Phases : Patru

Untitled-2

Sebelumnya, yang tentang chapter kemarin itu lebih ke cerita gimana proses awal Dara-Jiyong deket, sampe ujungnya ke hubungan mereka yang absurd itu.. Berasa datar?? Nah, mungkin karena memang alurnya saya sengaja bikin jadi lambat.. Kenapa? Soalnya saya pengennya begitu.. #moody :p

Chapter ini cerita tentang apa, nah.. selamat membaca… ^^,

~~~~~~~~~~~~~~~~~~

 

Seoul, 18 Agustus 2013

 

Jiyong bersimpuh didepan sebuah pusara. Pusara yang hanya dia kunjungi pada hari ulang tahunnya. Pusara ibunya. Ibu Jiyong meninggal tepat pada hari ini, 18 tahun yang lalu. Hal itulah yang membuatnya enggan merayakan ulang tahun dan tidak suka menerima ucapan selamat ulang tahun – well, kecuali dari seseorang.

“Annyeong omma,” sapa Jiyong setelah mencabuti rerumputan liar yang tumbuh disekitar pusara, tidak banyak memang, karena dia sudah membayar orang untuk melakukannya setiap dua minggu sekali.

Jiyong meletakkan bunga lili kesukaan ibunya kemudian melakukan penghormatan.

“Bagaimana kabar omma disana? Apa omma bahagia?” dia lalu mulai bercerita.

Kenapa kamu datang sendiri?

Semilir angin berhembus, seolah ibunya berbisik kepada angin untuk menyapaikan pertanyaan itu kepada Jiyong.

“Ah, omma..” keluhnya. “Nappeun yeoja itu meninggalkanku sendirian di hari ulang tahunku. Bahkan aku tidak diberitahu tentang kepergiannya.” Dia bersungut.

Benarkah itu? Tapi tidak mungkin Dara pergi tanpa alasan..

 

Jiyong memejamkan mata. Membiarkan angin mencumbunya, menyampaikan apa yang dikatakan ibunya kepadanya.

“Alasannya adalah aku, omma.” Aku Jiyong pada akhirnya setelah diam beberapa saat.

Kenapa? Kembali rasanya telinganya mendengar suara ibunya bertanya. Neo nappeun namja! Apa yang kurang dari Dara, sampai kau membiarkannya pergi begitu saja!

 

Jiyong tertawa lirih, membayangkan ekspresi ibunya saat mengatakan hal seperti itu. Memang ibunya tidak melihatnya tumbuh besar secara langsung, namun dalam hatinya dia memiliki keyakinan bahwa ibunya menyaksikannya dari atas sana.

“Omma, yang anak omma itu aku, bukan Dara..” protes Jiyong masih disertai tawa.

Omma tidak peduli!

 

Jiyong kembali tertawa, membayangkan ibunya berkata seperti itu sambil cemberut, seperti yang biasa dilakukannya, dulu. Dia sangat yakin, jika ibunya masih hidup sekarang pasti dia akan langsung akrab dengan Dara, mereka banyak memiliki kecocokan. Jiyong bisa melihat hal itu sejak pertama kali dia membawa Dara kemari.

Ya benar, Dara pernah kemari. Malahan karena Dara-lah Jiyong memiliki kekuatan untuk mengunjungi makam ibunya. Sejak kematian ibunya 18 tahun yang lalu, baru delapan tahun terakhir dia berani berkunjung. Untuk itu dia harus berterima kasih kepada gadis cerewet itu.

Ibu Jiyong meninggal saat Jiyong berusia 10 tahun karena penyakit kanker pada hari ulang tahunnya, tepat pada saat mereka sedang merayakan ulang tahunnya yang ke-10 di rumah sakit. Hanya ada dirinya dan sang ibu, sementara ayahnya – entah bekerja seperti yang dikatakan atau sedang bersama dengan istri barunya. Jiyong kecil tidak mau peduli, karena baginya yang penting adalah sang ibu. Hidupnya berpusat kepada ibunya. Meski pernikahan kedua ayahnya adalah hasil paksaan dari ibunya, namun bagi Jiyong seharusnya ayahnya bisa menolak, jika memang benar-benar mencintai ibunya. Tapi ternyata kenyataan berbicara lain. Ayahnya menuruti permintaan ibunya, menikah dengan sekretarisnya pada waktu itu – seperti yang diinginkan istrinya.

Jiyong marah, marah kepada para dokter yang tidak bisa menyelamatkan ibunya; marah kepada ayahnya yang tidak ada bersamanya saat ibunya menghembuskan nafas terakhir, saat harusnya ada seseorang yang memeluknya dan mengucapkan padanya bahwa semua akan baik-baik saja, bahwa dia tidak sendirian; marah kepada ibunya yang pergi saat hari ulang tahunnya; marah kepada dirinya sendiri yang saat itu terlalu kecil dan tidak bisa melakukan apapun karena masih terlalu kecil..

Setiap tahunnya dia akan selalu membuat janji untuk mengunjungi makam ibunya saat peringatan hari kematian yang juga merupakan hari ulang tahunnya, tapi dia tidak cukup berani. Ayahnya yang tahu akan luka yang ada dalam hati Jiyong, tidak bisa berbuat apa-apa selain membiarkan Jiyong mengurung diri di kamar setiap hari ulang tahunnya datang.

Hingga 8 tahun yang lalu, saat seseorang bernama Sandara Park menyeretnya datang kemari untuk memenuhi janjinya.

*

Seoul, 18 Agustus 2005

 

SNU, 04:07 p.m.

Jiyong baru mulai membereskan barang-barangnya begitu dosen melangkah meninggalkan kelas. Tidak punya keinginan untuk menginggalkan tempat ini dengan segera.

“Yah, Kwon Jiyong apa yang sedang kau lakukan?!” tanya Dara, jelas sekali tidak bisa menutupi nada kesal dalam suaranya.

Jiyong memiringkan kepalanya, bukankah apa yang sedang dia lakukan ini sudah jelas, kenapa masih harus bertanya, pikirnya. “Merapikan barang-barang,” jawabnya ringan,

“Bukankah kau berjanji untuk mengunjungi omma-mu?” tuntut Dara.

Gerakan Jiyong langsung berhenti, kepalanya menunduk tidak berani bertatapan mata langsung. Dia ingin melupakan hal itu, tapi disini malah Dara membuatnya semakin ingat. Tidak, dia pikir dia tidak akan sanggup.

“Jiyong jawab aku. Bukankah kau seharusnya segera bergegas.” Lanjut gadis itu. “Omma-mu pasti sudah menunggu.”

Jiyong masih diam, membuat Dara bertanya-tanya.

“Yah, Jiyong.” Dara menjadi gugup karena sejak tadi Jiyong hanya diam dan tidak menundukkan kepala. “Apa kau baik-baik saja?” dia mengulurkan tangannya, menyentuh kening JIyong dengan punggung tangan. Suhunya normal.

“Kupikir aku tidak akan bisa.” Kata Jiyong pada akhirnya.

“Huh?”

 

“Aku tidak akan sanggup, Dara..” nada bicara yang digunakan Jiyong membuat Dara merinding. Kenapa sepertinya dia terluka?

..

Dara tidak bisa berkata apapun saat mereka berada di kawasan pemakaman umum. Kini dia mengerti kenapa temannya itu memiliki ekspresi terluka saat dipaksa untuk menepati janji pada ibunya. Meskipun pada akhirnya menyanggupi, dengan syarat Dara mau menamaninya. Hal itu sempat membuat Dara panik, imajinasi liarnya sudah mereka beragam skenario yang mungkin terjadi. Namun semuanya tidak terbukti.

Jiyong berjalan selangkah mendahului, terlihat jelas langkah kakinya ragu. Detik berikutnya Dara sudah menyejajari langkah JIyong kemudian menggenggam tangannya. Jiyong yang kaget, langsung berhenti berjalan, manatap bergantian antara tangan mereka yang bergandengan kemudian wajah Dara. Gadis itu balas menatapnya dengan senyum menenangkan, seolah mengatakan bahwa dia ada disampingnya.

*

Seoul, 18 Agustus 2013

Sejak delapan tahun yang lalu, selalu Dara yang mengingatkan dan menemaninya datang kemari. Menurutnya, jika bukan karena gadis itu, dia pasti tidak akan cukup memiliki kekuatan untuk berada disini.

“Dara meminta keseriusanku, omma.” Jiyong akhirnya mulai mencurahkan isi hatinya. “Baginya selama ini aku tidak serius dengannya..” ungkapnya lirih.

*

Weleri, 18 Agustus 2013

 

“Mbak, dimana Dara noona?” tanya Bagus melongok kedalam kamar Putri.

Kemarin kakak sepupunya itu merengek ingin minta ikut ke Cepiring, tepatnya ingin berkunjung ke pabrik gula tempatnya bekerja sebagai supervisor mekanik. Katanya dia ingin mengambil foto disana, sudah lama Dara ingin menjadikan pabrik gula sebagai objek foto, sejak mendengar Bagus bekerja disana. Oleh karena itu, mumpung ada kesempatan datang kemari, dia tidak ingin menyia-nyiakannya.

“Pas aku bangun, unnie udah nggak ada.” Putri mengedikkan bahu. “Sudah ke kamarnya?” pertanyaan itu dijawab dengan anggukan oleh Bagus.

“Sudah, tapi nggak ada.” Ujarnya.

“Sama budhe, mungkin?”

Kali ini Bagus menggelengkan kepala. “Budhe lagi sama ibu di dapur. Aisht, aku bisa telat nih.” Keluhnya.

Putri menatap Bagus melalui cermin dihadannya. Sebelah alisnya naik keatas, bertanya kenapa. Dan Bagus mengerti akan bahasa tubuh kakaknya.

Noona ingin ikut ke pabrik, katanya mau ngambil foto.” Jelasnya.

Putri mengangguk-angguk, paham sepenuhnya akan jiwa penjelajah kakak sepupu mereka. “Berangkat dulu aja, biar nanti lik Slamet yang mengantar kesana kalau unnie ingin menyusul.” Katanya memberi solusi. Slamet adalah salah seorang kepercayaan nenek mereka, pria paruh baya itu bahkan sudah seperti anak ketiga bagi sang nenek.

“Oh, oke kalau begitu. Bilang ke noona, ya?” putusnya. “Kalau begitu aku berangkat dulu, mbak.”

..

Sementara itu, orang yang sedang Bagus dan Putri cari-cari sedang tidur nyenyak di salah satu resban[1] yang berada di pendopo[2] depan. Tidak akan ada yang menyangka bahwa gadis blesteran itu tidur disana, karena selain tubuhnya yang kecil, dia juga memilih kursi yang berada di sudut ruangan, yang paling ujung dari tiga set resban yang ada.

Semalam dia pindah dari kamar Putri ke pendopo saat sedang menerima telepon dari Jiyong. Bukannya dia khawatir bahwa Putri akan mendengar percakapannya dengan Jiyong, tapi lebih kepada dia tidak ingin mengganggu sepupunya itu dengan suaranya, toh selain kedua orang tuanya tidak ada yang fasih berbahasa Korea. Dan merasa enggan untuk segera beranjak dari kursi panjang itu, dia malah sampai tertidur.

 Dara merasa memiliki ikatan batin dengan resban-resban peninggalan sang kakek. Sejak kecil, benda itu adalah tempat favoritnya – entah untuk bersembunyi atau sekedar bermain. Bahkan dulu seringkali dia memilih untuk tidur disana jika datang berkunjung kemari, hingga akhirnya memaksa ada orang yang harus menggendongnya pindah ke kamar. Hampir saja dia lupa rasa tenang yang bisa ditawarkan oleh resban kepadanya.

Tiba-tiba saja Dara merasakan ada yang mengguncang tubuhnya pelan. Dan karena hampir terjaga hingga fajar, sistem tubuhnya menjadi lebih sensitif.

“Princess, ireona..” Dara mendengar seseorang berkata.

 “Princess, ireona..” lagi suara itu berkata, rasanya dia sangat mengenal suara itu.

Perlahan matanya terbuka, berkedip beberapa kali untuk menyesuaikan dengan cahaya. Saat datang kemari semalam, ruangan besar ini sudah gelap. Begitu pandangannya sudah jelas, wajah appa-nya menyambut dengan tersenyum.

“Uhh,” balas Dara bangun dari posisi berbaring sambil mengucek mata, lalu merentangkan tangan karena badannya terasa pegal tidur di tempat yang keras.

“Gwencana?” tanya appa-nya mengambil tempat dan duduk disebelahnya. Langsung saja Dara menyandarkan kepalanya ke bahu sang appa dan kembali memejamkan mata.

“Gwencana..” lirih Dara dengan suara serak khas orang yang baru bangun tidur.

“Kau itu pembohong yang buruk.” Komentar appa tanpa tertawa ringan melihat kelakukan putrid semata wayangnya. Siapa yang akan mengira bahwa putrinya ini sudah berusia 28 tahun. Fisik dan sifatnya sungguh sangat menipu. “Keberatan jika bercerita pada appa?”

 

“Hmm, hmm…” gumam Dara. Tangannya bergerak memeluk lengan appa.

“Jika halmonie sampai tahu kau tidur disini, dia pasti akan mengamuk.”

 

“Neh, neh… aku sudah sangat hafal dengan apa yang akan mbah putri katakan.” Potong Dara. “Kamu itu anak perempuan, seharusnya bisa menjaga tata karma.. bukannya tidur sembarangan, duduk sembarangan, makan sembarangan…” tambahnya menirukan gaya bicara sang nenek. Sama sekali tidak mirip, karena neneknya mengucapkan kalimat itu dalam logat Jawa yang kental sementara Dara mengucapkan dengan campuran logat Korea-nya yang tidak bisa hilang.

“Aisht, nappeun yeoja! Jangan menirukan nenekmu seperti itu.” teguran appa hanya dijawab dengan gumam tidak jelas oleh Dara.

“Jika kamu butuh pendengar, appa siap mendengarkan.” Perkataan terakhir dari appa membuat Dara tanpa sadar memasang senyuman.

Saat-saat seperti ini, Dara selalu saja merasa bersyukur dilahirkan menjadi anak dari kedua orang tuanya. Mamanya adalah tipe pendengar, sehingga tanpa sadar dia sering menceritakan apapun kepada sang mama. Sementara itu appa-nya lebih kepada tipe perasa, seolah bisa merasakan apa yang coba dia sembunyikan dari luar.

Seperti sekarang ini.

Dara adalah tipe orang yang sangat terjadwal, segala sesuatu yang dilakukan harus direncanakan dengan baik, hingga mendetail kalau perlu, meskipun seringkali perubahan moodnya sedikit menjadi penghambat, namun dia selalu berusaha untuk tetap sesuai dengan jadwal yang sejak awal dia putuskan. Dan kedatangannya kemari yang mendadak – dari yang seharusnya sekitar dua minggu mendatang, dipastikan menjadi tanda tanya besar.

Tapi jika itu menyangkut dengan masalah hati, bisakah dirinya disalahkan dengan keputusannya yang tiba-tiba begini?

*

Seoul, 12 November 2005

 

Dara tidak bisa menahan senyuman, saat teman-temannya memberikan pesta kejutan untuk ulang tahunnya. Ya, 20 tahun yang lalu dia dilahirkan, tepat pada hari ini. Bagaimana mungkin dirinya bisa lupa?

Hanbyul dan Bom, yang saat ijin ke toilet lima menit sebelum jam kuliah berakhir, memasuki kelas dengan membawa kue ulang tahun.

“Sengil chukae hamnida.. sengil chukae hamnida.. sarangheyo Sandara, sengil chukae hamnida…” Bom memimpin semua orang menyanyikan selamat ulang tahun untuk Dara, suaranya bisa dikenali dengan mudah diantara semua suara yang terdengar.

“Waaa, apa ini?” Dara mencoba menutupi kekagetannya.

“Sekarang tiup lilinnya!” Perintah Byul tersenyum.

Dara memilih untuk tidak membantah, mereka sudah bersusah payah menyiapkan kejutan kecil ini untuknya. Dia memajamkan mata dan membuat permohonan, sebelum meniup dua puluh lilin kecil yang ditancapkan diatas kue.

‘Semoga aku tidak pernah kehilangan orang-orang baik disekitarku ini,’ pintanya dalam hati sebelum meniup lilin.

Semua orang bertepuk tangan begitu lilin terakhir berhasil padam, kemudian bergantian memberikan ucapan selamat ulang tahun kepada Dara.

“Aku tidak tahu kalau hari ini ulang tahunmu, tapi selamat ulang tahun.” Bagitu kata Jiyong begitu tiba pada gilirannya.

Mendengar hal itu, Bom langsung memukul lengan Jiyong dengan keras dan berkata, “Yah, dasar pria berhati dingin. Kalaupun kau tidak tahu harusnya tidak perlu mengatakannya secara langsung. Aisht, aku tidak mengerti kenapa Dara bisa tahan denganmu.”

 

Muka Dara langsung memanas mendengar omongan Bom, sementara Jiyong hanya membuang muka dan enggan menanggapi.

“Yah, sudah, sudah. Tidak perlu ribut, itu bukan masalah besar.” Dara buru-buru menengahi sebelum Bom membantai Jiyong di tempat. “Bagaimana kalau kita makan siang saja sekarang, biar aku yang traktir.” Ajaknya yang langsung disambut oleh sorak sorai semua orang. Tanpa banyak perdebatan semuanya menyetui tempat yang diusulkan Dongwook.

..

“Dara, bagaimana bisa dia tidak tahu jika hari ini adalah hari ulang tahunmu.” Rupanya Dara masih belum beranjak dari rasa kesalnya yang diakibatkan oleh pengakuan Jiyong yang menurutnya sangat tidak peka.

Dara hanya melirik sekilas tanpa menghentikan langkahnya keluar dari kelas. “Sudahlah Bom, itu bukan masalah penting.” Sanggah Dara, meskipun sebenarnya entah kenapa dia merasa sedikit kecewa. Mungkin karena dia ingat dengan ulang tahun pria itu beberapa bulan yang lalu. Pasti begitu.

“Apanya yang tidak penting, tentu saja itu sangat penting. Namja macam apa yang melupakan ulang tahun yeoja-nya.” Seloroh Bom. “Benarkan, Byul?” dia meminta dukungan Dari Hanbyul, yang hanya menanggapi dengan gelengan kepala, tidak ingin berurusan dengan Bom yang sedang dalam mode mengomel.

Mata Dara melebar saat akhirnya bisa mencerna perkataan karibnya itu, tadi Bom bilang ‘namja-nya’ dan ‘yeoja-nya’. Langkahnya langsung berhenti dengan kedua alis berkerut. Bom dan Hanbyul yang berjalan beriringan dengannya ikut pula berhenti, menatap Dara.

“Aku bukan yeoja Jiyong,” Dara menggeleng-gelengkan kepala ngeri.

“Huh?”

 

“Chincha?”

 

Bom dan Hanbyul saling berpandangan kemudian sama-sama menatap Dara, bingung. Sebenarnya tidak hanya mereka berdua saja yang berpikiran begitu, melainkan juga teman-teman mereka yang lain.

“Yah, aku dan Ji hanya berteman. Tidak lebih..” panik Dara. Dia sendiri bingung, bagaimana bisa dia dikira menjalin hubungan dengan Jiyong. Perasaannya selama ini sikap mereka berdua terhadap satu sama lain biasa-biasa saja, tidak ada yang spesial.

“Tapi..” Bom belum sempat menemukan kalimat protes yang tepat, objek pembicaraan mereka muncul.

 

“Dara!” seru Jiyong. “Kutunggu di parkiran,” katanya meninggalkan ketiga gadis itu meneruskan obrolan mereka. Tidak menunggu jawaban dari Dara, Jiyong langsung melesat dengan bersama dengan gerombolan teman-teman pria mereka yang lain.

Bom dan Hanbyul langsung memberikan tatapan tajam pada Dara yang tidak tahu kenapa langsung merasa pipinya panas dibawah tatapan kedua temannya.

*

Seoul, 11 April 2006

 

“.. Jiyong oppa,” hanya sebuah panggilan dan langsung menghentikan obrolan yang terjadi di dalam kelas. Tidak hanya nama yang dipanggil, akan tetapi kelima belas kepala yang sedang berkerumun menoleh kearah sumber suara. Ternyata itu adalah Yoona, seorang hoobae  di jurusan yang sama.

Si gadis yang tiba-tiba menjadi pusat perhatian, langsung tersipu malu.

“Jiyong oppa, ada yang mencarimu.” Kata Bom, menirukan cara bicara Yoona, membuat wajah gadis itu semakin merah.

“Bom, hentikan.” Tegur Jiyong, merasa tidak enak hati pada Yoona. “Neh, ada apa mencariku?” Jiyong berdiri dan berjalan menghampiri gadis itu yang masih berdiri di depan pintu yang terbuka, terlihat jelas tidak menyangka akan begini sambutan dari para sunbae-nya.

Yoona mengeluarkan sebuah buku dari dalam tasnya, dan mengangsurkannya pada Jiyong. “Terima kasih untuk pinjaman bukunya, oppa.” Ucapnya.

“Oh, oke. Sama-sama.” Balas Jiyong menerima uluran buku dari Yoona.

“Kalau begitu aku langsung pergi. Sekali terima kasih, annyeong oppa.” Rupanya dia tidak tajan terus dipandang oleh banyak pasang mata. “Annyeong sunbaenim.” Dia membungkukkan badan kepada semua orang.

Jiyong menatap punggung Yoona yang semakin menjauh di koridor lalu kembali ke tempat duduknya semula.

“Jadi sudah sampai tahapan ‘oppa’?” tanya Taeyoon mendapat anggukan setuju dari Bom dan Hanbyul.

“Apa maksudmu?” kening Jiyong berkerut, detik berikutnya keningnya kembali mulus setelah mengerti kemana arah pembicaraan mereka kali ini menuju. Pasti tentang hoobae mereka yang baru saja dibuat semerah tomat.

“Jangan begitu Ji, tentukan pilihanmu. Sandara atau Yoona, jangan mendekati keduanya.” Komentar Yongbae, menyeringai, yang langsung diamini oleh yang lain.

“Aku tidak mendekati keduanya,” sanggahnya mengedikkan bahu.

“Yah, yah, jangan bersikap begitu Ji! Neo nappeun namja!” bentak Hanbyul kesal.

“Kenapa malah kalian yang pusing?” seloroh Jiyong menertawakan teman-temannya yang dianggapnya terlalu mendramatisir keadaan.

“Baiklah, baiklah. Kalau begitu kuganti pertanyaanku. Apa kau suka pada Dara? Atau kau suka pada Yoona? Jangan bilang kau suka pada mereka berdua, kupukul kau nanti!” tanya Bom disertai ancaman. Disini mereka sedang membicarakan tentang teman baiknya.

“Perlu jawaban serius atau bercanda?” masih sempat Jiyong melontarkan gurauan. Teman-temannya siap melempar apapun yang bisa tangan mereka raih kepadanya. Dia tertawa geli sambil mengangkat kedua tangannya, menyerah pada keseriusan mereka semua.

“Oke, akan kujawab serius.” Nada bicaranya akhirnya berubah. “Rasa suka itu ada kadarnya, dan berdasarkan hal itu, tentu saja aku menyukai Dara dan Yoona.” Katanya membuat semua orang membelalakkan mata dan mulai berisik. “Sama seperti aku menyukai kalian.” Tambahnya, suasana menjadi semakin gaduh.

“Jangan bersikap naïf Ji, kau tahu apa yang kami maksud.” Tuntut Hanbyul.

“Hanya itu yang bisa kukatakan kepada kalian. Karena masa depan itu adalah sebuah misteri, aku tidak berani berkoar apapun saat ini.” Ujarnya tersenyum simpul. “Jika memang nantinya aku berakhir dengan Dara atau Yoona, siapa yang tahu.” Tambahnya, keempat belas kepala yang lain mengangguk-anggukkan kepala mereka. “Siapa tahu juga aku berakhir denganmu Bom,” candanya.

Bom langsung tersedak mendengar hal itu. “Andwe!” serunya lantang, tidak menyukai ide berakhir dengan Jiyong. Dia memang mengakui bahwa Jiyong memiliki pesonanya tersendiri, tapi mereka akan berujung ribut jika disatukan.

Semuanya tertawa kecuali Bom yang mendengus kesal. “Seperti yang tadi kubilang, siapa yang tahu. Mungkin juga akan nantinya akan bersama denganmu, Yoon.” Jiyong menganggukkan kepala kepada Taeyoon.

Reaksi Taeyoon tidak seperti Bom, gadis itu hanya tertawa dan berujar, “Mungkin saja.”

 

“Atau mungkin malah denganmu, Byul.”

 

“Jangan harap!” bukan Hanbyul yang protes, melainkan Dongwook, kekasihnya.

Mereka semua tertawa lepas, ribut saling menjodohkan satu sama lain, lupa pada niat awal mereka untuk menginterogasi Jiyong. Dara yang baru saja masuk kelas, sama sekali tidak mempunyai ide bahwa dirinya lah awal mula candaan mereka.

*


[1] Satu set meja dan kursi panjang berlengan (satu set terdiri dari satu meja dan dua kursi panjang) yang biasanya terbuat dari kayu jati. Papan meja berukuran sekitar 1,5X2 m2  dan satu kursi dapat dapat diduduki oleh maksimal 5 orang dewasa. Dalam budaya masyarakat sekitar, resban sempat menjadi identitas kemampuan ekonomi seseorang.

[2] Bagian terdepan dari rumah joglo yang hampir menyerupai aula.

 

 

~ Tbc ~

Kok saya sendiri ngrasanya jadi kemana2 ya… LOL.. jauh dari ide awal saya yang beralur maju.. ini, malah jadinya pake maju-mundur.. hahaha..

Hmms, saya jadi nggak berani jamin lanjutannya akankan masih sama dengan plot awal, atau tiba2 saya malah nemu wangsit di tengah jalan.. Well, since tomorrow is a mystery, let’s just wait and see.. right guys? ^_~ *saya sendiri juga penasaran kemana larinya isi yang ada dikepala XD*

Sampai ketemu di chapter depan… ^^/

………………………………………………….

<< Previous Next >>

36 thoughts on “Phases : Patru

Leave a comment