The King’s Assassin [32] : She’s Everything

assassinc

Author :: silentapathy
Link :: asianfanfiction
Indotrans :: dillatiffa

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~  

 

“Jeoha…” Eunuch Seunghwan mendongakkan kepalanya, mengalihkan perhatiannya dari tumpukan gulungan yang tengah mereka periksa.

“Tunda diskusinya sampai nanti, Seunghwan,”

“Tapi…”

“Kepala Eunuch, itu bisa menunggu. Kita perlu membaca semua surat-surat ini. Para Gubernur dan pejabat telah mengirimkan laporan mereka. Masih banyak pekerjaan yang harus kita lakukan,” ukar Profesor Dong kepada sang Eunuch.

“Tapi…”

“Aisht! Sudah kubilang pada Seunghyun, Seungri, dan Daesung untuk datang kemari siang ini! Apa yang membuat mereka begitu lama???” dengus Putra Mahkota membuka gulungan kertas yang lain.

Begitu persiapan mengenai pengangkatan Putra Mahkota sebagai Raja diumumkan seluruh penjuru negeri, para pejabat mulai mengirimkan berbagai surat yang berisi baik protes maupun dukungan; Putra Mahkota bersama dengan para rekannya sibuk dengan berbagai pertemuan dan juga investigasi yang tengah mereka lakukan.

“Jeoha, tolong dengarkan saya…” pinta Seunghwan.

“Apa itu sampai-sampai kau tidak bisa menunggu, Seunghwan???!!!” Putra Mahkota mendelik membuat pria tua itu menjauh mundur.

“Saya sudah m-m-encoba mengatakannya kepada Anda k-k-arena ini sangat mengganggu saya, Jeoha. Sandara-ssi—,” dia menutupi mulutnya mengingat bahwa dia tidak diperkenankan mengucapkan nama itu.

“APA LAGI SEKARANG???”

“Dia melatih para prajurit, Jeoha!”

**

“Whoaa!” para prajurit bertepuk tangan setelah Dara menunjukkan beberapa keahliannya dengan pedang. Berbalut jeogori sutra berwarna biru dengan lengan mengetat dibagian lengan depannya, sepasang baji dengan warna senada, sebuah jubah luar berwarna biru terang bergantung ringan di pahanya, serta sepasang sepatu boot hitam – tidak akan ada yang berani memanggilnya seorang wanita meski sosoknya jauh lebih lembut dibandingkan pria. Rambutnya tergelung rapi, menunjukkan wajah mungilnya – semua orang menatapnya terpana.

“Itu tadi daebak hyung!” salang seorang pemuda berseru.

“Tidak bisa dipercaya!”

“Anda sudah memperhatikan kami rupanya, Tuan Muda, tapi Anda belom memperkenalkan diri.” Salah seorang prajurit muda mendekati Dara.

“Jika sudah saatnya tiba, tuan-tuan. Jika sudah saatnya,”

“Tidak bisa dipercaya! Siapa yang menyangka Anda sangat mahir memainkan pedang dengan ukuran tubuh Anda yang bisa dibilang kecil? Belum lagi Anda terlihat lemah lembut. Kami tidak butuh pemuda tampan disini! Tapi Anda telah membuktikan bahwa kami salah!” salah seorang pria dengan sosok tubuh besar merangkul tubuh Dara penuh kekaguman.

“Aigoo… kudengar dia adalah salah seorang kepercayaan Putra Mahkota! Anda ditempatkan sebagai komandan pasukan. Mungkinkah —,”

“Permisi, tuan-tuan,” Jiyong dan para pendampingnya tiba. Dia berdiri dengan kedua tangan berada belakang tubuhnya, tatapannya tidak lepas dari wajah terkejut Dara. gadis itu segera melepas lengan pria yang merangkulnya dan mundur.

“Sepertinya kalian lebih senang ngobrol dan berkumpul seperti ini dibanding melatih kemampuan kalian,”

“JEOHA,” semua orang segera berbaris dan memberi hormat kepada Putra Mahkota.

“Bisakah aku berbicara dengan AHLI PEDANG HEBAT ini sebentar, tuan-tuan?” mereka semua mundur, memberi jalan kepada sang Pangeran untuk melewati mereka – tapi Dara tetap membeku di tempat.

“Bisakah?” Jiyong menyeringai dan Dara hanya bisa mendelik kesal mencoba memasang wajah berani meski dia tahu dia pasti akan kena marah dari sang Pangeran. Dia menelan ludah berat.

**

“A-a-pakah Anda masih marah?” tanya Dara kepada Pangeran yang kini tengan memijat pelipisnya. Saat memasuki kamarnya, Dara mengira Jiyong akan berteriak dan mengeluh, namun ajaib, pria itu belum mengucapkan sepatah kata pun. Akhirnya dia memutuskan untuk memecah kebisuan diantara mereka.

“Jeoha…”

“Kenapa?” tanya Jiyong, jelas terlihat dia berusaha mengendalikan amarahnya. “Kenapa kau melakukan itu?”

“A-a-nda tahu kenapa…” gumam Dara.

“Tapi kau sudah melanggar perintahku!” bentak Jiyong. Dara tersentak, mendengar pria itu berteriak padanya untuk pertama kali – Jiyong pun sepertinya terkejut dengan emosinya yang tiba-tiba meluap. Dara meremas-remas jemarinya dan Jiyong hanya bisa menutup wajahnya dengan tangan.

“Aku… aku minta maaf…”

“Tidak apa-apa. Saya yang bersalah.” Gumam Dara.

“Dengar,” Pangeran memperhalus suaranya. “Kemari,” dia merentangkan lengannya tapi Dara menggelengkan kepala.

“Park Sandara jangan membuatku berdiri dan mendekatimu karena pasti kau tidak akan menyukai apa yang selanjutnya kulakukan,” katanya membuat Dara langsug berdiri dan segera duduk bersimpuh dihadapan pria itu. Jiyong meraih tangan Dara.

“Aku minta maaf. Aku hanya merasa lelah.” Desah Jiyong sembari mengelus punggung tangan Dara dengan ibu jarinya. “Beberapa hari terakhir kami terus bekerja tanpa henti sampai harus lembur untuk memeriksa para pejabat. Aku tidak tahu siapa saja yang bisa dipercaya. Hal itu membuatku stres. Aku minta maaf. Aku tidak bermaksud untuk berteriak padamu.”

“Saya tahu… dan saya hanya tidak ingin mengganggu Anda, itu saja,”

“Tetap saya, kau bisa menulis surat dan mengirimkannya melalui Seunghwan.”

“Saya minta maaf. Saya tidak bisa bersabar,”

“Aku mengerti, aku pun demikian.” Ucapnya menenangkan dan mendekat untuk mengangkat wajah gadis itu. “Berhenti mengerutkan dahi,” Dara melepas tangan Jiyong.

“Dara-ah,” Jiyong memegang dagu Dara dan mengangkat wajah gadis itu agar menatapnya. “Aisht kau masih terlalu cantik untuk menjadi seorang pria!” dia menggeleng-gelengkan kepalanya.

“Saya sudah berusaha semampu saya, Jeoha. Saya rasa tidak akan terlihat seperti wanita jika saya berpakaian seperti ini. Lagipula, saya hanya sedikit menunjukkan apa yang bisa saya lakukan. Mereka bahkan memanggil saya hyung,” dia menggigit bibirnya sementara JIyong menyipitkan mata.

“Hyung?”

“N-n-eh…” Dara tersenyum.

“Jangan dekat-dekat dengan merreka. Bisa-bisanya kau membiarkan pria itu merangkulmu?” Jiyong mendelik lebar pada Dara. “Aisht, kupikir itu satu masalah lain yang harus segera kuselesaikan,”

“Saya tidak mempermasalahkannya,”

“Apa kau bilang???”

“Maksud saya, saya sudah terbiasa tinggal dengan pria. Dengan Harang, Master Wu… Ilwoo oppa… apa masalahnya dengan para prajurit itu?”

“Itu dia. Kau tidak boleh keluar.” Jiyong berdiri.

“Tapi Jeoha!”

“Kau tidak akan keluar sampai aku menemukan cara tidak seorang pun dari pria-pria berada dekat denganmu,”

Dara menatap Jiyong tak percaya dengan mulut terbuka. “Apa Anda sudah gila?!” serunya.

“Jaga bicaramu, lady,”

“Itu tidak adil! Anda sudah berjanji pada saya!!!” balas Dara dengan tangan terkepal.

“Kenapa kau sangat keras kepala?”

“Anda tidak bisa mengurung saya selamanya disini. Saya tahu apa yang Anda pikirkan. Jangan mencoba membodohi saya,” katanya. “Saya harus melatih mereka. Mereka sangat kurang dari berbagai sisi. Dan lebih parahnya, mereka tidak memiliki seorang pun untuk memimpin mereka.

“Aku yang memimpin mereka,” jawab Jiyong.

“Apa Anda yakin? Anda tidak memiliki kemampuan untuk memimpin pasukan, Jeoha. Anda bahkan tidak bisa memimpin para Menteri,” jelasnya membuat sang Pangeran menyipitkan matanya.

“Jangan menguji kesabaranku, Sandara!”

Dara terkesiap, namun dia berusaha untuk tidak menunjukkan kekagetannya dihadan Jiyong. Malahan dia melangkah maju membuat sang Pangeran mundur. “Anda tidak mengunjungi saya selama berhari-hari, Anda pikir apa yang bisa saya lakukan disini? Saya tidak bisa datang ke kamar Anda untuk meminta ijin dan Anda pun tidak mengirimkan Seunghwan kemari. Dan Harang dilarang untuk berkeliara. Katakan pada saya, apa yang harus saya lakukan disini?”

“Sekarang belum saatnya,”

“Sekarang sudah saatnya,” tuntut Dara berkemauan keras.

“Dara… kumohon… jika aku tidak bisa menemuimu selama berhari-hari, itu karena aku sangat sibuk. Dan aku tidak bermaksud untuk membodohimu. Kenapa kau berpikir seperti itu?”

Dara tidak menjawab.

“Dara…”

Dara tidak mendengarkan. Malahan dia mundur dan menarik pedangnya keluar dari sarungnya dan menghunuskannya pada Jiyong – pria itu jelas sangat terkejut.

“Dara…”

**

“Itukah yang kau cari?” tanya Tuan Xin sambil bergeser mendekat pada Chaerin. Dia menyadari gadis itu terus melihat nama seseorang dari buku dan sama sekali belum bergeser ke halaman selanjutnya, “Itu Jang Junshin,”

Chaerin memejamkan matanya. Kilasan balik mulai muncul. Pria itu yang dilihatnya dibalik ayahnya ketika Seungri menyeretnya menjauh. Pedang terhunus ditangannya. Berlari semakin mendekati ayahnya. Jung Junshin, rahangnya mengeras dan pegangannya pada buku ditangannya kian erat.

“Tenang, Lady… aku masih harus mengembalikannya ke ruang kerja ayahku.” Xin merebut buku dari tangan Chaerin.

“Dimana dia sekarang,” tanyanya namun tubuhnya langsung tegang merasakan pria itu melingkarkan lengan di tubuhnya. “Tuan Xin…”

“Aku sudah membawakan buku ini untukmu, kau berhutang besar padaku,” kata pria itu sambil membenamkan wajah di lekukan leher Chaerin.

“Tuan…” Chaerin menggigit bibir, setetes air mata menetes dari sudut matanya.

“Sooyun… jangan takut,”

“Tuan… Xin… saya belum diajarkan untuk ini,” dia mencoba beralasan.

“Apa?”

“Saya minta maaf, tolong beri saya waktu,” dia menatap pria itu dengan gugup. “Saya akan menjadi milik Anda. Saya berjanji,”

“Memang harus, Sooyun,” pria itu mendelik pada Chaerin. “Memang harus…”

“Tolong ijinkan saya meminjam buku ini lebih lama, saya mohon?” pinta Chaerin dan seketika itu matanya melebar terbuka saat merasakan sesuatu menyentuh bibirnya. Air mata mulai mengalir deras dari matanya.

“Manis,” pria itu menyeringai kemudian menjauhkan diri. “Jaga buku itu baik-baik.”

Chaerin tersenyum pahit.

“Ada apa? Kenapa kau menangis? Aku mencoba bersabar dan bersikap lembu disini, Sooyun. Jangan coba-coba kau menolakku hanya karena sebuah ciuman,”

“Mianhe, Tuan,”

“Selain dari buku, aku membawakan ini untukmu,” kata Xin sambil melambaikan sebuah peti kayu kecil. “Ini pasti akan terlihat indah jika kau pakai,”

Chaerin mengangguk, tapi dalam hati dia mulai merasa jijik pada dirinya sendiri, selama ini dia terus berdoa kepada kedua orang tuanya dan berjanji untuk menjadi seorang wanita yang bisa mereka banggakan. Namun sekarang, dia menghancurkan semua janjinya itu.

“Aku tidak tahu apa artinya buku itu untukmu, tapi jika kau terus bersikap seperti ini, aku tidak peduli,” pria itu berbisik ditelinga Chaerin, “Aku akan menemui Lady Hyori… mungkin aku bisa melatihmu untuk ini,” Chaerin memejamkan matanya saat merasakan Xin mulai menyesap telinganya. Seungri. Yang bisa dipikirkannya hanyalah Seungri.

“Saya ragu beliau akan setuju. Saya mohon bersabarlah. Saya akan selalu melayani Anda dengan senang hati,” dia mencoba tersenyum dan dihadiahi dengan sebuah ciuman lain.

“Seungri… Seungri… mianhe,” dia terus menyebut itu dalam kepalanya. Buku itu sangat berarti. Berisi tentang data pejabat pemerintah dan dia sangat membutuhkannya.

“Seungri… mianhe,”

**

Daesung segera berlari seperti orang gila begitu melihat Chaerin masuk kedalam ruangan dimana Tuan Xin berada. Dia harus segera memberitakan ini kepada tuannya, namun yang jadi masalah adalah kehadiran mereka dibuthkan di Istana.

“Oh Tuhan apa yang harus kulakukan?! Tuan pasti akan marah jika dia kembali tahu bukan dari laporanku,” dia terus berjalan mondar-mandir saat dia sampai di pintu gerbang Sunghyunkwan.

“Yah! Ada apa denganmu?” Seungri mengenakan gwanbok hijau, seragam yang Istana berikan untuknya. Profesor Choi kemudian muncul dengan seragam resmi gwanbok biru miliknya.

“Tuan! Anda tahu putra Wakil Penasehat Kerajaan, kan?”

“Neh… Xin sunbaenim. Wae?”

Daesung menggigit bibirnya.

“Ada masalah apa Daesung-ah? Kita bisa terlambat,” ujar Profesor Choi.

Daesung mendesah tak berdaya. Dia merasa akan ada pertengkaran lain antara Chaerin dan Seungri dan mereka bahkan belum berbaikan sejak terakhir kali kedua bertemu. Hari itu Seungri kembali ke Sungkyunkwan dengan amarah telihat jelas dari matanya dan Daesung melihat Chaerin berlari ke kamarnya dengan menangis.

Apalagi sekarang jika ada pria lain telibat?

“Daesung!”

“Aisht! Bukan apa-apa! Saya hanya merasa dia bukan orang yang baik sama sekali. Ayo! Putra Mahkota sudah menunggu!” serunya dan berjalan mendahului.

“Ada apa dengan pria itu, yah?! Tanya Seunghyun.

“Ayo, Pangeran bisa memanggang kita kali ini. Kudengar mood-nya sedang buruk akhir-akhir ini,”

“Mungkin karena Dara kembali mengacuhkannya, hahaha!” gurau Seunghyun.

**

“Dara…” Jiyong mengerutkan alis bukan karena takut akan keselamatannya melihat pedang tajam terhunus didepammnya, melainkan karena merasa bingung kenapa Dara tiba-tiba bersikap aneh.

“Apa maksudnya—,” Dara berbalik dan membelit leher Jiyong dengan lengan, pedangnya masih bisa membahayakan tubuh sang Pangeran kapanpun.

“Keluar,” desis Dara. “Keluar dari kamar ini,”

“Bwoh?”

“KELUAR!!!” Dara mendorong Jiyong membuat pria itu tercekik karena lengan Dara masih membelit lehernya.

“Bagaimana bisa kau melakukan ini padaku?” suaranya tercekat. Dia merasa sangat dikhianati.

“Simpan argumen Anda untuk nanti. Saya siap untuk menerima hukuman apapun dari Anda, Jeoha.” Ujarnya dan sesaat kemudian para prajurit yang tengah berlatih di lapangan menatap mereka berdua dengan ekspresi ngeri.

“JEOHA!!!”

Harang keluar dari kamarnya sudah menduga hal ini akan terjadi dan dia hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya sambil menutup mulut. Dia memang bisa memperingatkan sang Pangeran. Namun akankah pria itu akan mempercayainya? Apakah Dara akan mempercayainya? Dia sudah melihat hal ini sebelumnya, saat dia memegang tangan Dara. dan dia tidak menyadari dirinya telah menangis. Pasti seperti inilah perasaan Master Wu setiap saat, katanya pada diri sendiri. Harang memejamkan matanya dan menunggu Dara membunuh sang Pangeran, namun tidak ada apapun yang terjadi.

“JEOHA!!!” seru para prajurit serentak melepas sarung dari pedang mereka, siap menghadapi orang yang telah membahayakan nyawa Pangeran. Mereka mendekat untuk menyelamatkan Pangeran namun sebelum mereka bisa mendekat, Dara segera menyingkirkan Pangeran dan melompat ke udara, mengembalikan pedangnya kedalam sarung.

Dara jelas kalah jumlah, dia sadar akan hal itu. Tapi dia menoleh kearah Harang dan menyeringai pada bocah itu – yang ternganga tak percaya menatapnya.

“AAAAAAH!!! KAU HARUS MATI! KAU TELAH MENGANCAM KESELAMATAN PUTRA MAHKOTA!” para prajurit bergerak menyerang satu per satu dan Dara melawan dengan meninju perut serta menendang tulang kering mereka, berhati-hati agar pukulan serta tendangannya tidak membahayakan. Dia kemudian menggunakan pedanganya sebagai pertahanan dan mempertahankan nyawanya tidak melayang – dia harus melindungi diri dari pedang-pedang yang terhunus padanya.

“HENTIKAN! HENTIKAN!!!” Pangeran berteriak seperti orang gila saat Seunghwan muncul bersama dengan para rekannya; mata mereka langsung melebar karena kaget.

“Apa maksudnya… Seunghwan! Yongbae! Segera lindungi Putra Mahkota!” seru Seunghyun dan keduanya segera menurut.

“Apa yang sedang dilakukan oleh Dara noona? Aigoo!” Seungri segera bergerak mendekat namun Seunghyun menariknya menjauh.

“Aku percaya padanya,” kata Seunghyun. “Mungkin… dia tengah mencoba membuktikan sesuatu,”

“Seperti apa, Profesor?” tanya Daesung.

“JANGAN SAKITI HMPPPPH!!!” Yongbae segera menutup mulut Pangeran.

“Anda tidak ingin mereka tahu bahwa dia adalah seorang wanita, Jeoha, bukan begitu?” tanyanya dan Pangeran berontak untuk melepaskan diri. Dia segera melangkah turun dan Dara menyadarinya, sedikit mengalihkan perhatian gadis itu sejenak dan ketika dia berbalik, dia hampir saja terluka parah saat seseorang menyerangnya dari belakang – untung saja dia memiliki reflek bagus dan sempat merunduk. Dia sedikit meringis kesakitan saat tidak sengaja serangan itu mengenai lengannya, membuatnya sedikit terluka, namun karena bukan luka serius dia segera melanjutkan bertarung.

Dara berbalik, melepas sarung dari pedangnya. Dia menendang dan meninju para prajurit itu, sama sekali tidak takut melihat badan mereka yang jauh lebih besar darinya. Dia terus memukuli mereka satu per satu sampai mereka semua jatuh berlutut dihadapannya, sepuluh, dua puluh… lebih dari tiga puluh orang tunduk dihadapannya – berguling mengerang kesakitan.

“Inikah orang-orang yang Anda pimpin, Jeoha?!” serunya dari tempatnya berdiri sekarang kepada sang Pangeran. “Orang-orang menyedihkan yang bahkan tidak bisa balas menyerang seseorang dan saya bahkan tidak menggunakan pedang saya kepada merkea,” dia menyeringai sembari menarik nafas.

“Hentikan kegilaan ini!!!”

“Tidak! Tidak sampai Anda mendengarkan saya!” dia memasang wajah berani. “Lihat orang-orang dihadapan Anda ini. Mereka semua bersedia memberikan nyawa mereka demi melindungi Anda. Mereka rela berkorban. Akan jauh lebih baik jika saya bisa melatih mereka dengan lebih baik. Akan jauh lebih baik jika mereka memiliki kemampuan lebih dalam bertarung. Sekarang ijinkan saya bertanya kepada Anda,”

Harang mendesah lega. Jadi ini, pikirnya. Dia ternyata salah. Yang dilihatnya hanyalah sepenggal kejadian dalam pikiran Dara.

“Apa Anda benar-benar akan membiarkan mereka mati tanpa pertahanan? Apakah Anda akan membuang-buang nyawa orang-orang yang setia kepada Anda hanya karena Anda hanya peduli pada nyawa satu orang saja?”

Jiyong tidak bisa berkata-kata. Dia tidak menyangka Dara akan seberani ini. Penuh wibawa.

Dia menggigit bibirnya dan mendesah kalah pada wanita dihadapannya.

Perlahan dia berjalan mendekat sampai dia bisa melihat Dara dengan jelas. Terdapat kesungguhan di wajah gadis itu. Terdapat keinginan di wajahnya.

“Tuan-tuan,” Jiyong memulai namun matanya tetap terpaku pada Dara. Giginya mengeram.

“ORANG DIHADAPAN KALIAN INI… ADALAH KOMANDAN KALIAN. PERKATANNYA ADALAH DEMI KESELAMATAN KU DAN JUGA KALIAN. PERCAYALAH PADANYA. AKU MEMBERINYA KEKUASAAN UNTUK MEMIMPIN KALIAN, JADI DENGARKAN DIA.” Putra Mahkota mengepalkan tangannya. Dia melihat para pendampingnya di belakang Dara yang juga sama tak bisa berkata-katanya seperti dirinya, dia menggeleng-gelengkan kepala.

Wanita dihadapannya ini bukan wanita biasa. Dia bisa membuatnya mati baik dengan cara yang baik maupun buruk.

Dan sekarang mendengar perkataan yang keluar dari mulut Jiyong, membuat Dara tersenyum. Jiyong menengadah ke langit.

Dara akan menjadi Ratunya. Oh betapa sempurnanya, pikir Jiyong, Dara adalah segala yang Jiyong butuhkan.

Dan Dara tersenyum pada Jiyong. Pria itu merasa tidak enak, kalah, dan tidak punya pilihan; dia berbalik dan kembali menatap pasukannya.

“KALIAN TIDAK DIPERKENANKAN MENERIMA PERINTAH APAPUN SELAIN DARIKU, DARI KOMANDAN KALIAN, DAN DARI REKAN-REKANKU YANG ADA DISINI.” Katanya menunjuk kepada Seunghwan, Seunghyun, Daesung, Seungri, dan Yongbae.

“Dan mulai dari sekarang, kita harus mempercayai Putra Mahkota dan kebaikan hatinya! Saat beliau naik tahta, beliau akan membawa kita pada Joseon yang lebih baik.” tambah Dara dan seketika itu juga dia merasakan seseorang memeluk pinggangnya. Ternyata itu Harang.

“Kau menakutiku!” bocah itu menangis dan Dara hanya bisa memutar bola manaya. Dia mengacak rambut si bocah dan balas memeluknya. Dan itu tidak luput dari perhatian Pangeran.

“Aigoo! Tolong beritahu kami lain kali jika kau berencana akan bertindak seperti ini! Kau membuat kami hampir terkena serangan jantunga!” Seunghyun memarahi Dara.

“Dia membuat kita semua takut,” Jiyong menyipitkan mata pada gadis itu. “Dan aku yakin dia bilang dia akan rela menerima hukuman apapun,” gumamnya.

“KAMI AKAN MENDUKUNG RAJA BARU!!!”

“MENDUKUNG RAJA BARU!”

Mereka berseru dan para prajurit yang terluka satu per satu mulai berdiri dan ikut berseru. Dara merasa bersalah pada mereka dan membantu mereka berdiri. Jiyong yang melihat hal ini segera menghap kepada para prajuritnya yang lain.

“Yah! Apa yang kalian lakukan?! Bantu mereka berdiri!” dia mendelik kepada mereka sebelum kembali berbalik pada Dara dan menatap gadis itu tajam. Dara membungkukkan badan kepada Jiyong, masih terkekeh sebelum melompat-lompat kembali ke kamarnya.

“Bersiaplah menerima hukumanku, dasar wanita licik,” dia menyeringai.

“Seunghwan!!!”

“Neh!” sang Eunuch segera berlari ke sisinya.

“Setelah memastikan semua yang terluka mendapatkan perawatan, panggil Lady Gong,”

“Neh!”

“Katakan padanya aku ingin Dara siap untuk malam ini, di kamarku.”

“Neh—,” namun sang Eunuch langsung terkesiap dan segera menutup mulutnya begitu sadar. “Bwoh???”

“Apa?” Pangeran hanya meliriknya sekilas.

“Jeoha… itu melanggar… Anda… dia… aigoo!!!” Eunuch Seunghwan kembali menutup mulutnya.

“Diam! Kubilang aku menginginkannya, dimandikan dengan bersih dan memakai hanbok terindah malam ini. DI.DALAM.KAMARKU. ARASSO???”

“Jeoha… aigoo…” Eunuch Seunghwan hanya bisa mengangguk pasrah dan berbalik.

**

<< Previous Next >>

42 thoughts on “The King’s Assassin [32] : She’s Everything

Leave a comment