpikir, kesalahan apa yang kuperbuat hingga kau marah padaku. Ternyata, kau hanya lelah.” Ujar Jiyong lega-memegangi dadanya dengan senyum lebar.

“Kurasa begitu. Aku hanya lelah, sangat lelah.” Ucap Dara lirih dan kembali menunduk.

Mungkin benar, Dara hanya lelah. Namun, bukan tubuhnya yang terasa lelah. Melainkan, hati dan pikirannya. Dara lelah menghadapi Bom, Dara lelah mencoba menjauh dari Jiyong, lelah karena selalu mendengar Jiyong yang terus memanggilnya. Dara tidak bisa berbalik, menoleh, atau membalas sapaan dari Jiyong karena Bom mencegahnya melakukan hal itu. Ia tidak mengerti sedikitpun, waktu berjalan sangat cepat dan tak terasa hampir sebulan Dara bertemu dengan Jiyong. Tapi, dia belum mendapatkan setetes pun air mata dari kedua orang itu. Dari Jiyong dan orang yang membencinya.

Jiyong bingung dengan sifat Dara yang menjadi lebih dingin. Hanya menjawab satu kalimat, kemudian kembali berucap dua kalimat, lalu berhenti dan diam. Bukan ini Hye Ji yang Jiyong kenal. Ia mengenal Hye Ji yang sangat mirip dengan kekasihnya. Jiyong menanggapi masalah ini-sama seperti dia menanggapi masalah Dara dan dirinya dulu. Saat Dara berubah drastis, dari yang tadinya tersenyum menjadi muram, yang senang menjadi sedih, yang peduli menjadi dingin dan perubahan lainnya. Satu cara yang selalu dilakukan Jiyong, terus bertanya sampai Dara menjawabnya.

Jiyong mengernyitkan dahinya. “Tunggu. Kau berbohong padaku? Katakan saja, aku tak akan marah.” Seru Jiyong menyilangi dadanya memberi isyarat jika ia berjanji. Dara hanya membalas dengan sebuah gelengan kepala. Tidak, Dara tidak ingin memberi penjelasan apapun pada Jiyong.

Tidak. Dara menyumpahi dirinya untuk tidak pernah menjawab pertanyaan Jiyong karena ia tak bisa melakukannya. Meskipun Dara tidak bisa berbohong, Dara berpikir, setidaknya ia bisa menutup mulut barang sejenak. Karena, jika ia tak menutup mulut, nyawa taruhannya. Sungguh, Dara sayang pada Jiyong dan ingin laki-laki tersebut tahu semua alasan itu. Tapi, sekali lagi, Dara tidak bisa. Hanya kata maaf. Maaf, karena hanya bisa diam disaat Jiyong ingin mendengarkan penjelasannya. Cukup menunggu waktu yang tepat dan Dara pasti akan menceritakan semuanya.

“Hye Ji-ya, kenapa kau kembali diam? Kau berbohong jika kau lelah? Kau menutupi sesuatu?”

“Haruskah aku menjelaskannya?” tanya Dara. Jiyong hanya mengangguk mengiyakan. “Tunggu-lah semua ini berakhir. Mungkin, sekitar enam puluh hari lagi kau akan mengetahuinya tanpa harus mendapat penjelasan dari siapapun.” Raut wajah Jiyong menjadi semakin aneh. Raut wajah yang menunjukkan sebuah pertanyaan, kenapa harus enam puluh hari lagi? Dara mengerti. Dia tersenyum. “Kau harus bersabar. Mungkin di hari ke-enam puluh itu, saat kau mengetahui semuanya, aku sudah tak ada di sampingmu. Maksudku, aku harus pergi. Dan kau tidak akan pernah bisa menemukanku.”

“Jung Hye Ji, kumohon jangan membuatku semakin pusing. Lalu, kenapa kau harus pergi? Ya, aku tahu, kau sudah tidak tinggal bersamaku dan Dara lagi dua bulan yang akan datang. Tapi, bagaimana bisa aku tak dapat menemukanmu? Bukankah kau berkata, aku bisa menemuimu di sungai atau café itu kapanpun aku menginginkannya. Kenapa tiba-tiba berubah?” Tanya Jiyong kebingungan.

Dara selalu menampakkan senyumnya sebelum menjawab. “Kau akan tahu sendiri, GD.”

Dara beranjak dari duduknya dan memberikan boneka Teddy Bear yang sedari tadi ada didekapan-nya pada Jiyong. Ia hendak pergi ke Gereja. Barangkali, di tempat suci itu Dara bisa bertemu satu makhluk yang sangat ingin ditemuinya. Dara ingin bertemu Seunghyun. Mungkin, Seunghyun dapat memberikan beberapa saran untuknya, tentang bagaimana ia bisa menghadapi Bom tanpa harus takut kehilangan nyawanya. Dan bagaimana Dara kembali dekat dengan Jiyong tanpa harus merasa terin-timidasi dengan ancaman-ancaman yang keluar dari mulut Bom. Hanya ada satu harapan, Seunghyun benar-benar ada di sana. Pikiran Dara sudah buntu, tak ada jalan keluar yang disa dipikirkannya.

Satu pertanyaan yang tak pernah berhenti menghujatnya, membuatnya merasa tidak enak hati pada Jiyong. Laki-laki itu berbalik dan mengejar langkah Dara, kemudian menahan tangannya. Jiyong berusaha memeluk tubuh Dara dari belakang dan mengekang tubuh mungil itu agar tidak pergi lebih jauh darinya. Sembari membisikkan beberapa kalimat-kalimat cegahan untuk Dara, tangan Jiyong tak membiarkan cengkramannya melonggar satu inci pun. Suhu tubuhnya yang semakin dingin membuat tubuhnya menjadi keras dan juga kaku. Ia hanya ingin Jiyong melepaskan pelukan yang menyayat hatinya dengan suhu tubuhnya. Mungkin Jiyong akan beranjak karena Dara tahu, laki-laki itu tak begitu tahan ketika berada dalam kedinginan yang amat sangat. Kondisi tubuh Jiyong mudah menurun.

Kalimat bisikan memecahkan pikirannya. “Kau tahu? Aku membenci gadis yang bersikap dingin.”

Bagaimana aku bisa melupakan satu hal yang sangat penting itu? Bom memintaku untuk bersikap dingin karena kau akan membencinya. Sekarang, rasa kebencianmu mungkin akan mulai terpancing. Dara menundukkan kepalanya sembari menatap sepasang tangan Jiyong yang melekat pada permukaan perutnya. Ia berusaha menggerak-gerakkan tubuhnya agar bisa lepas dari cengkraman kuat itu. Hanya saja seluruh usahanya gagal karena kekuatan Jiyong lebih besar darinya. Laki-laki berpostur tinggi itu terus bertanya, kenapa? Kenapa Dara bersikap dingin? Meskipun pertanyaan itu mengganggunya, Dara lebih memilih untuk tetap diam dan menyembunyikan semuanya.

Kini, giliran Jiyong yang berbicara. Dalam batinnya, ia berkata, Dara berubah-tidak sama seperti Dara dua tahun yang lalu. Gadis itu melakukan segala hal yang selalu dilakukan oleh saudara kembarnya. Dan, teman yang sangat disayangi Jiyong pun kini juga ikut berubah. Dara yang dikenal sebagai gadis polos, lugu dan menyenangkan mulai berubah menjadi Dara yang bersikap dingin. Pasti ada suatu hal yang tersembunyi di balik perubahan aneh ini. Tidak hanya itu, semenjak Jiyong dan Dara bertemu, beberapa keanehan juga terjadi. Bukan karena sifatnya yang sama seperti Dara dua tahun lalu. Tapi, jika tak salah ingat, setiap kali Jiyong memfokuskan pandangannya ke arah sepasang bola mata Dara, ia selalu melihat memori masa lalunya di sana.

“Lepaskan aku, GD!” Dara meloloskan tubuhnya dari cengkraman tangan Jiyong saat laki-laki itu sedang bertanya-tanya pada dirinya sendiri. “Jangan menanyakan hal yang tak ingin kujawab! Please.” Ujarnya kembali berlalu dalam langkahnya. Dara berhenti sejenak. Tanpa membalikkan tubuh, tanpa menoleh dan menatap wajah Jiyong, ia berkata dengan nada parau. “Satu lagi, jangan membenciku.”

Dengan raut wajah datar, Jiyong menjawab, “Tidak, jika kau mau menjelaskan semuanya, Hye Ji.”

 



 TBC

next >>



 VA Note :
Fighting Elsa Jung & Fighting Applers ❤

17 thoughts on “[Series] My Everlasting Winter – Part 4

  1. Bom jahat banget sih keselllllllll!!!
    Ayodongg cepet ketauan kalo hye ji itu dara, dan dara itu bom. Ah greget!
    Fighting thor 🙂

  2. Wuaaahhhgg
    kenapa bom makin jahat ajah sihh
    duhh kirain dara gak bakal nurut sama bom
    trnyt akhirnya jadi nurut jugaa 😭😭
    kesian kan ssijinya dikacangin mulu
    ayolahhh jangan bgni trss menguras air mata dah
    nextt
    smoga happy ending yahh 😆

  3. Aaaahhhrrrgjjj…. Pegen bget jambak bom sumpah. Apa dkhidpan nyata ada org kek bom…. Ga da ya selicik bom. Haha 😀

Leave a comment