Phases : Cinci

Untitled-2

Sudah berapa banyak postingan sejak terakhir kali saya update cerita ini? Adakah yang melupakan cerita ini? >..< saya butuh imajinasi tambahan.. _ _”
Haruskah saya kembali ke jalan cerita yang normal? Hmmms~

~~~~~~~~~~~~~~~~~~

Seoul, 12 November 2005

 

Dara tidak bisa tidur, memikirkan tentang hubungannya dengan Jiyong. Ada apa dengan mereka? Bukankah mereka adalah teman seperti yang lain? Kenapa teman-temannya yang lain mengatakan sebaliknya?

Baginya Jiyong adalah teman baik, sangat baik. Pria itu bisa memahami dan mentolerir semua hal bodoh yang tanpa sadar sering dia lakukan. Karena itulah dia mencoba memahami dan mentolerir pribadi Jiyong, yang ada kalanya sangat aneh. Sekali waktu Jiyong sangat serius dan tegas, namun tiba-tiba berubah menjadi pribadi usil yang suka menjahilinya.

Rasanya beberapa bulan terakhir sejak dia mengenal Jiyong, mereka bersikap layaknya teman sebagaimana mestinya. Setidaknya begitu menurutnya, tapi tidak lagi sampai Bom dan Byul mempertanyakannya tadi.

Dan lebih parahnya, saat dia tengah berusaha menjelaskan dan meyakinkan duo investigator dadakan itu bahwa tidak ada apa-apa antara dirinya dan JIyong, entah dari mana pria itu muncul tiba-tiba dan membuat semuanya semakin runyam. Dia masih mengingat jelas apa yang Bom sampaikan begitu Jiyong mengatakan padanya menunggu di tempat parkir saat mereka hendak menuju ke kafe yang diusulkan oleh Dongwook.

“Katamu kalian hanya berteman!” protes Bom yang ditimpali anggukan bersemangat dari Hanbyul.

“Memang teman,” belanya dengan tatapan ngeri.

“Tapi kelihatannya tidak begitu!” tuntut Bom. “Kenapa Jiyong harus menunggumu di parkiran?” Bominator mulai kehilangan kesabaran.

Dara menaikkan kedua alisnya, bukankah jawabannya sudah sangat jelas. “Bukankah kita akan ke kafe untuk merayakan ulang tahunku?” tanya Dara hati-hati.

 “Kenapa dia hanya menunggu-‘mu’?” dia menekankan pengucapan ‘mu’ lebih dari yang sebelumnya.

“Karena kami akan kesana bersama.” Dara masih tidak mengerti apa maksud dari pembicaraan ini.

“Tepat sekali!” seru Bom penuh kemenangan. Dan Dara masih terlihat bingung.

“Dara, maksud Bommie adalah kenapa kau harus kesana bersama dengan Jiyong, kau bisa kesana bersama dengan Bom atau aku,”

 

“Tapi kau bersama Dongwook,” potong Dara.

“.. atau yang lain. Maksudnya, kenapa harus dengan Jiyong?”

 

Dara mencoba mencerna pertanyaan teman-temannya. Bukankah selalu seperti itu. Jika mereka akan pergi secara berkelompok, secara otomatis Dara akan membonceng Jiyong.

*

Seoul, 11 Januari 2006

 

Jiyong menatap kearah pintu dengan pandangan yang sulit diartikan. Keningnya berkerut dan kedua alisnya saling bertautan. Dia tidak menyukai apa yang dilihatnya sekarang.

Dara sedang mengobrol akrab dengan seorang pria yang dia tahu adalah salah satu teman gadis itu di klub fotografi yang dia ikuti. Dari yang Jiyong lihat, Lee Donghae – pria yang sedang berbicara dengan Dara, sepertinya menyerahkan sesuatu kepada Dara. Dan tanpa perlu mendekat Jiyong tahu, jika itu adalah kamera, kamera milik Dara lebih tepatnya. Dia langsung mengenali benda itu sebagai kepunyaan Dara dari boneka kelinci kecil yang tergantung di samping tas penyimpanan kamera. Lagipula sebelum ini, Jiyong pernah melihat Dara beberapa kali membawa-bwa benda itu bersamanya.

“Aku bertaruh sepuluh ribu won, aku tahu isi kepalamu saat ini.” Tiba-tiba Jiyong mendengar suara, dan begitu dia menoleh, dia menemukan Bom sudah duduk di kursi kosong disebelahnya – kursi Dara.

“Aisht, aku sedang tidak mood untuk berdebat denganmu, Bom.” Sungut Jiyong kesal, lalu kembali mengalihkan pandangannya kearah pintu, dimana Dara dan Donghae masih berdiri disana.

Jiyong menggertakkan gigi melihat Dara berbicara penuh semangat, bahkan beberapa kali sampai tertawa-tawa. Dia merasa penasaran ingin tahu tentang apa yang mereka bicarakan.

“Kalau tatapan bisa membunuh, Donghae pasti sudah mati sejak tadi, kasihan sekali dia.” Komentar Bom, membuat Jiyong sekali lagi menoleh padanya.

“Mereka berdua sudah terlalu lama berdiri disana, mereka menghalangi jalan.” Jiyong merutuki dirinya sendiri mendengar alasannya yang sangat menggelikan.

Bom tertawa mendengar perkataan Jiyong. “Apa kau tidak punya alasan yang lebih baik lagi?”

 

Jiyong mendengus memandangi dua orang yang semakin asyik dengan pembicaraan mereka. Tidak seharusnya Dara bercanda seperti itu dengan Donghae.

“Kau terlihat seperti namjachingu yang sedang cemburu.” Komentar Bom.

Cemburu? Dia? Tidak mungkin. Seorang Kwon Jiyong tidak mungkin merasa cemburu, terlebih kepada seseorang seperti Lee Donghae. Dilihat dari manapun, dirinya jauh lebih baik dari pada Donghae itu.

“Mana mungkin aku cemburu.” Sangkalnya.

Bom hanya mencibir, otaknya mulai mereka skenario untuk membuat Jiyong semakin cemburu. Wajahnya memasang senyum jahil, jarang sekali ada kesempatan untuk mengerjai temannya yang satu ini.

“Tapi kalau diperhatikan, Dara dan Donghae terlihat cocok, neh?” tanya Bom memasang wajah polos, meski dalam hati dia ingin tertawa keras melihat ekspresi wajah Jiyong.

“Cocok?! Apanya yang cocok?! Orang seperti itu tidak cocok untuk Dara!” sungut Jiyong kesal. Donghae terlalu jauh untuk bisa disandingkan dengan Dara, begitu pikirnya. Dara seharusnya bisa mendapatkan pria yang jauh lebih baik lagi, seperti misalnya saja… dirinya? Dia langsung menggeleng-gelengkan kepala. Tidak, tidak. Bukan dirinya. Mereka tidak mungkin bersama.

Tapi tunggu, pemikiran itu sepertinya tidak ada salahnya. Lagipula siapa yang tahu tentang hari esok, tomorrow is a mystery.

 

“Lalu siapa yang cocok dengan Dara?” pertanyaan Bom membuyarkan pikiran Jiyong.

Jiyong terdiam. Tidak mungkin dia mengatakan isi pikirannya tadi.

“Kau?” perkataan Bom yang terakhir sontak membuat mata Jiyong melebar. Apakah Bom melihat bahwa dirinya cocok dengan Dara? Hatinya berpesta pora.

*

Menuju Busan, 16 Februari 2006

 

Mereka sedang dalam perjalanan menuju ke Busan – karena tuntutan salah satu kelas yang mereka ikuti. Hari ini mereka dijadwalkan untuk melakukan diskusi dan kuliah umum dengan salah satu perguruan tinggi teknologi informasi yang terdapat di kota pelabuha itu. Tidak ada keramaian yang berarti terjadi didalam bis yang membawa mereka ke Busan.

“Neh, mungkin sekitar 30 menit lagi kami memasuki Busan.” Kata Dara di ponselnya. Dia yang bertanggung jawab pada kegiatan kali ini.

Diam. Beberapa saat kemudian Dara kembali bersuara. “Akan kutelepon lagi nanti kalau kami sudah dekat. Neh, terima kasih oppa.” Katanya lalu memutus sambungan telepon.

Percakapan Dara ditelepon barusan memang tidak keras, namun bisa didengar oleh beberapa pasang telinga yang berada disekitarnya. Dan bagi mereka, Park Sandara berbicara tanpa menggunakan bahasa formal adalah sebuah kejadian langka. Dengan mereka saja butuh hampir dua bulan penuh sampai gadis itu menanggalkan formalitasnya.

“Oppa?!” tanya Dongwook keras, mencuri perhatian teman sekelas mereka – bahkan juga dosen – yang berada didalam bus. Kebetulan dialah yang duduk didepan Dara dan Bom – bersama dengan Hanbyul, sehingga dia pasti bisa mendengar dengan jelas percakapan Dara via telepon.

“Huh?” Dara tidak mengerti apa maksud Dongwook.

“Oppa nugu?” kali ini Dongwook sudah memutar badannya menghadap kebelakang, kearah Dara, lututnya sampai naik ke tempat duduk. Byul hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala melihat kelakukan namja-nya, tapi akhirnya ikut berlutut di tempat duduk dan berbalik. “Yang barusan kau telepon,” Dongwook tidak sabar karena Dara sepertinya tidak bisa mengikuti maksud perkataannya.

“Oh, Haejin oppa, waeyo?” tanyanya polos.

“Ah~, ‘oppa’?” ulang Dongwook keras, penuh penekanan pada kata-kata ‘oppa’. Yang lain mulai menahan senyum mengerti kemana arah pembicaraan Dongwook ini, kecuali dua orang – yang satu hanya menggaruk kepalanya masih tidak mengerti dan yang satunya lagi merasa telinganya mulai memanas.

“Kelihatannya kau sudah sangat akrab dengannya, Dara. Bukankah kau baru saja mengenalnya karena urusan diskusi ini.” Yongbae, yang duduk bersama dengan Jiyong dua baris dibelakang Dara dan Bom ikut menimpali. Sepertinya dia menikmati perubahan emosi yang ditunjukkan oleh teman duduknya akibat adanya pembicaraan ini.

Mata Dara melebar, baru memahami maksud Dongwook. Teman-temannya tentu akan bertanya-tanya karena memang dia melepas semua formalitas saat berbicara dengan Haejin tadi, dia tertawa memahami pemikiran teman-temannya. “Memang sudah akrab, aku sudah mengenalnya sejak lama.” katanya membuat yang lain semakin tertarik – kecuali satu orang yang sibuk memandang keluar jendela, merasa jengah dengan pembicaraan ini.

“Apa dia salah satu suitor-mu?”

 

“Dara akrab dengan namja dalam waktu singkat!”

 

“Kau diam-diam sudah memiliki namjachingu?!”

 

~ dan masih banyak lagi…

 

“Hahaha…” Dara tertawa datar mendengar komentar-komentar teman-temannya. Dirinya tidak menyalahkan mereka, karena memang selama ini dia tidak pernah dekat dengan pria manapun – kecuali teman-teman sekelasnya.

“Aisht! Bisakah kalian semua diam!” seruan Jiyong dari arah belakang justru semakin menambah riuh suasana dalam bus.

“Ha, ada yang cemburu!” begitu rata-rata komentar yang ditujukan pada Jiyong, yang membuat wajah Dara langsung semerah kepiting rebus.

“Yah! Hentikan! Jangan memulai lagi,” melihat reaksi Dara semuanya semakin bersemangat menggoda gadis itu, kecuali (lagi-lagi) seseorang. “Haejin oppa itu sepupuku, tentu saja aku sudah lama mengenalnya.” Sungutnya.

Klarifikasi Dara itu disambut dengan helaan ‘ah!’ dan ‘aisht!’. Namut tidak untuk seseorang yang diam-diam tersenyum memandang keluar jendela.

“Aisht, hampir saja lupa. Aku harus menelepon Haejin oppa dan mengabarkan kalau kita sudah hampir sampai.”

 

 

Sebenarnya kepentingan mereka hanya sebatas diskusi dan kuliah umum, namun berhubung sudah berada di Busan, mereka ingin menikmati akhir pekan disana, dan kebetulan juga bertepatan dengan perayaan Jeongwol Daebereum[1], yang sudah jarang diselenggarakan di Seoul. Dan kebetulan yang lain lagi, Dara menawarkan villa keluarganya yang ada di salah satu pantai yang ada di kota ini, sehingga masalah penginapan terselesaikan. Sehingga akhirnya diputuskan mereka sekelas berakhir pekan di Busan, sedangkan dua orang dosen yang datang bersama mereka kembali ke Seoul pada hari itu juga.

Sesampainya mereka di villa, semua orang bersiap untuk menonton perayaan dan pesta kembang api yang akan dimulai tepat pukul 7 malam. Haejin, yang jelas tahu lebih mengenal kota ini dibanding Dara – yang walaupun dilahirkan di Busan namun tumbuh besar di Seoul, bersedia menjadi pemandu mereka.

“Bagaimana kabar samchoon dan imo?” tanya Haejin saat mereka sedang berjalan ke bus untuk  menuju ke tempat perayaan.

“Mama akan marah kalau mendengar oppa memanggilnya dengan sebutan imo,” mata gadis itu memicing lalu tertawa. Mamanya memang tidak pernah suka dipanggil dengan sebutan-sebutan seperti orang Korea pada umumnya. Dia memaksa Haejin – satu-satunya keponakannya dari pihak suami – memanggilnya dengan sebutan tante, yang tentu terdengar sangat aneh bagi telinganya mendengar Haejin kecil pada waktu itu memanggilnya demikian. Akhirnya dia mentolerir dengan sebutan aunty. Dia bahkan sering kesal karena dipanggil ahjumma oleh anak-anak kecil di lingkungan tempat tinggal mereka.

“Mama-mu itu, benar-benar…” Haejin menggeleng-gelengkan kepala, kemudian tertawa mengingat sikap ajaib bibinya itu.

“Appa dan mama baik-baik saja. Bulan lalu mama baru saja pulang ke Indonesia, aku ingin ikut sebenarnya, tapi sayang kuliahku tidak bisa ditinggal.”

 

Sepanjang perjalanan menuju tempat perayaan, keduanya terus saja sibuk bertukar cerita dan melupakan bahwa sebenarnya keduanya tidak sedang dalam acara keluarga.

Tempat penyelenggaraan festival perayaan Daebereum sudah padat begitu mereka tiba disana. Orang-orang berdatangan tidak hanya dari Busan namun juga kota-kota disekitar Busan, bahkan ada juga yang jauh-jauh datang dari Seoul – sama seperti mereka.

“Aku tidak manyangka akan seramain ini,” komentar Dara melihat keramaian dihadapannya, mendesah.

“Kau belum pernah ke perayaan Daebereum sebelumnya?” tanya Haejin mengangkat kedua alisnya.

Dara menggelengkan kepala, “Aku kurang begitu nyaman dengan keramaian seperti ini,” ungkapnya. Haejin hanya menganggukkan kepala mengerti.

“Astaga aku tidak percaya ini!” seru Haejin melebih-lebihkan.

Beberapa langkah dibelakang Dara dan Haejin, seseorang bersungut-sungut kesal melihat keakraban kedua sepupu itu.

“Hentikan Ji.” Dongwook merangkulkan lengan kebahunya.

“Apa?” Jiyong menoleh, hanya sekilas lalu kembali memperhatikan orang didepannya.

“Tatapanmu itu.” kata Dongwook. “Rasa cemburumu itu tidak beralasan.” Lanjutnya.

Jiyong hanya mendengus, kali ini tidak mau repot untuk menoleh. “Apa maksudmu?” tanyanya sambil menghela nafas.

“Mereka hanya saudara sepupu.” Dengan begitu Dongwook melepas rangkulannya pada Jiyong kemudian mempercepat langkahnya menyusul kekasihnya.

“Yah, apa maksud ucapanmu!”

“Oppa bukankah kau bilang kau janjian dengan teman-temanmu disini? Dimana mereka sekarang?” tanya Dara mengingatkan sepupunya.

“Aigoo, kau benar Tokki, aku malah lupa.” Dia mengeluarkan ponselnya dari dalam saku dan terkejut melihat banyaknya panggilan tak terjawab dan pesan yang masuk. “Aisht, mereka pasti akan membunuhku!” serunya berlebihan. Dara hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya.

“Kalau begitu kau temui teman-temanmu saja dulu oppa,” usul Dara.

“Lalu bagaimana dengan kalian?” Haejin terlihat ragu.

“Tenang saja, kau bisa menyusul kami setelah menemukan teman-temanmu nanti. Aku tidak akan melepaskan ponselku, jadi aku akan langsung mengerti begitu kau menelepon, arasso?”

 

“Neh,” Haejin menyetujui usul Dara, lalu kemudian berpamitan dan hilang ditengah keramaian.

Setelah Haejin pergi, Dara mulai sibuk dengan kameranya – tentu dia tidak ingin melewatkan untuk mengabadikan momen ini. Jarang dia bisa – ani, lebih tepatnya mau – untuk datang ke tempat ramai seperti ini. Dia suka berjalan-jalan, tapi lebih ke tempat-tempat yang sepi dan memiliki pemandangan alam yang menakjubkan. Secara pribadi dia suka melihat foto-foto pemandangan keramaian – tapi belum pernah sekalipun dia memiliki kesempatan menjadi orang yang mengambil gambar.

Saking asyiknya memotret hal-hal yang menarik perhatian, Dara tidak sadar dengan kondisi sekeliling, hingga akhirnya…

“Aah!” seru Dara, saat tubuh kecilnya terdorong oleh keramaian.

Dara terlalu fokus dengan lensa kameranya sehingga tidak memperhatikan, bahwa orang-orang do sekelilingnya bergerak cepat. Kameranya terlepas dari genggaman tangan, namun tidak sampai jatuh karena mengalungkannya ke leher. Tapi tindakan preventifnya itu akan sia-sia jika sampai dia jatuh terdorong dari belakang.

“Hati-hati,” kata seseorang, menahan tubuhnya. Selamat. Dia dan kameranya selamat. “Kau tidak seharusnya sepenuhnya memandang jalan dari lensa kamera di tempat ramai seperti ini.”

 

Dara menoleh dan melihat Jiyong sudah menahan kedua bahunya. Seperti anak kecil yang kena marah, Dara nenundukkan kepala. “Mianhe.” Lirihnya.

Jiyong hanya mendecakkan lidah dan kemudian tanpa berkata apapun, dia menggandeng tangan Dara. Dara kaget dengan tindakan pria itu, namun tidak bisa berkata apapun karena kaget. Seolah kamus penyimpanan suku kata dalam sel otaknya membeku. Tiba-tiba saja, Dara merasa seperti ada aliran listrik yang mengalir dari tangan Jiyong yang menggenggam tangannya.

Sementara itu, beberapa meter dibelakang berpasang-pasang mata menyaksikan kejadian barusan. Mereka yang sudah paham dengan sikap Dara, membiarkan gadis itu berjalan duluan agar bisa mengambil gambar. Namun yang membuat mereka terkejut adalah, karena dalam sekejap Jiyong sudah berpindah bermeter jauhnya. Mereka berani bersumpah, saat melihat Dara hilang keseimbangan karena terdorong oleh orang-orang disekelilingnya yang bergerak cepat, Jiyong masih ada bersama dengan mereka.

“Dan mereka berdua terus saja menyangkal bahwa mereka sebenarnya memang saling suka!”

 

 

 

*

Seoul, 28 Juli 2006

Dengan langkah lambar Dara berjalan menyusuri pedestrian. Dia tidak tahu bisa bertahan sampai mana, tapi dia memutuskan sampai pemberhentian bus terjauh yang bisa dia jangkau. Berjalan adalah salah satu solusinya untukmenjernihkan pikiran. Dan keli ini, dia sangat perlu untuk menjernikhak pikirannya.

Pagi tadi, tanpa sengaja dia mendengar teman-teman sekelasnya sedang membicarakan dirinya. Awalnya dia ingin pergi dari tempat itu, sampai dia mendengar satu suara yang sudah sangat dikenalnya. Dan itu yang membuat kakinya enggan untuk diajak melangkah. Dara tahu, mencuri dengar seperti itu jauh dari kategori tindakan baik.

“Aisht, kenapa aku harus terlalu memikirkannya sih? Seharusnya aku tidak perlu pusing seperti ini.” Gumamnya kepada dirinya sendiri. Satu kebiasaannya yang lain saat sedang kalut adalah berbicara kepada diri sendiri. “Tapi si bodoh itu salah, kenapa dia mengatakan hal seperti itu kepada orang lain, harusnya dia mengatakannya langsung padaku.” dia meneruskan ocehannya. “Dan apa maksudnya dengan kejadian di kantin tadi?”

 

 Jadi pagi tadi Dara tidak sengaja mendengar dirinya dan Jiyong menjadi topic pembicaraan – bukan hal baru sebenarnya. Dia tadisnya memutuskan untuk masuk kelas dan menghentikan pembicaraan itu, namun langkahnya terhenti saat mendengar suara Jiyong diantara mereka. Secara garis besar, pemahamannya menangkap bahwa Jiyong mengakui jika memang pria itu memang menyukainya – dalam artian lebih.

Dan itu yang membuatnya sedikit kesal. Jika memang Jiyong menyukainya, bukankah seharusnya dia mengatakannya kepada Dara langsung? Dalam masalah ini yang menjadi subyek adalah Jiyong sendiri dan Dara. Tapi kenapa malah Jiyong harus memberi pengakuan diharapan yang lain? Terlebih lagi, dari pembicaraan mereka, Dara bisa menebak bahwa topik pembicaraan itu (bahwa Jiyong menyukai Dara) bukanlah yang kali pertama. Rasa kesalnya semakin bertambah.

Lalu kadar kekesalannya mencapai ambang batas saat dia melihat Jiyong dengan Yoona di kantin, makan berdua, terlibat pembicaraan serius, dan kelihatannya sangat mesra. Dara tidak mau mengakui bahwa dia merasa cemburu – baginya itu hanya karena efek tidak sengaja mencuri topik pembicaraan pagi tadi.

“Dasar Jiyong jelek!” sungutnya. “Aisht, kenapa aku harus terlalu memikirkannya sih? Seharusnya aku cuek saja, kenapa harus repot begini.”

 

Dara merasa mendengar ada orang yang memanggilnya. Tapi itu pasti hanya imajinasinya saja.

 

“Dar!”

 

“Dara!”

 

“Daraa!”

 

“Sandara!”

Oke sekarang Dara percaya jika ada yang memanggil namanya. Dia mengedarkan padangan, dan menemukan motor yang sudah tak asing lagi baginya di tepi jalan. Wajahnya berubah tanpa ekspresi melihat si pengendara motor yang sekarang sudah melepas helemnya.

Dara berdiri di tempatnya berhenti melangkah, enggan mendekat.

“Kenapa kau pergi duluan?” tanya Jiyong, turun dari motornya dan berjalan menghampiri Dara, seperti dia punya pilihan lain saja.

“Memangnya kenapa?” sahutnya dingin.

“Huh? Bukankah kita biasa pulang bersama?” ujar Jiyong tersenyum.

Jika pada saat-saat normal, Dara akan melompat-lompat senang dan tanpa menunggu untuk diminta dua kali, dia sudah akan ke boncengan motor Jiyong. Namun tidak kali ini.

“Aku ada urusan.” Ujar Dara, dengan nada yang masih monoton.

Jiyong tidak mengerti kenapa Dara bersikap aneh.

“Kalau begitu biar kuantar.” Tawarnya.

Dara menggelengkan kepala. “Aniyo. Aku akan menggunakan bis.”

 

Jiyong mengerutkan kening, bingung. “Kenapa? Biar kuantar saja. Dengan begitu kau tidak perlu pusing memikirkan caramu pulang ke asrama, kan?”

 

“Aniyo, aku tidak akan pulang ke asrama kali ini. Aku berjanji untuk pulang ke rumah.” Katanya. Tepat pada saat itu, Dara melihat bus mendekat. Tanpa pikir panjang dia langsung berjalan menuju ke tempat pemberhentian bis – entah itu bus yang seharusnya menuju ke daerah rumahnya atau bukan, itu masalah belakangan. Untung saja, Jiyong memilih untuk menghentikannya di dekat tempat pemberhentian bus. Jadi setidaknya dia punya alasan.

“Aku duluan!” seru Dara tanpa menoleh.

Jiyong ditinggalkan dalam keadaan termenung. Tidak mengerti apa penyebab sikap aneh Dara seharian ini. Jika perasaannya benar, apakah gadis itu sedang berusaha menghindarinya?

*

[1] Perayaan bulan purnama yang dirayakan setiap tanggal 15 bulan pertama kalender lunar (sumber : wikipedia). Demi kepentingan cerita saya menganggap pengambilan latar waktu adalah  hari yang dimaksud. Saya sendiri kurang begitu yakin apakan ada perayaan semacam festival seperti yang saya gambarkan disini, namun sekali lagi demi kepentingan cerita anggap saja demikian.

 

~ Tbc ~

Menurut feeling saya saat ini sih ya, ini cerita nggak bakalan panjang… LOL

Dan oh ya, buat meluruskan saja…

1. Jiyong dan Dara disini kenal sudah 8 tahun, tapi mereka masuk ke tahap more-than-friend-less-than-lover itu nggak sampe segitu lamanya.. kayaknya saya pernah nyebut di chapter awal, atau malah di prolog.. *penyakit bawaan: lupa

2. Untuk kesalahpahaman yang mungkin saja saya timbulkan sebelumnya, semoga bisa saya perjelas jalan cerita ini di chapter ini atau chapter2 selanjutnya..

Terima kasih sudah membaca… dan jangan lupa kalau saya menunggu kotak komentar saya berubah warna! LOL ^^

………………………………………………….

<< Previous Next >>

 

52 thoughts on “Phases : Cinci

  1. Dara sama jiyong pada gengsi ya kalau mereka saling suka kkeke kalau dara sih wajar, tapi jiyong? Jiyong kan laki laki harusnya berani ngungkapin perasaannya ke dara 😀

  2. dara marah nie…….sama jiyong…kekekek
    bus yg di naik’in dara bener menuju ke rumahnya nggak tuh…?jangan2 salah bus lagi…???

  3. Siapa pun pasti juga bakal tau kalau jiyong suka sama dara, kalau perlakuan jiyong sama dara kayak gitu ^^
    Bom mah jahil, udah tau jiyong cemburu masih di panas.panasin

  4. Jiyong oppa nggak gentle disini. Pake acara nggak mau ngaku kalo suka sama dara unnie lagi. Dara unnie juga nggak mau ngaku. Btw jiyong sama yoona unnie itu nggak cocok sih cocoknya itu jiyong oppa sama dara unnie😆

Leave a comment