Moonlight: Two

moonlight copy

Dara mendesah menatap ke bawah, ke arah anak-anak tangga di hadapannya, lalu bergantian menatap ke kaki kanannya yang dibebat perban. Kemarin dia berhasil untuk naik ke tangga, tapi sekarang untuk turun…

Dara menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Bagaimana caranya untuk menuruni tangga ini tanpa tersungkur sampai dasar tangga sana? Apakah dia harus menelepon Bom dan meminta sepupunya itu untuk menjemputnya? Ah, tapi tidak. Sekarang Bom pasti sedang berada di tempat kerjanya. Kemarin, Bom sudah sengaja mengajukan izin untuk tidak masuk kerja, tidak mungkin sekarang dia kembali merepotkan hanya untuk masalah sepele seperti menuruni tangga.

Seandainya saja Bom tidak tinggal dengan tunangannya, pasti Dara pun akan mempertimbangkan tawaran untuk tinggal bersama sepupunya itu – setidaknya sampai kakinya sembuh. Tapi tidak mungkin. Dia tidak nyaman tinggal dengan pria yang tidak memiliki hubungan apa pun dengannya, meskipun itu adalah tunangan sepupunya.

Seandainya saja semudah itu untuk naik lift, pasti Dara tidak akan ambil pusing.

“Jadi inilah alasannya kenapa aku memiliki firasat aku harus menggunakan tangga pagi ini?”

**

Kening Jiyong berkerut saat dirinya menanti pintu lift di hadapannya terbuka. Rasanya ada sesuatu yang mengganjal. Dia mendongak dan melihat pada angka penunjuk lantai. Masih berada di lantai dasar. Tanpa banyak berpikir, Jiyong memutar tubuhnya dan berbalik menuju tangga. Rasanya hari ini dia sedang enggan menggunakan lift.

Langkahnya terhenti saat melihat sosok yang dikenalnya berdiri di ujung tangga. Terlihat ragu.

“Jadi inilah alasannya kenapa aku memiliki firasat aku harus menggunakan tangga pagi ini?” Jiyong tidak bisa mencegah dirinya berucap demikian.

Omo!” sosok itu berseru kaget mendengar suara Jiyong, lalu berbalik.

“Jadi, apa yang kau lakukan di sini?” tanya Jiyong. “Ah, tidak perlu kau jawab. Tentu saja kau akan menggunakan tangga untuk turun,” dia menjawab sendiri pertanyaannya. “Mari kita ganti pertanyaannya. Kenapa?”

Gadis itu berkedip beberapa kali. “Huh?”

“Kenapa kau menggunakan tangga? Jangan bilang kau tidak tahu jika gedung ini difasilitasi dengan lift,”

“Oh, itu…”

Jiyong melipat tangannya di depan dada, sebelah kakinya mengetuk-ngetuk lantai, menunggu jawaban dari gadis. Itu.

Jiyong heran. Apakah gadis itu tidak berpikir? Kakinya dibebat perban dan harus dibantu dengan kruk, demi Tuhan!

Merasa tidak sabar menunggu jawaban Dara, Jiyong mendesah sebelum akhirnya memegang lengan gadis itu. “Ayo,” katanya.

“Ke mana?” lagi, matanya berkedip cepat.

“Tentu saja menggunakan lift…”

“Tidak, tidak, tidak…” potong Dara cepat, menggelengkan kepalanya kuat-kuat, melepaskan lengannya dari pegangan tangan Jiyong.

“Apa kau sudah gila?” kesabaran Jiyong hampir habis.

Tapi, jika dipikir lagi, kenapa Jiyong harus ikut pusing?

“Aku tidak bisa menggunakan lift,” ucap gadis itu cepat, sebelum Jiyong berhasil kembali meraih lengannya. “Aku tidak bisa menggunakan lift,” ulangnya.

**

“Aku tak bisa menggunakan lift,” Dara merasa panik, segera melangkah mundur.

Tetangga barunya itu mendasah perlahan, menatap Dara dengan pandangan mata bosan. “Hhh… baiklah,” katanya. Dan tanpa bertanya apa pun lagi, dia langsung saja bergerak untuk merangkul tubuh Dara, membuatnya kaget.

“Ya-yah… a-apa yang kau lakukan?” tanya Dara terkejut. Kembali dia melangkah mundur, menjauh dari pria itu.

Tetapi jelas, pria itu lebih gesit darinya yang terhambat oleh sepasang kruk, menahan lengan Dara.

“Membantumu turun dengan menggunakan tangga,” jawabnya enteng, seolah sedang memberikan jawaban pertanyaan satu ditambah satu adalah sama dengan dua. “Dan jangan melangkah mundur lagi, kau bisa jatuh nanti. Apa kau tidak sadar kau berada di ujung tangga? Apa kau mau kau terjatuh dan mematahkan anggota tubuhmu yang lain? Sudah cukup memiliki satu kaki yang patah,”

“Yah, kakiku tidak patah!” protes Dara merengut, meskipun dalam hati dia membenarkan apa yang dikatakan pria itu. Tentu saja dia tidak ingin terjatuh dari tangga!

Tetangganya yang ternyata adalah si pianis terkenal Jiyong Kwon itu tidak menanggapi protesnya dan langsung saja merebut sebelah kruk Dara dan mengambil tas gitar yang tersampir di bahunya.

“Ya-yah…”

“Ayo,” dia meraih sebelah lengan Dara yang bebas dan merangkulkannya di pundaknya. “Atau kau berharap aku akan menggendongmu?” tanyanya sinis, mengisyaratkan Dara untuk bergerak bersamanya.

Dara membuka mulutnya untuk menjawab, tapi kemudian menutupnya lagi setelah tak ada kata-kata yang keluar.

“Jangan harap aku mau menggendongmu, kita ini berada di lantai empat dan aku tidak mau kita sama-sama tersungkur nantinya,” komentarnya semakin membuat ubun-ubun Dara serasa mendidih.

Selama ini dia selalu beranggapan bahwa Jiyong Kwon adalah seorang yang romantis, terlebih setelah mendengarkan komposisi terakhirnya dulu – Sunshine Becomes You, yang kata orang dipersembahkan untuk seseorang yang dia cintai. Tapi ternyata anggapannya itu salah. Mustahil rasanya bagi pria kasar seperti Jiyong yang bahkan tidak bisa menyaring apa yang dikatakan untuk bersikap romatis, Dara jadi merasa kasihan pada gadis yang dicintai oleh pria itu.

“Aku juga tidak meminta bantuanmu untuk memapahku, apalagi meminta untuk kau gendong!” akhirnya Dara menemukan suaranya.

“Hmm,” hanya itu tanggapan dari Jiyong, tapi tetap membantunya. Perlahan pria itu membantunya selangkah demi selangkah menuruni anak tangga, hingga akhirnya mereka tiba di lantai dasar, terengah-engah.

“Kau benar-benar harus mulai belajar menggunakan lift!” keluh Jiyong, mengatur nafasnya. Dia memang sudah terbiasa menggunakan tangga sampai ke lantai apartemennya berada, tapi untuk menuntun seseorang yang pincang itu lain cerita. Karena dia harus melangkah perlahan dan menahan separuh beban orang itu.

“Kau benar-benar berisik, Tuan! Sudah kubilang aku tidak meminta bantuan darimu,”

“Tidak meminta bukan berarti tidak membutuhka!” potong Jiyong cepat.

Dara semakin merasa kesal pada tetangganya itu. “Yah, Tuan Kwon! Kau benar-benar berisik! Aku tahu kau mungkin sedang menjalankan peranmu sebagai seorang warga kota yang baik hati, tapi kuberitahu kau satu informasi pentig, kau tidak perlu memaksakan diri untuk terlihat baik. Jika memang kau tidak suka melakukannya, maka kau tidak perlu melakukan apa pun. Jangan memaksakan diri.”

**

Jiyong masih terpaku di tempatnya bahkan setelah tetangga barunya yang sudah dua hari berturut-turut ini terlibat adu mulut dengannya pergi setelah meminta paksa gitar dan sebelah kruknya yang Jiyong pegang.

“Apakah aku sangat keterlaluan?” lirihya bertanya pada hening yang menemaninya di tengah riuh jalanan.

“Ya, ucapanmu tadi sedikit keterlaluan.”

“Tapi aku hanya berniat membantu,” dia berusaha membela diri.

“Seharusnya kau bisa sedikit menahan mulut pedasmu itu,”

“Tapi…” belum sempat Jiyong menyelesaikan kalimat pembelaannya yang lain, seseorang telah berdiri di hadapannya. Orang terakhir yang disangkanya akan berdiri di hadapannya sekarang. Park Sandara, tetangganya yang belum sampai dua menit lalu pergi meniggalkannya karena kesal.

“Maafkan aku bersikap tidak sopan karena sudah pergi begitu saja tanpa mengucapkan terima kasih. Terima kasih,” dan tanpa menunggu tanggapan apa pun darinya, gadis itu kembali berlalu begitu saja.

“Lihat, setidaknya dia memiliki tata krama, tidak sepertimu…”

“Oh, diamlah…” desah Jiyong yang masih merasa setengah terkejut. Sebelum suara di kepalanya kembali memberi kuliah yang tidak dia butuhkan, dia akhirnya memutuskan untuk berjalan menuju tempat mobilnya diparkir.

“Kau harus meminta maaf pada tetanggamu itu nanti,” kata suara dalam kepalanya begitu dia telah duduk di balik kemudi.

Jiyong baru akan menjawab, namun terhalangi oleh bunyi dering ponsel yang ada di sakunya. Seunghyun Choi, manajernya.

“Ya, ada apa?” dia sama sekali tidak berusaha untuk berbasa-basi.

“Demi Tuhan, Jiyong, kau sama sekali tidak tahu tata cara bersosialisasi,” komentar Seunghyun mendengar kalimat pertama artisnya itu.

“Aku tidak perlu berbasa-basi padamu, Choi.” Balas Jiyong, satu sudut bibirnya terangkat. Sebelah tangannya yang bebas memasukkan kunci dan menstater mobilnya.

“Hahaha, kau masih sama saja rupanya. Baiklah, aku tidak akan berlama-lama. Hanya mengingatkan, siang nanti ada sponsor yang harus kautemui, dia meminta untuk bisa makan siang denganmu,”

“Hyung,”

“Tidak, tidak, tidak…” sela Seunghyun cepat.

“Yah, kau belum mendengar apa yang akan kukatakan,”

“Aku tahu arti dari ‘hyung’ itu,” dia menirukan cara pengucapan ‘hyung’ Jiyong. “Kau memanggilku seperti itu adalah bencana. Pokoknya kau harus datang, aku tidak mau tahu, itu jika kau masih ingin dikenal sebagai Jiyong Kwon,”

Jiyong mendesah. “Tapi aku harus menemui seseorang di K-ARTS,” ungkapnya.

Dia mendengar Seunghyun menarik nafas dalam sebelum menjawab, “Jiyong, lihat arlojimu sekarang,”

Jiyong melakukan seperti yang Seunghyun minta. Pukul 09.30 pagi.

“Kau lihat jam berapa sekarang? Sembilan lewat tiga puluh! Kau masih memiliki banyak waktu bahkan untuk berkeliling kota sampai jam makan siang!” seru Seunghyun di ujung sana. “Aku tidak mau tahu apa yang akan kau lakukan sekarang, dan kuminta… kuminta tepat pukul dua belas nanti aku ingin wajahmu ada di hadapanku dan sponsor penting kita! Kau mengerti?!” dan Seunghyun langsung memutus sambungan telepon mereka begitu saja, membiarkan Jiyong berkedip beberapa kali sampai akhirnya pikirannya kembali tersadar.

“Wow,” komentarnya, mengedikkan bahu dan meletakkan ponselnya.

“Kau benar-benar memberinya banyak kesulitan,” suara dalam kepalanya kembali muncul.

Jiyong mengedikkan bahunya dan mulai memutar kemudi, melajukan mobilnya keluar dari pelataran parkir.

“Itu sudah menjadi kewajibannya sebagai manajerku,”

“Kau harus membelikannya sebuah hadiah atau mentraktirnya makan,”

“Aisht, terserahlah,”

**

“Park Seonsaengnim, apakah kau membutuhkan bantuan?” Dara terkejut mendengar sebuah suara kecil berkata.

Dia baru saja menyelesaikan sesi mengajar pertamanya. Pagi ini dia memegang kelas dasar, di mana kesepuluh muridnya adalah para pemula yang benar-benar harus diberi tahu bagaimana cara memegang gitar dengan benar.

Dara mengalihkan pandangan dari gitarnya yang sudah tergeletak aman di dalam tempatnya, tetapi dirinya masih memikirkan cara paling aman bagi kakinya agar bisa memasang sabuk pengaman pada gitar dan menutup tempat gitarnya. Berdiri di hadapannya adalah murid termuda di kelas pertamanya barusan – dia memiliki murid dalam berbagai variasi usia, bahkan ada dua orang yang lebih tua darinya – dan Kwangmin, bocah sepuluh tahun yang sekarang berdiri di hadapannya, adalah yang termuda.

Dara memerhatikan ruang kelas yang sudah sepi, hanya tinggal dirinya dan Kwangmin di dalam ruangan ini. Dia menatap bocah itu dan sebuah pertanyaan muncul dalam kepalanya. Harusnya anak seusia Kwangmin sedang berada di sekolah pada jam ini, kelasnya ini mulai terlalu pagi untuk anak sekolah.

“Park Seongsaengnim,”

“Noona,” potong Dara cepat, bergidik mendengar dirinya dipanggil dengan sebutan seungsaengnim. “Kwangmin-ah, panggil aku Noona, Dara Noona, bukankah sudah kujelaskan tadi aku tidak ingin dipanggil dengan sebutan seongsangnim,”

“Tapi Omma bilang aku harus memanggil orang yang mengajari sebagai Seungsaengnim. Bahkan aku memanggil Omma Seungsaengnim saat kami belajar di rumah,” cerita bocah itu sambil lalu, semakin membuat Dara merasa penasaran padanya. “Jadi, Park Seongsangnim, apakah kau membutuhkan bantuan? Sepertinya kau mengalami kesulitan,” dia kembali mengingat tujuannya.

Dara merasa tersentuh melihat kepedulian Kwangmin padanya. Anak ini memiliki jiwa besar, pikirnya. Hari ini adalah pertemuan pertama mereka dan dalam usianya Kwangmin sudah begitu peka, lebih peka dari kesembilan orang lain yang dimasukkan ke dalam kelasnya, belum lagi mengingat bahwa Kwangmin adalah yang termuda.

“Terima kasih, Kwangmin-ah, kau baik sekali,” kata Dara. “Bisakah kau mengaitkan sabuk pengaman dan menutup resletingnya?” pintanya.

“Tentu,” jawab Kwangmin singkat dan melakukan seperti yang diminta. Tidak sampai satu menit dia sudah menyelesaikan yang apa yang diminta padanya.

“Terima kasih, dan satu hal lagi, bisakah kau memanggilku dengan sebutan noona saja? Sebutan seungsangnim itu terasa terlalu berat,” dan sebelum bocah itu bisa membantah, dia buru-buru menambahkan, “Dan lagi pula yang lain tidak ada yang memanggilku dengan sebutan seongsangnim,”

Kwangmin terlihat memikirkan perkataan Dara selama beberapa saat sebelum kemudian menganggukkan kepalanya perlahan. “Baiklah, tapi aku akan tetap memanggilmu Park Seongsangnim saat ada Omma,” katanya.

Dara tertawa kecil mendengar penawaran bocah itu, tapi tetap mengangguk setuju. “Baiklah, aku setuju.”

Kwangmin membantu memegang gitar Dara sebelum akhirnya dia menggendongnya dan perlahan melangkah dengan bantuan kruknya. Kwangmin ikut berjalan di sebelahnya keluar dari ruang kelas mereka.

“Sampai jumpa besok lusa, Dara Noona,” kata Kwangmin begitu mereka telah berada di depan ruang yang khusus disediakan untuk staf pengajar.

“Ya, sampai besok, Kwangmin-ah,” balas Dara. “Apakah sudah ada yang menjemputmu?” tanyanya.

“Aniyo, aku pulang bisa pulang sendiri. Rumahku hanya dua blok dari sini, lagipula Omma masih bekerja saat ini,” jawab bocah itu sambil lalu.

Kedua alis Dara terangkat ke atas mendengar jawaban Kwangmin barusan, dan dia tidak menyukainya. Meskipun bocah itu terlihat percaya diri, tapi Kwangmin masihlah anak-anak. Seolah bisa membaca apa yang ada dalam pikirannya, Kwangmin langsung tersenyum lebar.

“Kau tidak perlu meragukanku, Dara Noona, aku tidak berbohong. Aku benar-benar tahu jalan pulang,” katanya meyakinkan. “Sampai jumpa besok lusa,” dia kemudian segera berlalu, meninggalkan Dara masih berdiri mematung, tidak sempat menawarkan diri untuk mengantar bocah itu. Jangan salah paham, Dara tidak akan memaksa kakinya untuk berjalan sejauh dua blok, dia berniat menggunakan jasa taksi!

Mendesah pasrah, akhirnya Dara memutuskan untuk percaya pada apa yang Kwangmin katakan padanya. Tentu saja Kwangmin tahu jalan pulang, harus. Dara tidak ingin mendapat tambahan beban rasa bersalah lain jika sampai terjadi apa-apa pada Kwangmin hanya karena dirinya kalah berargumen dengan anak itu.

“Oh, apakah bukankah itu tadi Kwangmin Jung?” tanya Seungmin Jo, juga salah satu staf pengajar seperti Dara. Jika ingatan Dara benar tentang perkenalan mereka kemarin, Sungmin adalah pengajar untuk kelas lanjutan biola.

Dara menganggukkan kepalanya sambil memasuki ruangan. “Neh, dia masuk dalam kelas pagiku, apakah Sunbaemin mengenalnya?”

“Ya, aku mendengar beberapa hal tentang anak itu, aku juga tinggal di lingkungan ini, jadi aku banyak tahu,” jawabnya, kembali sibuk membenahi kertas partitur yang berserakan di meja. “Ah, kasihan sekali anak itu,” komentar Sungmin menarik perhatian Dara.

Dengan tertatih, Dara mendekat dan perlahan duduk di kursi di sebelah Sungmin setelah melepaskan gitar yang digendongnya dan menyandarkan benda itu di kursi lain yang kosong.

“Kasihan kenapa?”

“Dia adalah korban bully, karena itu dia keluar dari sekolah dan melakukan program homeschooling,” cerita Sungmin langsung membuat Dara terkesiap terkejut. “Dan alasannya sungguh sangat menyedihkan, hanya karena Kwangmin adalah anak yang sangat pintar – bisa dibilang genius, dan teman-temannya merasa iri padanya,”

Tangan Dara bergerak dalam mode otomatis menutupi mulutnya. Alasan apa itu? Sungguh tidak masuk akal. Apa salah seorang anak yang lahir dengan kemampuan otak jauh lebih dari yang lainnya?

“Mwo? Alasan apa itu? Ya Tuhan, sungguh tidak bisa dipercaya…”

“Ya, maka dari itu, dia meminta pada ibunya untuk keluar dari sekolah dan belajar musik,” tambah Sungmin sebelum kemudian dia berdiri. “Baiklah Dara-ssi,”

“Dara. Cukup Dara saja,” potong Dara cepat. Dia tidak suka namanya disebut dengan formal, terlebih oleh rekan kerjanya.

“Arasseo, Dara… aku harus mengajar sekarang, tidak masalah kan kalau kutinggal kau sendiri di sini? Sebentar lagi sesi Hyesun akan selesai,” katanya sambil melirik arloji yang melingkari pergelangan tangannya.

“Tentu saja tidak masalah, selamat mengajar Sunbaenim,”

Sungmin kemudian pergi setelah Dara memastikan bahwa dirinya tidak mempermasalahkan jika ditinggal sendirian. Nasib orang berkaki pincang!

Dara-ah, jam berapa kelas terakhirmu selesai?

Sebuah pesan masuk ke ponsel Dara. Dari Bom.

Sekitar jam 6. Kenapa?

Kita makan malam bersama, aku akan membawamu ke tempat makan yang enak! ^_^

Dara tersenyum, memilih percaya kepada sepupunya. Jika menyangkut makanan enak, maka Bom adalah orang yang tepat untuk dimintai reverensi. Bom dan kecintaannya pada makanan selalu bisa membuat Dara merasa senang.

Baiklah.

Sampai jumpa nanti, sepupu… :*

Ya, sampai jumpa nanti Bom, ^^

**

<<Back  Next>>

26 thoughts on “Moonlight: Two

  1. Oo ternyata yang bikin dara unnie kyk kaget itu gara gara jiyong oppa seorang pianis toh. Park bon unnie perhatian sekali sama dara unnie😍😝

Leave a comment